Khutbah I
الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ جَعَلَ فِي الْمَالِ حَقًّا
لِلْفُقِيْرِ وَالمِسْكِيْنِ وَسَائِرِ اْلمُحْتَاجِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللّهُمَّ صَلّ وسّلِّمْ
علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وِعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ في
أَنْحَاءِ البِلاَدِ. أمَّا بعْدُ، فيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى
بِفِعْلِ الطَّاعَاتِ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: إِنَّا
أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
Dalam kitab An-Nawadir karya Syekh Syihabuddin Ahmad ibn
Salamah al-Qulyubi dikisahkan, suatu hari seorang ulama zuhud Abdullah bin
Mubarak berangkat menuju Makkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, yakni
haji. Namun, ketika ia sampai di kota Kufah, perjalanannya terhenti beberapa
saat hingga dirinya batal menunaikan ibadah haji.
Yang membuat Abdullah bin Mubarak menghentikan
perjalanannya adalah kondisi miris seorang perempuan di kota Kufah yang
terpaksa mengonsumsi bangkai itik. Tidak sendirian, perempuan mengajak pula
anak-anaknya memakan bangkai itu sebagai santapan keluarga. Abdullah bin
Mubarak sempat menegurnya beberapa kali bahwa konsumsi semacam itu haram
menurut agama. Nasihat ini gagal. Hingga ia terkejut dengan kenyataan bahwa
keluarga tersebut memakan bangkai karena alasan keterpaksaan.
Si perempuan dan beberapa anaknya sudah tiga hari
mendapat makanan. Untuk mempertahankan hidup, satu keluarga miskin tersebut
menelan apa saja yang bisa dimakan. Hati Abdullah bin Mubarak menangis. Ia
lantas menyedekahkan keledai tunggangannya, beserta barang-barang bawaannya, termasuk
makanan dan pakaian, kepada keluarga malang itu.
Persoalanya adalah Abdullah bin Mubarak kini tak memiliki
bekal untuk melanjutkan perjalannya ke tanah suci. Perjalanannya tertunda
beberapa lama di kota Kufah sampai musim haji lewat dan ia pun gagal melaksanakan
haji tahun itu.
Ketika balik ke kampung halaman, alangkah kagetnya ia
lantaran mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat sebagai orang yang baru
datang dari ibadah haji. Abdullah bin Mubarak pun protes campur malu, dan
berterus terang bahwa kali ini ia gagal pergi ke Tanah Suci. "Sungguh aku
tidak menunaikan haji tahun ini," katanya meyakinkan orang-orang yang
menyambutnya.
Sementara itu, kawan-kawannya yang berhaji menyampaikan
testimoni yang membuat Abdullah bin Mubarak semakin bingung. Mereka mengaku
berada di Makkah dan membantu kawan kawannya itu membawakan bekal, memberi
minum, atau membelikan sejumlah barang.
Setelah peristiwa yang membingungkan itu, Abdullah bin
Mubarak pada malam harinya mendapat jawaban melalui mimpi. Dalam tidur itu,
Abdullah mendengar suara, "Hai Abdullah, Allah telah menerima amal
sedekahmu dan mengutus malaikat menyerupai sosokmu, menggantikanmu menunaikan
ibadah haji."
Jamaah shalat Jumat hadakumullah,
Subhanallah. Allah telah menunjukkan rahmat-Nya kepada
hamba yang gemar bersedekah. Apa yang dilakukan ulama sufi tersebut adalah
prioritas dalam beribadah. Haji adalah ibadah, sedekah juga merupakan ibadah.
Namun, Abdullah bin Mubarak mendahulukan yang kedua karena sedekahnya sangat
dibutuhkan.
Abdullah bin Mubarak tidak sedang meremehkan ibadah haji.
Ia hanya mendahulukan apa yang seharusnya didahulukan. Ia cuma sedang mengatasi
masalah yang amat mendesak, yakni menyangkut kebutuhan dasar orang lain, dengan
menunda ibadah haji tahun itu. Toh, bukankah haji yang tertunda masih mungkin
dilaksanakan pada tahun-tahun berikutnya. Perbuatan ini selaras pula dengan
kaidah fiqih:
المُتَعَدِّيْ أَفْضَلُ مِنَ القَاصِرِ
“Ibadah sosial lebih utama ketimbang
ibadah individual.”
Kaidah ini tidak berbicara tentang mana yang penting dan
mana yang tidak penting. Melainkan, mana yang penting dan mana yang lebih
penting. Dalam fiqih prioritas (al fiqh al awlawi), derajat urgensi suatu
ibadah bervariasi: yang satu lebih utama daripada yang lain.
Sebagaimana ketika orang harus memilih sesuatu yang
mengandung mudaratnya lebih kecil daripada yang mudaratnya lebih besar.
Jamaah shalat Jumat hadakumullah,
Kisah tersebut juga memberikan pelajaran bagi kita semua
untuk tidak terlalu larut dalam kesedihan ketika belum mampu berangkat haji
lantaran keterbatasan ekonomi atau halangan lainnya.
Selain memikirkan bagaimana memenuhi kewajiban suatu
ibadah, seseorang juga diharuskan memikirkan mana yang lebih prioritas untuk
dilaksanakan. Karena itulah haji hanya diwajibkan bagi yang mampu.
Islam, misalnya, tidak pernah mewajibkan orang miskin
berangkat haji ketika ia sendiri masih kesulitan menunaikan kewajiban lain
menafkahi anak dan istrinya. Tidak dianjurkan pula baginya memaksankan diri
secara berlebihan, hingga menjual aset-aset dasar seperti rumah atau sawah
tempatnya mencari nafkah untuk keperluan itu.
Meski demikian, seseorang tetap diharuskan ikhtiar agar
dapat melaksanakan ibadah haji. Sebagaimana shalat lima waktu dan zakat, haji
adalah salah satu rukun Islam. Bila masuk kategori mampu, baik dari segi fisik,
ekonomi, mapun keamanan, seseorang wajib menunaikannya tanpa menunda-nunda.
Kewajiban tetaplah kewajiban, meskipun kita harus memilih
satu kewajiban prioritas saat dihadapkan dengan pilihan beberapa kewajiban yang
mesti dipenuhi.
وَلِلهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ
إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Mengerjakan haji adalah kewajiban
menusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan
ke Baitullah.” (QS Ali Imran: 97).
Pelajaran kedua, Abdullah bin Mubarak telah melaksanakan
“al-birru” atau kebajikan yang memang sangat dianjurkan dalam Islam. Ia
menyedekahkan sesuatu yang sejatinya ia perlukan untuk menunaikan ibadah haji.
Al-Qur’an menyebutkan:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا
تُحِبُّونَ
“Kalian tidak akan mendapatkan
kebaikan (yang sempurna), sebelum kalian mendermakan sebagian dari hartamu yang
kamu cintai. (QS Ali Imran: 92).
“Al-birru” merupakan derivasi dari
kata barra-yabirru yang berarti berbuat baik atau patuh. Dari kata ini pula
terbentuk istilah mabrur. Haji mabrur dengan demikian bukan semata soal
pelaksanaan rukun dan wajib haji beserta hal-hal teknis lainnya. Tapi juga
bagaimana haji membentuk pribadi yang al-barr, yakni bajik secara sosial.
Pemilik predikat haji mabrur tak hanya meningkat
ibadahnya melainkan juga meningkat kepeduliannya terhadap persoalan di
sekelilingnya sepulang dari haji. Artinya, substansi mabrur ada pada akhlak dan
karenanya tidak heran bila Abdullah bin Mubarak mendapat kemuliaan meski belum
berangkat ke tanah suci lantaran rasa kemanusiaan dan kepedulian sosialnya yang
tinggi.
Demikian, khutbah yang dapat alfaqir sampaikan. Semoga
kita termasuk orang-orang yang kelak bisa menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci,
sekaligus orang-orang yang mempunyai perhatian yang tinggi atas persoalan orang
lain di sekitar kita. Wallahu a‘lam bish shawab.
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ،
وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ
اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ
قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ
لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا أَمَّا بَعْدُ فَياَ
اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا
أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ
بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى
يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ
صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ
مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ
اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى
وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ
بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ
الرَّاحِمِيْنَ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ
وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ
وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ
وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ
أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ
عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ
مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ
اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى
الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا
ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ
اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ
وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ
عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ