Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat
selalu membutuhkan adanya pemimpin. Di dalam kehidupan rumah tangga diperlukan
adanya pemimpin atau kepala keluarga, begitu pula halnya di masjid sehingga shalat
berjamaah bisa dilaksanakan dengan adanya orang yang bertindak sebagai imam,
bahkan perjalanan yang dilakukan oleh tiga orang muslim, harus mengangkat salah
seorang diantara mereka sebagai pemimpin perjalanan. Ini
semua menunjukkan betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu masyarakat,
baik dalam skala yang kecil apalagi skala yang besar. Untuk tujuan memperbaiki
kehidupan yang lebih baik, seorang muslim tidak boleh mengelak dari tugas
kepemimpinan, Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa yang diserahi kekuasaan
urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang-orang
yang membutuhkannya, maka Allah tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat
(HR. Ahmad).
Di dalam Islam, pemimpin kadangkala disebut imam tapi juga khalifah. Dalam shalat
berjamaah, imam berarti orang yang didepan. Secara harfiyah, imam berasal dari
kata amma, ya’ummu yang artinya menuju, menumpu dan meneladani. Ini berarti
seorang imam atau pemimpin harus selalu didepan guna memberi keteladanan atau
kepeloporan dalam segala bentuk kebaikan. Disamping itu, pemimpin disebut juga
dengan khalifah yang berasal dari kata khalafa yang berarti di belakang,
karenanya khalifah dinyatakan sebagai pengganti karena memang pengganti itu
dibelakang atau datang sesudah yang digantikan. Kalau pemimpin itu disebut
khalifah, itu artinya ia harus bisa berada di belakang untuk menjadi pendorong
diri dan orang yang dipimpinnya untuk maju dalam menjalani kehidupan yang baik
dan benar sekaligus mengikuti kehendak dan arah yang dituju oleh orang yang
dipimpinnya kearah kebenaran.
Dari pengantar di atas, terasa dan terbayang sekali betapa dalam pandangan
Islam, pemimpin memiliki kedudukan yang sangat penting, karenanya siapa saja
yang menjadi pemimpin tidak boleh dan jangan sampai menyalahgunakan
kepemimpinannya untuk hal-hal yang tidak benar. Karena
itu, para pemimpin dan orang-orang yang dipimpin harus memahami hakikat
kepemimpinan dalam pandangan Islam yang secara garis besar dalam lima lingkup.
1. Tanggung Jawab, Bukan Keistimewaan.
Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk untuk memimpin
suatu lembaga atau institusi, maka ia sebenarnya mengemban tanggung jawab yang
besar sebagai seorang pemimpin yang harus mampu mempertanggungjawabkannya,. Bukan
hanya dihadapan manusia tapi juga dihadapan Allah SWT. Oleh karena itu, jabatan
dalam semua level atau tingkatan bukanlah suatu keistimewaan sehingga seorang
pemimpin atau pejabat tidak boleh merasa menjadi manusia yang istimewa sehingga
ia merasa harus diistimewakan dan ia sangat marah bila orang lain tidak
mengistimewakan dirinya.
Oleh karena itu, ketika Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang cemerlang
datang ke sebuah pasar untuk mengetahui langsung keadaan pasar, maka ia datang
sendirian dengan penampilan biasa, bahkan sangat sederhana sehingga ada yang
menduga kalau ia seorang kuli panggul lalu orang itupun menyuruhnya untuk
membawakan barang yang tak mampu dibawanya. Umar
membawakan barang orang itu dengan maksud menolongnya, bukan untuk mendapatkan
upah. Namun ditengah jalan, ada orang memanggilnya dengan panggilan yang mulia
sehingga pemilik barang yang tidak begitu memperhatikannya menjadi
memperhatikan siapa orang yang telah disuruhnya membawa barangnya. Setelah ia
tahu bahwa Umar sang khalifah yang disuruhnya, iapun meminta maaf, namun Umar
merasa hal itu bukanlah suatu kesalahan. Karena kepemimpinan itu tanggung jawab
atau amanah yang tiodak boleh disalahgunakan, maka pertanggungjawaban menjadi
suatu kepastian, Rasulullah Saw bersabda: Setiap kamu adalah pemimpin dan
setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinan kamu (HR.
Bukhari dan Muslim)
2. Pengorbanan, Bukan Fasilitas
Menjadi pemimpin atau pejabat bukanlah untuk menikmati
kemewahan atau kesenangan hidup dengan berbagai fasilitas duniawi yang
menyenangkan, tapi justru ia harus mau berkorban dan menunjukkan pengorbanan,
apalagi ketika masyarakat yang dipimpinnya berada dalam kondisi sulit dan
sangat sulit. Karenanya dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Umar bin Abdul
Aziz sebelum menjadi khalifah menghabiskan dana untuk membeli pakaian yang
harganya 400 dirham, tapi ketika ia menjadi khalifah ia hanya membeli pakaian
yang harganya 10 dirham, hal ini ia lakukan karena kehidupan yang sederhana
tidak hanya harus dihimbau, tapi harus dicontohkan langsung kepada masyarakatnya.
Karena itu menjadi terasa aneh bila dalam anggaran belanja negara atau propinsi
dan tingkatan yang dibawahnya terdapat anggaran dalam puluhan bahkan ratusan
juta untuk membeli pakaian bagi para pejabat, padahal ia sudah mampu membeli
pakaian dengan harga yang mahal sekalipun dengan uangnya sendiri sebelum ia
menjadi pemimpin atau pejabat.
3. Kerja Keras, Bukan Santai.
Para pemimpin mendapat tanggung jawab yang besar untuk
menghadapi dan mengatasi berbagai persoalan yang menghantui masyarakat yang dipimpinnya
untuk selanjutnya mengarahkan kehidupan masyarakat untuk bisa menjalani
kehidupan yang baik dan benar serta mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Untuk itu, para pemimpin dituntut bekerja keras dengan penuh
kesungguhan dan optimisme.
Saat menghadapi krisis ekonomi, Khalifah Umar bin Khattab membagikan sembako
(bahan pangan) kepada rakyatnya. Meskipun sore hari ia sudah menerima laporan
tentang pembagian yang merata, pada malam hari, saat masyarakat sudah mulai
tidur, Umar mengecek langsung dengan mendatangi lorong-lorong kampung, Umar
mendapati masih ada rakyatnya yang masuk batu sekedar untuk memberi harapan
kepada anaknya yang menangis karena lapar akan kemungkinan mendapatkan makanan.
Meskipun malam sudah semakin larut, Umar pulang ke rumahnya dan ternyata ia
memanggul sendiri satu karung bahan makanan untuk diberikan kepada rakyatnya
yang belum memperolehnya.
4. Kewenangan Melayani, Bukan Sewenang-Wenang.
Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang dipimpinnya,
karena itu menjadi pemimpin atau pejabat berarti mendapatkan kewenangan yang
besar untuk bisa melayani masyarakat dengan pelayanan yang lebih baik dari
pemimpin sebelumnya, Rasulullah Saw bersabda: Pemimpin suatu kaum adalah
pelayan mereka (HR. Abu Na’im)
Oleh karena itu, setiap pemimpin harus memiliki visi dan misi pelayanan
terhadap orang-orang yang dipimpinnya guna meningkatkan kesejahteraan hidup,
ini berarti tidak ada keinginan sedikitpun untuk menzalimi rakyatnya apalagi
menjual rakyat, berbicara atas nama rakyat atau kepentingan rakyat padahal
sebenarnya untuk kepentingan diri, keluarga atau golongannya. Bila pemimpin
seperti ini terdapat dalam kehidupan kita, maka ini adalah pengkhianat yang
paling besar, Rasulullah Saw bersabda: Khianat yang paling besar adalah bila
seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya (HR. Thabrani).
5. Keteladanan dan Kepeloporan, Bukan Pengekor.
Dalam segala bentuk kebaikan, seorang pemimpin seharusnya
menjadi teladan dan pelopor, bukan malah menjadi pengekor yang tidak memiliki
sikap terhadap nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ketika
seorang pemimpin menyerukan kejujuran kepada rakyat yang dipimpinnya, maka ia
telah menunjukkan kejujuran itu. Ketika ia menyerukan hidup sederhana dalam
soal materi, maka ia tunjukkan kesederhanaan bukan malah kemewahan. Masyarakat
sangat menuntut adanya pemimpin yang bisa menjadi pelopor dan teladan dalam
kebaikan dan kebenaran.
Sebagai seorang pemimpin, Rasulullah Saw tunjukkan keteladanan dan kepeloporan
dalam banyak peristiwa. Ketika Rasulullah Saw membangun masjid Nabawi di
Madinah bersama para sahabatnya, beliau tidak hanya menyuruh dan mengatur atau
tunjuk sana tunjuk sini, tapi beliau turun langsung mengerjakan hal-hal yang
bersifat teknis sekalipun. Beliau membawa batu bata dari tempatnya ke lokasi
pembangunan sehingga ketika para sahabat yang lebih muda dari beliau sudah
mulai lelah dan beristirahat, Rasul masih terus saja membawanya meskipun ia
juga nampak lelah. Karena itu seorang sahabat bermaksud mengambil batu yang
dibawa oleh nabi agar ia yang membawanya, tapi nabi justeru menyatakan: “kalau
kamu mau membawa batu bata, disana masih banyak batu yang bisa engkau bawa, yang
ini biar tetap aku yang membawanya”. Karenanya para sahabat tetap dan terus
bersemangat dalam proses penyelesaian pembangunan masjid Nabawi.
Dari penjelasan di atas, kita bisa menyadari betapa penting kedudukan pemimpin
bagi suatu masyarakat, karenanya jangan sampai kita salah memilih pemimpin,
baik dalam tingkatan yang paling rendah seperti kepala rumah tanggai, ketua RT,
pengurus masjid, lurah dan camat apalagi sampai tingkat tinggi seperti anggota
parlemen, bupati atau walikota, gubernur, menteri dan presiden. Karena itu,
orang-orang yang sudah terbukti tidak mampu memimpin, menyalahgunakan
kepemimpinan untuk misi yang tidak benar dan orang-orang yang kita ragukan
untuk bisa memimpin dengan baik dan kearah kebaikan, tidak layak untuk kita
percayakan menjadi pemimpin.