Dalam bahasa Arab, Ath-Thaariq berarti “tamu penting yang datang tiba-tiba pada malam hari”. Ayat kedua dan ketiga (Wa maa adraaka maa th-thaariq? dan An-najmu ts-tsaaqib) menjelaskan bahwa “tamu” tersebut adalah “benda langit” (najm) yang mempunyai sifat “melubangi” (tsaaqib).
Sementara
menurut sejarah, Surat Ath-Thaariq turun pada tahun 618 M (tahun kedelapan masa
kenabian). Pada tahun yang sama, menurut catatan astronomi, muncul komet besar
di langit yang kini termasyhur sebagai Komet Halley. Komet memang
“melubangi” permukaan Bumi. Pada awal proses pembentukan tata surya kita,
komet-komet membombardir permukaan planet-planet, termasuk bumi, dan
menghasilkan lubang-lubang kawah raksasa.
Menurut catatan astronom lain diketahui bahwa komet Haley melintasi bumi
bukan pada tahun 618 M, melainkan pada 607 M. Ternyata, periode lintasan Komet
Haley terus berubah sejak dulu sesuai dengan ukuran massanya yang terus
mengecil. Meski demikian, bukan berarti tidak ada benda langit yang
melewati bumi pada tahun 618 M tersebut. Datangnya benda langit juga tercatat
dalam asbabun nuzul Surat Ath Thariq ini.
Saat
itu, Abu Thalib mendatangi Rasulullah dengan membawa roti dan susu. Ketika Abu
Thalib duduk, sebuah bintang meluncur sehingga daerah sekitarnya seakan
dipenuhi api, saking terangnya cahaya bintang tersebut. Abu Thalib bertanya
kepada Rasulullah, “Apa ini?” Rasulullah menjawab, “Ini bintang yang dilemparkan
dan merupakan satu dari sekian banyak tanda-tanda kekuasaan Allah”. Dan Allah
lalu menurunkan ayat ini (Asbab Nuzulil Qur’an, al Wahidi).
Berdasarkan
deskripsi dari kisah Abu Thalib tersebut, Ath-Thaariq adalah meteor yang masuk
ke dalam atmosfer bumi. Walaupun demikian, tetap terbuka kemungkinan bahwa
Ath-Thaariq yang dimaksud bisa saja komet, meteor, ataupun asteroid. Yang
jelas, ia adalah benda langit yang jarang terlihat oleh manusia.
Komet, asteroid, meteorid
Komet dan asteroid adalah sisa-sisa pendinginan Nebula pada saat pembentukan
bintang berikut planet dan satelit-satelitnya. Ukuran komet dan asteroid
berkisar dari puluhan meter hingga ratusan kilometer. Mengklasifikasikan sebuah
benda langit non-planet sebagai komet atau asteroid tidaklah mudah. Meski
mereka berbeda, seiring peredaran orbitnya, komet dan asteroid menjadi semakin
mirip.
Setidaknya
terdapat dua perbedaan utama antara asteroid dan komet. Pertama, material
asteroid lebih padat dan umumnya terdiri dari bebatuan serta logam. Sementara
material komet hampir seluruhnya (5/6 bagian) terdiri atas gas dan es. Sehingga
ketika komet bergerak mendekati Matahari, es dan gas di permukaannya menguap
terkena panas dan membentuk ekor panjang yang kita saksikan.
Perbedaan
kedua, orbit komet jauh lebih elips dan luas dibandingkan sebagian besar
asteroid. Di tatasurya kita, umumnya komet beredar di antara orbit Mars dan
Jupiter. Periode orbital komet bervariasi mulai dari hanya beberapa tahun,
sampai ratusan bahkan ribuan tahun.
Sebenarnya,
terdapat sejumlah benda langit yang masuk ke dalam kelompok komet dan asteroid
sekaligus. Ada beberapa hal yang menjadi sebabnya. Ketika es dan gas yang
dimilikinya habis, komet akan kehilangan ekor dan tampak sangat mirip dengan
asteroid yang tidak berekor.
Sebaliknya, banyak asteroid yang belakangan diklasifikasikan sebagai komet
karena menampakkan aktivitas komet, yaitu mengeluarkan ekor atau rambut. Asteroid-asteroid
yang memiliki orbit berbentuk elips yang luas, kemungkinan besar adalah komet
yang masih “tidur” atau telah kehilangan lapisan es dan gasnya. Meteoroid
umumnya lebih kecil dibandingkan asteroid dan komet. Secara konvensional, benda
langit apapun yang berukuran kurang dari 10 meter, biasanya dikelompokkan
sebagai meteoroid.
Berbeda
dengan komet dan asteroid, orbit meteoroid sangat dekat dengan bumi. Seringkali
pecahan meteoroid masuk ke dalam atmosfer Bumi, terbakar dan menghasilkan nyala
terang. Pecahan yang masuk tersebut dikenal sebagai meteor. Jika meteor tidak
habis terbakar, sisanya yang disebut sebagai meteorit, akan jatuh ke permukaan
bumi.
Komet
juga membawa H2O dalam bentuk es yang kemudian terperangkap dalam
lapisan-lapisan bumi. Es tersebut kemudian mencair, muncul kembali ke permukaan
dan mengisi kawah-kawah tersebut menjadi lautan yang kita kenal sekarang.
Penafsiran
ayat-ayat berikutnya, khususnya ayat ketujuh “yang keluar dari shulb (sesuatu
yang keras) dan taraa’ib (sesuatu yang lunak)” masih menyisakan perbedaan
pendapat. Ada yang menyatakan bahwa yang dimaksud ayat tersebut bukanlah
sperma, karena sperma tidak diproduksi dalam tulang punggung ataupun tulang
dada. Shulb dan taraa’ib pun, dengan demikian tidak lagi dapat ditafsirkan
sebagai “tulang punggung” dan “tulang dada” sebagaimana tafsir klasik selama
ini, melainkan air dalam arti H2O murni.
Surat
ini secara keseluruhan bercerita tentang air, dan menantang manusia bagaimana
mengeksplorasi air. Air pada kenyataannya, memang tersimpan di dalam batuan
keras (sandstone/batu pasir ataupun limestone/gamping) yang ditutupi oleh batuan
cap rock yang lebih lunak seperti claystone (lempung) ataupun silt (lanau).
Akan
tetapi, penafsiran shulb dan taraa’ib sebagai “tulang punggung” dan “tulang
dada” masih dianggap sahih. Jika kita menarik garis lurus sejajar tulang
punggung dan dada kita, maka tidak ada satu pun organ tubuh yang berada di luar
kedua garis tersebut. Karena itu, tidaklah keliru jika ayat ketujuh diartikan
sebagai sperma, mengingat organ testis yang menghasilkan sperma juga berada di
antara tulang punggung dan tulang dada.
Di
sisi lain, penafsiran shulb dan taraa’ib tetap harus dikaitkan dengan
penciptaan manusia. Ayat keenam dan ketujuh adalah penjelasan atau jawaban dari
ayat kelima yang berbunyi falyanzhuri l-insaanu mimma khuliq (maka hendaklah
manusia menalari dari apa dia diciptakan). Lagipula, air dalam ayat ini adalah
isim fa’il sehingga bermakna mempunyai kemampuan sendiri untuk memancar. Meski
ada juga ulama tafsir yang mengelompokkannya ke dalam isim maf’ul yang bermakna
dipancarkan.
Langit yang mengembalikan dan bumi yang membelah
Keberadaan siklus di langit maupun di bumi diisyaratkan dalam ayat ke-11 maupun
ke-12 surat Ath-Thaariq. Ayat ke-11 berbunyi wa s-samaa’i dzaati r-raj`i. Jika
diterjemahkan secara harfiah berarti, “demi langit yang mempunyai sesuatu yang
kembali”.
Berdasarkan
konteks ayat-ayat awal dari surat Ath-Thaariq ini, ada dua kemungkinan tafsiran
mengenai ar-raj`i (sesuatu yang kembali). Pertama adalah komet (thaariq), yang
memang selalu kembali mengunjungi bumi dalam periode tertentu. Kedua, mungkin
pula dia adalah air (maa’), yang selalu “pergi dan kembali” dalam siklus
hidrologi.
Siklus
hidrologi bermula dari air permukaan yang menutupi 70 persen permukaan bumi,
dan 97 persennya berada di samudera. Setiap hari, sekitar sepertiga energi
sinar matahari yang sampai ke bumi dipergunakan untuk menguapkan kira-kira
1.000 km kubik (satu triliun meter kubik) air samudera, sungai, danau dan
telaga.
Uap
air lalu menyebar di lapisan atmosfer untuk mengatur kelembaban dan suhu.
Kemudian uap air mengalami kondensasi dan turun ke permukaan bumi berupa hujan
atau salju. Akhirnya air yang terkumpul di darat mengalir dalam bentuk
sungai-sungai untuk kembali menuju samudera.
Sementara
ayat ke 12 surat Ath-Thaariq yang berbunyi wa l-ardhi dzaati sh-shad`i jika diterjemahkan
secara harfiah menjadi “demi bumi yang mempunyai belahan”. Kata as-shad’i
bermakna lempeng-lempeng tektonik. Lempeng-lempeng ini menyetel secara tepat
seakan-akan dilekatkan oleh seorang tukang kayu yang piawai. Itulah sebabnya
mereka dinamai lempeng-lempeng tektonik (bahasa Yunani, tektones, berarti
tukang kayu).
Keterkaitan siklus langit dan bumi
Walaupun secara umum ar-raj’i berarti “sesuatu yang kembali”, para ulama tafsir
sejak dulu umumnya menafsirkan ar-raj’i sebagai air yang turun dalam bentuk
hujan. Padahal, jika diterjemahkan secara luas, ar-raj’i dalam konteks saat ini
dapat bermakna sebagai bagian dari “siklus”. Hujan hanyalah
salah satu bagian dari siklus hidrologi.
Menariknya,
siklus tidak hanya terjadi di langit, akan tetapi juga di bumi. Bahkan kedua
siklus tersebut bukan saja mirip, melainkan berkaitan erat. Kata as-shad’i
(belahan), sangat dekat dengan istilah fault (sesar) dan fracture (rekahan)
dalam ilmu geologi.
Pada
skala benua atau samudera, as-shad’i menggambarkan benioff zone. Zona ini
adalah bagian subduction zone, yaitu zona tempat lempeng samudera menghunjam
masuk ke bawah lempeng benua ataupun lempeng samudera lain. Benioff zone
menjadi lokasi pusat gempa-gempa di bumi atau lazim dikenal sebagai
hiposentrum.
Jadi,
as-shad’i dapat berarti bumi membentuk rekahan atau membelah membentuk
lempeng-lempeng tektonik. Teori bahwa permukaan bumi tersusun atas
lempeng-lempeng tektonik pertama kali diusulkan oleh Alfred Wegener, seorang
ahli meteorologi pada 1915. Wegener awalnya mengira bagian bumi yang membelah
tersebut hanyalah benua-benua yang mengapung di atas lautan. Konsep ini terilhami
oleh kecocokan geometris antara garis pantai benua Afrika dan Amerika Selatan.
Seiring perkembangan ilmu geologi, semakin banyak penemuan ilmiah yang
mendukung teori ini.
Hal
ini terkait erat dengan pergerakan atau siklus material panas yang berada di
bawah lempeng-lempeng tersebut. Arthur Holmes pada 1928, menyebutkan bahwa baik
kerak benua maupun samudera mengapung di atas astenosfer. Astenosfer adalah
material magma yang panas dan bersifat plastis. Karena suhunya yang panas,
material ini bergerak naik ke permukaan, dan keluar di tengah-tengah kerak
samudera. Material panas tersebut dengan cepat membeku menjadi batuan baru dan
mendorong material batuan lama di lempeng samudera menjauh. Material lempeng
tersebut kemudian menghunjam masuk ke dalam astenosfer di zona subduksi.
Material ini lantas meleleh dan kembali menjadi material magma. Demikian siklus
magma dan batuan terus berjalan, mendorong lempeng-lempeng bergerak membentuk
cekungan samudera dan memisahkan benua.
Jelas terlihat bahwa baik di langit maupun di bumi terjadi siklus yang
sama-sama berlangsung secara konveksi: material panas naik ke permukaan
digantikan oleh material dingin yang turun ke bawah yang selanjutnya dipanasi
kembali. Tanpa siklus di bumi, tidak akan terjadi siklus di langit, sebab tanpa
siklus di bumi, tidak akan terbentuk cekungan samudera. Akibatnya
tidak akan terkumpul air dalam jumlah besar untuk memulai siklus hidrologi.
Karena keterkaitan antara siklus di langit dan di bumi inilah, ayat 11 dan 12
surat Ath-Thaariq sebenarnya terkait satu sama lain.
Langit yang mengembalikan
Selain siklus hidrologi, di langit juga berlangsung berbagai siklus lain. Salah
satu siklus yang paling mudah diamati di langit adalah siklus atau perubahan
fase penampakan bulan. Bulan berubah dari bentuk sabit yang teramat tipis
(hilal), berangsur membesar hingga mencapai purnama penuh, dan kembali lagi
menjadi sabit tipis hingga hilang sama sekali dari pandangan (bulan mati).
Siklus penampakan bulan berpengaruh pada siklus lain di bumi, yaitu siklus
pasang surut.
Siklus
lain yang terjadi di langit adalah siklus saros, yaitu siklus antara terjadinya
satu gerhana (gerhana bulan maupun matahari) dengan satu gerhana lain yang
identik. Pengetahuan tentang siklus saros memungkinkan manusia meramalkan
terjadinya gerhana matahari maupun bulan.
Di
samping siklus saros, matahari dan bulan juga mengalami siklus metonik. Satu
siklus metonik panjangnya 19 tahun matahari (satu tahun matahari lebih kurang
sama dengan 365 hari kalender). Setiap satu siklus metonik, bulan kembali pada
posisi dan fase yang persis sama di langit.
Selain
bermakna siklus, ar-raj’i dapat pula diterjemahkan ‘memantul’. Ibaratnya,
langit adalah “atap”. Hal ini menarik karena di atmosfer memang terdapat
lapisan ionosfer yang memantulkan gelombang short wave (SW). Gelombang ini umum
dipakai untuk komunikasi jarak jauh seperti siaran radio internasional serta
komunikasi antar pesawat terbang dan kapal laut. Tanpa lapisan ionosfer yang
memantulkan gelombang SW, komunikasi jarak jauh akan memerlukan banyak sekali
stasiun relay.
Ada
juga yang menafsirkan dalam fungsinya sebagai “atap”, langit memantulkan
gelombang sinar ultraviolet ataupun partikel berbahaya lain yang datang dari
luar bumi. Namun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana menyandingkan
penafsiran-penafsiran tentang “atap” tersebut dengan ayat berikutnya yang
berbicara tentang as-shad’i (belahan).
Sumpah yang terkait
Keyakinan bahwa ayat 11 dan 12 surat Ath-Thaariq terkait satu sama lain,
didukung oleh penelaahan kedua ayat tersebut dalam disiplin ilmu bahasa Arab.
Huruf wauw yang mengawali ayat wa s-samaa’i dzaati r-raj`i adalah wauw qasam
yang bermakna sumpah. Berarti ayat ini adalah sumpah yang baru, sumpah yang
berbeda dengan sumpah pada ayat pertama surat Ath-Thaariq yang berbicara
mengenai Ath-Thaariq.
Sementara
huruf wauw yang mengawali ayat wa l-ardhi dzaati sh-shad`i adalah wauw athaf
yang bermakna menyambungkan ayat tersebut dengan ayat sebelumnya. Hal ini
berarti kedua ayat tersebut adalah satu kesatuan.
Hal
lain yang menarik dari telaah kebahasaan adalah kata ar-raj’i dan as-shad’i itu
sendiri. Penelitian yang telah dilakukan sampai saat ini, tidak menemukan makna
khusus dari kedua kata tersebut dalam komunitas Arab manapun. Oleh karena itu,
kata tersebut bisa bermakna umum.
Adapun
huruf alim lam yang mengawali kedua kata tersebut tidaklah menunjukkan
pengkhususan. Makna huruf tersebut mirip dengan alim lam dalam kalimat
alhamdulillah, yang bermakna “segala”. Dengan kata lain, secara bahasa,
berbagai pemaknaan ar-raj’i maupun ash-shad’i dapat diterima sebagai tafsir.
Baca juga: Mengenal lebih jauh tentang Nabi Muhammad SAW