Khutbah I
اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ نَوَّرَ قُلُوْبَ أَوْلِيَائِهِ
بِأَنْوَارِ الْوِفَاقِ، وَرَفَعَ قَدْرَ أَصْفِيَائِهِ فِيْ الْأَفَاقِ، وَطَيَّبَ
أَسْرَارَ الْقَاصِدِيْنَ بِطِيْبِ ثَنَائِهِ فِيْ الدِّيْنِ وَفَاقَ، وَسَقَى أَرْبَابَ
مُعَامَلَاتِهِ مِنْ لَذِيْذِ مُنَاجَتِهِ شَرَابًا عَذْبَ الْمَذَاقِ، فَأَقْبَلُوْا
لِطَلَبِ مَرَاضِيْهِ عَلَى أَقْدَامِ السَّبَاقِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْبَرَرَةِ السَّبَاقِ، صَلَاةً
وَسَلَامًا اِلَى يَوْمِ التَّلَاقِ
أَشْهَدُ أَنْ لَااِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ
لَا شَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةً صَفَا مَوْرِدُهَا وَرَاقَ، نَرْجُوْ بِهَا النَّجَاَةَ
مِنْ نَارٍ شَدِيْدَةِ الْاَحْرَاقِ، وَأَنْ يَهُوْنَ بِهَا عَلَيْنَا كُرْبُ السِّيَاقِ،
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَشْرَفَ الْخَلْقِ عَلَى الْاِطْلَاقِ،
اَلَّذِيْ أُسْرِيَ بِهِ عَلَى الْبَرَاقِ، حَتَّى جَاوَزَ السَّبْعَ الطِّبَاقِ. أَمَّا
بَعْدُ، أَيُّهَا الْاِخْوَانُ أُوْصِيْكُمْ وَاِيَايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ،
بِامْتِثَالِ أَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ
الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ
مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Ma’asyiral muslimīn a’azzakumullāh.
Mengawali khutbah yang singkat ini, khatib berwasiat
kepada kita semua, terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa
berusaha meningkatkan ketakwaan dan keimanan kita kepada Allah subhanahu wa
ta’ala dengan menjalankan semua kewajiban dan menjauhkan diri dari segala yang
dilarang dan diharamkan.
Jamah yang dimuliakan Allah.
Selama satu bulan Ramadhan, Allah swt mendorong umat
Muslim untuk memperbanyak ibadah. Ada yang senantiasa bertadarus Al-Qur’an, rajin
shalat tarawih, berbagi sedekah takjil, rajin shalat jamaah, dan ibadah-ibadah
lainnya. Di penghujung Ramadhan, kita semua bersiap untuk melepas kepergian
bulan mulia ini sekaligus bersiap menyambut kedatangan hari raya Idul Fitri.
Saat Idul Fitri inilah semua umat Muslim bersukaria.
Memakai baju baru, menyiapkan aneka kue lebaran untuk menyambut tamu, berkumpul
dengan sanak saudara, dan sejumlah momen bahagia lainnya. Anjuran untuk
memperlihatkan ekspresi bahagia saat hari kemenangan ini dianjurkan oleh
Rasulullah saw. Dalam satu hadits diriwayatkan,
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ
"مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ". قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي
الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم "إِنَّ اللَّهَ
قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ"
Artinya, “Diriwayatkan dari sahabat Anas, ia berkata,
‘Sekali waktu Nabi saw datang di Madinah, di sana penduduknya sedang bersuka
ria selama dua hari. Lalu Nabi bertanya ‘Hari apakah ini (sehingga penduduk
Madinah bersuka ria)?’ Mereka menjawab ‘Dulu semasa zaman jahiliah pada dua
hari ini kami selalu bersuka ria.’ Kemudian Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya
Allah swt telah menggantikannya dalam Islam dengan dua hari yang lebih baik dan
lebih mulia, yaitu hari raya kurban (Idul Adha) dan hari raya fitri (Idul
Fitri).’” (HR Abu Dawud).
Ma’asyiral muslimīn a’azzakumullāh.
Hanya saja, jangan sampai kebahagiaan di momen Idul Fitri
membuat kita larut dalam kesenangan sehingga lupa bahwa pada hari kemenangan
ini Allah menganjurkan kepada kita untuk beribadah dan tetap memiliki kesadaran
sosial. Sebab, bisa jadi saat itu ada saudara sesama Muslim yang kondisi
ekonominya sedang tidak baik-baik saja sehingga jangankan mengenakan baju baru,
untuk menikmati makanan spesial Idul Fitri saja belum bisa.
Saat hari raya Idul Fitri, kesadaran sosial kita
seharusnya semakin matang. Jika selama Ramadhan kita digembleng untuk menahan
lapar dan dahaga sehingga bisa merasakan bagaimana menjadi orang yang hidupnya
berkekurangan, maka Idul Fitri menjadi puncak kematangan empati kita sebagai
seorang Muslim. Berbagi kepada saudara yang sedang berkekurangan di momen mulia
ini menjadi salah satu bentuk pengamalan dari pengalaman yang sudah kita lalui
selama berpuasa.
Bisa jadi saat kita sedang menikmati opor ayam atau
bersuka ria memakai baju baru, masih ada saudara yang belum bisa merasakan
kenikmatan ini. Oleh sebab itu tepat kiranya jika Idul Fitri dijadikan sebagai
momen berbagi. Syekh Abdul Hamid al-Makki asy-Syafi’i dalam Kanzun Najāḥ was
Surūr mengatakan,
لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ، إِنَّمَا
الْعِيْدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْدُ، وَكُلُّ يَوْمٍ لاَ يُعْصَى فِيْهِ فَهُوَ عِيْدٌ
Artinya, “Bukanlah disebut hari ‘id (hari raya Idul
Futri) bagi orang yang mengenakan (pakaian) baru. Hari ‘id sesungguhnya adalah
ketika ketaatan seseorang meningkat. Setiap hari ketika ia tidak melakukan
maksiat, maka hari itu dinamakan ‘id.” (Abdul Hamid al-Makki asy-Syafi’i,
Kanzun Najāḥ was Surūr, 2009: h. 263).
Apa yang dikatakan Syekh Abdul Hamid di atas menegaskan
bahwa esensi hari raya Idul Fitri adalah sejauhmana kita mampu menjaga
konsistensi ibadah kepada Allah dan berbuat baik terhadap sesama manusia.
Memakai baju baru memang dianjurkan sebagai bentuk syukur atas nikmat hari
agung ini, tapi jangan sampai ekspresi syukur tersebut berlebihan sehingga
membuat kita lupa bahwa ternyata masih banyak saudara sesama muslim yang belum
bisa bermewah ria seperti kita.
Ma’asyiral muslimīn a’azzakumullāh.
Selain menumbuhkan semangat berbagi, momen Idul Fitri
juga harus digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, terutama di malam
harinya. Malam Idul Fitri merupakan momen bersuka cita, berkumpul dengan
keluarga, bersilaturahmi ke sanak saudara, dan ragam pernik keceriaan lainnya.
Namun jangan sampai suasana penuh gembira ini membuat kita terlalu larut dalam
kesenangan sehingga lupa mengingat Allah swt. Sebab itu, Rasulullah pernah menyampaikan
bahwa siapa yang menghidupkan malam Idul Fitri dengan beribadah maka hatinya
akan tetap hidup saat banyak hati yang mati. Rasul bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَتَىِ الْعِيدَيْنِ لِلهِ مُحْتَسِبًا
لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ
Artinya, “Siapa saja yang menghidupkan dua malam Id (Idul
Fitri dan Idul Adha) karena Allah demi mengharap ridha-Nya, maka hatinya tidak
akan mati pada hari di mana hati manusia menjadi mati.” (HR As-Syafi’i dan Ibn
Majah).
Menurut Syekh Ahmad ash-Shawi, maksud “hati tidak mati”
pada hadits di atas adalah orang tersebut tidak akan mengalami kebingungan saat
sakaratul maut, menghadapi pertanyaan malaikat di alam kubur, dan di hari
kiamat kelak. (Ahmad ash-Shawi, Bulghatus Sālik li Arqābil Masālik, 1995: juz I,
h. 345-346).
Kita bisa meluangkan sebagian waktu di malam Idul Fitri
untuk melakukan ibadah sunnah seperti shalat witir, tahajud, shalat Isya
berjamaah, dan sebagainya. Kemudian juga berdoa agar Ramadhan tahun ini bukan
yang terakhir bagi kita, melainkan bisa berjumpa di Ramadhan-Ramadhan
selanjutnya.
Ma’asyiral muslimīn a’azzakumullāh.
Demikian khutbah singkat yang bisa khatib sampaikan.
Semoga Ramadhan tahun ini menjadi saksi ketaatan kita semua kepada Allah swt,
ibadah yang kita lakukan di dalamnya diterima, dan dianugerahi umur panjang
untuk berjumpa di Ramadhan-Ramadhan yang akan datang.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ
لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Baca juga: BEBERAPA RAHASIA AL QURAN #16; HANYA DENGAN BERDZIKIR, HATI MENJADI TENANG
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ
عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا.
أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ
سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ،
أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ
اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ
الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ
صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ
عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا
إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ
حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ
وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ
الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ
بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ
وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ