Hasad itu manusiawi. Ada beberapa bentuk sifat hasad pada
diri manusia.
Tingkatan pertama adalah orang yang berusaha dengan berbagai
cara untuk menghilangkan nikmat pada orang yang dia hasad kepadanya.
Kedua: Ada yang hasad kepada orang lain. Namun, ia tidak
melakukan apapun dengan hasadnya tersebut baik dengan ucapan dan perbuatannya.
Al-Hasan Al-Bashri berpandangan bahwa hal ini tidaklah berdosa.
Ketiga: Orang yang hasad tetapi tidak menginginkan nikmat
orang lain hilang. Bahkan ia berusaha memperoleh nikmat semisal yang dimiliki
orang lain tersebut. Jika nikmat yang dimaksud hanyalah urusan dunia, tidak ada
kebaikan di dalamnya. Contohnya adalah keadaan seseorang yang ingin seperti
Qarun.
يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ
“Duhai kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah
diberikan kepada Qarun.” (QS. Al-Qasas: 79)
Jika kemuliaan yang dimaksud adalah urusan agama, inilah
yang baik. Inilah yang disebut
ghib-thah.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyAllah Ta’alau ‘anhuma, Rasulullah
shallAllah Ta’alau ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا حَسَدَ إلَّا على اثنتَينِ: رجُلٌ آتاهُ
اللهُ مالًا، فهو يُنْفِقُ مِنهُ آناءَ اللَّيلِ وآناءَ النَّهارِ، ورجُلٌ آتاهُ
اللهُ القُرآنَ، فهو يَقومُ به آناءَ اللَّيلِ وآناءَ النَّهارِ.
“Tidak boleh ada hasad kecuali pada dua perkara: ada
seseorang yang dianugerahi harta lalu ia gunakan untuk berinfak pada malam dan
siang, juga ada orang yang dianugerahi Alquran, lantas ia berdiri dengan
membacanya malam dan siang.” (HR. Bukhari, no. 5025, 7529 dan Muslim, no. 815)
Keempat: Jika seseorang merasa dia hasad, ia berusaha
untuk menghapusnya. Bahkan ia ingin berbuat baik pada orang yang ia hasad
kepadanya. Ia mendoakan kebaikan untuknya. Ia pun menyebarkan
kebaikan-kebaikannya. Ia ganti sifat hasad itu dengan rasa cinta. Ia katakan
bahwa saudaranya itu lebih baik dan lebih mulia. Bentuk keempat inilah
tingkatan paling tinggi dalam iman. Yang memilikinya itulah yang memiliki iman
yang sempurna di mana ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya
sendiri.