وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم: «لَا يُقِيمُ
الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ, ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ, وَلَكِنْ
تَفَسَّحُوا, وَتَوَسَّعُوا». مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seseorang duduk mengusir orang
lain dari tempat duduknya, kemudian ia duduk di tempat tersebut, namun
ucapkanlah berilah kelonggaran dan keluasan.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari,
no. 627 dan Muslim, no. 2177]
Takhrij Hadits
Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Al-Isti’dzan
(meminta izin), Bab Firman Allah,
إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي
الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا
“Berlapang-lapanglah dalam majlis, maka lapangkanlah.”
(QS. Al-Mujadilah: 11). Hadits ini dari jalur Nafi’, ‘Abdullah bin ‘Umar, dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambahwasanya beliau bersabda, “Tidaklah boleh
seseorang menyuruh seseorang berdiri dari tempat duduknya…”. Namun lafaz ini
adalah dari Muslim.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
لاَ يُقِيْمَنَّ أَحَدُكُمْ رَجُلاً مِنْ
مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ ، وَلكِنْ تَوَسَّعُوْا وَتَفَسَّحُوْا وَكَانَ
ابْنُ عُمَرَ إِذَا قَامَ لَهُ رَجُلٌ مِنْ مَجْلِسِهِ لَمْ يَجْلِسْ فِيهِ
“Janganlah seorang di antara kalian menyuruh berdiri
lainnya dari tempat duduknya kemudian ia sendiri duduk di situ. Tetapi
berikanlah keluasan tempat serta kelapangan (pada orang lain yang baru
datang).” Ibnu Umar apabila ada seorang yang berdiri dari tempat duduknya
karena menghormatinya, ia tidak suka duduk di tempat orang tadi itu. (HR.
Bukhari, no. 6270 dan Muslim, no. 2177)
Kosakata Hadits
“لَا يُقِيمُ”,
janganlah menyuruh orang itu berdiri. Huruf “لَا” di sini sebenarnya bermakna nafi yang artinya tidak. Dalam
riwayat Muslim disebutkan “laa yuqiimanna”, artinya janganlah seseorang
menyuruh berdiri dengan lafaz larangan dan nun taukid. Dalam lafaz Bukhari
digunakan kata “nahaa” yang artinya dilarang berarti dengan makna “janganlah”.
“تَفَسَّحُوا,
وَتَوَسَّعُوا”, maksudnya adalah lapangkanlah tempat supaya ada yang dapat
tempat untuk duduk serta merapatkan satu dan lainnya supaya ada yang bisa
mengambil tempat untuk duduk.
Faedah Hadits
1. Diharamkan menyuruh yang lain berdiri dari
tempat duduknya lalu ia sendiri duduk di situ.
2. Dianjurkan untuk memberikan keluasan ketika
duduk dalam majelis yaitu bentuknya bisa dengan menyuruh untuk melapangkan
tempat supaya yang lain bisa masuk duduk atau bisa pula menyuruh merapatkan
tempat duduk.
3. Hendaklah bisa mengajarkan pada yang lainnya
agar tidak perlu berdiri untuk mempersilakan yang lain yang baru datang untuk
duduk di tempatnya.
4. Kalau ada yang duduk lebih dahulu kemudian
dengan senang hati mempersilakan yang lain duduk di tempat duduknya, maka
asalnya masih dibolehkan. Perbuatan Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan di atas
menunjukkan sikap wara’ dari Ibnu ‘Umar. Sikap wara’ di sini disebabkan dua
hal:
(a)
Boleh jadi orang tersebut sungkan kepada Ibnu ‘Umar lalu ia bangkit berdiri
dengan perasaan tidak enak;
(b)
Mengutamakan orang lain dalam perkara perkara qurbah atau ibadah (disebut
itsar), hukumnya makruh. Oleh karena itu Ibnu ‘Umar tidak menduduki tempat
tersebut agar orang yang mempersilakan duduk di tempat tersebut tidak melakukan
perkara yang makruh atau khilaful awla’ (menyelisihi yang lebih utama). Dan
patut diingat bahwa mengutamakan orang lain adalah tindakan yang terpuji dalam
urusan dunia, bukan dalam urusan ibadah sebagaimana kata ulama Syafi’iyah. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 14:144)
5. Jika syariat ini diikuti, umat Islam akan
nampak saling mencintai, bukan saling menjauh dan membenci.
6. Di antara bentuk sikap tawadhu’, jika ada
yang mengagungkan kita, maka kita menyatakan diri kita biasa (tidak merasa di
atas dari yang lain atau merasa istimewa).
Baca juga: Khutbah Jumat: Pendidikan Islam Untuk Generasi Milenial