Khutbah Pertama
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتَهْدِيْهِ، وَنَعُوذُ بِاللهِ تَعَالَى
مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ
فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ
اللهُ لَهُ نُوْرًا فَمَا لَهُ مِنْ نُوْرٍ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ
خَلْفِهِمْ ذُرِّيَةً ضِعَافًا. (النساء: 9)
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى
مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ. وَأَحْيِنَا اَللَّهُمَّ عَلَى سُنَّتِهِ
وَأَمِتْنَا عَلَى مِلَّتِهِ. وَبَعْدُ؛
Jamaah Jamaah rahimakumullah
Anak adalah buah hati bagi kedua orang tuanya yang sangat
disayangi dan dicintainya.
Sewaktu bahtera rumah tangga pertama kali diarungi, maka
pikiran pertama yang terlintas dalam benak suami istri adalah berapa jumlah
anaknya kelak akan mereka miliki serta kearah mana anak tersebut akan dibawa.
Menurut Sunnah melahirkan anak yang banyak justru yang
terbaik. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
تَزَوَّجُوا الْوَلُوْدَ وَالْوَدُوْدَ
فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمْ.
Artinya: “Nikahilah wanita yang penuh dengan kasih sayang
dan karena sesungguhnya aku bangga pada kalian dihari kiamat karena jumlah
kalian yang banyak.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’I, kata Al Haitsamin).
Namun yang menjadi masalah adalah kemana anak akan kita
arahkan setelah mereka terlahir. Umumnya orang tua menginginkan agar kelak
anak-anaknya dapat menjadi anak yang shalih, agar setelah dewasa mereka dapat
membalas jasa kedua orang tuanya. Namun obsesi orang tua kadang tidak sejalan
dengan usaha yang dilakukannya. Padahal usaha merupakan salah satu faktor yang
sangat menentukan bagi terbentuknya watak dan karakter anak. Obsesi tanpa usaha
adalah hayalan semu yang tak akan mungkin dapat menjadi kenyataan.
Bahkan sebagian orang tua akibat pandangan yang keliru
menginginkan agar kelak anak-anaknya dapat menjadi bintang film (Artis),
bintang iklan, fotomodel dan lain-lain. Mereka beranggapan dengan itu semua
kelak anak-anak mereka dapat hidup makmur seperti kaum selebritis yang terkenal
itu. Padahal dibalik itu semua mereka kering akan informasi tentang perihal
kehidupan kaum selebritis yang mereka puja-puja. Hal ini terjadi akibat orang
tua yang sering mengkonsumsi berbagai macam acara-acara hiburan diberbagai
media cetak dan elektronik, karena itu opininya terbangun atas apa yang mereka
lihat selama ini.
Jamaah JUMAT rahimakumullah
Kehidupan sebagian besar selebritis yang banyak dipuja
orang itu tidak lebih seperti kehidupan binatang yang tak tahu tujuan hidupnya
selain hanya makan dan mengumbar nafsu birahinya. Hura-hura,
pergaulan bebas, miras, narkoba dan gaya hidup yang serba glamour adalah
konsumsi sehari-hari mereka. Sangat jarang kita saksikan di antara mereka ada
yang perduli dengan tujuan hakiki mereka diciptakan oleh Allah Subhannahu wa
Ta'ala , kalaupun ada mereka hanya menjadikan ritualisme sebagai alat untuk
meraih tujuan duniawi, untuk mengecoh masyarakat tentang keadaan mereka yang
sebenarnya. Apakah kita menginginkan anak-anak kita menjadi orang yang jauh
dari agamanya yang kelihatannya bahagia di dunia namun menderita di akhirat?
Tentu tidak. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang
yang sekiranya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)mereka” (An Nisa: 9).
Pengertian lemah dalam ayat ini adalah lemah iman, lemah
fisik, lemah intelektual dan lemah ekonomi. Oleh karena itu selaku orang tua
yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya, maka mereka harus memperhatikan
keempat hal ini. Pengabaian salah satu dari empat hal ini adalah ketimpangan
yang dapat menyebabkan ketidak seimbangan pada anak.
Imam Ibnu Katsir dalam mengomentari pengertian lemah pada
ayat ini memfokuskan pada masalah ekonomi. Beliau mengatakan selaku orang tua
hendaknya tidak meninggalkan keadaan anak-anak mereka dalam keadaan miskin .
(Tafsir Ibnu Katsir: I, hal 432) Dan terbukti berapa banyak kaum muslimin yang
rela meninggalkan aqidahnya (murtad) di era ini akibat keadaan ekonomi mereka
yang dibawah garis kemiskinan.
Banyak orang tua yang mementingkan perkembangan anak dari
segi intelektual, fisik dan ekonomi semata dan mengabaikan perkembangan iman.
Orang tua terkadang berani melakukan hal apapun yang penting kebutuhan
pendidikan anak-anaknya dapat terpenuhi, sementara untuk memasukkan anak-anak
mereka pada TK-TP Al-Qur’an terasa begitu enggan. Padahal aspek iman merupakan
kebutuhan pokok yang bersifat mendasar bagi anak.
Ada juga orang tua yang menyeimbangkan pemenuhan
kebutuhan bagi anak-anak mereka dari keempat masalah pokok di atas, namun usaha
yang dilakukannya kearah tersebut sangat diskriminatif dan tidak seimbang. Sebagai
contoh: Ada orang tua yang dalam usaha mencerdaskan anaknya dari segi
intelektual telah melaksanakan usahanya yang cukup maksimal, segala sarana dan
prasarana kearah tercapainya tujuan tersebut dipenuhinya dengan sungguh-sungguh
namun dalam usahanya memenuhi kebutuhan anak dari hal keimanan, orang tua
terlihat setengah hati, padahal mereka telah memperhatikan anaknya secara
bersungguh-sungguh dalam segi pemenuhan otaknya.
Jamaah JUMAT rahimakumullah.
Karena itu sebagian orang tua yang bijaksana, mesti mampu
memperhatikan langkah-langkah yang harus di tempuh dalam merealisasikan
obsesinya dalam melahirkan anak yang shalih. Di bawah ini
akan kami ketengahkan beberapa langkah yang cukup representatif dan membantu
mewujudkan obsesi tersebut:
1. Opini atau persepsi orang tua atau anak yang shalih
tersebut harus benar-benar sesuai dengan kehendak Islam berdasarkan Al-Qur’an
dan sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam , bersabda:
إِذَا مَاتَ بْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ
إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ، صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ
صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ.
Artinya: “Jika wafat anak cucu Adam, maka terputuslah
amalan-amalannya kecuali tiga: Sadaqah jariah atau ilmu yang bermanfaat atau anak
yang shalih yang selalu mendoakannya.” (HR.Muslim)
Dalam hadits ini sangat jelas disebutkan ciri anak yang
shalih adalah anak yang selalu mendoakan kedua orang tuanya. Sementara kita
telah sama mengetahui bahwa anak yang senang mendoakan orang tuanya adalah anak
sedari kecil telah terbiasa terdidik dalam melaksanakan
kebaikan-kebaikan,melaksanakan perintah-perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala ,
dan menjauhi larangan-laranganNya. Anak yang shalih adalah anak yang tumbuh
dalam naungan DienNya, maka mustahil ada anak dapat bisa mendoakan orang tuanya
jika anak tersebut jauh dari perintah-perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala dan
senang bermaksiat kepadaNya. Anak yang senang bermaksiat kepada Allah
Subhannahu wa Ta'ala , jelas akan jauh dari perintah Allah dan kemungkinan
besar senang pula bermaksiat kepada kedua orang tuanya sekaligus.
Dalam hadits ini dijelaskan tentang keuntungan memiliki
anak yang shalih yaitu, amalan-amalan mereka senantiasa berkorelasi dengan
kedua orang tuanya walaupun sang orang tua telah wafat. Jika sang anak
melakukan kebaikan atau mendoakan orang tuanya maka amal dari kebaikannya juga
merupakan amal orang tuanya dan doanya akan segera terkabul oleh Allah
Subhannahu wa Ta'ala .
Jadi jelaslah bagi kita akan gambaran anak yang shalih yaitu
anak yang taat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , menjauhi
larangan-laranganNya, selalu mendoakan orang tuanya dan selalu melaksanakan
kebaikan-kebaikan.
2. Menciptakan lingkungan yang kondusif ke arah
tercipta-nya anak yang shalih.
Lingkungan merupakan tempat di mana manusia melaksana-kan
aktifitas-aktifitasnya. Secara mikro lingkungan dapat dibagi dalam tiga bagian,
yaitu:
a. Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan sebuah institusi kecil dimana anak
mengawali masa-masa pertumbuhannya. Keluarga juga merupakan madrasah bagi sang
anak. Pendidikan yang didapatkan merupakan pondasi baginya dalam pembangunan
watak, kepribadian dan karakternya.
Jamaah JUMAT
rahimakumullah
Jika anak dalam keluarga senantiasa terdidik dalam warna
keIslaman, maka kepribadiannya akan terbentuk dengan warna keIslaman tersebut.
Namun sebaliknya jika anak tumbuh dalam suasana yang jauh dari nilai-nilai
keIslaman, maka jelas kelak dia akan tumbuh menjadi anak yang tidak bermoral.
Seorang anak yang terlahir dalam keadaan fitrah, kemudian
orang tuanyalah yang mewarnainya, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam
bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ،
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ. (رواه
البخاري)
Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan yang
fitrah (Islam), maka orang tuanya yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani
atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari)
Untuk itu orang tua harus dapat memanfaatkan saat-saat
awal dimana anak kita mengalami pertumbuhannya dengan cara menanamkan dalam
jiwa anak kita kecintaan terhadap diennya, cinta terhadap ajaran Allah
Subhannahu wa Ta'ala dan RasulNya Shallallaahu alaihi wa Salam, sehingga ketika
anak tersebut berhadapan dengan lingkungan lain anak tersebut memiliki daya
resistensi yang dapat menangkal setiap saat pengaruh negatif yang akan merusak
dirinya.
Agar dapat memudahkan jalan bagi pembentukan kepribadian
bagi anak yang shalih, maka keteladanan orang tua merupakan faktor yang sangat
menentukan. Oleh karena itu, selaku orang tua yang bijaksana dalam berinteraksi
dengan anak pasti memperlihatkan sikap yang baik, yaitu sikap yang sesuai
dengan kepribadian yang shalih sehingga anak dapat dengan mudah meniru dan
mempraktekkan sifat-sifat orang tuanya
b. Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan di mana anak-anak berkumpul
bersama teman-temannya yang sebaya dengannya. Belajar, bermain dan bercanda
adalah kegiatan rutin mereka di sekolah. Sekolah juga merupakan sarana yang
cukup efektif dalam membentuk watak dan karakter anak. Di sekolah anak-anak
akan saling mempengaruhi sesuai dengan watak dan karakter yang diperolehnya
dalam keluarga mereka masing-masing. Anak yang terdidik secara baik di rumah
tentu akan memberi pengaruh yang positif terhadap teman-temanya. Sebaliknya
anak yang di rumahnya kurang mendapat pendidikan yang baik tentu akan memberi
pengaruh yang negatif menurut karakter dan watak sang anak.
Faktor yang juga cukup menentukan dalam membentuk watak
dan karakter anak di sekolah adalah konsep yang diterapkan sekolah tersebut
dalam mendidik dan mengarahkan setiap anak didik.
Sekolah yang ditata dengan managemen yang baik tentu akan
lebih mampu memberikan hasil yang memuaskan dibandingkan dengan sekolah yang
tidak memperhatikan sistem managemen. Sekolah yang sekedar dibangun untuk
kepentingan bisnis semata pasti tidak akan mampu menghasilkan murid-murid yang
berkwalitas secara maksimal, kualitas dalam pengertian intelektual dan moral
keagamaan.
Kualitas intelektual dan moral keagamaan tenaga pengajar
serta kurikulum yang dipakai di sekolah termasuk faktor yang sangat menentukan
dalam melahirkan murid yang berkualitas secara intelektual dan moral keagamaan.
Oleh sebab itu orang tua seharusnya mampu melihat secara
cermat dan jeli sekolah yang pantas bagi anak-anak mereka. Orang tua tidak
harus memasukkan anak mereka di sekolah-sekolah favorit semata dalam hal
intelektual dan mengabaikan faktor perkembangan akhlaq bagi sang anak, karena
sekolah tersebut akan memberi warna baru bagi setiap anak didiknya.
Keseimbangan pelajaran yang diperoleh murid di sekolah
akan lebih mampu menyeimbangkan keadaan mental dan intelektualnya. Karena itu
sekolah yang memiliki keseimbangan kurikulum antara pelajaran umum dan agama
akan lebih mampu memberi jaminan bagi seorang anak didik.
c. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat adalah komunitas yang terbesar dibandingkan
dengan lingkungan yang kita sebutkan sebelumnya. Karena itu pengaruh yang
ditimbulkannya dalam merubah watak dan karakter anak jauh lebih besar.
Masyarakat yang mayoritas anggotanya hidup dalam
kemaksiatan akan sangat mempengaruhi perubahan watak anak kearah yang negatif.
Dalam masyarakat seperti ini akan tumbuh berbagai masalah yang merusak
ketenangan, kedamaian, dan ketentraman.
Anak yang telah di didik secara baik oleh orang tuanya
untuk selalu taat dan patuh pada perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala dan
RasulNya, dapat saja tercemari oleh limbah kemaksiatan yang merajalela
disekitarnya. Oleh karena itu untuk dapat mempertahankan kwalitas yang telah
terdidik secara baik dalam institusi keluarga dan sekolah, maka kita perlu
bersama-sama menciptakan lingkungan masyarakat yang baik, yang kondusif bagi
anak.
Masyarakat terbentuk atas dasar gabungan
individu-individu yang hidup pada suatu komunitas tertentu. Karena dalam
membentuk masyarakat yang harmonis setiap individu memiliki peran dan tanggung
jawab yang sama. Persepsi yang keliru biasanya masih mendominasi masyarakat.
Mereka beranggapan bahwa yang bertanggung jawab dalam masalah ini adalah
pemerintah, para da’i, pendidik atau ulama. Padahal Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Salam , bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ. (رواه مسلم)
Artinya: “Barangsiapa di antaramu melihat kemungkaran
hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak sanggup maka dengan
lidahnya, dan jika tidak sanggup maka dengan hatinya. Dan itu adalah
selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Jika setiap orang merasa tidak memiliki tanggung jawab
dalam hal beramar ma’ruf nahi munkar, maka segala kemunkaran bermunculan dan
merajalela di tengah masyarakat kita dan lambat atau cepat pasti akan menimpa
putra dan putri kita. Padahal kedudukan kita sebagai umat yang terbaik yang dapat
memberikan ketentraman bagi masyarakat kita hanya dapat tercapai jika setiap
individu muslim secara konsisten menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, karena
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
Artinya: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman
kepada Allah” (Ali Imran: 110).
Jamaah JUMAT rahimakumullah
Amar ma’ruf adalah kewajiban setiap individu
masing-masing yang harus dilaksanakan. Jika tidak maka Allah Subhannahu wa
Ta'ala , pasti akan menimpakan adzabnya di tengah-tengah kita dan pasti kita
akan tergolong orang-orang yang rugi Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali-Imran: 104).
Untuk itu di akhir khutbah ini marilah kita bersama-sama
merasa peduli terhadap kelangsungan hidup generasi kita, semoga dengan
kepedulian kita itulah Allah Subhannahu wa Ta'ala akan senantiasa menurunkan
pertolonganNya kepada kita dan memenangkan Islam di atas agama-agama lainnya. Marilah
kita berdo’a kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala .
رَبِّ اجْعَلْنِيْ مُقِيْمَ الصَّلاَةِ وَمِنْ
ذُرِّيَّتِيْ، رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءَ. رَبَّنَا اغْفِرْ لِيْ
وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ يَقُوْمُ الْحِسَابُ.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا
وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ
لِيْ وَلَكُمْ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ،
وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ.
Baca juga: 25 + Manfaat gerakan sholat
Khutbah kedua.
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ
لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ. أَمَّا
بَعْدُ؛
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ
عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ
وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ
مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ،
إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ
مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا
نَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ.
اَللَّهُمَ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَرْخِصْ أَسْعَارَهُمْ
وَآمِنْهُمْ فِيْ أَوْطَانِهِمْ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي
الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.