Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari Al-Badri
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda, ‘Sesungguhnya di antara perkataan kenabian terdahulu yang
diketahui manusia ialah jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!’”
(HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 3484, 6120]
Penilaian Hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari riwayat
Manshur bin Al-Mu’tamar dari Rib’iy bin Hirasy dari Abu Mas’ud dari Hudzaifah
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ada perbedaan dalam sanad hadits
ini. Namun, sebagian besar ahli hadits mengatakan bahwa ini adalah perkataan
Abu Mas’ud. Yang mengatakan demikian adalah Al-Bukhari, Abu Zur’ah, Ar-Raziy,
Ad-Daruquthniy, dan lain-lain. Yang menunjukkan kebenaran hal ini adalah bahwa
telah diriwayatkan dengan jalan lain, dari Abu Mas’ud pada riwayat Masruq.
Dikeluarkan pula oleh Ath-Thabraniy dari hadits Abu Ath-Thufail dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga. Lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:496.
Faedah Hadits
Pertama: Sifat malu adalah warisan para nabi terdahulu.
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan mengenai
perkataan dalam hadits tersebut “Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh
orang-orang dari perkataan nabi-nabi terdahulu.”
“Hadits ini menunjukkan bahwa sifat malu adalah sisa
(atsar) dari ajaran Nabi terdahulu. Kemudian manusia menyebarkan dan mewariskan
dari para Nabi tersebut pada setiap zaman. Maka hal ini menunjukkan bahwa
kenabian terdahulu biasa menyampaikan perkataan ini sehingga tersebarlah di
antara orang-orang hingga perkataan ini juga akhirnya sampai pada umat Islam.”
(Jami’ Al-‘ulum wa Al-Hikam, 1:497)
Yang dimaksudkan dengan (النُّبُوَّةِ الأُوْلَى) adalah kenabian terdahulu yaitu (mulai
dari) awal Rasul dan Nabi: Nuh, Ibrahim dan lain-lain. Lihat Syarh Al-Arba’in
An-Nawawiyyah karya Syaikh Shalih Alu Syaikh, hlm. 112.
Perkataan umat terdahulu bisa saja dinukil melalui jalan
wahyu yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah (hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) atau
dinukil dari perkataan orang-orang terdahulu. Lihat Syarh Al-Arba’in
An-Nawawiyyah karya Syaikh Shalih Alu Syaikh, hlm. 207.
Karena hal ini adalah perkataan Nabi terdahulu maka hal
ini menunjukkan bahwa perkataan ini memiliki faedah yang besar sehingga sangat
penting sekali untuk diperhatikan.
Kedua: Ada pelajaran penting yang patut dipahami. Syariat
sebelum Islam atau syariat yang dibawa oleh nabi sebelum Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi menjadi tiga:
1. Ajaran yang dibenarkan oleh syariat Islam,
maka ajaran ini shahih dan diterima.
2. Ajaran yang dibatalkan oleh syariat Islam,
maka ajaran ini bathil dan tertolak.
3. Ajaran yang tidak diketahui dibenarkan atau
disalahkan oleh syariat Islam, maka sikap kita adalah tawaqquf (berdiam diri,
tidak berkomentar apa-apa). Namun, apabila perkataan semacam ini ingin
disampaikan kepada manusia dalam rangka sebagai nasihat dan semacamnya maka hal
ini tidaklah mengapa, dengan syarat tidak dianggap bahwa perkataan itu multak
benar. (Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin, hlm. 231-232)
Keterangan lainnya diberikan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir
bin ‘Abdil ‘Aziz Asy-Syatsri bahwa syar’un man qablanaa (syariat sebelum kita)
ada dua macam:
Pertama: Syariat yang disebutkan oleh umat
sebelum kita, semisal ini tidak dijadikan hukum karena tidak terpercayanya
pembawa berita.
Kedua:
Syariat yang disebutkan oleh syariat kita dalam AL QURAN dan As-Sunnah, hal ini dibagi tiga:
1. Jika dihapus oleh syariat kita, maka tidak
bisa dijadikan hukum. Seperti disebutkan dalam hadits bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dihalalkan ghanimah (harta rampasan perang) dan tidak
dihalalkan pada orang sebelum nabi.
2. Jika disetujui oleh syariat kita, maka
dijadikan hukum. Seperti syariat puasa diwajibkan bagi kita sebagaimana
diwajibkan pula pada orang sebelum kita.
3. Jika tidak diketahui dihapus oleh syariat kita
ataukah disetujui, inilah yang terjadi perselisihan pendapat di antara para
ulama. Madzhab Malikiyah dan Hambali menyatakan bisa dijadikan hukum, hal ini
berbeda dengan madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyah. Lihat Syarh Al-Arba’in
An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 153.
Ketiga: Rasa malu merupakan bentuk
keimanan. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
”Malu merupakan bagian dari keimanan.” (HR. Muslim, no.
161)
Rasa malu ini juga dipuji oleh Allah.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِىٌّ سِتِّيرٌ
يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ
”Sesungguhnya Allah itu Mahamalu dan Maha Menutupi, Allah
cinta kepada sifat malu dan tertutup, maka jika salah seorang di antara kalian
itu mandi maka hendaklah menutupi diri.” (HR. Abu Daud, no. 4014, dikatakan
shahih oleh Syaikh Al-Albani).
Keempat: Malu ada dua macam yang berkaitan
dengan hak Allah dan berkaitan dengan hak sesama.
Pertama, malu yang berkaitan dengan hak Allah. Seseorang
harus memiliki rasa malu ini, dia harus mengetahui bahwa Allah mengetahui dan
melihat setiap perbuatan yang dia lakukan, baik larangan yang diterjangnya
maupun perintah yang dilakukannya.
Kedua, malu yang berkaitan dengan hak manusia. Seseorang
juga harus memiliki rasa malu ini, agar ketika berinteraksi dengan sesama, ia
tidak berperilaku yang tidak pantas (menyelisihi al-muru’ah) dan berakhlak
jelek.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memberi contoh, dalam
majelis ilmu, jika seseorang berada di shaf pertama, lalu dia menjulurkan
kakinya, maka dia dinilai tidak memiliki rasa malu karena dia tidak menjaga
al-muru’ah (kewibawaan). Jika dia duduk di antara teman-temannya, kemudian dia
menjulurkan kaki, maka ini tidaklah meniadakan al-muru’ah. Namun, lebih baik
lagi jika dia meminta izin pada temannya, “Bolehkah saya menjulurkan kaki?”.
(Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin, hlm. 233-234).
Kelima: Malu juga ada yang merupakan
bawaan, dan ada malu yang mesti diusahakan.
Sebagian manusia telah diberi kelebihan oleh Allah Ta’ala
rasa malu. Ketika dia masih kecil saja sudah memiliki sifat demikian. Dia malu
berbicara kecuali jika ada urusan mendesak atau tidak mau melakukan sesuatu
kecuali jika terpaksa, karena dia adalah pemalu.
Sedangkan malu jenis kedua adalah malu karena hasil
dilatih. Orang seperti ini biasa cekatan dalam berbicara, berbuat. Kemudian ia
berteman dengan orang-orang yang memiliki sifat malu dan dia tertular sifat ini
dari mereka. Rasa malu yang pertama di atas lebih utama dari yang kedua ini.
(Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin, hlm. 234)
Bagaimana memupuk sifat malu?
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jami’ Al-‘Ulum
wa Al-Hikam menerangkan bahwa malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari
mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah
tingkatan iman yang paling tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi.
Sifat malu bisa muncul pula dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya
dan melihat kekurangan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Jika rasa malu
yang diusahakan ini pun tidak bisa diraih, maka seseorang tidak akan bisa
tercegah dari melakukan keharaman, seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu
a’lam.
Hal yang sama juga diterangkan oleh Syaikh Sa’ad bin
Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm.
155-156.
Keenam: Perlu diketahui bahwa malu adalah
suatu akhlak yang terpuji kecuali jika rasa malu tersebut itu muncul karena
enggan melakukan kebaikan atau dapat terjatuh dalam keharaman. Maka jika
seseorang enggan untuk melakukan kebaikan seperti enggan untuk nahi mungkar
(melarang kemungkaran) padahal ketika itu wajib, maka ini adalah sifat malu
yang tercela.
Jadi ingat! Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang
memiliki sifat tersebut tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban atau
melakukan yang haram. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234.
Ketujuh: Jika tidak malu, lakukanlah
sesukamu.
Para ulama mengatakan bahwa perkataan ini ada dua makna :
Pertama:
Kalimat tersebut bermakna perintah dan perintah ini
bermakna mubah. Maknanya adalah jika perbuatan tersebut tidak membuatmu malu,
maka lakukanlah sesukamu. Maka makna pertama ini kembali pada perbuatan.
Kedua:
Kalimat tersebut bukanlah bermakna perintah. Para ulama
memiliki dua tinjauan dalam perkataan kedua ini:
1. Kalimat perintah tersebut bermakna ancaman. Jadi
maknanya adalah: Jika kamu tidak memiliki rasa malu, maka lakukanlah sesukamu
(ini maksudnya ancaman). Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
”Lakukanlah sesukamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa
yang kamu lakukan.” (QS. Fushilat: 40).
Maksud ayat ini bukanlah maksudnya agar kita melakukan
sesuka kita termasuk perkara maksiat. Namun, maksud ayat ini adalah ancaman:
Jika kamu tidak memiliki rasa malu, lakukanlah sesukamu. Pasti engkau akan
mendapatkan akibatnya.
2. Kalimat perintah tersebut bermakna berita. Jadi
maknanya adalah: Jika kamu tidak memiliki rasa malu, maka lakukanlah sesukamu.
Dan penghalangmu untuk melakukan kejelekan adalah rasa malu. Jadi bagi siapa
yang tidak memiliki rasa malu, maka dia akan terjerumus dalam kejelekan dan
kemungkaran. Dan yang menghalangi hal semacam ini adalah rasa malu. Kalimat semacam
ini juga terdapat dalam hadits Nabi yang mutawatir,
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja,
maka silakan ambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari, no. 110 dan
Muslim, no. 3).
Kalimat ini adalah perintah, namun bermakna khabar
(berita). Jadi jika tidak memiliki sifat malu, pasti engkau akan terjerumus
dalam kemungkaran. Itu maksud perintah di sini bermakna berita. (Lihat Tawdhih
Al-Ahkam, 4:794, Darul Atsar; Syarh Arba’in Syaikh Shalih Alu Syaikh, hlm. 113;
Syarh Arba’in Al-Utsaimin, hlm. 207; Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, hlm. 255)
Semoga Allah beri taufik agar kita dihiasi dengan rasa
malu.