بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الله أكبر 3 x x الله أكبر 3 x الله أكبر 3
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ
كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ
الأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ هُوَ
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ.
اَلْحَمْدُ للهِ الْقَائِلِ: ﴿ إِنَّا
أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأَبْتَرُ ﴾
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
لاَنَبِيَّ بَعْدَهُ، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مَنِ اصْطَفَي، مُحَمَّدٍ
بْنِ عَبْدِ اللهِ، وَعَلىَ آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ وَالاَهُ. أَمَّا بَعْدُ،
فَياَ عِبَادَ اللهِ أوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ
فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
Allahu Akbar 3x wa lillahil hamd!
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Hari ini Umat Islam di seluruh dunia tengah merayakan
Hari Raya Idul Adha. Lantunan takbir, tahmid, dan tahlil yang mengagungkan asma
Allah berkumandang menyambut hari raya ini. Di seluruh dunia, umat Islam
berbondong-bondong memenuhi panggilan Allah Swt, menunaikan shalat ied dan
menyimak uraian ayat-ayat-Nya. Semuanya bersimpuh di hadapan Allah Swt,
menyadari statusnya sebagai hamba Allah, yang harus mengabdi kepada-Nya.
Setelah itu, dilanjutkan dengan amalan sunnah yang lainnya, yakni menyembelih
dan membagikan hewan kurban.
Sementara pada saat yang sama, jutaan umat Islam yang
lainnya, dari berbagai penjuru dunia, setelah datang dan berkumpul di padang
Arafah dan bermalam di Muzdalifah, mereka bergerak ke Mina untuk melaksanakan
manasik haji. Tamu-tamu Allah itu datang dan berkumpul ke Baitullah
semata-mata karena Allah. Saat itu seluruh kaum Muslim di sana berbaur,
bersatu, memusatkan pikiran dan perhatian mereka untuk menjalankan syariat
Allah, yakni ibadah haji. Tak ada perselisihan dan permusuhan. Bahkan segala
atribut kesukuan dan kebangsaan yang selama ini menjadi biang perpecahan di
antara mereka ditanggalkan. Mereka hanya mengingat Allah, dan meminta ampunan-Nya.
Mereka rela berkorban untuk memperoleh keridloan-Nya. Sungguh, semuanya itu
merupakan realitas yang membuat bahagia hati orang-orang beriman, yang
senantiasa merindukan terwujudnya syariah Allah Swt.
Allahu Akbar 3x wa lillahil hamd!
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Namun demikian, di tengah suasana bahagia ini, duka yang
mendalam masih menyelimuti saudara-saudara kita yang menderita akibat tertimpa
musibah bencana alam. Sebagaimana yang telah kita ketahui, tanggal 26 Desember
tahun lalu gempa dan gelombang tsunami telah meluluhlantakkan sebagian besar
wilayah NAD (Nanggroe Aceh Darussalam). Seluruh daerah di Aceh bagian utara dan
sepanjang pantai barat hingga pulau Nias dan sekitarnya porak poranda dihantam
badai tsunami. Selain Aceh dan Sumatera utara, badai tsunami juga menerjang
beberapa wilayah di 11 negara.
Hanya dalam tempo sekejap, ratusan ribu nyawa melayang.
Puluhan ribu lainnya hilang tanpa jejak. Bahkan ada beberapa daerah yang
penduduknya tinggal 15 persen. Bangunan rumah, gedung sekolah, jalan, fasilitas
umum, dan berbagai infrastruktur di wilayah itu juga turut hancur, rata dengan
tanah. Tak terhitung kerugian material akibat bencana itu. Menurut Palang Merah
Internasional, korban bencana tsunami di Asia terbesar sepanjang sejarah.
Mereka yang selamat dari amukan tsunami, bukan berarti
terhindar dari nestapa. Banyak penderitaan berikutnya yang harus mereka alami.
Selain ditinggalkan oleh anggota keluarga dan sanak famili yang dicintai,
mereka menderita kelaparan karena kekurangan makanan, hidup di pengungsian yang
kadang terisolir dari dunia luar. Terancam penyakit menular yang membahayakan,
serta ketidakjelasan masa depan mereka yang amat membutuhkan uluran tangan dan
bantuan.
Nasib yang menimpa anak-anak Aceh jauh lebih memilukan.
Ada puluhan ribu, bahkan ratusan ribu anak Aceh yang kini hidup sebatang kara,
menjadi yatim piatu dan terpisah dari sanak keluarga. Penderitaan mereka juga
makin bertambah karena adanya tangan-tangan jahat. Mereka tidak hanya
kehilangan orang tua yang mengasuh mereka dan terputus pendidikannya, namun
juga menghadapi ancaman orang-orang jahat yang ingin memperdagangkan dan
memurtadkan mereka dari agamanya.
Allahu Akbar 3x wa lillahil hamd,
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Betapa pun amat memilukan, peristiwa itu sudah terjadi.
Jeritan dan tangisan tetap tidak akan mampu mengembalikan mereka seperti sedia
kala. Cucuran air mata dan kesedihan juga tidak akan mengubah kenyataan. Justru
jika kesedihan itu dibiarkan berlarut-larut akan melahirkan berbagai masalah
baru. Depresi mental sampai pada taraf gangguan jiwa justru bisa menjadi muara
kesedihan yang berkepanjangan. Karena itu menjadi keharusan bagi umat Islam
untuk mengembalikan peristiwa tersebut kepada solusi Islam.
Bagi setiap muslim, segala musibah yang menimpa manusia
dan tidak kuasa dicegah dan dihindarinya harus diyakini sebagai qadha dari
Allah Swt. Semua kejadian itu ditetapkan oleh Allah Swt, dan pasti
terjadi. Gelombang tsunami yang menerjang Aceh dan sekitarnya jelas dapat
dikatagorikan dalam persoalan qadha Allah Swt. Justru di sinilah, keimanan kita
terhadap masalah qadha' Allah, bahwa baik dan buruknya qadha' itu semuanya
berasal dari Allah, sedang diuji. Tak ada seorang pun mampu menghalau terjangan
gelombang tsunami yang menggunung. Bahkan mereka yang terhempas gelombang pun
banyak yang terseret arus yang dahsyat itu. Allah Swt berfirman:
﴿ماَ أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ
فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ
نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ﴾
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan tidak
pula pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh
Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah (QS al-Hadid [57]: 22).
Demikian juga terenggutnya ratusan ribu jiwa dalam
bencana tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari qadha-Nya, dimana tak seorang
pun anak manusia yang bisa menunda atau memajukan usia manusia meskipun hanya
sesaat saja (QS Yunus: 49). Allah Swt juga menegaskan, apabila
ajal itu telah datang, kematian pun datang menjemputnya, meskipun manusia
bersembunyi di dalam benteng yang kokoh dan berlapis-lapis. Allah Swt
berfirman:
﴿أَيْنَمَا تَكُونُوا
يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ﴾
Di mana saja kamu
berdoa, kematian akan mendapati kamu, kendatipun kamu berada dalam benteng yang
tinggi lagi kokoh (QS al-Nisa’: 78).
Dengan meyakini, bahwa segala musibah yang menimpa
manusia berasal dari Allah, maka sikap positif akan muncul. Sebab, Allah Swt
Dzat Yang Maha Adil itu tak mendzalimi hamba-Nya. Allah Swt Yang Maha Benar
tidak akan salah dalam menetapkan qadha-Nya. Jika keyakinan itu tertanam kuat
di dalam jiwa dan bersemayam kokoh di dalam dada, maka setiap bencana akan
dipandang sebagai karunia; setiap ujian akan ditatap sebagai anugerah, dan
setiap peristiwa akan menjadi pelajaran yang berharga. Sikap seperti itulah
yang menuntun pelakunya menjadi orang-orang yang sabar dan ridha atas semua
qadha yang menimpanya. Sikap demikian, tidak membebaskan manusia dari
keputusasaan dan kegetiran hidup, namun justru menjadikan pelakunya mendapatkan
kedudukan yang mulia di sisi Allah Swt dan memperoleh pahala besar dari-Nya.
Allah SWT berfirman:
﴿وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ
مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأَمْوَالِ وَالأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
, الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴾
Sesungguhnya Kami akan menimpakan cobaan atas kalian
dengan sedikit ketakutan, kelaparan serta kekurangan harta, jiwa, dan
buah-buahan. Sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu
orang-orang yang jika ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innâ lillâhi
wa innâ ilaihi râji‘ûn." (QS al-Baqarah [2]: 155-156).
Karena itu, pada kesempatan ini kami mengingatkan kepada
mereka yang tertimpa musibah agar menerima musibah tersebut dengan penuh
kesabaran. Bersabarlah terhadap qadha-Nya, niscaya Allah Swt akan mengangkat
derajat kalian menjadi hamba-hamba yang dimuliakan di sisi-Nya. Kemudian,
sisingkan baju dan gunakanlah segala daya yang masih tersisa untuk menghadapi
problem yang masih terus berdatangan.
Bagi yang tidak tertimpa musibah, mereka wajib
meringankan beban penderitaan saudaranya yang terimpa musibah. Rasulullah saw.
bersabda, sebagaimana dituturkan Ibn Umar:
«الْمُسْلِمُ أَخُو
الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ
كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ
عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ»
Seorang Muslim adalah saudara Muslim yang lain, ia tidak
akan menzaliminya dan tidak akan membiarkannya binasa. Siapa saja yang berusaha
memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa saja
yang menghilangkan kesusahan dari seorang Muslim, Allah akan menghilangkan
salah satu kesusahannya pada Hari Kiamat (HR Muttafaq ‘alaih).
Abu Hurairah juga telah meriwayatkan, bahwa Rasulullah
saw:
«كُلُّ سُلاَمَى مِنَ
النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيهِ الشَّمْسُ يَعْدِلُ
بَيْنَ اِلاثْنَيْنِ صَدَقَةٌ وَيُعِينُ الرَّجُلَ عَلَى دَابَّتِهِ فَيَحْمِلُ
عَلَيْهَا أَوْ يَرْفَعُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ
صَدَقَةٌ وَكُلُّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا إِلَى الصَّلاَةِ صَدَقَةٌ وَيُمِيطُ
اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ صَدَقَةٌ»
Setiap anggota badan manusia wajib atasnya sedekah.
Setiap hari—apabila terbit matahari—engkau mendamaikan antara dua orang (yang
berselisih), itu adalah sedekah. Menolong orang berkenaan dengan tunggangannya
(kendaraannya)—engkau mengangkatnya atau mengangkat barang-barangnya ke atas
tunggangannya—itu adalah sedekah. Kata-kata yang baik itu adalah sedekah.
Setiap langkah yang diayunkan untuk shalat adalah sedekah. Menyingkirkan
sesuatu rintangan dari jalan adalah juga sedekah (HR al-Bukhari dan Muslim).
Maka, sudah selayaknya kaum Muslim berupaya semaksimal
mungkin untuk memberikan bantuan kepada para korban bencana. Bukan hanya
makanan, pakaian layak pakai, atau kesehatan, namun juga pemulihan jiwa bagi
saudara-saudara kita yang terguncang serta memberikan proteksi terhadap akidah
dan keimanan mereka dari rongrongan kaum Kufar yang hendak merenggut akidah
mereka. Bukan hanya sekarang, namun sampai kondisinya benar-benar pulih. Pendek
kata, pengakuan bahwa mereka adalah saudara kita, harus benar-benar kita
buktikan secara bentuk riil, dengan membantu meringankan beban penderitaan
mereka. Inilah makna solidaritas yang harus kita tunjukkan, sebagai wujud pengorbanan
(tadhhiyyah) kita di hari yang mulia ini.
Baca juga: Mengapa Wanita Harus Berhijab
Allahu Akbar 3x wa lillahil hamd,
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Selain itu, yang patut diperhatikan adalah, bahwa di
samping menjadi kewajiban seluruh umat Islam, tanggung jawab terbesar untuk
mengatasi semua persoalan akibat bencana tersebut juga ada di pundak para
penguasa. Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw, sesungguhnya
merekalah yang harus memerankan diri sebagai pengayom bagi rakyatanya. Dari Abu
Hurairah ra Rasulullah saw bersabda:
«اَلإِمَامُ جُنَّةٌ
يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَ يُتَّقَى بِهِ»
Imam itu bagai benteng; tempat umat berperang di
belakangnya dan berlindung dengannya (HR Muslim).
Jika dalam hadits itu disebutkan, bahwa imam (pemimpin
atau penguasa) itu bagaikan perisai bagi rakyatnya, maka pemimpin harus mampu
melindungi dan mengayomi rakyatnya dari berbagai hal yang mengancamnya;
termasuk kelaparan, kedinginan, penyakit, ataupun kebodohan; baik dalam kondisi
normal, lebih-lebih dalam keadaan sulit akibat bencana. Rasulullah
saw juga bersabda:
«وَالإِمَامُ رَاعٍ
وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Dan imam (pemimpin) adalah raa’i (pengatur dan
pengelola), dan ia dmintai pertanggungjawaban atas orang yang dipimpinnya itu
(HR Muslim).
Dalam hadits itu, Rasulullah saw menyebut bahwa pemimpin
adalah ra'in, pengatur dan pengelola persoalan hidup dan kehidupan rakyat yang
dipimpinnya. Dalam Mu’jam Mufradat li Alfadz al-Qura'n, kata al-ra’y pada
awalnya berarti menjaga hewan (piaraan), baik dari aspek makananannya agar
tetap mampu bertahan hidup maupun menjaga mereka dari serangan musuh-musuhnya.
Kemudian kata ini digunakan dengan konotasi penjagaan, pemeliharaan, dan
pengaturan. Dengan demikian, berdasarkan hadits Nabi saw di atas, tugas utama
pemimpin adalah menjaga, memelihara, dan mengatur urusan rakyatnya.
Berkaitan dengan tugas ri’ayah (penjaga, pemelihara, dan
pengatur rakyatnya) inilah, ada baiknya kita menyimak nasihat al-Hasan ibn Abu
al-Hasan al-Bashri kepada Umar ibn Abd al-Aziz ketika diangkat menjadi
khalifah. Ulama besar Basrah itu pun berkata:
”Wahai Amir al-Mu’minin, imam yang adil itu bagaikan
seorang penggembala yang menyayangi hewan piaraannya. Ia senantiasa mencarikan
padang rumput terbaik, menyingkirkan segala yang membahayakan, dan
melindunginya dari hewan buas yang akan menerkamnya, serta tidak membiarkannya
kepanasan”.
Tugas dan tanggung jawab inilah yang tampaknya belum
benar-benar diperlihatkan oleh para penguasa di sini. Betapa tidak, hingga hari
kelima, bantuan dari masyarakat sudah mengalir, tetapi belum tersalurkan ke
penampungan, sementara para korban justru terancam kelaparan. Sebab utamanya
adalah belum adanya pemimpin tim penyelamat di daerah-daerah tersebut. Baru
hari kelima itulah pemerintah menetapkan, bahwa Pemerintah Pusat mengambil-alih
kendali pemerintahan di Aceh.
Mayat-mayat
hingga hari kelima masih porak-poranda di bangsal, jalan, atau pinggir pantai
dalam keadaan membusuk. Alat-alat berat dan pengemudinya juga masih sangat
minim. Baru hari kelima Pemerintah mengirimkan alat-alat berat. Sedangkan
Meulaboh, kota paling parah, baru diketahui kondisinya setelah hari tersebut.
Ini adalah bukti yang menunjukkan masih lambannya Pemerintah dalam menangani
para korban di Aceh, Sumut, dan Nias.
Dengan
melihat kenyataan tersebut seluruh elemen masyarakat, baik yang tergabung dalam
ormas maupun partai politik harus mengingatkan penguasa akan tugas dan tanggung
jawab mereka. Muhasabah harus dilakukan, apa pun resikonya. Terhadap orang yang
berani menasehati penguasa, dan mati karenanya Rasulullah saw menyebutnya sebagai
pemuka para syuhada’. Rasulullah saw bersabda:
«سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ
حَمْزَةُ وَرَجُلٌ قَالَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَنَصَحَهُ وَقَتَلَهُ»
Penghulu para
syahid adalah Hamzah dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang fajir,
ia memberi nasihat kepadanya, lalu ia dibunuhnya.
Allahu Akbar 3x wa lillahil hamd,
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Dahsyatnya gempa dan gelombang tsunami ini juga patut
menjadi peringatan bagi kita. Dalam peristiwa itu, kita ditunjukkan betapa
lemahnya manusia. Hanya dalam tempo sekejap, ratusan ribu nyawa melayang. Harta
benda yang seringkali dibanggakan manusia itupun turut musnah seketika. Jabatan
dan kedudukan ternyata sama sekali tak bisa menyelamatkan manusia dari
gelombang tsunami yang dahsyat itu. Padahal, itu baru gempa yang terjadi di
sebagian kecil bumi ini. Jika demikian halnya, atas dasar apa manusia masih
berani bersikap sombong dan takabur di hadapan-Nya?
Karena itu, kita harus mengikis habis kesombongan kita.
Sombong di hadapan Allah Swt adalah merasa diri lebih mengetahui, lebih hebat,
dan lebih unggul daripada Allah Swt sehingga berani berpaling, membangkang,
atau bahkan melawan perintah-Nya. Padahal, Allah Swt telah mewajibkan manusia
untuk tunduk dan patuh terhadap semua ketetapan hukum yang berasal dari-Nya.
Mereka tidak boleh menyimpang dari ketetapan hukum-Nya, apalagi mengubah atau
menggugurkannya. Maka menolak dan membangkang terhadap ketetapan syariah adalah
sebentuk kesombongan, yang akan semakin menjauhkan pelakunya dari petunjuk-Nya.
Allah Swt berfirman:
﴿سَأَصْرِفُ عَنْ ءَايَاتِيَ
الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ
ءَايَةٍ لاَ يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لاَ يَتَّخِذُوهُ
سَبِيلاً وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلاً ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَكَانُوا عَنْهَا غَافِلِينَ﴾
Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan
dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.
Mereka jika melihat tiap ayat-ayat-Ku, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika
mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau
menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami
dan mereka selalu lalai daripadanya (QS al-A’raf: 146).
اَللّهُمَّ صَلِّى وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَمَنْ دَعَا إِلَى اللهِ بِدَعْوَةِ
اْلإِسْلاَمِ وَمَنْ تَمَسَّكَ بِسُنَّةِ رَسُوْلِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ بِإِحسْاَنٍ
اِلى يَوْمِ الدِّيْنِ،
اَللَّهُمَّ اجْعَلْناَ بِاْلأِيْماَنِ
كاَمِلِيْنَ وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ وَلِلدَّعْوَةِ حَامِلِيْنَ وَبِاْلإِسْلاَمِ
مُتَمَسِّكِيْنَ وَعَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ وَفِي الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ
وَفِي اْلآخِرَةِ رَاغِبِيْنَ وَبِالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ وَلِلنِّعاَمِ شاَكِرِيْنَ
وَعَلَى اْلبَلاَءِ صاَبِرِيْنَ.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِيْنُكَ
وَنَسْتَغْفِرُكَ وَلاَ نَكْفُرُكَ وَنُؤْمِنُ بِكَ وَنَخْلَعُ مَنْ يَفْجُرُكَ
اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَلَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ وَإِلَيْكَ نَسْعَى
وَنَحْفِدُ نَرْجُوْ رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ إِنَّ عَذَابَكَ الْجِّدَّ
بِالْكُفَّارِ مُلْحَقٌ اللَّهُمَّ عَذِّبِ الْكَفَرَةَ الَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ
عَنْ سَبِيْلِكَ وَيُكَذِّبُوْنَ رُسُلَكَ وَيُقَاتِلُوْنَ أَوْلِيَاءَكَ
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ
وَالْمُسْلِمَاتِ اللَّهُمَّ أصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ وَأَلِّفْ بَيْنَ
قُلُوْبِهِمْ وَاجْعَلْ فِي قُلُوْبِهِمُ الإِيْمَانَ وَالْحِكْمَةَ
وَأَوْزِعْهُمْ أنْ يُوْفُوْا بِعَهْدِكَ الَّذِي عَاهَدتَّهُمْ عَلَيْهِ
وَانْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ إِلَهَ الْحَقِّ وَاجْعَلْنَا
مِنْهُمْ.
أَللّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ دَوْلَةَ
الْخِلاَفَةِ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ تُعِزُّ بِهَا اْلإِسْلاَمَ وَاَهْلَهُ
وَتُذِلَّ بِهَا الْكُفَّارَ وَاَهْلَهُ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْ بِلاَدَنَا هَذَا
وَسَائِرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ سَخَاءً رَخاَءً.
اَللَّهُمَّ مَنْ أَرَادَ بِناَ سُوْأً
فَاشْغِلْهُ فِي نَفْسِهِ وَمَنْ كَادَنَا فَكِدْهُ وَاجْعَلْ تَدْمِيْرَهِ
تَدْبِيْرَهِ. اَللَّهُمَّ اجْعَلْناَ فِي ضَمَانِكَ وَأَمَانِكَ وَبِرِّكَ
وَاِحْسَانِكَ وَاحْرُسْ بِعَيْنِكَ الَّتِيْ لاَ تَناَمُ وَاحْفِظْناَ بِرُكْنِكَ
الَّذِيْ لاَ يُرَامُ.
اَللَّهُمَّ ياَمُنْـزِلَ الْكِتَابِ
وَمُهْزِمَ اْلأَحْزَابِ اِهْزِمِ اْليَهُوْدَ وَاَعْوَانَهُمْ وَصَلِّيْبِيَِيْنَ
وَاَنْصَارَهُمْ وَرَأْسِمَالِيِّيْنَ وَاِخْوَانَهُمْ وَاِشْتِرَاكَيِّيْنَ
وَشُيُوْعِيِّيْنَ وَاَشْيَاعَهُمْ،
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا اِنْ نَسِيْنَا
اَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ
عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ
لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْلَنَا وَارْحَمْنَا اَنْتَ مَوْلاَنَا
وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَاِفِرِيْنَ. وَآخِرُ دَعْوَانَا عَنِ الْحَمْدِ
للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
أَللهُ اَكْبَرْ أَللهُ اَكْبَرْ أَللهُ
اَكْبَرْ وَ للهِ الْحَمْدُ