Kebanyakan
manusia bertujuan menumpuk kekayaan sebanyak mungkin dalam hidupnya. Untuk
tujuan ini, mereka melakukan apa pun, bahkan dengan cara yang haram dan tidak
sah. Pandangan manusia manusia terhadap harta kepemilikan dijelaskan di dalam
Al-Qur`an sebagai cinta karena perhiasan hidup di dunia.
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran: 14)
“Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal
lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk
menjadi harapan.” (al-Kahfi: 46)
Dalam
ayat lain, Allah menunjuk sebagian orang dengan mengatakan, “Dan kamu mencintai
harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (al-Fajr: 20) Dari ayat
tersebut, kita dapat memahami bahwa orang yang bodoh sangat membutuhkan harta
kekayaan karena ia adalah salah satu ukuran status sosial yang paling utama
yang nilainya tidak didasarkan oleh agama. Dalam masyarakat yang kacau ini,
orang memuja, menghormati, dan menjunjung tinggi kekayaan. Dengan mencapai
kekayaan tertentu, seseorang merasa bahwa ia memegang kekuasaan yang besar.
Karena itu, dalam hal ini, mencapai kekayaan menjadi tujuan utamanya dalam
hidup.
Hasrat menggebu akan
harta kekayaan juga membawa manusia kepada ketakutan sepanjang hidup akan
hilangnya harta. Mereka yang memiliki pandangan demikian biasanya menjadi putus
asa saat kehilangan harta kekayaan, lalu mereka menjadi pemberontak terhadap
Tuhannya. Menjadi orang yang benar-benar bodoh itu hanyalah sebuah ujian,
mereka benar-benar kewalahan karena kehilangan kekayaan.
Bagaimanapun juga, Allah telah memerintahkan manusia, “Jangan
berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (al-Hadiid: 23) Ia memerintahkan manusia untuk hidup
sederhana dan menyerap akhlaq-akhlaq yang baik. Berputus asa atas hilangnya
kekayaan dan bersukacita dalam kekayaan adalah tanda tidak bersyukur kepada
Allah.
Di bawah pengaruh
pandangan tersebut, sebagian masyarakat yang bodoh menganggap boleh-boleh saja
merasa kecewa akan hilangnya harta kekayaan. Sebagai contoh, kenyamanan ekonomi
yang dinikmati dari kekayaan yang didapat dari usaha keras kita bisa saja
lenyap dengan tiba-tiba karena bencana alam; atau, kebakaran dapat
menghancurkan sebuah rumah dalam sekejap mata saja, padahal rumah bagus itu
didapatkan setelah menabung bertahun-tahun. Pada dasarnya, seseorang yang tidak
menyadari fitrah hidupnya akan merasa kebingungan saat ia mengalami kehilangan
yang berarti. Ia menjadi lelah karena keputusasaan dan pemberontakannya
terhadap Allah.
Hal-hal yang jauh dari
akhlaq Al-Qur`an tidak akan berhasil selamanya, bahkan untuk mengetahui bahwa
hilangnya kekayaan bisa saja memiliki tujuan yang baik atau berakibat positif.
Hal ini karena pandangan dan ketidakmampuannya untuk memercayai Allah
menjadikan dirinya terbebani secara emosional akibat tekanan ekonomi
Bagaimanapun juga,
perubahan kondisi ekonomi ini dapat segera memberikan manfaat. Sebagai contoh,
mungkin ada baiknya kecelakaan terjadi pada mobil seseorang karena bisa jadi
Allah melindungi pengendaranya dari kecelakaan yang lebih fatal lagi. Seorang
yang hati-hati akan melihat kecelakaan tersebut sebagai peringatan, kemudian ia
memohon ampun serta menerima takdir yang telah ditetapkan Allah untuknya.
Baca juga: Khutbah Jumat Tentang Kematian: Semua Pasti Mati