Hari akhirat, hari setelah kematian yang wajib diyakini kebenarannya oleh setiap orang yang beriman kepada Allah ta’ala dan kebenaran agama-Nya. Hari itulah hari pembalasan semua amal perbuatan manusia, hari perhitungan yang sempurna, hari ditampakkannya semua perbuatan yang tersembunyi sewaktu di dunia, hari yang pada waktu itu orang-orang yang melampaui batas akan berkata dengan penuh penyesalan.
يَا
لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
“Duhai, alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh)
untuk hidupku ini.” (Qs. Al Fajr: 24)
Maka seharusnya setiap muslim yang mementingkan keselamatan dirinya
benar-benar memberikan perhatian besar dalam mempersiapkan diri dan
mengumpulkan bekal untuk menghadapi hari yang kekal abadi ini. Karena pada hakikatnya, hari inilah masa depan dan hari
esok manusia yang sesungguhnya, yang kedatangan hari tersebut sangat cepat
seiring dengan cepat berlalunya usia manusia. Allah ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ
لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (Qs. Al
Hasyr: 18)
Semoga
Allah ta’ala meridhai sahabat yang mulia Umar bin
Khattab radhiyallahu ‘anhu yang mengingatkan hal ini dalam
ucapannya yang terkenal: “Hisab-lah (introspeksilah) dirimu (saat ini)
sebelum kamu di-hisab (diperiksa/dihitung amal perbuatanmu pada
hari kiamat), dan timbanglah dirimu (saat ini) sebelum (amal perbuatan)mu
ditimbang (pada hari kiamat), karena sesungguhnya akan mudah bagimu
(menghadapi) hisab besok (hari kiamat) jika kamu (selalu)
mengintrospeksi dirimu saat ini, dan hiasilah dirimu (dengan amal shaleh) untuk
menghadapi (hari) yang besar (ketika manusia) dihadapkan (kepada Allah ta’ala):
يَوْمَئِذٍ
تُعْرَضُونَ لا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ
“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Allah), tiada sesuatupun dari
keadaanmu yang tersembunyi (bagi-Nya).” (Qs. Al Haaqqah: 18). (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab
beliau Az Zuhd (hal. 120), dengan sanad yang hasan)
Senada dengan
ucapan di atas sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Sesungguhnya dunia telah pergi meninggalkan (kita) sedangkan akhirat telah
datang di hadapan (kita), dan masing-masing dari keduanya (dunia dan akhirat)
memiliki pengagum, maka jadilah kamu orang yang mengagumi/mencintai akhirat dan
janganlah kamu menjadi orang yang mengagumi dunia, karena sesungguhnya saat ini
(waktunya) beramal dan tidak ada perhitungan, adapun besok (di akhirat) adalah
(saat) perhitungan dan tidak ada (waktu lagi untuk) beramal.” (Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dalam Az Zuhd (hal. 130) dan dinukil oleh Imam
Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitab beliau Jaami’ul ‘uluumi wal hikam (hal.
461)).
Jadilah kamu di dunia seperti orang asing
Dunia tempat
persinggahan sementara dan sebagai ladang akhirat tempat kita mengumpulkan
bekal untuk menempuh perjalanan menuju negeri yang kekal abadi itu. Barangsiapa
yang mengumpulkan bekal yang cukup maka dengan izin Allah dia akan sampai ke
tujuan dengan selamat, dan barang siapa yang bekalnya kurang maka dikhawatirkan
dia tidak akan sampai ke tujuan.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita sikap yang benar dalam
kehidupan di dunia dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jadilah
kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.” (HR.
Al Bukhari no. 6053)
Hadits ini
merupakan bimbingan bagi orang yang beriman tentang bagaimana seharusnya dia
menempatkan dirinya dalam kehidupan di dunia. Karena orang asing (perantau)
atau orang yang sedang melakukan perjalanan adalah orang yang hanya tinggal
sementara dan tidak terikat hatinya kepada tempat persinggahannya, serta terus
merindukan untuk kembali ke kampung halamannya. Demikianlah keadaan seorang
mukmin di dunia yang hatinya selalu terikat dan rindu untu kembali ke
kampung halamannya yang sebenarnya, yaitu surga tempat tinggal pertama kedua
orang tua kita, Adam ‘alaihis salam dan istrinya Hawa, sebelum
mereka berdua diturunkan ke dunia.
Sikap hidup ini
menjadikan seorang mukmin tidak panjang angan-angan dan terlalu muluk dalam
menjalani kehidupan dunia, karena “barangsiapa yang hidup di dunia seperti
orang asing, maka dia tidak punya keinginan kecuali mempersiapkan bekal yang
bermanfaat baginya ketika kembali ke kampung halamannya (akhirat), sehingga dia
tidak berambisi dan berlomba bersama orang-orang yang mengejar dunia dalam
kemewahan (dunia yang mereka cari), karena keadaanya seperti seorang perantau,
sebagaimana dia tidak merasa risau dengan kemiskinan dan rendahnya kedudukannya
di kalangan mereka.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul
‘Uluumi Wal Hikam (hal. 461), dengan sedikit penyesuaian)
Makna inilah
yang diisyaratkan oleh sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, Abdullah bin
Umar radhiyallahu ‘anhu ketika beliau berkata: “Jika kamu
(berada) di waktu sore maka janganlah tunggu datangnya waktu pagi, dan jika
kamu (berada) di waktu pagi maka janganlah tunggu datangnya waktu sore, serta
gunakanlah masa sehatmu (dengan memperbanyak amal shaleh sebelum datang) masa
sakitmu, dan masa hidupmu (sebelum) kematian (menjemputmu).” (Diriwayatkan oleh
imam Al Bukhari dalam kitab Shahihul Bukhari, no. 6053).
Bahkan inilah
makna zuhud di dunia yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan Imam Ahmad bin
Hambal ketika beliau ditanya: Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)?
Beliau berkata: “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang
yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata: Aku (khawatir) tidak akan
(bisa mencapai) waktu sore lagi.” (Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab
beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 465))
وَتَزَوَّدُوا
فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوى
Berbekallah, dan sungguh sebaik-baik bekal adalah takwa
Sebaik-baik
bekal untuk perjalanan ke akhirat adalah takwa, yang berarti “menjadikan
pelindung antara diri seorang hamba dengan siksaan dan kemurkaan Allah yang
dikhawatirkan akan menimpanya, yaitu (dengan) melakukan ketaatan dan menjauhi
perbuatan maksiat kepada-Nya.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul
‘Uluumi Wal Hikam (hal. 196))
Maka sesuai
dengan keadaan seorang hamba di dunia dalam melakukan ketaatan kepada Allah dan
meninggalkan perbuatan maksiat, begitu pula keadaannya di akhirat kelak.
Semakin banyak dia berbuat baik di dunia semakin banyak pula kebaikan yang akan
di raihnya di akhirat nanti, yang berarti semakin besar pula peluangnya untuk
meraih keselamatan dalam perjalanannya menuju surga.
Inilah diantara
makna yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
sabda beliau: “Setiap orang akan dibangkitkan (pada hari kiamat) sesuai
dengan (keadaannya) sewaktu dia meninggal dunia.” (HR. Muslim, no.
2878). Artinya: Dia akan mendapatkan balasan pada hari kebangkitan kelak sesuai
dengan amal baik atau buruk yang dilakukannya sewaktu di dunia. (Lihat
penjelasan Al Munaawi dalam kitab beliau Faidhul Qadiir (6/457))
Landasan utama
takwa adalah dua kalimat syahadat: Laa ilaaha illallah dan Muhammadur
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, sebaik-baik
bekal yang perlu dipersiapkan untuk selamat dalam perjalanan besar ini adalah
memurnikan tauhid (mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah dan
menjauhi perbuatan syirik) yang merupakan inti makna syahadat Laa
ilaaha illallah dan menyempurnakan al ittibaa’ (mengikuti
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi
perbuatan bid’ah) yang merupakan inti makna syahadat Muhammadur
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka dari itu,
semua peristiwa besar yang akan dialami manusia pada hari kiamat nanti, Allah
akan mudahkan bagi mereka dalam menghadapinya sesuai dengan pemahaman dan
pengamalan mereka terhadap dua landasan utama Islam ini sewaktu di dunia.
وَالْعَاقِبَةُ
لِلْمُتَّقِينَ
Balasan akhir yang baik (yaitu Surga) bagi orang-orang yang bertakwa
Akhirnya,
perjalanan manusia akan sampai pada tahapan akhir; surga yang penuh kenikmatan,
atau neraka yang penuh dengan siksaan yang pedih. Di sinilah Allah ta’ala akan
memberikan balasan yang sempurna bagi manusia sesuai dengan amal perbuatan
mereka di dunia. Allah ta’ala berfirman:
فَأَمَّا
مَنْ طَغَى وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى،
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ
الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Adapun orang-orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan
kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun
orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan
hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)” (Qs. An Naazi’aat: 37-41).
Maka balasan
akhir yang baik hanyalah Allah peruntukkan bagi orang-orang yang bertakwa dan
membekali dirinya dengan ketaatan kepada-Nya, serta menjauhi perbuatan yang
menyimpang dari agama-Nya. Allah ta’ala berfirman:
تِلْكَ
الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ
وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan
kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Qashash: 83)
Syaikh
Abdurrahman As Sa’di berkata: “…Jika mereka (orang-orang yang disebutkan dalam
ayat ini) tidak mempunyai keinginan untuk menyombongkan diri dan berbuat
kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, maka konsekwensinya (berarti) keinginan
mereka (hanya) tertuju kepada Allah, tujuan mereka (hanya mempersiapkan bekal
untuk) negeri akhirat, dan keadan mereka (sewaktu di dunia): selalu merendahkan
diri kepada hamba-hamba Allah, serta selalu berpegang kepada kebenaran dan
mengerjakan amal shaleh, mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan
mendapatkan balasan akhir yang baik (surga dari Allah ta’ala).” (Taisiirul
Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan, hal. 453)
Penutup
Setelah kita
merenungi tahapan-tahapan perjalanan besar ini, marilah kita bertanya kepada
diri kita sendiri: sudahkah kita mempersiapkan bekal yang cukup supaya selamat
dalam perjalanan tersebut? Kalau jawabannya: belum, maka jangan
putus asa, masih ada waktu untuk berbenah diri dan memperbaiki segala
kekurangan kita -dengan izin Allah ta’ala- . Caranya,
bersegeralah untuk kembali dan bertobat kepada Allah, serta memperbanyak amal
shaleh pada sisa umur kita yang masih ada. Dan semua itu akan mudah bagi orang
yang Allah berikan taufik dan kemudahan baginya.
Imam Fudhail bin
‘Iyaadh pernah menasehati seseorang lelaki, beliau berkata: “Berapa tahun
usiamu (sekarang)”? Lelaki itu menjawab: Enam puluh tahun. Fudhail
berkata: “(Berarti) sejak enam puluh tahun (yang lalu) kamu menempuh perjalanan
menuju Allah dan (mungkin saja) kamu hampir sampai”. Lelaki itu menjawab:
Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Maka Fudhail
berkata: “Apakah kamu paham arti ucapanmu? Kamu berkata: Aku (hamba) milik
Allah dan akan kembali kepada-Nya, barangsiapa yang menyadari bahwa dia adalah
hamba milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, maka hendaknya dia mengetahui
bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya pada hari kiamat nanti), dan barangsiapa
yang mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya) maka hendaknya dia
mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya selama
di dunia), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban
(atas perbuatannya) maka hendaknya dia mempersiapkan jawabannya.” Maka lelaki
itu bertanya: (Kalau demikian) bagaimana caranya (untuk menyelamatkan diri
ketika itu)? Fudhail menjawab: “(Caranya) mudah.” Leleki itu bertanya lagi: Apa
itu? Fudhail berkata: “Engkau memperbaiki (diri) pada sisa umurmu (yang masih
ada), maka Allah akan mengampuni (perbuatan dosamu) di masa lalu, karena jika
kamu (tetap) berbuat buruk pada sisa umurmu (yang masih ada), kamu akan di
siksa (pada hari kiamat) karena (perbuatan dosamu) di masa lalu dan pada sisa
umurmu.” (Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal
Hikam, hal. 464)
Beliau (Fudhail
bin ‘Iyaadh) adalah Fudhail bin ‘Iyaadh bin Mas’uud At Tamimi (wafat 187 H),
seorang imam besar dari dari kalangan atba’ut tabi’in yang sangat terpercaya
dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
seorang ahli ibadah (lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 403)
Akhirnya, kami
menutup tulisan ini dengan doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam (dalam HR. Muslim, no. 2720) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu) untuk kebaikan agama, dunia dan akhirat kita:
Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan penentu (kebaikan) semua
urusanku, dan perbaikilah (urusan) duniaku yang merupakan tempat hidupku, serta
perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku (selamanya), jadikanlah
(masa) hidupku sebagai penambah kebaikan bagiku, dan (jadikanlah) kematianku
sebagai penghalang bagiku dari semua keburukan.
Baca juga: Jalan Cepat Menuju Surga