WANITA-WANITA YANG HARAM DINIKAHI; RANGKUMAN RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT AHKAM

 RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT AHKAM

KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH SHOBUNI


Daftar Isi : Jilid 1

Muqaddimah

1. Fatihatul Kitab

2. Pandangan Syari'at tentang sihir

3. Nasakh dalam Al Qur-an

4. Menghadap ke ka'bah dalam shalat

5. Sa'i antara safa dan marwa

6. Hukum Menyembunyikan Ilmu Agama

7. Makanan yang Halal dan yang Haram

8. Hukum Qishash mengandung Kehidupan

9. Kewajiban Puasa bagi Kaum Muslimin

10. Perang dalam Islam

11. Menyempurnakan Haji dan Umrah

12. Perang di Bulan-bulan Haram

13. Haramnya Khamr dan Judi

14. Mengawini wanita musyrikin

15. Menjauhi Istri pada Waktu Haidh

16. Jangan Banyak Bersumpah

17. Syari'at Talak dalam Islam

18. Penyusuan

19. 'Iddatul Wafat

20. Meminang dan Hak Mahar

21. Bahaya Riba bagi Kehidupan Sosial

22. Larangan Mengangkat Pemimpin Orang Kafir

23. Wajib Haji

24. Poligami dan Hikmahnya

25. Memelihara Anak yatim

26. Perempuan-perempuan yang Haram Dikawini

27. cara-cara Mengatasi Syiqaq

28. Larangan Shalat Bagi Orang yang Sedang Mabuk dan Junub

29. Tindak Kriminal Pembunuhan dan Hukumnya Menurut Islam

30. Shalat Khauf (Shalat dalam Suasana Bahaya)

31. Makanan yang Haram

32. Beberapa Hukum tentang Wudhu' dan Tayamum

33. Hukuman Pencuri dan Penyamun

34. Denda Pembatalan Sumpah dan Haramnya Arak dan Judi

35. Kemakmuran Masjid

36. Orang Musyrik Dilarang Masuk Masjidil Haram

37. Hukum Pembagian Ghanimah Dalam islam

38. Lari dari Peperangan

39. Teknis Pembagian Ghanimah

40. Menyembelih Qurban Untuk Taqarrub kepada Allah


RANGKUMAN RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT AHKAM

KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH SHOBUNY  (Jilid 1 nomor 26)

WANITA-WANITA YANG HARAM DINIKAHI (Surah Nisa Ayat 19-24)

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا ﴿ ١٩﴾

 [19] Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

   

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا ۚ أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا ﴿ ٢٠﴾

 [20] Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain , sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?

   

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا ﴿ ٢١﴾

 [21] Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

   

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا ﴿ ٢٢﴾

 [22] Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).

   

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا ﴿ ٢٣﴾

 [23] Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

   

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا ﴿ ٢٤﴾

[24] dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

 

Makna Mufrodat

- سلف :  yang terdahulu, yaitu orang – orang terdahulu dari kalangan orang tua dan kerabat.

- فاحشة : secara bahasa adalah “النهاية فى القبح “. Disebut demikian karena merupakan puncak dari kejelekan.

-  مقتا : kebencian dari Alloh dan merupakan kebencian yang paling besar sehingga mereka menamakan nikah tersebut adalah nikah maqti.

-  ربائبكم : jama’ dari ربيبة    , yaitu anak perempuan dari istri dengan suami yang lain

-  حخوركم : maksudnya adalah mereka (anak – anak perempuan istrimu) yang kamu didik di rumahmu. Hal tersebut karena kebanyakan anak perempuan tinggal  bersama dengan ibu dirumah suaminya. Meskipun demikian haram menikahi anak tiri walaupun dia tidak tinggal dirumah suami ibunya.

-  دخلتم : yang telah engkau pergauli

- حلائل : istri dari anak ( menantu). Maksudnya engkau haram menikahi istri dari anak – anakmu, namun tidak termasuk disini anak angkat.

 

Asbabun Nuzul

1. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Orang-orang jahiliyah dahulu, apabila seorang laki-laki meninggal dunia, maka keluarganyalah yang berhak mewarisi istrinya, kalau suka akan dikawin sendiri, dan kalau tidak suka akan dikawinkan denagn laki-laki lain, bahkan kalau ia mau tidak akan dikawinkan untuk selamanya. Dialah yang lebih berhak atas segala-galanya dari pada keluarga perempuan itu sendiri. Begitulah, lalu diturunkan ayat ini: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagimu mewarisi perempuan dengan paksa….” (Ayat 19).

2. Diriwayatkan, bahwa orang-orang jahiliyah dahulu, apabila ada seorang laki-laki yang meninggal dunia, maka anak laki-lakinya dari perempuan lain atau walinya datang, lalu mewarisi perempuan yang ditinggal mati suaminya itu, sebagaimana dia mewarisi hartanya. Perempuan itu dilempari pakaian. Kemudian kalau ia mau, ia kawin sendiri dengan mahar/mas kawin cukup dari suaminya yang pertama tadi, dan kalau mau, ia kawinkannya dengan laki-laki lain sedang maskawinnya diambilnya. Begitulah, lalu cara-cara seperti itu dilarang, yaitu dengan diturunkannya ayat (19) itu.

3. Diriwayatkan, bahwa Abu Qais bin Aslat ketika meninggal dunia, istrinya dipinang oleh anaknya sendiri yaitu Qais. Lalu istri itu berkata : Engkau ku anggap sebagai anakku, dan engkau adalah termasuk putera terbaik di kalangan kaummu. Tunggu dulu, aku akan datang ketempat Rasulullah saw. Minta izin, seraya berkata : Kuanggap dia itu sebagai anak, maka bagaimanakah pendapatmu ? Rasulullah saw. Menjawab : Kembalilah kerumah. Begitulah, maka tidak lama kemudian turunlah ayat ‘’ Dan jangan kamu mengawini perempuan yan pernah dikawini oleh ayah-ayahmu…’’(Ayat 22)

 

Tafsir Ayat

1. Dalam firman Allah : “Kiranya ketidaksukaanmu tentang sesuatu, Allah akan menjadikan padanya kebaikan yang banyak” itu memberikan dorongan kepada para suami supaya sabar dalam menghadapi istrinya dan bergaul dengan cara yang baik, sampaipun ketika dalam keadaan benci kepada mereka. Sebab sering kali terjadi sesuatu yang tidak disukai oleh jiwa, namun didalamnya terkandung kebaikan yang besar.[7] Ayat ini membimbing kita ke satu kaidah yang umum, bukan hanya terhadap perempuan saja, bahkan meliputi seluruh persoalan. Inilah rahasia firman Allah tersebut. Karena itu Allah tidak mengatakan : ”Kiranya kebencianmu kepada istri”, padahal utamanya ayat ini berkisar tentang persoalan berbuat baik kepada istri. Perhatikanlah rahasia itu, karena dia sangat halus.

2. Dalam ayat 21 itu Allah menyebut “bercampur suami istri” dengan kinayah dengan “satu sama lain sudah hidup bersatu”, adalah suatu kinayah (sindiran) yang halus sekali, seperti kata: lamasa, massa, qaruba, dan ghasyia (menyentuh, meraba, mendekati, dan menyelimuti). Semua itu adalah kinayah tentang bercampur. Ini memberikan didikan kepada umatnya supaya membiasakan berlaku sopan dan berperangai dengan perangai Al-Quran. Ibnu ‘Abbas mengatakan: Ifdha’ dalam ayat ini berarti jima’, tetapi Allah justru berbicara dengan kinayah. sedang apa yang disebut “kinayah”, yaitu berbicara dengan cara yang tidak terang-terangan.

3. Al-Qurthubi berkata: ‘Umar bin Khathab pernah berkhutbah, yaitu ia berbicara: “Hai manusia! Jangan kamu berlebih-lebihan dalam memberikan maskawin kepada perempuan, sebab kalau itu dipandang sebagai menghargai perempuan, niscaya Rasulullah saw.-lah yang paling tinggi (penghargaannya kepada perempuan) daripada kalian, namun ia pun tidak pernah memberi maskawin kepada istrinya seseorang terhadap anak perempuannya, lebih dari 12 uqiyah”.

Mendenagr khutbah itu, ada seorang perempuan berdiri seraya berkata: Hai ‘Umar! Allah memperkenankan kepada kami begitu, tetapi justru engkau mengharamkanya? Bukankah Allah telah berfirman: “…padahal kamu telah memberikan (maskawin) kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak… Maka janganlah kamu mengambil barang sedikit pun dari padanya…”? Lalu ‘Umar berdiri lagi, seraya berkata: “Perempuan itu yang betul, ‘Umar yang salah. Semua orang lebih mengerti dari padamu hai ‘Umar”, dan ia pun tidak menyanggah bantahan perempuan tersebut.

4.Zamakhsyari berkata:

“Perjanjian yang keras itu ialah hak bersahabat dan tidur bersama. Disifatinya perjanjian itu dengan keras, karena menunjukkan kuatnya dan besarnya perjanjian tersebut. Mereka berkata: bersahabat 20 hari saja sudah menjadi kerabat, apabila persatuan dan percampuran yang terjadi antara suami istri…”

Asy-Syahab al-Khafaji berkata:

“Bahkan bersahabat satu hari saja sudah menjadi kerabat, seperti yang dikatakan oleh seorang penyair”:

صحبة يوم نسب قريب _ وذمة يعرفهااللبيلب

Bersahabat satu hari, sudah menjadi nasab yang dekat serta tanggungan yang (hal itu) dikenal oleh orang yang berfikir.

 

5.Ar-Razi berkata :

“Tingkat kejelekan itu ada tiga : kejelekan dalam akal, kejelekan dalam agama dan kejelekan dalam tradisi. Maka perkataan “Sesungguhnya mengambil maskawin yang yelah diberikan itu adalah suatu perbuatan yang keji’’ itu, berisyarat kepada kejelekan dalam akal. Sedang perkataan “maqtan/dosa’’ itu menunjukkan kejelekan dalam agama, dan perkataan “dan jalan yang jelek’’ itu menunjukkan kejelekan dalam tradisi. Kalau ketiga tingkatan kejelekan ini sudah berkumpul menjadi satu, maka menunjukkan kejelekan yang luar biasa”..

 

Kandungan Hukum

1.  Banyaknya maskawin yang diwajibkan oleh syari’at Islam.

Mas kawin, dalam pandangan syari’at Islam, ialah suatu pemberian (hibah), yang tidak ada ketentuan banyaknya. Sebab manusia itu berbeda-beda tingkatan kekayaan dan kemiskinannya, dan bertingkat tentang keluasan dan kesempitannya. Oleh karena itu syari’at Islam tidak memberikan batas. Masing-masing orang berhak memberi maskawin menurut kemampuannya dan sesuai kebutuhannya. Para ahli fiqh pun telah sepakat tidak ada batasnya dalam hal maskawin ini, karena tegas-tegas Allah berfirman: ’’… padahal kamu telah memberikan kepada seseorang dari antara mereka itu harta yang banyak, maka janganlah kamu ambil barang sedikit pun dari padanya.

Al-Qurthubi berkata: Ayat ini menunjukkan dibolehkannya berlebihan dalam pemberian maskawin, karena Allah tidak akan memberikan tamsil melainkan dengan sesuatu yang mubah. Lalu ia bawakan kissah ‘Umar, yang diantaranya ‘Umar mengatakan: “Perempuan itu yang benar, sedang ‘Umar yang salah.”

Sementara satu golongan berpendapat: Tidak boleh berlebih-lebihan dalam memberi maskawin. Karena gambaran “qinthar” (harta yang banyak) dalam ayat ini semata-mata lilmubalaghah. Seolah-olah Allah mengatakan: Padahal kamu telah memberikannya dengan jumlah besar yang tidak dilakukan oleh siapa pun. Ungkapannya seperti ini, sama dengan hadist Nabi saw:

من بنى مسجدالله ولوكمفحص قطاة بنى الله له بيثا فى الجنة

“Barangsiapa mendirikan masjid karena Allah, sekalipun hanya sebesar sangkar burung, maka Allah akan mendirikan sebuah rumah untuknya di surga”.

Selanjutnya al-Qurthubi berkata: Para ahli  fiqh sendiri sudah sepakat, tidak ada batas maksimal tentang maskawin ini.

Adapun tentang batas minimalnya, mereka masih berbeda pendapat:

a. Ada yang berpendapat, sedikitnya seperempat dinar. Yang berpendapat demikian, ialah: Madzhab Malik.

b. Ada juga yang berpendapat, sedikitnya 1 dinar, yaitu pendapat abu Hanifah.

c. Bahkan ada pula yang berpendapat, tidak terbatas. Adapun yang kiranya ada harganya, boleh dipakai untuk maskawin. Yang berpendapat demikian itu ialah: Madzhab Syafi’I dan Ahmad.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: tidak ada satupun hadist yang menjelaskan tentang batas minimal maskawin ini. Al-Qurthubi berkata: dasar yang dipakai oleh Imam Syafi’I tentang bolehnya memberi maskawin sedikit dan banyak[8] itu, ialah firman Allah “biamwalikum” (dengan harta-hartamu). Dan inilah yang betul. Diperkuat pula dengan hadist Rasulullah saw.:

لو ان رجلا اعطى ملء يد يه طعاماكانث به حلالا

“Kalau sekiranya seseorang memberi (maskawin) dengan makanan sepenuh dua genggam tangan, niscaya perempuan itu halal baginya.”(HR. Daraquthni dalam sunannya).”

Adapun alasan Malikiyah dan Hanafiyah: bahwa sesuatu yang tidak berharga tidak layak dipakai buat maskawin. Oleh karena itu maskawin itu harus sejumlah harta tertentu. Kemudian oleh karena pencuri dipotong tangannya karena sedikitnya mencuri 1 dinar (menurut pendapat Abu Hanifah) dan ¼ dinar (menurut pendapat Malik), maka jumlah itulah yang dijadikan ukuran maskawin, dengan jalan qiyas.

Sedangkan Abu Hanifah sendiri beralasan dengan hadist yang diriwayatkan Jabir yang artinya: “Sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda:Tidak (sah)maskawin yang kurang dari 10 dirham.” (HR.Daraquthni)

Menurut Syaikh Ali Ash Sahbuni bahwa pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah itulah yang lebih kuat. Sebab Nabi saw. Sendiri pernah mengawinkan seorang sahabatnya dengan maskawin hafalan Al-Qur’an, dimana ia bersabda yang artinya: “Kukawinkan engkau dengan dia dengan apa-apa yang ada padamu dari (hafalan) Al-Qur’an.”

Ia pun pernah bersabda kepada seorang sahabatnya: “Carilah (maskawin perkawinan itu), walaupun cincin dari besi.”(HR. Bukhari dan Muslim).”

Sa’id bin Musayyab penghulu para tabi’in juga pernah mengawinkan anak puterinya dengan maskawin dua dirham, dan tidak ada seorang pun yang menentangnya. Dasar pokok memberikan batas ukuran harus dengan jalan syara’. Sedangkan dalam hal ini tidak ada satu pun hadist shahih yang patut dijadikan hujjah tentang batas minimal maskawin. Begitu sebagai yang dikatakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar. Wallahua’lam.

 

2. Perjanjian yang keras

Dhahhak dan Qatadah berkata: yang dimaksud perjanjian yang keras itu ialah: perjanjian untuk menggauli istri dengan baik, sebagai tersebut dalam firman Allah: “Maka tahanlah ia dengan cara yang baik, atau lepaslah dengan cara yang baik pula.” (QS. Al- Baqarah 229).

Mujahid dan ‘Ikrimah berkata: yang dimaksud perjanjian yang keras itu ialah: Aqad nikah itu sendiri. Ini, berdasarkan sabda Nabi saw.:

اتقواالله فى النساء,فانكم اخذ تموهن بامانةالله واستحللتم فرو جهن بكلمةالله.

“Takut kamu kepada Allah tentang wanita, karena kamu telah ambil mereka itu dengan amanat Allah, dan kamu menjadi halal mencampuri mereka dengan kalimat Allah.”

 

3. Perempuan yang haram dinikahi

Wanita-waanita yang  haram dinikahi ada dua macam, yaitu: wanita haram dinikahi untuk selamanya (tahrim muabad), maupun sementara (tahrim muwaqqot).

a. Wanita yang haram dinikahi untuk selamanya (Tahrim muabad)

Perempuan-perempuan yang haram dikawini untuk selamanya itu ada tiga macam:

Haram karena nasab

Haram karena sesusuan

Haram karena semenda

 

a. Yang haram karena nasab

Menurut isyarat ayat diatas, perempuan yang haram dikawini karena nasab itu ada 7 golongan, yaitu: ibu, anak, saudara, bibi dari bapak, bibi dari ibu, keponakan dari saudara laki-laki, keponakan dari saudara perempuan. Semua ini haram dikawini untuk selama-lamanya.

Termasuk ibu ialah nenek terus keatas, termasuk anak ialah cucu sampai kebawah, termasuk saudara ialah sekandung, sebapak, dan seibu. Termasuk bibi ialah sampai keatas baik dari ayah ataupun dari pihak ibu.

b. Yang haram karena susuan

Yang haram karena susuan inipun ada tujuh orang, seperti yang berlaku pada haram karena nasab. Ini didasarkan atas sabda Rasulullah saw. Sebagai berikut:

يحرم من الرضاعة مايحرم من النسب.

“Haram karena susuan, ialah apa-apa (perempuan) yang haram karena nasab.” (HR. Muslim)

Sedang dalam ayat diatas menyebutkan: Ibu dan Saudara. Ibu adalah pokok, sedangkan saudara adalah cabang. Dari situ cobalah perhatikan yang menyangkut semua pokok dan yang menyangkut semua cabang. Lalu hadist Nabi saw. Diatas menjelaskannya dengan nash yang jelas dan tegas.

Dalam hadist yang shahih, tentang anak perempuannya Hamzah, oleh Rasulullah saw. Dikatakan:

انها ابنة اخى من الرضاعة.

“Bahwa dia adalah anak perempuannya saudaraku sesusu.”

c.  Yang haram karena semenda (perkawinan)

Yang haram karena semenda ini oleh ayat diatas disebutkan ada empat, yaitu:

a. Istrinya bapak, sebagaimana firman Allah: “dan janganlah kamu mengawini perempuan yang pernah dikawini oleh bapak-bapakmu.”

b.Istri anak (menantu), sebagaimana difirmankan Allah: “dan istri-istrinya anak-anakmu yang berasal dari sulbimu.”

c. Ibunya istri (mertua), sebagaimana difirmankan Allah: “dan ibu-ibunya istrimu.”

d. Anak perempuannya istri, apabila ibunya (istri) itu telah dicampuri, sebagaimana firman Allah: “dan anak-anak perempuannya istrimu yang berada dipangkuanmu yang sudah kamu campuri mereka itu. Tetapi jika belum kamu campuri mereka itu, maka tidak ada dosa atas kamu.”

Yang pokok dalam masalah ini ialah: bahwa ibunya istri itu menjadi haram semata-mata karena sudah ada aqad nikah dengan anaknya. Tetapi sebaliknya, si anak baru menjadi haram karena ibunya sudah dicampuri, yaitu sebagaimana dikatakan oleh ayat diatas:”… yang kamu telah campuri mereka itu”.

Dari sini para ‘ulama beristimbat, sehingga membuat suatu kaidah pokok:

العقد على البنات يحرم الامهات و الدخول بالامهات يحرم البنات.

“Aqad atas anak perempuan menyebabkan haramnya ibu. Sedangkan bercampurnya dengan ibu menyebabkan haramnya anak.”

 

 

b. yang haram dikawini untuk sementara waktu (Tahrim Muwaqot)

Ayat Al-Quran diatas member isyarat akan adanya perempuan-perempuan yang haram dikawini untuk sementara waktu. Mereka itu ada dua macam:

1. Memadu antara dua saudara, yaitu sebagaimana difirmankan Allah: “dan (haram atas kamu) memadu antara dua saudara dengan bibinya, baik dari bapak ataupun dari ibu,”

Rasulullah saw bersabda:

عن ابى هريرة ان النبي ص.م نهى ان يجمع بين المراة و عمتها وبين المراة وخالتها.

“Dari Abu Hurairah: sesungguhnya Nabi saw. Melarang memadu seorang perempuan dengan bibinya dari bapak dan antara perempuan dengan bibinya dari ibu.”

Adapun hikmahnya, sebagaimana diriwayatkan Ibnu ‘Abbas:

نهى رسولل الله ص.م ان يتزوج الرجل المر اة على العمة او على الخا لة وقال: انكم اذ فعلتم ذلك قطعتم ارحامكم.

”Rasulullah saw. Melarang seorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan bersama bibi dari bapak, atau bersama bibi dari ibu. Dan ia pun bersabda: sesungguhnya kamu jika mengerjakan yang demikian itu, maka berarti kamu memutus kekeluargaanmu.

2.  Kawin dengan istri orang lain atau perempuan yang masih dalam ‘iddah (dalam talak raja’i) sebagai melindungi hak suami. Sebagaimana firman Allah:

والمحصنات من النساء

“Dan (haram atas kamu mengawini) perempuan-perempuan yang bersuami.”

Perempuan yang masih dalam ‘iddah (dalam talak raja’i) hukumnya sama dengan perempuan yang masih bersuami, sebagaimana terdahulu dalam surat al-Baqarah, yaitu: “Dan jangan kamu berazam untuk aqad nikah, hingga ketentuan (iddah) itu telah sampai pada waktunya”. Disana telah kami terangkan juga segi hikmahnya.

 

 

4. Apakah bercampur dengan ibunya istri (mertua) menyebabkan haramnya perkawinan?

Para ‘ulama berbeda pendapat tentang masalah seorang laki-laki yang berzina dengan ibunya istri atau anaknya (anak tiri), apakah ini bisa menyebabkan haramnya perkawinan atau tidak?

Abu Hanifah dan dua orang rekannya berpendapat: menyebabkan haramnya perkawinan. Ini adalah dua pendapat Tsauri, Auza’i, dan Qatadah.

Dan Syafi’i berpendapat: Tidak menyebabkan haramnya perkawinan. Sebab perbuatan haram itu tidak dapat megharamkan yang halal. Ini, juga pendapat Laits, Zuhri, dan Madzhab Malik dalam Muwath-tha’.

Adapun sebab terjadinya perbedaan pendapat itu, karena perbedaan dalam mengartikan kata “nikah”, apakah dengan arti: setubuh ataukah sekedar aqad? Orang yang mengartikanya “setubuh”, maka semata-mata setubuh menyebabkan haramnya perkawinan, sekalipun karena berzina. Dan siapa yang mengartikan “aqad”, maka perzinaan itu tidak menyebabkan haramnya perkawinan.

Hanafiah lebih condong kepada arti setubuh. Mereka mengatakan: Hakekat nikah itu ialah setubuh. Sedangkan nikah dalam arti aqad, adalah majaz. Dan membawa kepada arti hakekat lebih baik, sehingga ada dalil yang mengalihkan kepada arti majaz. Dan kalau diartikan setubuh, maka tidak dibedakan antara setubuh yang halal dan setubuh yang haram.

Sedangkan Syafi’iyah lebih condong kepada arti aqad, seraya berkata: Diantara yang menunjukkan kepada arti aqad itu, ialah dilihat dari segi analisa, bahwa Allah menjadikan haramnya perkawinan karena semenda itu, adalah demi penghormatan kepada ibu, sebagaimana halnya haramnya perkawinan karena nasab, adalah jugademi penghormatan kepada nasab ini. Oleh karena itu, bagaimana mungkin zina itu dapat dijadikan sebagai penghalang perkawinan, padahal dia adalah perbuatan yang jijik dan dosa.

Imam Syafi’i sendiri berkata di dalam al-Umm: “Jika seorang laki-laki berzina dengan isteri ayahnya (ibu tiri), atau dengan ibu isterinya (mertua), maka dia durhaka kepada Allah, tetapi isterinya sendiri itu tidak menjadi haram atasnya, juga atas ayah dan anaknya. Sebab Allah mengharamkan (sesuatu) dengan menghormat yang halal itu adalah untuk meninggikan halalnya itu serta menambah ni’matnya apa yang dibolehkannya, di samping untuk menetapkan hukum haram yang belum terjadi sebelumnya. Dan dengan itu  Allah mewajibkan beberapa kewajiban. Sedang haram tidak sama dengan halal.

 

 

 

Komentar atau pertanyaan, silakan tulis di sini

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama