"Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebebenar-benarnya,
dan janganlah kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan
berpeganglah kepada tali (agama) Allah, dan jangan-lah kalian bercerai
berai". (Ali-Imran: 102-103)
Di tengah-tengah maraknya kebangkitan Islam diberagai
belahan dunia, gerakan dan semangat keilmuan merebak di mana-mana. Dalam hal
ini, kalangan generasi muda tak ketinggalan ikut mengambil peranan. Semuanya
adalah pertanda baik, tapi terkadang sebagian mereka terjerumus ke dalam dua
bahaya besar :
Pertama, sebagian mereka dengan mudahnya
berfatwa, sementara bahan dan piranti yang mereka miliki sedikit sekali. Ibnul
Qayim berkomentar: "Tidak lah seorang mufti atau hakim disebut berkapasitas
untuk mengeluarkan fatwa atau untuk menentukan hukum secara benar kecuali ia
harus memahami dan mengerti dua hal:
Memahami kondisi sosiologis masyarakat setempat, berbagai
hal pendukung terjadinya kondisi tersebut serta berbagai persoalan penting yang
berkaitan dengan mereka.
Memahami hukum yang sesuai dengan kondisi tersebut.
Dengan kata lain, menerapkan hukum Allah yang ditetapkanNya untuk jenis
masyarakat tersebut sebagaimana yang ada dalam Al-Qur'an atau dalam hadis
Nabi."
Bila ia benar-benar mengeluarkan segenap kemampuannya
pada dua hal tersebut dalam arti yang sebenarnya maka ia tergolong mujtahid.
Dengan demikian, minimal ia akan mendapat-kan satu dari dua macam pahala yang
dijanjikan baginya.
Kedua, sebagian mereka jika sampai pada
kesimpulan hukum (ijtihad) masalah tertentu, ia menganggap bahwa kesimpulan
yang dimilikinya itu merupakan kebenaraan akhir dan mutlak, sedang yang lain
salah semua. Pada tahap berikutnya, hal itu akan mendorong egonya untuk
memaksa-kan pendapat kepada orang lain. Orang yang mendukung pendapatnya
dianggap sebagi sahabat karib, sedangkan yang berbeda pendapat dengannya
dianggap musuh bodoh, dan ahli taklid.
Di atas itulah fenomena yang pada galibnya terjadi dalam
menyikapi persoalan ijtihad. Makalah singkat ini berupaya mengetengahkan manhaj
Ahlus Sunnah dan para salafus Shalih dalam soal ijtihad. Sebelum sampai pada
isi pokok pembahasan, perlu kiranya kita menggaris bawahi dua hal penting:
Sesungguhnya perbedaan pendapat di kalangan para ulama
dulu tidaklah atas dasar hawa nafsu tetapi semua itu berdasarkan dalil dan
ijtihad.
Bahwa para ulama adalah orang-orang yang paling dekat dan
paling takwa kepada Allah.
Pengaruh takwa ini tampak jelas dalam kehati-hatian
mereka dalam berfatwa. Sofyan berkata: "Aku hidup di masa fuqaha. Mereka
enggan ber-fatwa kecuali pada situasi yang sangat dibutuhkan".
Perpecahan dan Perbedaan Adalah Tercela
Meskipun ijtihad -yang biasanya lebih berpeluang
melahirkan perbedaan pendapat yang berdasarkan atas dalil diperbolehkan, tetapi
pada hakekatnya Islam sangat menganjurkan persatuan dan mencela perpecahan.
Baca juga: DOSA (Bagian 2&3)