Kaum muslimin yang dimuliakan Allah. Mari kita haturkan ungkapan syukur yang sebesarbesarnya kepada Allah Ta’ala, yang telah memberi nikmat dan anugerah yang tak terhingga banyaknya. Mari ungkapan itu kita upayakan melalui penguatan takwa kita, dengan cara melihat dan mencermati apa yang kita lakukan.
Apabila yang kita lakukan telah sesuai dengan perintah
Allah dan tuntunan Rasulullah SAW, maka segera laksanakan rencana tersebut.
Sedang apabila yang akan kita lakukan ternyata bertentangan dengan petunjuk
keduanya, maka segeralah ditinggalkan dan dibatalkan demi kebaikan kita.
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah.
Tema khutbah yang diberikan kepada saya pada hari ini
adalah Keluarga Ideal Pilar Kokohnya Bangsa. Tema ini tentu amat menarik dan
sangat penting untuk menjadi perhatian kita semua. Mengapa? Karena pada
hakikatnya, keluarga adalah komunitas terkecil dan miniatur bangsa.
Wujud bangsa sesungguhnya adalah perkumpulan
keluargakeluarga, yang jika demikian maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa
keluarga adalah pondasi bangsa. Bila kondisi keluarga-keluarga itu rukun,
tenang dan tentram, maka begitu juga dengan kondisi bangsa. Sebaliknya bila
kondisinya tidak demikian, alias keluarga-keluarga dalam keadaan kacau, ruwet
dan amburadul, maka dapat dipastikan, keadaan bangsa juga sedang bermasalah.
Keluarga ideal sesungguhnya adalah keluarga yang adem
ayem, harmonis dan dipenuhi kebahagiaan. Adem ayem karena didasari oleh cinta
dan kasih sayang. Harmonis karena hubungan antara suami-isteri, orang tua-anak
terjalin erat dan saling mengisi. Bahagia karena harapan-harapan dari seluruh
anggota keluarga dapat terpenuhi dan tercukupi.
Lalu pertanyaannya, bagaimana membina keluarga kita
menjadi keluarga ideal, yang pada gilirannya dapat menjadikan bangsa kita kokoh
dan kuat? Tiada cara lain untuk mewujudkan keluarga ideal kecuali:
1. Membekali pendidikan agama yang cukup. Minimal anak
diajari membaca al-Qur’an, dan diberi pengetahuan tentang fardlu ain, atau
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi selaku orang muslim. Ini adalah
kewajiban orang tua.
Bila tidak mampu, sepatutnya orangtua menyerahkan
pendidikan anak kepada guru atau atau ustadz atau kiai yang mampu melakukannya.
Ini seperti perintah al-Qur’an dalam Surat at-Tahrim (66) ayat 6:
يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ
نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu..." (QS. at-Tahrim [66]: 6)
Tentu tidak cukup sekedar anak diberi tahu, tetapi orang
tua wajib terus merawat, mengingatkan dan mensupervisi kebenaran akidah,
pengamalan ibadah dan adab atau etika keseharian anak.
2. Hendaknya orang tua menjadi panutan atau role model
bagi anak, baik dalam perilaku keseharian, pengamalan ajaran keagamaan, maupun
kehidupan sosial kemasyarakatan.
•Bila orang tua menyuruh anak jamaah
ke masjid, sudah barang tentu karena orang tua juga berangkat ke masjid.
•Bapak yang melarang anaknya merokok,
tentu karena bapak tidak merokok.
Ibnur Rumi dalam sebuah syairnya berdendang:
ومن قلّة الإنصاف أنّك تبتغي ال ٠ مُهَذَّبَالد
نيا ولَسْتَ المهذَّب
Artinya : “Antara hal yang aneh adalah Anda menginginkan
anak yang terdidik dalam kehidupannya di dunia, sementara Anda sendiri tidak
terdidik”.
3. Senantiasa mendoakan anak agar diberi kemudahan,
kelancaran dan kesuksesan dalam segala usaha, dan kebaikan dalam perilaku dan
pergaulannya.
Terlebih jika doa-doa itu disertai dengan laku tirakat
seperti orang Jawa, atau riyadlah dalam istilah pesantren, yang maksudnya
adalah melakukan ritual tertentu dalam bentuk olah raga dan olah jiwa, untuk
menggapai sesuatu dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Seperti melakukan puasa Senin Kamis, shalat malam, atau
membaca al-Qur’an, sebagai wasilah atau perantaraan, yang kebaikannya
dihadiahkan kepada sang anak. Allah berfirman dalam surat al-Ma’idah (5) ayat
35:
يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِه لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
٣٥
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah, carilah wasilah (jalan untuk mendekatkan diri)
kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya agar kamu
beruntung." (QS. al-Ma’idah [5]:
35)
Upaya-upaya tersebut bila dilakukan oleh orang tua tentu
akan menjadikan hubungan batin yang dekat dan erat antara anak dan orang tua.
Kadang orang tua sudah berusaha mendidik sedemikian rupa, tetap saja anak susah
mengerti, acuh dan bahkan ngeyel.
Menghadapi hal seperti ini, sepatutnya orang tua mengadu
kepada Allah yang menciptakannya, dengan harapan Allah akan memberi keputusan
yang terbaik pada anak tersebut.
Ibaratnya, keris atau tombak yang merupakan benda mati
saja, sebab dimintakan “ampuh atau sakti” oleh sang empu pembuatnya kepada Allah
Ta’ala, bila diperintah untuk “Berdiri!”, maka keris akan berdiri sendiri.
Bukan sebab ada khadam atau penunggunya, tapi karena
kuasa yang diberikan Allah hasil dari riyadlah atau tirakat empu pembuatnya.
Kiranya demikian halnya bila kita meminta kepada Allah
apa saja yang kita minta, termasuk agar anak-anak kita diberi kecerdasan,
ketaatan, kesuksesan dan lain-lainnya yang dengan riyadlah itu, ketika kita
minta agar anak “berdiri, atau ngaji, atau jama’ah”, dia akan segera
melaksanakan apa yang kita perintahkan, di samping karena sadar bahwa yang
memerintah adalah orang tuanya, juga karena dia merasa didorong oleh “kekuatan
gaib” yang mungkin tidak disadarinya.
Dengan tiga hal tersebut, kiranya kita boleh berharap,
keluarga-keluarga kita akan diberikan ketentraman, keharmonisan dan
kebahagiaan. Dan pada gilirannya, bangsa kita akan menjadi bangsa yang kuat dan
selamat, negeri yang aman dan diberkahi dengan berlimpah rejeki:
بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
Jamaah Jum’at rahimakumullah.
Demikian khutbah ini disampaikan, semoga dapat dipahami
dengan baik. Dan semoga kita senantiasa dimudahkan oleh Allah Ta’ala dalam
melaksanakan semua ajaran agama-Nya, amin.
Baca juga: RAHASIA PUASA