Dari Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ
شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ
فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ
ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat baik terhadap
segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang
baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik.
Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan
disembelih.” (HR. Muslim) [HR. Muslim,
no. 1955, Bab “Perintah untuk berbuat baik ketika menyembelih dan membunuh dan
perintah untuk menajamkan pisau”]
Penjelasan
Ibnul ‘Atthar Asy-Syafi’i rahimahullah yang makruf dengan
sebutan Mukhtashar An-Nawawi—sebagaimana julukan ini disebut oleh Ibnu
Katsir—menyatakan tentang hadits Arba’in nomor urut 17 ini, bahwa hadits
tersebut termasuk hadits singkat namun sarat makna, juga berisi kaedah pokok
dalam agama ini. Hadits tersebut berisi perintah untuk berbuat baik pada diri
sendiri, juga pada setiap makhluk, sampai pada saat menyembelih dengan berbuat
baik pada hewan yang akan disembelih, dan perintah untuk menyenangkannya.
(Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Ibnul ‘Atthar, hlm. 112)
Yang dimaksud, membunuh dan menyembelih dengan cara yang
baik adalah dilihat dari sisi cara dan keadaan. Bentuk berbuat baik ketika
membunuh misalnya ketika melaksanakan eksekusi hukum qishash (hukum mati pada
pembunuh, pen.). Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 13:98.
Yang dimaksud menyenangkan hewan yang akan disembelih ada
beberapa bentuk yang dicontohkan oleh Imam Nawawi rahimahullah:
• Menajamkan pisau sehingga hewan cepat untuk
menyembelih.
• Dianjurkan tidak mengasah pisau di hadapan
hewan yang akan disembelih.
• Tidak boleh menyembelih hewan lantas
ditonton oleh hewan lainnya.
• Tidak boleh melewatkan hewan yang akan
disembelih di tempat penyembelihannya. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 13:98)
Salah satu yang dimaksudkan oleh Imam Nawawi rahimahullah
disebutkan dalam hadits berikut ini.
Dari Ibnu ’Abbas radhiyallaahu ’anhuma, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengamati seseorang yang meletakkan
kakinya di atas pipi (sisi) kambing dalam keadaan ia mengasah pisaunya,
sedangkan kambing itu memandang kepadanya. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata,
أَتُرِيْدُ أَنْ تَمِيْتَهَا مَوْتَات هَلاَ
حَدَدْتَ شَفْرَتَكَ قَبْلَ أَنْ تَضْجَعَهَا
“Apakah sebelum ini kamu hendak mematikannya dengan
beberapa kali kematian?! Hendaklah pisaumu diasah terlebih dahulu sebelum
engkau membaringkannya.” (HR. Al-Hakim, 4: 257, Al-Baihaqi, 9: 280, ‘Abdur
Razaq, no. 8608. Al-Hakim mengatakan
bahwa hadits ini adalah hadits shahih sesuai syarat Al-Bukhari. Adz-Dzahabi
dalam At-Talkhis mengatakan bahwa sesuai syarat Bukhari. Ibnu Hajar dalam
At-Talkhis Al-Habir, 4: 1493 mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan secara
mursal. Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib, no. 2265 mengatakan bahwa
hadits ini shahih.)
Faedah Hadits
1- Hadits ini menjelaskan bahwa Allah sangat menyayangi
hamba-Nya yaitu Allah menetapkan berbuat baik pada sesama. Contoh dalam hal ini
adalah memberi petunjuk jalan pada orang yang tersesat, juga memberi makan pada
orang yang butuh makan.
2- Hadits ini menunjukkan dorongan untuk berbuat ihsan
pada segala sesuatu.
3- Dalam membunuh atau menyembelih diperintahkan dengan
cara yang baik, yaitu dengan mengikuti tuntunan syari’at.
4- Dalam hadits ini digunakan kata kataba atau kitabah
yaitu menetapkan. Sedangkan kitabah itu dijelaskan oleh para ulama ada dua
macam yaitu kitabah qadariyyah dan kitabah syar’iyyah. Kitabah qadariyyah
adalah ketetapan yang pasti terjadi. Sedangkan kitabah syar’iyyah adalah
ketetapan yang kadang manusia kerjakan dan kadang tidak dikerjakan.
Contoh kitabah qadariyyah seperti dalam ayat,
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ
بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah
(Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu
yang saleh.” (QS. Al-Anbiya’: 105)
Contoh kitabah syar’iyyah seperti dalam ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
5- Wajib berbuat ihsan pada segala sesuatu dan bentuknya
bermacam-macam, bisa pada amalan seperti:
• Dalam hal yang wajib yaitu menjalankan
kewajiban secara sempurna sebagaimana yang dituntut. Sedangkan berbuat ihsan
dalam hal menyempurnakan yang sunnah tidaklah wajib.
• Meninggalkan yang haram.
• Sabar terhadap takdir yang tidak
menyenangkan, tanpa menggerutu atau mengeluh pada takdir.
• Berbuat baik dalam muamalah dengan manusia
lainnya.
• Berbuat baik ketika membunuh sesuatu yang
dibolehkan untuk dibunuh.
6- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memberikan
contoh dalam menjelaskan sesuatu. Dalam hadits ini disebutkan contoh ihsan
yaitu dalam hal menyembelih.
7- Bagaimana cara berbuat baik ketika menyembelih?
Caranya adalah dengan mengikuti tuntunan syari’at Islam saat menyembelih.
Aturan-aturan penting yang jadi syarat yang mesti
dipenuhi:
a- Yang menyembelih adalah seorang muslim atau ahli kitab
(Yahudi dan Nashrani). Oleh karena itu, tidak halal hasil sembelihan dari
seorang penyembah berhala, seorang yang murtad (keluar dari Islam) dan orang
Majusi. Begitu pula orang yang meninggalkan shalat tidak sah dalam menyembelih
qurban karena orang yang meninggalkan shalat bukan termasuk muslim, bukan pula
termasuk ahli kitab.
Sembelihan ahli kitab masih halal bagi seorang muslim
sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ
لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab
itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.” (QS. Al-Maidah:
5). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan lainnya menafsirkan bahwa yang
dimaksudkan makanan di sini adalah sembelihan mereka. (Tafsir AL QURAN Al-‘Azhim, 3:328)
Siapakah ahli kitab?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah
membawakan ayat berikut ini,
وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
“Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi
Al-Kitab.” (QS. Ali Imran: 20)
Lalu beliau menjelaskan, ayat ini ditujukan pada Ahli
Kitab di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal ajaran ahli kitab
yang hidup di zaman beliau sudah mengalami naskh wa tabdiil (penghapusan dan
penggantian). Maka ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menisbatkan
dirinya pada Yahudi dan Nashrani, merekalah ahli kitab. Ayat ini bukan khusus
membicarakan ahli kitab yang betul-betul berpegang teguh dengan Al-Kitab (tanpa
penghapusan dan penggantian). Begitu pula tidak ada beda antara anak Yahudi dan
Nashrani yang hidup setelah adanya penggantian Injil-Taurat di sana-sini dan
yang hidup sebelumnya. Jika setelah adanya perubahan Injil-Taurat di sana-sini,
anak Yahudi dan Nashrani disebut ahli kitab, begitu pula ketika anak Yahudi dan
Nashrani tersebut hidup sebelum adanya perubahan Taurat-Injil, mereka juga
disebut Ahli Kitab dan mereka kafir jika tidak mengimani Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Lihat Al-Iman karya Ibnu Taimiyah, hlm. 49.
b- Menggunakan alat pemotong, baik tajam atau tumpul
asalkan bisa memotong (mengalirkan darah), baik berbahan stainless, perak,
emas, tongkat atau kayu. Dalam hadits dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ
عَلَيْهِ ، فَكُلُوهُ ، لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفُرَ ، وَسَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ
ذَلِكَ ، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفُرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ
“Segala sesuatu yang mengalirkan darah dan disebut nama
Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan, asalkan yang digunakan
bukanlah gigi dan kuku. Aku akan memberitahukan pada kalian mengapa hal ini
dilarang. Adapun gigi, ia termasuk tulang (tulang tidak boleh digunakan untuk
menyembelih, -pen). Sedangkan kuku adalah alat penyembelihan yang dipakai
penduduk Habasyah.” (HR. Bukhari, no. 2488 dan lihat Fath Al-Bari, 15:447)
c- Yang dipotong adalah empat bagian yaitu dua urat
leher, saluran nafas, dan saluran makan. Namun kalau memotong dua urat leher
atau saluran nafas dan saluran makan saja, tetap sah dan halal, sebagaimana
penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Al-Arba’in, hlm. 214.
d- Menyebut nama Allah ketika menyembelih (membaca
bismillah). Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ
اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam
itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al-An’am: 121)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Ada suatu
kaum berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ada sekelompok orang
yang mendatangi kami dengan hasil sembelihan. Kami tidak tahu apakah sembelihan
itu disebut nama Allah ataukah tidak saat disembelih. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengatakan,
سَمُّوا عَلَيْهِ أَنْتُمْ وَكُلُوهُ
“Kalian hendaklah menyebut nama Allah dan makanlah daging
tersebut.” ’Aisyah berkata bahwa mereka sebenarnya baru saja masuk Islam.” (HR.
Bukhari, no. 5507)
8- Wajib menajamkan pisau atau alat pemotong ketika
menyembelih.
9- Wajib menyenangkan hewan yang akan disembelih, caranya
adalah dengan mempercepat cara menyembelih.
Di antara adab-adab yang bisa dipenuhi saat menyembelih
qurban adalah sebagai berikut.
a- Membaringkan hewan di sisi sebelah kiri, memegang
pisau dengan tangan kanan, dan menahan kepala hewan ketika menyembelih. Hal ini
berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِى سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِى سَوَادٍ وَيَنْظُرُ
فِى سَوَادٍ فَأُتِىَ بِهِ لِيُضَحِّىَ بِهِ فَقَالَ لَهَا « يَا عَائِشَةُ
هَلُمِّى الْمُدْيَةَ ».ثُمَّ قَالَ « اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ ». فَفَعَلَتْ ثُمَّ
أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ « بِاسْمِ
اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ
مُحَمَّدٍ ». ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta
diambilkan seekor kambing kibasy (domba jantan, gibas). Beliau berjalan dan
berdiri serta melepas pandangannya di tengah orang banyak. Kemudian beliau
dibawakan seekor kambing kibasy untuk beliau buat qurban. Beliau berkata kepada
‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, bawakan kepadaku pisau.” Beliau melanjutkan, “Asahlah
pisau itu dengan batu.” ‘Aisyah pun mengasahnya. Lalu beliau membaringkan
kambing itu, kemudian beliau bersiap menyembelihnya, lalu mengucapkan,
“Bismillah. Ya Allah, terimalah qurban ini dari Muhammad, keluarga Muhammad,
dan umat Muhammad.” Kemudian beliau menyembelihnya. (HR. Muslim, no. 1967)
b- Meletakkan kaki di sisi leher hewan. Hal ini
berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,
ضَحَّى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم –
بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ ، فَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا
يُسَمِّى وَيُكَبِّرُ ، فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ
“Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam berqurban dengan dua
ekor kambing kibasy (gibas) putih. Aku melihat beliau menginjak kakinya di
pangkal leher dua kambing itu. Lalu beliau membaca bismillah dan bertakbir,
kemudian beliau menyembelih keduanya.” (HR. Bukhari, no. 5558)
c- Menghadapkan hewan ke arah kiblat. Dari Nafi’
rahimahullah, ia berkata,
أَنَّ اِبْنَ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ أَنْ
يَأْكُلَ ذَبِيْحَةَ ذَبْحِهِ لِغَيْرِ القِبْلَةِ
“Sesungguhnya Ibnu Umar tidak suka memakan daging hewan
yang disembelih dengan tidak menghadap kiblat.” (HR. ‘Abdur Razaq, no. 8585
dengan sanad yang shahih)
Semoga bermanfaat.
Baca juga: Khutbah Jumat: Mempersiapkan Diri Menyambut Idul Fitri