Islam adalah agama yang sempurna, sangat memperhatikan pertumbuhan generasi. Untuk itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kita agar memilih istri shalihah, penuh kasih sayang dan banyak keturunannya. Dari istri-istri yang shalihah ini, diharapkan terlahir anak-anak yang shalih-shalihah, kokoh dalam beragama. Sehingga Islam menjadi kuat dan musuh merasa gentar. Demikianlah, ibu memiliki peran yang dominan dalam membangun pondasi dan mencetak generasi, karena dialah yang akan mendidik anak-anak dalam ketaatan dan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Perhatian Islam lainnya yang terkait dan ikut berpengaruh
dengan pendidikan anak, yaitu Rasulullah menganjurkan agar orang tua memberi
nama yang baik terhadap anak-anaknya. Suatu nama akan turut memberi pengaruh
pada anak. Sehingga banyak riwayat yang menjelaskan Rasululah merubah beberapa
nama yang tidak sesuai dengan Islam.
Ketegasan Islam dalam mendidik ini, juga bisa dikaji dari
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwa ketika anak menginjak
usia tujuh tahun, hendaklah kedua orang tua mengajarkan dan memerintahkan
anak-anaknya untuk melakukan shalat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ
سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ
فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anakmu untuk
shalat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah jika enggan melakukan shalat
bila telah berusia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur di antara
mereka.” [HR Abu Dawud, dan dishahîhkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Dawud, no. 466]
Perintah mengajarkan shalat, berarti juga mencakup
hal-hal berkaitan dengan shalat. Misalnya, tata cara shalat, thaharah, dan
kewajiban shalat berjama’ah di masjid, sehingga anak bisa lebih dekat dan akrab
dengan kaum Muslimin.
Adapun pukulan pada anak, Islam memperbolehkan para orang
tua untuk memukul, jika anak malas dan enggan melakukan sholat. Tetapi
hendaklah diperhatikan, pukulah tersebut dalam batas-batas tarbiyah
(pendidikan), dengan syarat bukan pukulan yang membahayakan, dan bukan pula
pukulan mainan, sehingga tidak ada pengaruh apapun. Di antara tujuannya, supaya
anak merasakan hukuman bila ia melakukan kemaksiatan meninggalkan shalat.
Namun kita lihat pada masa ini, pukulan, sebagai salah
satu wasilah dalam tarbiyyah, banyak ditinggalkan para orang tua. Dalih yang disampaikan,
karena rasa sayang kepada anak. Padahal rasa sayang yang sebenarnya harus
diwujudkan dengan diberi pendidikan. Dan salah satunya dengan dipukul saat anak
melakukan perbuatan maksiat.
Rasulullah juga memerintahkan para orang tua supaya
memisahkan tempat tidur anak-anak yang telah memasuki usia sepuluh tahun.
Maksud pemisahan ini, ialah untuk menghindari fitnah syahwat.
Oleh karena itu, jika orang tua orang tua bertanggung
jawab terhadap anak-anaknya saat mereka tidur, lalu bagaimana saat mereka keluar
dari rumah dan bergaul dengan masyarakat? Maka tentu orang tua memiliki
tanggung jawab yang lebih besar lagi. Orang tua harus senantiasa mengawasi
anak-anaknya, menjauhkannya dari teman dan pergaulan yang buruk lagi
menyesatkan. Karena tarbiyah tidak hanya ketika berada rumah saja, namun juga
ketika anak-anak berada di luar rumah. Sebagai orang tua harus mengetahui
tempat dan dengan siapa anak-anaknya bergaul. Ingatlah, orang tua adalah
pemimpin, ia akan diminta tanggung jawabnya.
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan
setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang yang kalian pimpin”.
[Muttafaqun ‘alaih].
Kebaikan anak menjadi penyebab kebaikan, khususnya bagi
orang tua dan keluarganya, dan secara umum untuk kaum Muslimin. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا
مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو
لَهُ
“Apabila seseorang telah meninggal
dunia, maka terputuslah semua amalannya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya” [HR
at-Tirmidzi].
Oleh karena itu, keberhasilan pendidikan seorang anak
dengan kebaikan dan ketaatannya, memiliki manfaat dan pengaruh yang besar bagi
para orang tua baik, ketika masih hidup maupun sesudah meninggal dunia. Ketika
orang tua masih hidup, sang anak akan menjadi hiburan, kebahagiaan dan
qurrata-a’yun (penyejuk hati). Dan ketika orang tua sudah meninggal
dunia, maka anak-anak yang shalih senantiasa akan mendoakan, beristighfar dan
bersadaqah untuk orang tua mereka.
Sebaliknya, betapa malang orang tua yang anaknya tidak
shalih dan ia durhaka. Anak yang durhaka tidak bisa memberi manfaat kepada
orang tuanya, baik ketika masih hidup maupun saat sudah meninggal. Orang tua
tidak akan bisa memetik buahnya, kecuali hanya kerugian dan keburukan. Keadaan
seperti ini bisa terjadi jika para orang tua yang tidak memperhatikan
pendidikan atau tarbiyyah anak-anaknya.
Salah satu contoh dalam tarbiyah yang benar, yaitu
hendaklah para orang tua bersikap adil terhadap semua anak-anaknya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita.
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ
“Maka bertakwalah kalian semua kepada
Allah dan berbuatlah adil kepada anak-anakmu”. [HR Imam al-Bukhâri]
Pernah terjadi, ketika salah seorang sahabat memberi
kepada sebagian anak-anaknya, kemudian ia menghadap kepada Rasulullah supaya
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersedia menjadi saksi. Maka beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apakah semua anakmu engkau memberi
yang seperti itu?”
Dia menjawab,””Tidak,” kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Carilah saksi selain diriku, karena aku tidak mau menjadi
saksi dalam keburukan. Bukankah akan bisa membahagiakanmu, apabila engkau
memberikan sesuatu yang sama?”
Dia menjawab :”Ya,” maka kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam :” Maka lakukanlah!”
Anehnya, ada sebagian orang tua, manakala dinasihati
tentang tarbiyah anak, justru melakukan sanggahan. Orang tua ini mengatakan
bahwa kebaikan ada di tangan Allah, atau hidayah terletak di tangan Allah.
Memang benar hidayah berada di tangan Allah, sebagaiaman firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala :
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ
اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk
kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang
mau menerima petunjuk”. [al-Qashash/28:56].
Namun yang perlu diperhatikan, faktor yang menjadi
penyebab adanya kebaikan dan hidayah, ialah karena peran orang tua. Apabila
para orang tua telah berperan secara maksimal dan telah menunaikan kewajibannya
dalam tarbiyah, maka hidayah berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Sedangkan jika orang tua lalai dan mengabaikan tarbiyah, maka Allah Subhanahu
wa Ta’ala akan memberikan balasan dengan kedurhakaan dan keburukan kepada anak.
Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan
fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak menjadi Yahudi,
Nasrani atau Majusi” [HR Imam al-Bukhâri].
Disinilah kita harus memahami secara benar, betapa besar
peran orang tua terhadap anak. Orang tua memiliki tanggung jawab membentuk
keimanan dan karakter anak. Dari orang tua itulah akan terwujud sosok
kepribadian seorang anak.
Akhirnya, marilah kita menjaga fitrah anak-anak kita.
Yaitu fitrah di atas kebenaran dan kebaikan. Karena semua yang kita lakukan
atas diri anak, akan diminta pertanggungjawabnya di hadapan Allah Azza wa Jalla
.
Perhatian terhadap anak merupakan perkara yang teramat
penting dan pertanggungjawaban yang besar di hadapan Allah. Oleh karena itu,
para manusia terbaik, yaitu para nabi senantiasa mendoakan kebaikan untuk diri
dan anak keturunan mereka.
Nabi Ibrahim Alaihissallam berdoa:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku
(seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.” [QS ash-Shafât: 100]
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ
ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua
orang yang tunduk patuh kepada Engkau, dan (jadikanlah) di antara anak-cucu
kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau, dan tunjukkanlah kepada kami
cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami.
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” [QS
al-Baqarah: 128]
Nabi Zakariya Alaihissallam berdoa:
قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً
طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Di sanalah Zakariya mendoa kepada
Rabbnya seraya berkata, “Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak
yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa“. [QS ‘Ali ‘Imran: 38].
Begitu juga dengan para salaf pendahulu kita, mereka berdoa:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا
قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada
kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” [QS al-Furqân: 74].
Demikianlah para nabi, meskipun memiliki kedudukan dan
dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala , mereka tetap saja senantiasa berdoa
penuh harap, memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar dianugerahi keturunan yang
shalih dan shalihah, maka bagaimana dengan kita? Tentunya, kita tergerak dan
lebih bersemangat melakukannya.
Oleh karena itu, marilah kita berdoa dan selalu berusaha
memberikan pendidikan dan tarbiyah kepada anak-anak kita dengan berlandaskan
din (agama) yang shahîh dan lurus.