أَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ
وَبَرَكَاتُه
ألْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ
وَنَسْتَغْفِرُهُ * وَنَعُوْذُ بِاللهِ
مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ
فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ * وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَهِ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ * وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه * نٌصَلِّيْ وَنُسَلِّمُ عَلَى رَسُوْلِهِ الْكَرِيْم
وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ إِلَى بَوْمِ الدِّيْن * عِبَادَ
اللهِ أٌوصِيْكُمْ وَإيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَإِنَّ الْجَنَّةَ أُعِدَّتْ
لِلْمُتَّقِيْن * قَالَ تَعَالَى فِيْ الْقُرآنِ الْعَظِيْمِ : يَاأَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ
وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْن *
A.Muqaddimah
Jamaah ied rahimakumullah!
Saat ini kita duduk bersimpuh menghadap ke hadirat Ilahi
rabbi,
kita gemakan takbir, tahmid, dan tahlil pada-Nya,
alamat rasa syukur tiada terhingga.
Iedul-fitri, satu syawal, melepas ramadlan yang penuh
berkah,
merupakan hari kemenangan bagi yang berjuang.
Selama ramadlan kita mendidik diri, membina takwa,
saat ini kita peroleh dan raih hasilnya.
أللهُ أَكْبَر أللهُ أَكْبَر أللهُ أَكْبَر لاَإِلَهَ إلاَّ
اللهُ أَللهُ أَكْبَر أللهُ أكْبَر وَللهِ الْحَمْد * أللهُ أكْبَر كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ
بُكْرَةً وَأَصِيْلاً
Jamaah ied rahimakumullah!
Berhasil atau tidaknya, kita mendidik diri, membina takwa
bisa tampak dan terlihat selepas bulan ramadlan ini.
Sampai di mana nilai ibadah shaum kita, sampai di mana peningkatan takwa kita.
Oleh karena itu, saat ini tepat saatnya bagi kita,
mengevaluasi hasil usaha kita selama ramadlan yang telah kita lewati.
Apakah kita termasuk orang yang meraih peningkatan takwa,
ataukah shaum kita hanya bermilai lapar dan dahaga.
Menilai ibadah shaum, tidak hanya dari aspek ritual, tapi
juga dari aspek sosial.
Orang yang hanya mampu memelihara ibadah ritual, tapi
tidak mampu menjaga ibadah sosial, masih dinilai imannya belum sempurna. Bahkan
dalam surat al-Ma'un ditandaskan sebagai pendusta agama!
Kini, khathib mengajak kita bersama, untuk mencoba
menilai kita semua; apakah kita sudah termasuk pemeluk agama yang paripurna,
ataukah masih mendustakan agama?
Kita coba memperhatikan pengalaman ramadlan yang telah
kita lampaui. Tenyata ramadlan bukan hanya membawa berkah dalam ibadah, tapi
juga dalam hal sosial kemasyarakatan.
Bila kita meninjau sejenak, kehidupan sosial
bermasyarakat, betapa banyak ketimpangan dan kekurang seimbangan.
Kehidupan orang kaya begitu jauh perbedaannya dengan
nasib orang miskin. Penghasilan pejabat tinggi, sangat jauh bedanya dengan
rakyat jelata.
Dari aspek kemakmuran,
saat ini patut kita syukuri, tapi dari aspek pemerataan dan keadilan, masih
memprihatinkan.
Supermarket berdiri megah di sana sini, sementara
pedagang kecil kaki lima semakin terusir.
Gedung tinggi dibangun di berbagai kota dan desa,
sementara yang tuna wisma, masih bergelimpangan di mana-mana.
Lapang golf dan taman yang indah semakin banyak di
desa, para petani pun semakin terseret
kekurangan ladang dan pesawahan.
Para pensiunan masih banyak yang memegang jabatan, para sarjana
yang nganggur pun terus mencari lapangan
Orang berduit semakin mudah berkuasa, orang miskin
semakin kehilangan perlindungan.
Di sana sini pun sering kita temukan, nasib si miskin
terkatung-katung di peradilan; perselisihannya tidak terselesaikan, karena
tidak mampu membiayai perjamaahan.
Sementara yang kaya dengan mudah mencapai tujuan,
membayar pembela dengan jutaan.
Di berbagai tempat, orang miskin kekurangan modal, sedang
yang korupsi mengeruk uang milyaran.
Patut kita membuka mata, tidak hanya merasa bangga dengan
kema'muran, tapi hendaknya pula melihat yang kekurangan. Jika kita membiarkan
ketimpangan, pengusaha jadi penguasa; penguasa jadi pengusaha. Yang benar
dianggap salah, yang salah dianggap benar. Yang sesat dianggap mulia; yang
benar dianggap hina. Yang jujur semakin tertindas, pengkhianat semakin
berkuasa. Masyarakat semacam inilah yang dikutuk Allah dan Rasulullah SAW
sebagai masyarakat yang paling dimurkai Allah (Hr.Tirmidzi dan Hakim, Jamiusshaghir,:171-172).
Orang yang membiarkan ketimpangan sosial, membiarkan
orang miskin tetap miskin dan membiarkan anak yatim terlantar adalah termasuk
pendusta agama.
Penyakit Pendusta agama merajalela
Dengan nada bertanya, Allah SWT berfirman:
أَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِ
*
Tahukah kamu orang yang mendustakan agama (1)
Pertanyaan ini mengundang jawaban, tapi bukan untuk
dijawab secara lisan, melainkan memerlukan jawaban dengan sikap dan perbuatan.
Tahukah kita, siapa pendusta agama?
Apakah kita termasuk pendusta agama? Ataukah termasuk
orang yang membenarkan agama?
Membenarkan ataukah mendustakannya, tergantung kepada
tindakan, akhlaq dan sikap terhadap orang di sekitar kita.
Setelah Allah SWT bertanya; langsung memberikan isyarat tentang
jawabannya.
فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيْمَ
*
Itulah orang yang menghardik anak yatim (2),
Ayat ini menjelaskan tentang orang yang mendustakan
agama.
Pendusta agama adalah orang yang menderita penyakit
menghardik anak yatim.
Mereka tidak menghiraukan nasib anak yatim.
Istilah yatim secara
hakiki bermaknaمَنْ فَقَدَ أَبُوْهُ anak yang ditinggal wafat oleh ayahnya.
Sedangkan secara maknawi, cukup luas maknanya.
ألَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيْم
dalam arti haqiqi, juga cukup banyak contohnya yang kita lihat di masyarakat.
Jika seorang suami meninggal dunia, meninggalkan harta
dan anak-anaknya. Tidak sedikit yang membiarkan hartanya itu dalam keadaan
tirkah tidak dibagikan. Mereka tetap meng gunakan harta peninggalan al-marhum
tanpa perhitungan. Sulit membedakan mana harta anak yatim mana pula harta
dirinya. Bukankah yang demikian itu termasuk mencampur adukan harta anak yatim
secara tidak halal?
Seorang laki-laki meninggal dunia, meninggalkan harta
ke-kayaan dan anak-anaknya. Hartanya itu segera digunakan hajat-an kematian.
Banyak waktu hajatan itu hadir dari kalangan orang kaya dan ikut makan-makan.
Yang dimakan itu tercampuri harta anak yatim. Bukankah yang demikian itu
memakan harta anak yatim secara tidak sah? Alangkah beratnya hukuman bagi orang
yang memakan harta anak yatim secara tidak sah. Allah SWT berfirman: (Qs.4:10)
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ
الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا
وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا *
Sesungguhnya orang yang memakan harta anak yatim secara
zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam neraka yang menyala.
Menurut ayat ini, orang yang memakan harta anak yatim
secara tidak sah, sama dengan mengumpulkan api neraka dan memasuk kan ke dalam
perutnya. Nantinya mereka akan tersiksa baik dari dalam perutnya maupun dari
luar.
Itulah akibat menghardik anak yatim dalam arti memperkosa
haknya.
Yadu'ul-yatim dalam arti membiarkan anak yatim terlantar
pun masih banyak contohnya di masyarakat.
Jika seorang laki-laki meninggal dunia, tak sedikit
anaknya itu terlantar bersama ibunya yang menjanda.
Al-Islam mengajarkan bahwa jika seorang laki-laki
meninggal dunia, maka bukan hanya harta peninggalannya menjadi milik ahli
waris, melainkan tanggung jawabnya pun berpindah ke ahli waris. Tak sedikit di
kalangan masyarakat, yang mengambil harta peninggalan, tapi anak yatimnya
dibiarkan terlantar.
Bukankah yang demikian itu telah ketularan oleh penyakit
mendustakan agama?
أللهُ أكْبَر أللهُ أكْبَر أللهُ أكْبَر
لاَإلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَه أَنْجَزَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ
الأَحْزَابَ وَحْدَه
Jamaah Ied Rahimakumullah!
Pengertian yatim yang kedua adalah anak yang tidak
mendapat perhatian ayah dan ibunya; walau orang tuanya masih ada.
Mereka punya orang tua, tapi hidup sebatang kara.
Mereka berada di rumah orang tua, tapi dengan orang
tuanya sulit berkomunikasi.
Bila mereka berada di lingkungan keluarga, masing-masing
berurusan sendiri-sendiri.
Mereka punya ayah dan ibu, tapi tidak punya tempat
mengadu.
Betapa banyak anak-anak sekarang ini yang kehilangan
kasih sayang orang tua, yang mengakibatkan kenakalan remaja.
Baru baru ini, kita juga dikejutkan sebuah berita, bahwa
beberapa remaja di Jakarta sudah berani menjadi penjual gadis di bawah umur. Orang
tuanya pun tidak mengetahui keadaan anaknya, kecuali setelah polisi
menangkapnya.
Di Bandung juga
telah berdiri sebuah organisasi gadis yang cukup memprihatinkan, yaitu kumpulan
para lesbi, yang beroperasi ke sekolah tingkat SMA.
Na'udzu billah.
Doktrin pembatasan kelahiran pun, mengakibatkan lahirnya
anak yang tidak diharapkan. Akibatnya, anaknya itu sudah dianggap musuh sebelum
dilahirkan.
Akhirnya anak tersebut, menjadi yatim sebelum orangtuanya
meninggal. Dengan demikian semakin banyak orang tua yang menjadi pendusta
agama.
Penyakit pendusta agama yang kedua adalah ditegaskan
firman-Nya:
وَلاَيَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنَ
*
tidak menganjurkan
untuk memberi makan orang miskin (3)
Orang yang tidak mau mengajak sesama untuk mengatasi
kemiskinan adalah termasuk pendusta agama. Dengan demikian, jika ingin dianggap
yang membenarkan agama, bukan hanya memberi sumbangan pada orang miskin, tapi
juga mengajak orang lain.
Berbicara tentang pengentasan kemisikinan, saat ini sudah
men-jadi buah bibir. Slogan tersebut selalu menjadi bumbu berbagai pembicaraan.
Pengentaskan kemiskinan sudah dijadikan sem-boyan di setiap acara dan dalam
berbagai pidato, mulai pusat pemerintahan hingga pedesaan.
Namun di berbagai sudut, masih kelihatan berbagai
ketimpangan.
Salah satu fungsi zakat fithrah adalah thu'matan
lil-masakin.
Dengan zakat fithrah ini, diharapkan semakin lama, orang
miskin makin berkurang. Para mustahiq, diharapkan menjadi muzakki di masa
datang.
Namun zakat fithrah tersebut, tidak semua bisa dibagikan
pada orang miskin, karena ada beban harus disetorkan ke Badan Amil zakat
tingkat yang lebih atas.
Akibatnya, di tingkat pedesaan, orang miskin semakin
bertambah banyak.
Di satu fihak dikatakan ingin mengentaskan kemiskinan,di
lain fihak, hak mereka, tidak diberikan.
Yang demikian itu mengentaskan kemiskinan, ataukah
mengentaskan orang miskin?
Kaum muslimin juga sering mengungkapkan rasa prihatin,
karena kualitas ekonominya kurang pesat.
Di satu fihak mereka merasa prihatin karena mayoritas ekonomi
lemah itu kaum muslimin. Di lain fihak, mereka lebih senang memajukan ekonomi
yang sudah lebih kuat.
Di satu fihak, mereka berjuang tentang nasib kaum lemah,
nasib pedagang kaki lima. Di lain fihak mereka, merasa gengsi membeli barang
kalau tidak dari pertokoan mahal.
Di berbagai tempat ditemukan permasalahan kemiskinan
akibat pengangguran. Di berbagai kesempatan, seminar tentang meng -atasi
pengangguran dibicarakan. Di lain fihak lapangan kerja hanya diperuntukan bagi
yang berduit. Untuk mendapat pe-kerjaan diperlukan modal besar, untuk pelicin,
dan uang jasa.
Akibatnya, orang miskin semakin menjadi miskin, orang
kaya semakin memperbanyak kekayaannya.
Tampaknya, dari segi ini juga, masih banyak pendusta
agama.
Setelah Allah SWT menjelaskan tentang sebagian penyakit
pendusta agama, kemudian menyampaikan ancaman. Ancaman itu tidak hanya berlaku
bagi orang yang tidak pernah ibadah. Orang yang suka shalat pun kalau lalai
dari shalatnya akan terjerumus pada kecelakaan. Ia berfirman:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ *
Kecelakaan bagi orang shalat(4),
أَلَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ
*
yaitu yang lalai dari shalatnya (5)
Menurut kedua ayat ini, orang yang sahun dalam shalatnya,
akan terjerumus pada kehancuran.
Walau pun shalat, kalau tidak dilakukan sebagaimana
mestinya, tetap akan membawa kehancuran. Apalagi jika mereka tidak shalat.
Orang yang tidak shalat akan hancur segala amal perbuatannya.
Ada beberapa pengertian
tentang sahun dalam shalat.
Pengertian yang pertama adalah melalaikan ibadah shalat, hingga
waktunya terlambat, bahkan tidak dilakukan secara kontinu.
Pengertian yang kedua, mungkin saja shalatnya itu
dilakukan tepat waktu dan kontinu, tapi tidak membekas pada perubahan sikap dan
tingkah laku.
Shalat yang sahun, bisa terjadi intern shalat itu
sendiri; bisa juga terjadi di luar pelaksanaannya.
Sahun intern shalat adalah melakukannya dengan cara yang
tidak khusyu dan tidak khudlu. Wajah dan anggota badan menghadap kiblat, tapi
hati tidak menghadap Allah. Lisan basah dengan ucapan dan du'a shalat, tapi
penghayatan maknanya tidak terwujud, hingga tidak merasa bahwa dirinya itu
sedang menghadap Allah SWT. Itulah orang yang lalai dalam pelaksanaan shalat.
Adapula orang mu'min yang khusyu dalam shalatnya, tapi
sahun di luar shalatnya. Mereka adalah orang yang tidak mampu memanipestasikan
makna shalatnya pada tingkah laku sehari-hari.
Ketika shalat ia bertakbir mengagungkan Allah, dengan
Allahu Akbar, di luar shalat bukan Allah yang diagungkan.
Dalam shalat mengucapkan إيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْن hanya pada
Engkau ya Allah aku beribadah, hanya pada Engkau yang Allah berbakti dan
mengabdikan diri.
Ungkapan ini merupakan kebulatan tekad seorang muslim,
untuk tunduk dan patuh kepada Allah; siap berjuang dan berkorban untuk
menegakkan hukum Allah. Tidak akan takut oleh siapa dan apa pun dalam membela
kebenaran demi hanya tunduk pada Allah; tidak akan tunduk pada yang lain. Namun
di luar shalat, masih merasa takut menghadapi tantangan.
Dalam shalat diucapkan قُلْ هُوَ اللهُ أحَد أللهُ الصَّمَد katakan bahwa
Allah itu Esa, Dia tempat bergantung dan meminta. Di luar shalat mempertuhankan
selain Allah, memohon dan bergantung kepada selain Allah.
Dalam shalat dikatakan bahwa Allah itu لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَد
Allah itu tidak beranak dan tidak dilahirkan, di luar shalat langsung atau
tidak memberikan dukungan kepada orang yang beranggapan bahwa Allah punya anak.
Dalam shalat kita berjamaah dengan sesama muslim, yang
ditutup dengan saling mengucapkan selamat, mendu'kan kesejahteraan.
Di luar shalat, saling menyerang gontok-gontokan sesama
muslim. Malah bersahabat dengan non muslim melebihi dengan sesama muslim.
Ketika shalat kita berdu'a bukan hanya untuk diri
sendiri, tapi juga untuk sesama muslim. Di luar shalat, berbeda faham saja
menimbulkan permusuhan. Saling menjelekan karena berbeda furu'iyah, sementara
dengan yang berbeda aqidah menjalin persahabatan.
Dalam shalat kita berdu'a kepada Allah
إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيم صِرَاطَ
الَّذِيْنَ أنْعَمْتَ عَلَيْمْ
Tunjukilah kami ya Allah kepada jalan yang lurus, yaitu
jalan yang ditempuh oleh orang yang Engkau beri ni'mat.
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ bukan jalan
yang ditempuh oleh orang yang dimurkai seperti orang kafir dan yahudi, وَلاَ الضَّالِّيْنَ bukan pula
orang yang sesat seperti orang munafiq dan kaum nasrani. Du'a ini berisi permohonan kepada Allah agar
ditetapkan pada jalan yang benar, jalan yang dicontohkan oleh Rasulullah dan
para nabi dan rasul-Nya. Kita mohon juga pada ayat itu agar dijauhkan dari jalan
yahudi, jalan nashrani dan jalan kesesatan. namun di luar shalat justru banyak
yang mengikuti jalan yahudi dan jalan nasrani. Dalam shalat yahudi dimusuhi, di
luar shalat berdampingan dan bersahabat erat dengan yahudi.
Ada pula kaum muslimin yang dalam ucapannya memusuhi
yahudi, tapi pada perbuatannya mengikuti keinginan yahudi.
Yahudi dan nasrani, ketika shalat dijauhi, di luar shalat
ajarannya diikuti, organisasinya didukung dan dibantu.
Di masjid, dikatakan bahwa kita tidak boleh ikut-ikutan
pada orang yahudi dan nasrani dengan لاَأعْبُدُ مَاتَعْبُدُون aku tidak akan beribadah seperti kalian
beribadah. Tidak akan beribadah seperti yahudi, tidak akan beribadah seperti
nasrani, tidak akan beribadah seperti majusi. namun di luar masjid, valentin
diperingati, ulang tahun dilestarikan, bakar kemenyan tiap jum'at kliwon.
Ternyata masih banyak kaum muslimin yang keadaan di masjidnya berbeda dengan di
luar masjid.
Dalam shalat sadar dan prihatin, bahwa Islam dan kaum
muslimin berhadapan dengan berbagai ancaman dan rintangan. Di luar shalat, kita
tenang dan tentram tanpa kewaspadaan.
Tampaknya masih banyak orang yang sahun dalam shalatnya.
أَللهُ أكْبَر أللهُ أكْبَر أللهُ أكْبر
لاَإلَهَ إلاَّ اللهُ أللهُ أكْبَر أللهُ أكْبَر وَِللهِ الْحَمْدُ
Kaum muslimin juga sering mengatakan bahwa Islam itu
harus dipertahankan hingga mati. Kalimah tauhid ingin diucapkan tatkala
sakaratul-maut. Namun kenyataan masih banyak kaum muslimin yang menyerahkan
keluarganya sebagai pasien ke Rumah Sakit non muslim, hingga tatkala sakarat
sedang memandang patung salib.
Berbagai organisasi Islam didorong untuk berjuang
meneliti makanan, mana yang haram mana yang halal. Sertifikat halal diberikan
kepada makanan yang sudah di anggap halal. Sementara kaum muslimin sendiri
lebih senang makan di restauran milik non muslim, yang sudah jelas tidak halal.
Baca juga: 10+ Prinsip dalam Islam
Penyakit ketiga yang diderita pendusta agama ialah:
أَلَّذِيْنَ هُمْ يُرَآؤُنَ *
yang berbuat riya
(6),
Ria ialah melakukan suatu perbuatan dengan tujuan dan
latar belakang karena manusia bukan
karena Allah. Ria merupakan kebalikan dari ikhlash. Ria dan ikhlash terletak di
hati, sulit dinilai dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu setiap muslim
dituntut agar segala prilakunya bertujuan untuk mencari ridla Allah dan
dilatarbelakangi perintah Allah SWT.
Sifat riya sangat melekat pada setiap pekerjaan, untuk
menghilangkannya bagaikan menghilangkan semut kecil dari atas batu hitam dalam
gelap gulita. Demikian sulit menghilangkan sifat riya dari benak hati kita.
Orang yang beribadah secara terang-terangan, bisa
tergolong ikhlas, jika bertujuan dan berlatar belakang karena Allah.
Orang yang beribadah secara sembunyi, bisa tergolong
riya, jika berlatar belakang manusia.
Keikhlasan dalam ibadah, saat ini sering dirusak oleh
dorongan manusiawi. Banyak manusia yang beranggapan bahwa zakat itu karena
kemanusiaan. Padahal seorang muslim yang mengeluar kan zakat, bukan karena
kemanusiaan, tapi karena Allah. Kita juga menolong sesama manusia harus
dilatar-belakangi karena Allah.
Jika seseorang beramal, baik berupa mu'amalah seperti
tolong menolong, maupun berupa ibadah seperti shalat, karena manusia, maka
termasuk riya. Sedangkan orang yang riya dalam shalatnya menurut surat al-Ma'un
ini termasuk mendustakan agama.
Penyakit yang kelima dari pendusta agama adalah:
وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ
*
dan enggan menolong (7).
Sifat acuh tak
acuh terhadap manusia lain, sekarang ini makin merajalela. Banyak anggota
masyarakat yang hanya mementing kan dirinya sendiri, terutama diperkotaan,
hingga tidak mengenal tetangganya walau paling dekat.
Krisis sosial telah merajalela. Hidup semakin
individualistis.
Memperhatikan keadaan masyarakat saat ini, telah nampak
dan jelas, sifat-sifat pendusta agama telah menular di kalangan kita.
Tentunya kita
tidak boleh membiarkan penyakit semacam ini merajalela.
C.Mengobati penyakit pendusta agama
أَللهُ أَكْبَر أللهُ أكْبَر لاَإِلَهَ إِلاَّ
اللهُ أللهُ أَكْبَر أللهُ اكْبَر وَ ِللهِ الْحَمْدُ
Penyakit
pendusta agama sebagaimana disebutkan tadi, jangan sampai dibiarkan merajalela,
sebab akan menular ke setiap penjuru dunia. Oleh karena itu harus segera
diobati dan disembuhkan.
Sebagai mana telah dikemukakan tadi, bahwa ada lima
penyakit pendusta agama. Kita sembuhkan dengan cara antara lain:
(1) menyantuni anak yatim baik yatim ayah ibunya,
yatim ilmu maupun yatim kasih sayang. Kita tanamkan kasih sayang yang edukatif
terhadap anak kita jangan sampai mereka menjadi anak yatim sebelum ditinggal
oleh ayah ibunya.
Allah SWT berfirman: (Qs.4:9)
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْتَرَكُوْا مِنْ
خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوْاعَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوْا اللهَ
وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا
(2) mengentaskan kemiskinan tidak hanya
memberi mereka dengan yang bersifat konsumtif, tapi meningatkan kualitas
ekonomi mereka. Selain memberikan modal usaha terhadap mereka, memberikan
pasilitas tempat usaha mereka, belanja dari mereka, menyalurkan zakat
sebagaimana mestinya, insya Allah termasuk usaha menyantuni orang miskin.
(3) manifestasikan ruh shalat di luar shalat.
Shalat merupakan
ibadah pokok yang menjiwai segala prilaku seorang muslim. Takbir merupakan
tekad hamba untuk tunduk pada Allah dan pantang tunduk pada yang lain. Surat
al-Fatihah merupakan kebulatan tekad umat hanya kepada Allah mengabdi dan
berbakti; memohon petunjuk Allah agar tetap berada di jalan yang lurus. Selalu
berusaha menegakkan kebenaran dan memberantas kemunkaran dan kesesatan.
Berjamaah dalam shalat juga merupakan gambaran umat Islam yang memiliki tujuan
yang sama. Menanmkan ruhama antara kaum muslimin dan asyida' terhadap orang kafir.
Kita tidak
hanya bertanggung jawab melaksanakan shalat, tapi juga bertanggung jawab
menegakkannya. Menegakkan shalat, selain melakukan tepat pada waktunya, juga
mewujudkan dan memanifestasikan shalat di luar shalat; serta menghancurkan
pilar-pilar yang mengganggunya.
(4) mengikhlashkan segala amal
Pokok
keikhlasan dalam aqidah terutama berdasar surat al-Ikhlash yang berisikan tekad
umat untuk hidup berdasar tauhid, anti kemusyrikan. Tujuan hidupnya hanya untuk
Allah, hanya mengeluh kepada Allah, pantang menjilat mencari muka untuk
kepentingan dunia. Allah diyakini sebagai as-Shamad membukti bahwa seorang
muslim hidupnya tidak bergantung kepada siapapun. Pantang bagi mereka untuk
berharap atau mengemis selain kepada Allah SWT. Ayat lam-yalid walam yulad,
merupakan lambang umat Islam yang tegas dalam akidah. Mereka hanya toleransi
dalam mu'amalah, tapi tegas dalam aqidah dan ibadah. Ayat yang berbunyi lam
yakun lahu kufuan ahad, sebagai bukti keyakinan seorang muslim bahwa tidak ada
yang menyamai Allah. Mereka juga tidak akan menyamakan Allah dengan yang lain.
Tidak akan menyamakan kedudukan siapa pun dengan Allah. Ibadah mereka pun tidak
akan ikut-ikutan kepada orang yang ajarannya tidak bersumber pada ajaran Allah.
Kaum muslimin pun tidak akan menyamakan kedudukan ajaran manusia dengan ajaran
Allah.
(5) Saling tolong sesama muslim
Kita telah menyadari bahwa perekonomian non muslim saat
ini demikian maju. Sedangkan perekonomian kaum muslimin belum bisa melebihi
bahkan menyamai mereka. Pertokoan yang begitu megah, lebih banyak dimiliki non
muslim. Kalau kaum muslimin tidak segera menolong perekonomian umat Islam, maka
akan menimbulkan krisis yang mengkhawatirkan. Kaum muslimin harus segera
membantu peningkatan kesejahteraan sesama muslim. Salah satu langkah yang cukup
penting dalam memajukan ekonomi kaum muslimin adalah hanya membelanjakan
hartanya kepada sesama muslim.
Demikian program menyekolahkan anak dan generasi penerus
kita. Kita berikrar ingin menjadikan anak kita shalih, tapi kita jerumuskan ke
lembaga pendidikan anti Islam. Bagaimana mungkin seorang anak bisa beraqidah
yang benar, jika sehari-harinya dijejali ilmu oleh orang yang anti Islam.
أللهُ أكْبَر أللهُ أكْبَر أللهُ أكْبَر
لاَإلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَه أَنْجَزَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ
الأَحْزَابَ وَحْدَه
D. Penutup dan Du'a
Masih banyak
penyakit pendusta agama, masih banyak pula langkah yang mesti kita tempuh dalam
mengobatinya. Apa yang khatib uraikan saat ini, merupakan pokok yang praktisnya
saja. Semoga kita jangan sampai ketularan penyakit pendusta agama itu. Kita
panjatkan du'a ke hadirat-Nya:
أللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ
الْكَرِيْم وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أجْمَعِيْن
Ya Allah Ilahi rabbi
kami duduk bersimpuh di atas rumput hijau
di bawah langit biru
adalah hamba-Mu yang harap dan damba akan rahmat-Mu.
Engkau Maha rahman dan Rahim,
curahkan kasih gemilang sayang-Mu.
Ya Allah Ilahi rabbi,
kami hamba-Mu yang penuh dosa dan noda,
yang harap dan damba akan maghfirah-Mu,
ampunilah segala dosa kami.
Ya Allah Ilahi Rabby
Engkau telah ajarkan kepada kami,
mana yang benar mana yang salah,
kami ingin menjadi manusia yang benar,
masukanlah kami tatkala masuk pada yang benar,
keluarkanlah kami tatkala keluar pada yang benar,
anugrahkan kepada kami pemimpin yang penolong.
Ya Allah,
kami sadar bahwa dalam menegakkan al-haq itu,
banyak rintangan dan tantangan.
Namun Engkau Maha besar dan kuasa,
kuatkanlah kami menghadapi berbagai halangan dan
rintangan itu
hingga kami termasuk orang yang kuat.
اَللّهُمّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ
وَاْلمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنًاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ
وَالأَمْوَاتِ إِنّكَ سَمِيْعٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ
رَبّنَا لاَتًؤَخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ
أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلىَ
الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تُحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ
وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَنَا فَانْصُرْنَا عَلىَ
الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
رَبّنَا آتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي
اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ لله رَبّ
الْعَالَمِيْنَ