عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ جُنْدُبِ بنِ جُنَادَةَ
وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ
رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا
كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ
بِخُلُقٍ حَسَنٍ) رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ. وَفِي بَعْضِ
النُّسَخِ: حَسَنٌ صَحِيْحٌ.
Dari Abu Dzarr Jundub bin Junadah dan Abu ‘Abdirrahman
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada;
iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka kebaikan akan
menghapuskan keburukan itu; dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”
(HR. Tirmidzi, ia mengatakan haditsnya itu hasan dalam sebagian naskah
disebutkan bahwa hadits ini hasan shahih) [HR. Tirmidzi, no. 1987 dan Ahmad,
5:153. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan]
Penjelasan Hadits
Pertama: Takwa
Bertakwa dan berakhlak mulia, itulah yang paling
menyebabkan banyak yang masuk surga.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ « تَقْوَى اللَّهِ
وَحُسْنُ الْخُلُقِ ». وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ
فَقَالَ « الْفَمُ وَالْفَرْجُ»
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya
mengenai perkara yang banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, beliau
menjawab, “Takwa kepada Allah dan berakhlak yang baik.” Beliau ditanya pula
mengenai perkara yang banyak memasukkan orang dalam neraka, jawab beliau,
“Perkara yang disebabkan karena mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi no. 2004 dan
Ibnu Majah no. 4246. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih).
Takwa asalnya adalah menjadikan antara seorang hamba dan
seseutu yang ditakuti suatu penghalang. Sehingga takwa kepada Allah berarti
menjadikan antara hamba dan Allah suatu benteng yang dapat menghalangi dari
kemarahan, murka dan siksa Allah. Takwa ini dilakukan dengan melaksanakan
perintah dan menjauhi maksiat.
Namun takwa yang sempurna kata Ibnu Rajab Al Hambali
adalah dengan mengerjakan kewajiban, meninggalkan keharaman dan perkara
syubhat, juga mengerjakan perkara sunnah, dan meninggalkan yang makruh. Inilah
derajat takwa yang paling tinggi.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
المُتَّقُوْنَ اتَّقَوا مَا حُرِّمَ
عَلَيْهِمْ ، وَأدَّوْا مَا افْتُرِضَ عَلَيْهِمْ
“Orang yang bertakwa adalah mereka yang menjauhi hal-hal
yang diharamkan dan menunaikan berbagai kewajiban.”
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata,
لَيْسَ تَقْوَى اللهِ بِصِيَامِ النَّهَارِ ،
وَلاَ بِقِيَامِ اللَّيْلِ ، وَالتَّخْلِيْطِ فِيْمَا بَيْنَ ذَلِكَ ، وَلَكِنْ
تَقْوَى اللهِ تَرْكُ مَا حَرَّمَ اللهُ ، وَأَدَاءُ مَا افْتَرَضَ اللهُ ،فَمَنْ
رُزِقَ بَعْدَ ذَلِكَ خَيْراً ، فَهُوَ خَيْرٌ إِلَى خَيْرٍ
“Takwa bukanlah hanya dengan puasa di siang hari atau
mendirikan shalat malam, atau melakukan kedua-duanya. Namun takwa adalah
meninggalkan yang Allah haramkan dan menunaikan yang Allah wajibkan. Siapa yang
setelah itu dianugerahkan kebaikan, maka itu adalah kebaikan pada kebaikan.”
Thalq bin Habib rahimahullah mengatakan,
التَّقْوَى أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللهِ ،
عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ ، تَرْجُوْ ثَوَابَ اللهِ ، وَأَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ
اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ تَخَافُ عِقَابَ اللهِ
“Takwa berarti engkau menjalankan ketaatan pada Allah
atas petunjuk cahaya dari Allah dan engkau mengharap pahala dari-Nya. Termasuk
dalam takwa pula adalah menjauhi maksiat atas petunjuk cahaya dari Allah dan
engkau takut akan siksa-Nya.”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat
“bertakwalah pada Allah dengan sebenar-benarnya takwa” yang terdapat dalam
surah Ali Imran ayat 102, beliau berkata,
أَنْ يُطَاعَ فَلاَ يُعْصَى ، وَيُذْكَرُ
فَلاَ يُنْسَى ، وَأَنْ يُشْكَرَ فَلاَ يُكَفَّرُ
“Maksud ayat tersebut adalah Allah itu ditaati, tidak
bermaksiat pada-Nya. Allah itu terus diingat, tidak melupakan-Nya. Nikmat Allah
itu disyukuri, tidak diingkari.” (HR. Al-Hakim secara marfu’, namun mauquf
lebih shahih, berarti hanya perkataan Ibnu Mas’ud). Yang dimaksud bersyukur
kepada Allah di sini adalah dengan melakukan segala ketaatan pada-Nya.
Adapun maksud mengingat Allah dan tidak melupakan-Nya
adalah selalu mengingat Allah dengan hati pada setiap gerakan dan diamnya,
begitu saat berucap. Semuanya dilakukan hanya untuk meraih pahala dari Allah.
Begitu pula larangan-Nya pun dijauhi. (LihatJami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam,
1:397-402)
Kedua: Mengikutkan kejelekan dengan kebaikan
Yang dimaksud di sini adalah mengikuti kejelekan dengan
taubat. Bisa juga maksudnya adalah kebaikan di sini bukan hanya taubat saja
yang mengikuti kejelekan, namun lebih umum. Sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ
وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ ۚإِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang
(pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang
buruk.” (QS. Hud: 114)
Ada hadits dari Mu’adz yang menyatakan bahwa ada orang
yang ayat ini turun karenanya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
perintahkan dia untuk wudhu dan shalat. (HR. Tirmidzi, no. 3113. Al-Hafizh Abu
Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif).
Para ulama berselisih pendapat apakah amalan shalih bisa
menghapuskan dosa besar (al-kabair) dan dosa kecil (ash-shaghair) sekaligus
atau amalan shalih hanya menghapuskan dosa kecil saja.
Yang jelas jika itu dosa besar, maka menghapusnya mesti
dengan taubat. Karena Allah perintahkan untuk bertaubat kalau tidak masih
berstatus orang yang zalim. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ
“Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat: 11). Yang menjadi pendapat jumhur
ulama, dosa besar hanya bisa dihapus dengan taubat.
Jadi amalan shalih seperti amalan wajib hanya khusus
menghapus dosa kecil saja. Dari Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ
وَوَلَدِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ وَالصَّدَقَةُ وَالْأَمْرُ
بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ
“Keluarga, harta, dan anak dapat menjerumuskan seseorang
dalam maksiat (fitnah). Namun fitnah itu akan terhapus dengan shalat, shaum,
shadaqah, amr ma’ruf (mengajak pada kebaikan) dan nahi mungkar (melarang dari
kemungkaran).” (HR. Bukhari, no. 525 dan Muslim, no. 144).
Kata Ibnu Baththol, hadits ini semakna dengan firman
Allah Ta’ala,
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ
فِتْنَةٌ ۚوَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Ath-Taghabun: 15)
(Lihat Syarh Al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 3:194, Asy-Syamilah)
Ketiga: Akhlak mulia
Ibnu Rajab mengatakan bahwa berakhlak yang baik termasuk
bagian dari takwa. Akhlak disebutkan secara bersendirian karena ingin
ditunjukkan pentingnya akhlak. Sebab banyak yang menyangka bahwa takwa hanyalah
menunaikan hak Allah tanpa memperhatikan hak sesama. (Jami’ Al-‘Ulum wa
Al-Hikam, 1:454).
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan
akhlak yang baik sebagai tanda kesempurnaan iman. Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا
أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang
paling baik akhlaknya.” (HR. Abu Daud, no. 4682 dan Ibnu Majah, no. 1162.
Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Akhlak yang baik (husnul khuluq) ditafsirkan oleh para
salaf dengan menyebutkan beberapa contoh.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan,
حُسْنُ الخُلُقِ : الكَرَمُ وَالبَذْلَةُ
وَالاِحْتِمَالُ
“Akhlak yang baik adalah ramah, dermawan, dan bisa
menahan amarah.”
Asy-Sya’bi berkata bahwa akhlak yang baik adalah,
البَذْلَةُ وَالعَطِيَّةُ وَالبِشرُ الحَسَنُ
، وَكَانَ الشَّعْبِي كَذَلِكَ
“Bersikap dermawan, suka memberi, dan memberi kegembiraan
pada orang lain.” Demikianlah Asy-Sya’bi, ia gemar melakukan hal itu.
Ibnul Mubarak mengatakan bahwa akhlak yang baik adalah,
هُوَ بَسْطُ الوَجْهِ ، وَبَذْلُ المَعْرُوْفِ
، وَكَفُّ الأَذَى
“Bermuka manis, gemar melakukan kebaikan, dan menahan
diri dari menyakiti orang lain.”
Imam Ahmad berkata,
حُسْنُ الخُلُقِ أَنْ لاَ تَغْضَبَ وَلاَ
تَحْتَدَّ ، وَعَنْهُ أنَّهُ قَالَ : حُسْنُ الخُلُقِ أَنْ تَحْتَمِلَ مَا
يَكُوْنُ مِنَ النَّاسِ
“Akhlak yang baik adalah tidak mudah marah dan cepat naik
darah.” Beliau juga berkata, “Berakhlak yang baik adalah bisa menahan amarah di
hadapan manusia.”
Ishaq bin Rohuwyah berkata tentang akhlak yang baik,
هُوَ بَسْطُ الوَجْهِ ، وَأَنْ لاَ تَغْضَبَ
“Bermuka manis dan tidak marah.” (Lihat Jaami’ Al-‘Ulum
wa Al-Hikam, 1:457-458)
Baca juga: Khutbah Jumat; Mengevaluasi Kualitas Sholat Di Bulan Rajab