RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT AHKAM
KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH SHOBUNI
Daftar Isi : Jilid 2
1. Had dalam Syari'at Islam
2. Menuduh Zina Wanita yang Baik-Baik itu Dosa besar
3. Li'an Antara Suami dan Istri
4. Dibalik Peristiwa Fitnah
5. Tata Krama Masuk Rumah Orang Lain
6. Ayat-Ayat tentang Hijab dan Melihat Lain Jenis
7. Anjuran Kawin dan Menghindari Melacur
8. Minta Izin Masuk Kamar Orang Tua Pada Waktu-Waktu Tertentu
9. Makan Di Rumah Keluarga
10. Taat Kepada Kedua Orang Tua
11. Pengangkatan Anak (Adopsi) di Zaman Jahiliyah dan Islam
12. Warisan Untuk Dzawil Arham
13. Talak Sebelum Disentuh
14. Beberapa Hukum tentang Perkawinan Nabi saw.
15. Di Antara Tata Krama dalam Walimah
19. Kedudukan Hilah dalam Syari'at
20. Perang Dalam Islam
21. Membatalkan Amal yang Sedang dalam Pelaksanaan
23. Hukum Menyentuh Mushhaf Al Qur-an
24. Dhihar dan Kaffaratnya Dalam Islam
25. Berbicara dengan Rasulullah saw
26. Perkawinan Antar Agama
27. Shalat Jum'at dan Hukum-Hukumnya
28. Hukum-Hukum Talak
29. Hukum-Hukum Iddah
30. Membaca Al Qur-an
RANGKUMAN RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT AHKAM
KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH SHOBUNY
TUDUHAN ZINA TERMASUK DOSA BESAR
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ
يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا
تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (4) إِلا
الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ (5 )
“Dan orang-orang yang menuduh zina
terhadap muhshonat (wanita-wanita yang baik-baik) dan mereka tidak mendatangkan
empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali
dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka selama-lamanya. Dan mereka
itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu
dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. “ (An-Nur: 4-5)
Dalam ayat di atas, Allah mengancam kepada
siapapun yang menuduh zina terhadap seorang mukmin dan mukminah sedangkan ia
tidak mendatangkan empat saksi atas itu, maka baginya tiga hukuman:
1. Dicambuk delapan puluh kali.
2. Tidak diterima kesaksiannya
selama-lamanya
3. Mendapat gelar kefasikan.
Kecuali bila bertaubat setelah itu maka
kesaksiannya kembali diterima dan terhapus darinya gelar kefasikan.
Jadi, siapa saja yang menyatakan tentang
saudaranya bahwa ia pezina atau telah berzina, bila ingin selamat dari 3
hukuman ini, ia harus mendatangkan empat saksi. Ya, empat saksi yang jujur. Dan
itu pun harus melihat dengan jelas, tidak samar-samar.
Tak cukup menyatakan telah berzina, hanya
karena melihat mereka berdua masuk ke kamar.
Tidak cukup dikatakan berzina, cuma karena
melihat mereka berdua sudah tak berbusana.
Tak cukup dikatakan berzina, semata-mata
karena mereka sudah tidak berbusana dan (maaf) berpeluk-pelukan. Semua itu
tidak cukup, sampai terlihat “timba masuk sumur”!
Itulah yang diterangkan dosen yang
mengajarkan tafsir di kelas beberapa tahun lalu.
Dosen lain yang juga mengajarkan materi
yang sama menerangkan bahwa syarat ini (mendatangkan empat orang saksi yang
jujur) bukanlah sesuatu yang bisa ditawar-tawar lagi.
Bila seseorang menyatakan bahwa orang lain
telah berzina sedangkan yang bersaksi bersamanya hanya satu orang, maka mereka
berdua berhak mendapatkan tiga hukuman di atas. Bila yang bersaksi bersamanya
dua orang, maka mereka bertiga juga berhak mendapatkan tiga hukuman itu. Dan
bila yang bersaksi bersamanya cuma tiga orang, maka mereka semua berhak pula
mendapatkan tiga hukuman tadi, meskipun mereka semua menyaksikan dengan jelas
“timba masuk sumur”, sampai ia mendatangkan empat saksi yang jujur yang
menyaksikan itu dengan jelas, tidak samar-samar.
“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak
mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak
mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang
dusta. “ (An-Nur: 13)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa pada sisi
Allah artinya menurut hukum Allah.
Jadi meskipun seseorang melihat dengan mata
telanjang dan sangat jelas bahwa orang yang ia lihat telah berzina, namun jika
ia bersaksi dengan penglihatannya itu tanpa disertai dengan kesaksian empat
orang yang jujur, maka ia dihukumi telah berdusta menurut hukum Allah.
Ada yang merasa sesak mendengar itu. “Tapi
kan, si fulan itu bukan orang ‘baik-baik’! “ujarnya.
Betul, ia memang seperti kakaknya (dalam
akhlak), bukan orang yang ‘baik-baik’. Saya sendiri mendengar, melihat dan
mendapatkan kabar dari beberapa kerabat, memang lahiriahnya tidak menunjukkan
bahwa ia orang yang ‘baik-baik’. Ia tidak memakai busana syar’i, tidak menjaga
pergaulan dengan lawan jenis, dan tidak pula berakhlak karimah. Akan tetapi
‘sayang’nya, keadaannya yang seperti itu bukan berarti bisa dijadikan alasan
untuk menyebarkan aib yang telah ia lakukan.
Berkata Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni,
“Terdapat isyarat yang halus pada penyebutan Allah dalam ayat dengan kata ‘ihshon’
(baik/ menjaga kehormatan) yaitu bahwa siapa yang menuduh zina terhadap
seseorang yang tidak ihshon (tidak baik/ menjaga kehormatan) baik itu
pria maupun wanita, maka ia tidak dihukum layaknya seorang yang menuduh zina
terhadap orang yang tidak berhak. “
Tapi jangan ‘gembira’ dulu, sebab beliau
berkata, “Namun, dengan tidak adanya hukum had pada lima kasus ini (menuduh
berzina terhadap seorang anak kecil, gila atau kafir atau budak atau orang yang
bukan baik-baik), bukan berarti orang yang menuduh berzina terhadap lima
kelompok di atas tidak berhak mendapatkan hukuman, bahkan ia berhak untuk
mendapatkan ta’zir (‘pelajaran’ dari yang berwenang selain hukum had)
yang sekeras mungkin, karena ia telah menyebarkan fahisyah/kekejian(aib
perzinaan), sedangkan Allah telah memperingatkan tentang itu dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji
itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih
di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kalian tidak mengetahui.
” (An-Nur: 19)” (Rawai’ul bayan Tafsiru Ayatil Ahkam minal Quran hal.
42&46)
Demikianlah syariat kita memandang besar
permasalahan ini. Karena semua ini menyangkut kehormatan seorang muslim.
Sedangkan agama kita sangat menjaga kehormatan seorang muslim.
“Riba itu memiliki tujuh puluh tiga pintu.
Yang paling ringannya, semisal seseorang yang bersetubuh dengan ibunya. Dan
sesungguhnya riba yang paling parah adalah pelanggaran terhadap kehormatan
seorang muslim. “ (HR. Ibnu Majah: 2275)
Mengingat agungnya kehormatan seorang
muslim itulah, mengapa Rasulullah di akhir hayatnya, di haji terakhirnya,
mengingatkan tentang hal tersebut,
“ Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan
kalian terjaga, seperti terjaganya hari kalian ini (hari arafah), di negeri
kalian ini (tanah suci) dan di bulan kalian ini (Dzulhijjah). Kelak kalian
bertemu Rabb kalian dan Dia akan menanyakan tentang amalan-amalan
kalian….Bukankah telah kusampaikan? Bukankah telah kusampaikan? Para Shahabat
menjawab, “Ya. “ Beliau berkata, “ya Allah, saksikanlah..”(HR. Bukhari: 3197
dan Muslim: 1679)