Khutbah I
الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ
الصَّالِحَاتُ، وَبِفَضْلِهِ تَتَنَزَّلُ الْخَيْرَاتُ وَالْبَرَكَاتُ، وَبِتَوْفِيْقِهِ
تَتَحَقَّقُ الْمَقَاصِدُ وَالْغَايَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ
لَاشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَانَبِيَّ بَعْدَهُ.
اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ
الْمُجَاهِدِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ أُوْصِيْكُمْ
وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى:
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ
إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا وَلَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah swt,
Tuhan yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Hari ini, kita berkumpul di majelis
Jumat ini untuk bersama-sama beribadah dan merenungi nikmat serta anugerah yang
telah dikaruniakan kepada kita.
Sejenak, mari kita hentikan kesibukan kita untuk
mengingat bahwa setiap napas yang kita hirup, setiap langkah yang kita ambil,
dan setiap rezeki yang kita nikmati adalah rahmat-Nya yang tak terhingga. Mari
kita ungkapkan dengan ucapan ‘Alhamdulillahirabbil alamin’. Hal ini dilakukan
dengan harapan agar kita tidak terjerumus dalam lembah istidraj.
Istidraj adalah pemanjaan agar lebih terjerumus kepada
kehinaan, demikian penjelasan Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Tafsir
Al-Qur’an Al-Majid Al-Nur.
Seseorang yang sedang diuji dengan istidraj akan mengira
bahwa berbagai kenikmatan yang dimiliki adalah kemuliaan dari Allah, padahal
Allah sedang menghinakan perlahan-lahan dan bahkan membinasakan. Dia selalu
berbuat maksiat dan tidak beribadah namun Allah berikan kemewahan dunia. Allah
memberikan harta yang berlimpah padahal dia tidak pernah bersedekah. Allah
karuniakan rezeki berlipat-lipat padahal jarang shalat, tidak senang pada
nasihat ulama, dan terus berbuat maksiat.
Hidupnya dikagumi, dihormati, padahal akhlaknya rusak,
langkahnya diikuti, diteladani dan diidolakan, padahal bangga mengumbar dosa
dan maksiat. Dia sangat jarang diuji dengan sakit padahal dosa-dosanya
menggunung. Tidak pernah diberikan musibah padahal gaya hidupnya penuh jumawa,
meremehkan sesama, dan angkuh.
Allah berikan keluarga yang sehat dan cerdas padahal dia
memberi makan dari harta hasil yang haram. Hidup bahagia penuh canda tawa
padahal banyak orang yang dia zalimi. Kariernya terus menanjak padahal banyak
hak orang yang diinjak-injak. Semakin tua semakin makmur padahal berkubang dosa
sepanjang umur.
Dalam Al-Qur’an Allah mengingatkan:
وَالَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ
مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُوْنَ، وَاُمْلِيْ لَهُمْۗ اِنَّ كَيْدِيْ مَتِيْنٌ
“Dan orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Kami, akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan),
dengan cara yang tidak mereka ketahui.Dan Aku akan memberikan tenggang waktu
kepada mereka. Sungguh, rencana-Ku sangat teguh” (QS Al-‘Araf [7]: 182-183).
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Istidraj itu berasal dari إستدرج- يستدرج- إستدراجا (istadraja-yastadriju-istidrâjan) yang
berakar kata dari درج (daraja) yang secara bahasa berarti
tangga, meningkat, sedikit demi sedikit, tahap demi tahap, ataupun
perlahan-lahan. Sedangkan secara istilah istidraj berarti kenikmatan materi
yang diberikan kepada seseorang yang secara lahir semakin bertambah, tetapi
kenikmatan yang bersifat batin semakin dikurangi atau dicabut, sementara ia
tidak menyadarinya.
Secara lahiriah kemewahan duniawi Allah berikan, namun
secara batiniah perintah ketakwaan (ittaqullah) ia abaikan. Uraian tersebut
diperkuat oleh Rasulullah saw melalui hadits yang berbunyi:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ عَنِ النَّبِىِّ صلى
الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا رَأَيْتَ اللّٰهَ يُعْطِى الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا
عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ. ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللّٰهِ
صلى الله عليه وسلم (فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ
كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا
هُمْ مُبْلِسُونَ
“Dari Uqbah ibn Amir dari Nabi saw,
beliau bersabda: ‘Jika kamu melihat Allah memberikan kemewahan dunia kepada
hamba-Nya yang suka melanggar perintah-Nya, maka itulah yang disebut istidraj.”
Kemudian beliau membaca firman Allah surat al-An`am ayat 44: “Maka tatkala
mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan
semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira
dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan
sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (HR. Ahmad)
Buya Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar jilid 3, menjelaskan
bahwa istidraj menurut QS Al-An’am ayat 44 bermakna dikeluarkan dari garis
lurus kebenaran tanpa disadari. Allah swt memperlakukan apa yang dia kehendaki,
dibukakan segala pintu kesenangan hingga orang tersebut lupa diri.
Bila dianalogikan, ibaratnya tidak ingat bahwa sesudah
panas, pasti ada hujan; sesudah lautan tenang, gelombang pasti datang. Mereka
dibiarkan berbuat maksiat dengan hawa nafsunya hingga tersesat jauh. Lalu,
siksaan Allah datang sekonyong-konyong.
Allah melakukan pembiaran atas maksiat yang dia lakukan.
Memberikan banyak kesenangan yang melalaikan hingga pada saatnya Allah akan
mencabut semua kesenangan sampai dia termangu dalam penyesalan yang terlambat.
Hal ini juga terjadi pada zaman dahulu, istidraj menimpa pada diri Fir’aun dan
Qarun.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Fir’aun diberikan kekuasaan tetapi tetap jumawa. Akhirnya
Allah tenggelamkan ia karena kepongahannya. Ia menjadi manusia yang sombong dan
menentang bahkan mengaku sebagai Tuhan. Akhirnya ia mati ditenggelamkan di
dalam laut bersama pasukannya ketika mengejar Nabi Musa.
Qarun adalah salah satu orang yang hidup pada zaman Nabi
Musa as. Awalnya ia adalah orang miskin yang tidak punya apa-apa. Kemudian
diajarkan kepadanya oleh Nabi Musa tentang cara mengelola emas. Dalam waktu
singkat, ia pun menjadi kaya raya dengan mempunyai banyak emas dan harta
melimpah. Akan tetapi, lambat laun ia mulai lupa kepada Allah.
Qarun dengan kelalaiannya pun dibinasakan dengan ditelan
bersama harta-hartanya. Makanya, kalau hari ini ada yang menemukan harta
tertimbun dalam tanah, orang-orang akan menyebutnya sebagai harta karun, dengan
dinisbatkan kepada harta Qarun yang ditelan bumi. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا
نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا
وَلَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan janganlah sekali-kali
orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah
lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka
hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang
menghinakan” (QS Ali-Imran: 178).
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Istidraj bisa terjadi kepada siapa saja, baik orang awam
maupun ahli ibadah. Orang mukmin akan merasa takut dengan istidraj, yakni
kenikmatan semu yang sejatinya murka Allah SWT. Namun sebaliknya, orang-orang
yang tidak beriman akan beranggapan bahwa kesenangan yang mereka peroleh
merupakan sesuatu yang layak didapatkan.
Biasanya, istidraj diberikan kepada orang-orang yang mati
hatinya. Mereka adalah orang yang tidak merasa bersedih atas ketaatan yang
ditinggalkan dan tidak menyesal atas kemaksiatan yang terus dilakukan.
Secara psikologis, orang yang tertimpa istidraj,
perilakunya sangat terlena dengan semua yang ia punya, sehingga lupa bahwa
semuanya hanyalah titipan sementara. Dia lupa bersyukur atas nikmat yang
diberikan, begitu juga dia gemar melakukan kemaksiatan tanpa merasa berdosa.
Dan menganggap nikmat yang Allah Swt berikan merupakan
sebuah anugerah dan kebaikan untuknya. Ketika hal ini terjadi, maka akan
berakibat nantinya mendapatkan siksaan dari arah yang tidak disangka-sangka.
Maka dari itu, kita perlu meminta pertolongan kepada Allah SWT dan juga
mengasah keimanan agar terus meningkat sehingga menyadari hakikat nikmat dan
siksaan.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Cara termudah untuk membedakan kesenangan yang datangnya
dari kemurahan Allah dengan istidraj adalah ketakwaan. Jika orang tersebut taat
dalam beribadah, bisa jadi nikmat yang diterima adalah kemurahan Allah.
Begitupun sebaliknya, apabila orang tersebut lalai dalam ibadah bisa jadi itu
merupakan istidraj.
Bagi siapa saja yang saat ini sedang diliputi
kebahagiaan, sedang merasakan rezeki yang lancar, kenaikan jabatan atau pun kebahagiaan
lainnya, kiranya perlu mawas diri dan waspada karena bisa jadi saat ini dia
sedang teridentifikasi mengalami istidraj.
Bagaimana cara mengenalinya? Berikut ini adalah ciri-ciri
istidraj yakni: (1) nikmat dunia yang semakin bertambah, namun keimanannya
semakin menurun, (2) mendapat kemudahan hidup meski terus menerus bermaksiat,
(3) rezeki selalu bertambah, meski terus lalai dalam ibadah, (4) semakin kaya,
namun semakin menjadi kikir, dan (5) jarang sakit, namun kerap berlaku sombong.
Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh Syekh Ibnu
Athaillah as-Sakandari dalam al-Hikam, yakni:
خِفْ مِنْ وُجُوْدِ إِحْسَانِهِ إِلَيْكَ وَدَوَامِ
إِسَاءَتِكَ مَعَهُ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ اسْتِدْرَاجاً سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ
لَا يَعْلَمُونَ
“Takutlah pada perlakuan baik Allah
kepadamu di tengah durhakamu yang terus-menerus terhadap-Nya. Karena, itu bisa
jadi sebuah istidraj, seperti firman-Nya, ‘Kami meng-istidraj-kan mereka dari
jalan yang mereka tak ketahui’.”
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan,
bahwa ketika seseorang mendapatkan kenikmatan, baik nikmat materi maupun non
materi, hendaklah ia bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh zat pemberi
nikmat, dan bukannya lupa kepada-Nya. Dan segera bersyukur kepada-Nya, baik
secara lisan, perbuatan maupun keyakinan dalam hati. Realisasi syukur itu bisa
berupa semakin rajin beribadah, bersedekah maupun perilaku-perilaku yang
bermanfaat bagi orang lain.
Begitu bahayanya istidraj, sampai-sampai Umar bin Khattab
pernah berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu menjadi
mustadraj (orang yang ditarik dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan).”
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ،
وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ
اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ
قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah II
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ
لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلٰهَ إِلاَّ اللهُ
وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وِعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا أَمَّا بَعْدُ فَياَ
اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا
أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ
بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى
يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ
وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّٰهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ
وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا
مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ
وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللّٰهُمَّ
أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ
عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ
اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ
الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ
وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا
اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ
اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً
وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا
وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ