Allah Ta’ala berfirman,
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا
إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra’: 23)
Dalam beberapa ayat, Allah selalu menggandengkan amalan
berbakti pada orang tua dengan mentauhidkan-Nya dan larangan berbuat syirik. Di
antaranya disebutkan dalam ayat,
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ
عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas
kamu oleh Rabbmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa.” (QS. Al-An’am: 151)
Allah mengingatkan bagaimanakah jasa orang tua terutama
ibu dalam membesarkan kita,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ
إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ
وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ
أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي
أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ
وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik
kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan
melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya
adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai
empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri
ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan
supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan
kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku
bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah
diri”.” (QS. Al-Ahqaf: 15)
Manfaat Berbakti kepada Kedua Orang Tua
1- Jalan mudah menuju surga
Dari Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ
فَإِنْ شِئْتَ فَأَضِعْ ذَلِكَ الْبَابَ أَوِ احْفَظْهُ
“Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa
sia-siakan pintu itu atau kalian bisa menjaganya.” (HR. Tirmidzi, no. 1900;
Ibnu Majah, no. 3663 dan Ahmad 6:445. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa
hadits ini hasan.)
Dari Humaid, ia menyatakan, ketika ibunya Iyas bin
Mu’awiyah itu meninggal dunia, Iyas menangis. Ada yang bertanya padanya,
“Kenapa engkau menangis?” Ia menjawab,
كَانَ لِي بَابَانِ مَفْتُوْحَانِ إِلَى
الجَنَّةِ وَأُغْلِقَ أَحَدُهُمَا
“Dahulu aku memiliki dua pintu yang terbuka menuju surga.
Namun sekarang salah satunya telah tertutup.” (Al-Birr li Ibnil Jauzi, hlm. 56.
Dinukil dari Kitab Min Akhbar As-Salaf Ash-Shalih, hlm. 398)
2- Dipanjangkan umur dan diberkahi rezeki
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ
وَأَنْ يُزَادَ لَهُ فِي رِزْقِهِ فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang suka untuk dipanjangkan umurnya dan
ditambahkan rezekinya, maka berbaktilah kepada kedua orang tuanya dan jalinlah
hubungan dengan kerabatnya (silaturahim).” (HR. Ahmad, 3:229; 3:266. Syaikh
Syu’aib Al-Arnauth menyatakan bahwa hadits ini shahih, sanad hadits ini hasan
dari jalur Maimun bin Sayah dan di bawahnya tsiqah.)
3- Mendapatkan doa baik orang tua
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ لاَ شَكَّ
فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ
لِوَلَدِهِ
“Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi yaitu
doa orang yang dizalimi, doa orang yang bepergian (safar) dan doa baik orang
tua kepada anaknya.” (HR. Ibnu Majah, no. 3862. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan
bahwa hadits ini hasan.)
Dosa Durhaka kepada Orang Tua
Abu Bakrah berkata,
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلاَ
أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ؟) ثَلاَثًا، قَالُوْا : بَلىَ يَا
رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : ( الإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ )
وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا ( أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْرُ ) مَا زَالَ يُكَرِّرُهَا
حَتىَّ قُلْتُ لَيْتَهُ سَكَتَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apakah kalian mau kuberitahu mengenai dosa yang paling besar?” Para sahabat
menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.” Beliau lalu bersabda, “(Dosa terbesar
adalah) mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Beliau
mengucapkan hal itu sambil duduk bertelekan pada tangannya. (Tiba-tiba beliau
menegakkan duduknya dan berkata), “Dan juga ucapan (sumpah) palsu.” Beliau
mengulang-ulang perkataan itu sampai saya berkata (dalam hati), “Duhai,
seandainya beliau diam.” (HR. Bukhari, no. 2654 dan Muslim, no. 87)
Abu Bakrah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ
لِصَاحِبِهِ الْعُقُوْبَةَ مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ مِنَ الْبَغِى وَقَطِيْعَةِ
الرَّحِمِ
”Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan
balasannya bagi para pelakunya [di dunia ini] -berikut dosa yang disimpan
untuknya [diakhirat]- daripada perbuatan melampaui batas (kezhaliman) dan
memutus silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat).” (HR. Abu Daud, no. 4902;
Tirmidzi, no. 2511; Ibnu Majah, no. 4211. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa
sanad hadits ini shahih.)
Bagaimana Cara Membahagiakan Orang Tua?
Pertama: Menuruti perintah keduanya.
Dari Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ وَ
سَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka
Allah tergantung pada murka orang tua.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad,
no. 2. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan jika sampai kepada
sahabat [baca: mawquf], namun shahih jika sampai kepada Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam [baca: marfu’]. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no.
516.)
‘Atha’ pernah ditanya oleh seseorang yang ibunya meminta
kepadanya untuk shalat wajib dan puasa Ramadhan saja (tidak ada amalan sunnah,
pen.), apakah perlu dituruti. ‘Atha’ mengatakan, “Iya tetap dituruti
perintahnya tersebut.” (Al-Birr li Ibnil Jauzi, hlm. 67. Dinukil dari Kitab Min
Akhbar As-Salaf Ash-Shalih, hlm. 398)
Usamah bin Zaid, seorang sahabat yang dirinya dan orang
tuanya disayangi oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa ia
memiliki seribu pohon kurma. Ia memang sengaja mempercantik atau merapikannya.
Lalu ada yang berkata pada Usamah, kenapa bisa sampai lakukan seperti itu.
Usamah menjawab bahwa ibunya sangat suka jika melihat keadaan kebun kurma itu
indah, maka ia melakukannya. Apa saja hal dunia yang diminta oleh ibunya, ia
pasti memenuhinya. (Al-Birr li Ibnil
Jauzi, hlm. 225. Dinukil dari Kitab Min Akhbar As-Salaf Ash-Shalih, hlm. 396)
Catatan: Namun ingat bukan taat dalam bermaksiat.
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا
الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam melakukan maksiat. Sesungguhnya
ketaatan hanya dalam melakukan kebajikan.” (HR. Bukhari, no. 7257 dan Muslim,
no. 1840)
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِى مَعْصِيَةِ
اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat pada
Allah ‘azza wa jalla.” (HR. Ahmad, 1: 131. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan
bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)
Perintah orang tua tetap diikuti selama bukan perintah
bermaksiat sebagaimana disebutkan dalam hadits,
أَطِعْ أَبَاكَ مَا دَامَ حَيًّا وَلاَ
تَعْصِهِ
“Taatilah ayahmu selama dia hidup dan selama tidak
diperintahkan untuk bermaksiat.” (HR. Ahmad, 2:164. Syu’aib Al-Arnauth
menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan.)
Kedua: Tidak menyakiti hati orang tua.
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan bahwa ‘uququl
walidain (durhaka kepada orang tua) adalah segala bentuk menyakiti keduanya.
Taat kepada orang tua itu wajib dalam segala hal selain pada perkara maksiat.
Menyelisihi perintah keduanya juga termasuk durhaka. Lihat Syarh Shahih Muslim,
2:77.
’Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ’anhuma berkata,
إِبْكَاءُ الوَالِدَيْنِ مِنَ العُقُوْقِ
”Membuat orang tua menangis termasuk bentuk durhaka pada
orang tua.” (Birr Al-Walidain, hlm. 8, Ibnul Jauziy)
Dari Thaisalah bin Mayyas , ia berkata,
كُنْتُ مَعَ النَّجَدَاتِ ، فَأَصَبْتُ
ذَنُوْبًا لاَ أَرَاهَا إِلاَّ مِنَ الْكَبَائِرِ، فَذَكَرْتُ ذَالِكَ ِلابْنِ
عُمَرَ. قاَلَ: مَا هِىَ؟ قلُتْ:ُ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: لَيْسَتْ هَذِهِ مِنَ
الْكَبَائِرِ، هُنَّ تِسْعٌ: اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَقَتْلُ نِسْمَةٍ،
وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَةِ، وَأَكْلُ الرِّبَا،
وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَإِلْحَادُ فِي الْمَسْجِدِ، وَالَّذِيْ
يَسْتَسْخِرُ ، وَبُكَاءُ الْوَالِدَيْنِ مِنَ الْعُقُوْقِ، قاَلَ: لِي ابْنُ
عُمَرَ: أَتَفَرَّقُ النَّارَ ، وَتُحِبُّ أَنْ تَدْخُلَ الْجَنَّةَ؟ قُلْتُ:
إِيْ، وَاللهِ! قَالَ: أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟ قُلْتُ: عِنْدِيْ أُمِّىْ. قَالَ:
فَوَاللهِ! لَوْ أَلَنْتَ لَهَا الْكَلاَمَ، وَأَطْعَمْتَهَا الطَّعَامَ،
لَتَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ مَا اجْتَنَبْتَ الْكَبَائِرَ.
“Ketika tinggal bersama An-Najdaat, saya melakukan
perbuatan dosa yang saya anggap termasuk dosa besar. Kemudian saya ceritakan
hal itu kepada ‘Abdullah bin ‘Umar. Beliau lalu bertanya, ”Perbuatan apa yang
telah engkau lakukan?” ”Saya pun menceritakan perbuatan itu.” Beliau menjawab,
“Hal itu tidaklah termasuk dosa besar. Dosa besar itu ada sembilan, yaitu
mempersekutukan Allah, membunuh orang, lari dari pertempuran, memfitnah seorang
wanita mukminah (dengan tuduhan berzina), memakan riba’, memakan harta anak
yatim, berbuat maksiat di dalam masjid, menghina, dan menyebabkan tangisnya kedua
orang tua karena durhaka kepada keduanya.” Ibnu Umar lalu bertanya, “Apakah
engkau takut masuk neraka dan ingin masuk surga?” ”Ya, saya ingin”, jawabku.
Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” “Saya masih memiliki
seorang ibu”, jawabku. Beliau berkata, “Demi Allah, sekiranya engkau berlemah
lembut dalam bertutur kepadanya dan memasakkan makanan baginya, sungguh engkau
akan masuk surga selama engkau menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Bukhari dalam
Adabul Mufrod no. 8, shahih. Lihat Ash-Shahihah, 2898.)
Ketiga: Berakhlak mulia di hadapan keduanya.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma,
ia berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه
وسلم- يَسْتَأْذِنُهُ فِى الْجِهَادِ فَقَالَ « أَحَىٌّ وَالِدَاكَ ». قَالَ
نَعَمْ. قَالَ « فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ »
“Ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, ia ingin meminta izin untuk berjihad. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas bertanya, ‘Apakah kedua orang tuamu masih hidup?’ Ia jawab, ‘Iya
masih.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, ‘Berjihadlah dengan
berbakti kepada keduanya.’” (HR. Muslim, no. 2549)
Dalam riwayat Muslim lainnya disebutkan,
فَارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ
صُحْبَتَهُمَا
“Kembalilah kepada kedua orang tuamu, berbuat baiklah
kepada keduanya.” (HR. Muslim, no. 2549)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan bahwa ini semua
adalah dalil agungnya keutamaan berbakti kepada kedua orang tua. Berbakti
kepada kedua orang tua lebih utama dibandingkan jihad. Ini jadi
dalil—sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah¬—bahwa tidak boleh seseorang
pergi berjihad kecuali setelah mendapatkan izin keduanya jika keduanya muslim
atau salah satunya muslim. Sedangkan jika kedua orang tuanya musyrik, menurut
ulama Syafi’i tidak disyaratkan untuk meminta izin. Demikian penjelasan dalam
Syarh Shahih Muslim, 16:95.
Dari Urwah atau selainnya, ia menceritakan bahwa Abu
Hurairah pernah melihat dua orang. Lalu beliau berkata kepada salah satunya,
مَا هَذَا مِنْكَ ؟ فَقَالَ: أَبِي. فَقالَ: ”
لاَ تُسَمِّهِ بِاسْمِهِ، وَلاَ تَمْشِ أَمَامَهُ، وَلاَ تَجْلِسْ قَبْلَهُ
“Apa hubungan dia denganmu?” Orang itu menjawab, ”Dia
ayahku.” Abu Hurairah lalu berkata, “Janganlah engkau memanggil ayahmu dengan
namanya saja, janganlah berjalan di hadapannya dan janganlah duduk sebelum ia
duduk.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod, no. 44. Syaikh Al-Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih secara sanad.)
Keempat: Mendahulukan perintah keduanya dari perkara
sunnah.
Sebagaimana pelajaran mengenai hal ini terdapat dalam
kisah Juraij yang didoakan jelek oleh ibunya karena lebih mendahulukan shalat
sunnahnya dibanding panggilan ibunya yang memanggilnya tiga kali.
Kelima:
Membahagiakannya keduanya ketika mereka telah tiada.
Dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idi, ia berkata,
بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- إِذَا جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلِمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ هَلْ بَقِىَ مِنْ بِرِّ أَبَوَىَّ شَىْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ
مَوْتِهِمَا قَالَ « نَعَمِ الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا وَالاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا
وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِى لاَ تُوصَلُ
إِلاَّ بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا ».
“Suatu saat kami pernah berada di sisi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu datang seseorang dari Bani Salimah,
ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua
orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Iya (masih tetap ada bentuk berbakti pada keduanya, pen.).
(Bentuknya adalah) mendoakan keduanya, meminta ampun untuk keduanya, memenuhi
janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim
(kekerabatan) dengan keluarga kedua orang tua yang tidak pernah terjalin dan
memuliakan teman dekat keduanya.” (HR. Abu Daud, no. 5142 dan Ibnu Majah, no.
3664. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim, juga disetujui oleh
Imam Adz-Dzahabi. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini
hasan.)
Baca juga: Khutbah Jumat; PENTINGNYA SISTEM PENDIDIKAN ISLAM