وَعَنْ اَلنَوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ – رضي الله
عنه – قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ اَلْبِرِّ
وَالْإِثْمِ? فَقَالَ: – اَلْبِرُّ: حُسْنُ اَلْخُلُقِ, وَالْإِثْمُ: مَا حَاكَ
فِي صَدْرِكَ, وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ اَلنَّاسُ – أَخْرَجَهُ
مُسْلِمٌ
Dari An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang al-birr
(kebaikan) dan al-itsm (dosa).” Beliau menjawab, “Al-birr adalah husnul khuluq
(akhlak yang baik). Sedangkan al-itsm adalah apa yang menggelisahkan dalam
dadamu. Engkau tidak suka jika hal itu nampak di hadapan orang lain.” (HR.
Muslim) [HR. Muslim, no. 2553)
Takhrij Hadits
Hadits ini dari An-Nawwas bin Sim’an, ada yang menyebut
pula dengan As-Sam’an. Namun yang lebih masyhur adalah As-Sim’an. Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Al-Birr wa Ash-Shilahwa Al-Adab, Bab
Tafsir Al-Birr wa Al-Itsm (2553), dari jalur Mu’awiyah bin Shalih, dari
‘Abdurrahman bin Jubair bin Nufair, dari bapaknya, dari An-Nawwas bin Sim’an
Al-Anshari.
Yang tepat bukan Al-Anshari, namun Al-Kilabi, itulah yang
lebih masyhur.
Di dalam manuskrip Bulughul Maram disebut An-Nawwas bin
Sim’an radhiyallahu ‘anhu, yang tepat adalah radhiyallahu ‘anhuma karena bapaknya
juga termasuk sahabat.
Faedah Hadits
1. Kata para ulama, al-birr bisa bermakna
silaturahim (menjalin hubungan dengan kerabat). Kadang juga bisa bermakna cara
bergaul yang baik. Juga al-birr bisa bermakna ketaatan. Semua ini termasuk
bagian dari husnul khuluq (akhlak yang mulia). Demikian penjelasan Imam Nawawi
dalam Syarh Shahih Muslim, 16:101.
2. Akhlak yang mulia adalah bentuk kebaikan
yang paling utama.
3. Akhlak yang mulia (husnul khulq) adalah
berakhlak dengan akhlak yang sesuai syari’at dan beradab dengan adab yang
diajarkan oleh Allah kepada hamba-Nya.
4. Al-birr (kebaikan) dimutlakkan untuk
setiap perbuatan ketaatan yang lahir maupun yang batin. Ibnu Taimiyyah dalam
Majmu’ah Al-Fatawa (7:165) menyebutkan bahwa al-birr adalah segala bentuk perintah
Allah.
5. Al-birr juga bisa dimaknakan dengan lawan
dari ‘uquq (durhaka). Sehingga ada istilah birul walidain, berbuat baik kepada
kedua orang tua. Al-birr dalam istilah bermakna berbuat baik dan menyambung
hubungan dengan kedua orang tua.
6. Al-birr juga kadang dikaitkan dengan
takwa. Pada saat ini, al-birr berarti menjalankan konsekuensi keimanan dan
berakhlak mulia. Sedangkan takwa berarti menjauhi segala yang Allah larang
berupa kekufuran, kefasikan, dan maksiat.
7. Husnul khuluq (berakhlak baik) bisa jadi
kepada manusia dan bisa jadi kepada Allah. Berakhlak kepada Allah mencakup
menjalankan kewajiban, menjalankan hal sunnah, meninggalkan keharaman, juga
meninggalkan yang makruh.
8. Itsm atau dosa yang dimaksud dalam hadits
adalah semua dosa.
9. Yang dimaksud engkau tidak suka jika dosa
itu nampak di sisi manusia. Manusia yang dimaksudkan di sini adalah orang
berilmu dan paham agama. Kalau yang melihatnya sama-sama juga ahli maksiat,
maka tidak akan punya rasa seperti itu.
10. Hadits ini menunjukkan dorongan untuk
berakhlak mulia.
11. Dari hadits, dosa itu punya dua tanda: (1)
tanda internal, yaitu jiwa merasa tidak tenang ketika melakukannya; (2) tanda
eksternal, yaitu tidak senang dilihat oleh orang lain dan takut mendapatkan
celaan mereka.
12. Orang yang punya fitrah yang baik, malu
untuk berbuat dosa dan malu untuk menampakkannya.
Keutamaan Silaturahim
Ibnu Hajar dalam Al-Fath menjelaskan, “Silaturahim
dimaksudkan untuk kerabat, yaitu yang punya hubungan nasab, baik saling
mewarisi ataukah tidak, begitu pula masih ada hubungan mahrom ataukah tidak.”
Dari Abu Ayyub Al-Anshari, Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah ditanya tentang amalan yang dapat memasukkan ke dalam surga,
lantas Rasul menjawab,
تَعْبُدُ اللَّهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ،
وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ
“Sembahlah Allah, janganlah berbuat syirik kepada-Nya,
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan jalinlah tali silaturahim (dengan
orang tua dan kerabat).” (HR. Bukhari, no. 5983)
Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ
اللَّهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا – مَعَ مَا يَدَّخِرُ
لَهُ فِى الآخِرَةِ – مِثْلُ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan
balasannya bagi para pelakunya [di dunia ini] -berikut dosa yang disimpan
untuknya [di akhirat]- daripada perbuatan melampaui batas (kezhaliman) dan
memutus silaturahim (dengan orang tua dan kerabat).” (HR. Abu Daud, no. 4902;
Tirmidzi, no. 2511; dan Ibnu Majah, no. 4211, shahih)
Abdullah bin ’Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma
berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ ، وَلَكِنِ
الْوَاصِلُ الَّذِى إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Seorang yang menyambung silahturahmi bukanlah seorang
yang membalas kebaikan seorang dengan kebaikan semisal. Akan tetapi seorang
yang menyambung silahturahmi adalah orang yang berusaha kembali menyambung
silaturahim setelah sebelumnya diputuskan oleh pihak lain.” (HR. Bukhari, no.
5991)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seorang pria
mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdan berkata, “Wahai
Rasulullah, saya punya keluarga yang jika saya berusaha menyambung silaturahim
dengan mereka, mereka berusaha memutuskannya, dan jika saya berbuat baik kepada
mereka, mereka balik berbuat jelek kepadaku, dan mereka bersikap acuh tak acuh
padahal saya bermurah hati kepada mereka”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallammenjawab, “Kalau memang halnya seperti yang engkau katakan, (maka)
seolah- olah engkau memberi mereka makan dengan bara api dan pertolongan Allah
akan senantiasa mengiringimu selama keadaanmu seperti itu.” (HR.
Muslim, no. 2558)
Abdurrahman bin ‘Auf berkata bahwa dia mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنا الرَّحْمنُ،
وَأَنا خَلَقْتُ الرَّحِمَ، وَاشْتَقَقْتُ لَهَا مِنِ اسْمِي، فَمَنْ وَصَلَهَا
وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَهَا بتَتُّهُ
“Allah ’azza wa jallaberfirman: Aku adalah Ar Rahman. Aku
menciptakan rahim dan Aku mengambilnya dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya,
niscaya Aku akan menjaga haknya. Dan siapa yang memutusnya, niscaya Aku akan
memutus dirinya.” (HR. Ahmad, 1:194, shahih lighoirihi).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ
، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang suka dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan
umurnya hendaklah dia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari, no. 5985 dan
Muslim, no. 2557)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ،
نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ
“Siapa yang bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung
silaturahim niscaya umurnya akan diperpanjang dan hartanya akan diperbanyak
serta keluarganya akan mencintainya.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Al-Adab
Al-Mufrad, no. 58, hasan)
Wallahu waliyyut taufiq. Moga Allah memberi taufik dan
hidayah untuk berakhlak yang luhur.
Referensi:
Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan
pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm;
Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan
pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar
Ibnul Jauzi. 10:21-24.
Baca juga: Khutbah Jumat: Mengapa Pendidikan Itu Penting?