Terjemah Kitab Uqudul Lijain (Syarah dari kitab Risalah ba'dh al-Nasihin)
Judul versi terjemah: Etika Berumah Tangga
Nama yang dikenal di Arab: Nawawi bin Umar bin Ali Al-Bantani atau Nawawi Al-Jawi (Ù…Øمد بن عمر بن على نووي البنتني الجاوي الإندونيسي)
Lahir: Banten, Indonesia
Meninggal: Makkah, 1316 H/ 1898 M
Kata Pengantar
Sekapur Sirih
Bab 1, Hak-hak Istri Atas Suami
Bab 3, Keutamaan Sholat Wanita Di Rumahnya
Bab 4 Larangan Melihat Lawan Jenis
Penutup
BAB I : HAK-HAK ISTRI ATAS SUAMI
Allah Swt. berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 19: “Dan bergaullah dengan
mereka (waanita) secara patut."
Dalam surat Al-Baqarah ayat 228, Allah
Swt. Juga berfirman:
‘Dan mereka mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban menurut cara yang
ma’ruf. Akan tetapi kaum laki-laki (suami) mempunyai satu tingkat (kelebihan)
daripada mereka. ”
Yang dimaksud dengan patut dalam firman
Allah Swt. yang pertama adalah bijaksana. Ini dimaksudkan bahwa laki-laki harus
bijaksana dalam mengatur waktu untuk istri. Demikian pula dalam kaitannya dengan
masalah nafkah yang merupakan bagian dari hak istri. Hal lain yang terkait
dengan masalah kepatutan di sini ialah kehalusan dalam berbicara.
Mengenai masalah keseimbangan antara hak
dan kewajiban wanita, firman Allah Swt. yang kedua itu menunjukkan bahwa
laki-laki dan wanita mempunyai
hak yang sama dalam menuntut kewajiban terhadap yang lain sebagai suami istri,
bukan dalam masalah kelamin. Dalam hubungan ini, hak mereka berbeda.
Karena laki-laki berhak untuk berpoligami. Adapun yang dimaksud dengan cara
yang “ma’ruf ialah cara yang baik menurut pandangan agama, seperti bersopan
santun, tidak melakukan hal-hal yang dapat melukai perasaan, baik bagi suami
maupun istri, bahkan sampai pada batas berdandan. Sebab, hal itu merupa-
kan suatu cara yang ma’ruf.
Oleh karena itu, masing-masing dari
keduanya berkewajiban untuk melakukannya, mengingat bahwa hal tersebut
merupakan bagian dari apa yang dimaksud dalam ayat di atas. Itulah sebabnya
Ibnu Abbas r.a. berkata: “ Maksud dari cara yang ma’ruf itu ialah, bahwa saya
senang berdandan demi istri saya, sementara diapun senang berdandan demi diri
saya.”
Selain itu, ada hal lain yang perlu
disebutkan di sini, yaitu maksud ayat yang menyatakan bahwa laki-laki, yakni
suami mempunyai tingkat kelebihan daripada istri. Hal ini terkait dengan hak
suami yang diperolehnya atas tanggung jawab suami itu sendiri dalam memberikan
maskawin dan nafkah bagi istrinya. Dalam hubungan ini, suami berhak mernperoleh
ketaatan istri. Dengan demikian, maka istri wajib
taat kepada suami sehubungan dengan tanggung jawabnya dalam mewujudkan dan
memelihara kemaslahatan istri, di samping kesejahteraan hidupnya ditanggung
suami.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi
Muhammad Saw. ketika melakukan ibadah haji wada’, haji terakhir, beliau yang
kala itu tepat pada hari Jumat, menyatakan khotbah hari Jumat. Setelah ucapan
puji dan syukur kepada Allah Swt. Beliau menyatakan:“ Ketahuilah olehmu bahwa
kamu sekalian hendak-
nya melaksanakan wasiatku, yaitu melakukan hal yang terbaik bagi wanita. Mereka
' itu tertahan di sisimu. Bagimu tidak ada pilihan lain dalam menghadapi mereka
selain apa yang aku wasiatkan itu, kecuali kalau mereka melakukan fakhisyah 1
secara jelas. Apabila mereka melakukannya, maka kamu sekalian hendaknya
menghindar dari mereka di tempat peraduan dan berikanlah pukulan yang tidak
memberatkan. Akan tetapi kalau mereka taat kepadamu, maka kamu sekalian tidak
boleh mencari jalan untuk memukul mereka. Ketahuilah bahwa kamu sekalian
mempunyai hak atas istrimu dan mereka pun mempunyai hak atas dirimu. Adapun hak
kalian atas mereka adalah bahwa mereka itu tidak memperkenankan tilam milikmu tersentuh
oleh orang lain yang tidak kamu sukai, dan tidak mengizinkan rumahmu dimasuki
orang lain yang tidak kamu sukaipula. Dan ingatlah bahwa kamu sekalian harus
menunjukkan kebaikanmu terhadap mereka baik dalam memberikan sandang maupun
pangan. ”(HR. Turmudzi dan Ibnu Majah)
Dalam hadis di atas Nabi Muhammad Saw.
bermaksud memberikan perhatian kepada kaum muslimin agar mendengarkan apa yang
diwasiatkan kepada mereka dan selanjutnya melaksanakan wasiat itu. Dalam hal
ini beliau menganjurkan agar kaum muslimin berhati lembut terhadap istri serta menunjukkan
perilaku yang baik dalam bergaul dengan mereka. Itulah yang dimaksud dengan
melakukan hal yang terbaik bagi wanita. Sebab, wasiat Nabi Muhammad Saw. dalam
hadis di atas sudah barang tentu muncul karena faktor lemahnya wanita, termasuk
di dalamnya kebutuhan wanita itu sendiri terhadap keluhuran budi suami sebagai
seorang yang mampu menyediakan hal-hal yang menjadi keperluan mereka.
Selanjutnya, Nabi Muhammad Saw.
menggambarkan istri itu sebagai “wanita yang tertahan”. Di sini beliau
memandang insan yang lemah itu sebagai tawanan, karena mereka itu pada dasarnya
ditahan oleh suami kendatipun itu berlangsung di tempat kediamannya. Akan
tetapi tawanan yang satu ini tidak sama dengan tawanan pada umumnya, karena di
dalam riwayat yang lain Nabi Muhammad Saw. memberikan perhatian bahwa istri
adalah titipan Allah Swt. yang menuntut tanggung jawab yang sangat besar dari
suami. Apabila laki-laki menerima titipan yang amat mulia ini, berarti mereka
telah menerimanya sebagai amanat dari Allah Swt.
Sehubungan dengan hal tersebut, laki-laki dituntut untuk memiliki cara yang
paling baik dalam bergaul dengan istrinya sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad
Saw. yang luhur. Jika mereka melihat adanya nusyuzyang secara riil dilakukan
istri, maka hadis tersebut menunjukkan cara yang bijaksana, yaitu menghindari
tempat peraduan dalam arti tidak tidur beserta istri. Pola sikap seperti ini
dalam jangka waktu yang tidak terbatas, karena yang dimaksud adalah pulihnya
ihwal yang positif.
Dengan demikian, apabila menghadapi istri
dalam nusyuznya, maka suami dapat mengambil sikap tersebut dalam rentang waktu
yang panjang, kendatipun sampai dua tahun. Setelah istri menyadari
kekhilafannya dan kondisi positif seperti yang diharapkan terwujud kembali dalam
diri sang istri, pada saat itu suami tidak boleh
menghindar seperti sedia kala.
Selain itu, kiranya perlu disebutkan di
sini, bahwa sebagian ulama ada yang mengemukakan pendapatnya mengenai batas
waktu menghindar bagi suami Dalam pendapat tersebut dikatakan bahwa jangka waktu
untuk itu ialah satu bulan.
Andaikata ihwal istri tidak berubah,
padahal suami telah melakukan cara yang amat bijaksana seperti apa yang
diutarakan di atas, maka suami diperkenankan melakukan pukulan yang tidak
memberatkan.
Hal ini dimaksudkan bahwa istri
memperoleh pelajaran lain berupa pukulan ringan yang sifatnya tidak meninggalkan
bekas di tubuh. Jangan sampai terjadi bahwa pukulan itu begitu kuat sehingga
membuat noda pada anggota badan. Apalagi sampai terjadi penyebab terjadinya cidera
Itulah yang harus diperhatikan dalam menerapkan sabda Nabi Muhammad Saw. yang
menganjurkan agar suami memberikan pukulan bagi istri. Dan ini merupakan sangsi
yang dapat diwujudkan manakala istri tidak berubah sikap, kendatipun suami
telah melakukan upaya seperti di atas. Akan tetapi jika istri taat kepada suami
dalam arti kembali melaksanakan kewajiban sebagai istri seperti apa yang
diinginkan suami, maka sanksi tersebut tidak boleh diterapkan. Sebab Nabi Muhammad
Saw. secara tegas melarangnya Menurut beliau, "Janganlah kamu sekalian
mencari jalan untuk memukul mereka ” Dan itu sudah barang tentu setelah istri
mau menunjukkan ketaatannya kepada suami.
Dengan demikian, suami harus mampu
menahan diri menghadapi anjuran Nabi Muhammad Saw. dalam kasus di atas. Sebab,
anjuran ini dimaksudkan sebagai tindak lanjut dari ketentuan beliau sebelumnya,
yang pelaksanaannya terkait dengan pola sikap istri yang tidak kunjung membaik
setelah adanya pengejawantahan dalam ketentuan tersebut dalam jangka waktu yang
cukup lama Kalau sampai terjadi bahwa suami memukul istri yang telah kembali membaik,
yakni kembali taat kepada suami sesuai dengan kewajibannya sebagai istri, maka
hal itu
merupakan suatu kezaliman. Oleh karena itu, suami harus berusaha memendam
peristiwa yang telah terjadi atau berlalu. Anggaplah bahwa hal itu tidak
pernah terjadi. Sebab istri yang telah menyadari kesalahannya dan bertobat atas
dosa-dosa yang pemah dilakukannya terhadap suami laksana seorang yang
tidak pemah berbuat dosa.
Perlu disebutkan di sini suatu riwayat
lain yang berkaitan dengan apa yang dinyatakan Nabi Muhammad Saw. dalam hadis
di atas. Dalam riwayat
itu beliau menyatakan hal-hal mengenai hak-hak istri baik di bidang sandang
maupun pangan, di samping hak-hak memperoleh pelajaran dari suami tatkala
melakukan nusyuz. Dalam hubungan ini beliau bersabda:
“Hak wanita atas suaminya ialah bahwa
suami memberikan konsumsi pangan kepada istri apabila dia mengkonsumsi bahan
pangan. Di samping itu, memberikan sandang kepadanya apabila dia berpakaian.
Dan janganlah suami itu memukul bagian wajah istri, mengumpatnya serta
menghindarinya kecuali di dalam rumah ” (HR. Thabrani dan Hakim dari Mu’awiyah
bin Haidah)
Dalam kasus tertentu, yaitu ketika istri
melakukan nusyuz, suami boleh memukul pada bagian badan di luar wajah istri
Sebab, hal ini merupakan hak istri
itu sendiri manakala ia melakukan kesalahan. Dan itu jelas dianjurkan oleh Nabi
Muhammad Saw. kendatipun harus dilakukan setelah upaya “menghindar”.
Hal lain yang harus diperhatikan suami
ialah bahwa istri tidak berhak mendapatkan penghinaan dari suami. Sebab, Nabi
Muhammad Saw. Dengan tegas melarangnya untuk mengumpat istri, yaitu dengan
melontarkan kata-kata yang tidak disukainya,
seperti mengatakan “dasar wanita jelek”
Kemudian masalah “menghindar” seperti
yang telah dimaklumi, Nabi Muhammad Saw. Melarang suami untuk menghindar dari
istri kecuali di dalam rumah, yakni di tempat peraduan Inilah ketentuan yang
boleh dilakukan oleh suami manakala istri melakukan nusyuz. Adapaun hal lain di
luar itu, seperti menghindar dalam konteks komunikasi secara lisan, tidak
diisyaratkan di dalam hadis. Dengan demikian, suami tidak boleh membungkam atau
membisu dalam kasus im. Apabila hal itu dilakukan, berarti suami telah berbuat
dosa, karena tindakan itu haram, kecuali karena uzur. Sebagai seorang suami,
laki-laki wajib memperhatikan ajaran-ajaran agama yang terkait dengan segala
sesuatu yang harus dilakukan terhadap istrinya Sebab, Nabi Muhammad Saw.
memberikan peringatan serius mengenai kewajibannya dalam merealisasikan hak-hak
wanita yang diperistrikannya. Untuk menjelaskan hal itu, di sini akan
dikemukakan suatu riwayat yang telah disampaikan oleh Thabrani, yaitu sebuah
hadis yang menyatakan:
“Rasulullah SAW. bersabda, ‘Jika seorang
laki-laki memperistri seorang wanita dengan memberikan maskawin baik dalam
jumlah besar atau kecil, sedangkan dalam dirinya tidak ada kehendak untuk memberikan
hak-hak wanita itu, maka dia telah mengkhianatinya. Apabila laki-laki itu mati
padahal belum memberikan hak-hak tersebut, maka dia akan menghadap Alllah Swt.
di hari kiamat dengan menanggung dosa. (HR. Thabrani)
Maksudnya bahwa laki-laki tersebut adalah
seorang pelaku zina, dan di hari kiamat dia menghadap, dengan menanggung dosa
perzinaan.
Dalam hadis lain Nabi Muhammad Saw. memberikan
petunjuk yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki dalam memberikan segala
sesuatu yang merupakan hak-hak seorang istri. Hal ini tercermin dalam suatu
hadis yang menyatakan:“Rasulullah Saw. bersabda, ‘Sesungguhnya orang-orang
mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya
dan paling lembut sikapnya kepada keluarganya. (HR. Turmudzi dan Hakim dari
Aisyah r. a.)
Akhlak dalam hadis tersebut adalah budi
pekerti yang luhur. Semua itu tentunya dimaksudkan sebagai realisasi dari
kewajiban suami dalam mengejawantah-
kan hak-hak istri kendatipun hal ini merupakan konsep yang lebih khusus. Dengan
demikian, walaupun kata “keluarga” di sini memberikan pengertian yang luas
karena melibatkan banyak unsur termasuk di dalamnya anak-anak, suami, dan
kerabat dekatnya, istri sudah barang tentu mendapatkan prioritas khusus. Sebab,
dialah yang berfungsi sebagai pendukung utama bagi terciptanya sebuah keluarga.
Oleh
sebab itu, kondisi etik yang positif sebagaimana telah disinyalir di dalam hadis
tadi perlu mendapatkan penekanan khusus dalam pembicaraan mengenai kewa-
jiban suami untuk mewujudkan hak-hak istri sehubungan dengan fungsi itu sendiri
seperti tersebut di atas.
Hadis yang senada diriwayatkan oleh Ibnu
Hibban. Dalam riwayat ini, hadis itu berbunyi: Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang
yang terbaik di antara kamu sekalian adalah orang yang paling baik terhadap
keluarganya Sedangkan diriku sendiri lebih baik daripada kamu sekalian karena
(kebaikanku) terhadap keluargaku. (HR. Ibnu Hlbban)
Dalam hadis lain Nabi Muhammad cukup
tegas dalam menganjurkan kewajiban etik seorang suami terhadap istri:
"Orang yang terbaik di antara kamu
sekalian adalah mereka yang paling baik terhadap istri, dan aku sendiri lebih
baik daripada kamu sekalian atas (kebaikanku) terhadap istriku,”
Dalam menerapkan norma-norma akhlak di
dalam kehidupan rumah tangga, seorang suami harus memiliki pedoman moral yang
strategis. Untuk itu. Nabi Muhammad Saw memberikan petunjuk agar seorang suami
bersabar hati dalam menghadapi cobaan istri. Dengan demikian, suami dapat
melaksanakan kewajibannya secara baik sesuai dengan ajaran agama untuk memahami
cobaan dari istri. Di sini akan dikemukakan sebuah hadis yang menyatakan:
Diriwayatkan dari Nabi Saui. bahwa beliau
bersabda. Siapa yang sabar menghadapi kerendahan pekerti istrinya, maka Allah
Swt. akan membenkan pahala sebesar apa yang diberikan kepada Nabi Ayub a.s.
sehubungan dengan cobaan beliau.
Di dalam hadis di atas disebutkan sesuai
pahala Nabi Ayub, hal ini dikarenakan Nabi Ayub terkenal sebagai seorang yang
menderita. Pada waktu terserang penyakit yang hebat yang dapat mematikan dan diderita
selama bertahun-tahun, beliau selalu bersabar hati menghadapi cobaan ini dan
tetap menjalankan ibadah. Demikian pula dalam menghadapi cobaan yang datang
dari istri. Menurut suatu riwayat, beliau memiliki seorang istri yang memiliki
rambut panjang yang terurai indah, dan beliau pun menyukai rambutnya yang
terurai indah ini. Suatu hari sang istri bermaksud memotong rambut kesayangan
Nabi Ayub itu tanpa sepengetahuan beliau. Dipotonglah rambut yang anggun itu
tanpa terlebih dahulu memohon izin kepada sang suami. Tak lama setelah itu. Nabi
Ayub mengetahuinya dan secara sepontan beliau marah besar di dalam hatinya.
Dalam kondisi seperti itu, beliau yang sangat kecewa itu berusaha menekan amarahnya
dengan intensitas kesabaran yang tinggi
Dengarkan nilai moral yang amat terpuji
ini, istri Nabi Ayub tetap tabah mendampingi suaminya, dan bahkan merasa rela berkurban
demi kewajibannya sebagai seorang istri.
Allah Ta’ala telah memberikan ujian
mental atau cobaan kepada Nabi Ayub a.s. empat perkara' habis hartanya, habis
anaknya, tubuhnya menjadi bunk, dan ditinggalkan seluruh manusia kecuali
sstnnya. Bermacam-macam harta kekayaan yang dimiliki Nabi Ayub, seperti unta,
sapi, kambing, dan keledai. Beliau memiliki 500 pasang sapi yang dihalau 500
budak.
Setiap budak itu memiliki istri, anak,
dan harta
Ada tiga ajudan beliau yang telah beriman
kepadanya
Ketiga ajudannya gagah-gagah.
Iblis tidak terhalang apa saja yang ada
di langit, se waktu-waktu ia dapat melihatnya. Lalu iblis mendengar para
malaikat yang memohonkan ampunan Nabi Ayub. Iblis merasa dengki terhadap Nabi
Ayub seraya berkata kepada Allah, “Wahai Tuhanku! Aku melihat hamba-Mu Ayub
senantiasa bersyukur dan memuji Engkau. Andaikan Engkau menimpakan bencana
kepadanya, niscaya dia tidak akan bersyukur
dan taat kepada Engkau.”
Aliah Ta’ala menjawab, “Pergilah kamu
kepada Ayub, Aku izinkan kamu mengganggu harta kekayaannya.”
Iblis lalu pergi kepada Ayub bersama
setan dan jin ifrit. Iblis seraya berkata kepada setan dan jin, “Aku telah
diizinkan oleh Allah untuk merusak harta kekayaan Ayub.”
Iblis memerintahkan setan dan lfnt, “Datangilah unta-unta Nabi Ayub beserta
penggembalanya dan bakarlah semua.”
Lalu iblis mendatangi Ayub ketika sedang
salat. Iblis berkata kepada Ayub, “Seluruh untamu dan penggembalamu sudah saya
bakar ”
Sahut Ayub, “ Alhamdulillah, Allah yang
telah memberikan unta-unta dan penggembala kepadaku, dan Dialah yang
mengambilnya."
Kemudian iblis berbuat seperti itu juga
terhadap kambing-kambing Nabi Ajaib serta penggembalanya, la mendatangi Ayub
seraya berkata, “Angin keras telah mengahancurkan tanamanmu.”
Jawab Aj/ub dengan memuji dan menyanjung
Allah Iblis lalu berkata kepada Allah, “Ya Aliah' izinkan aku merusak anak anak
Ajaib.” Allah menjawab, “Pergilah kamu, Aku izinkan merusak anak-anak Ayub.”
Selanjutnya iblis merusak anak-anak Ayub.
Rumah panggungnya diguncang dan merobohi anak-anak Ayub. Mereka tewas seketika.
Reaksi Ayub berikutnya hanya benstighfar kepada Allah Ta’ala
Iblis berkata, “Wahai Tuhanku, izinkanlah
aku merusak tubuh Ayub.”
Allah menjawab, “Aku izinkan kamu merusak
tubuhnya, kecuali hati dan akalnya.”
Iblis segera pergi mencari Ayub yang
sedang bersujud kepada Allah
Ia datang di hadapannya seraya meniup
kedua lubang hidung Ayub. Seketika itu tubuh Ayub menjadi panas dan gatal,
sehingga terus menerus Ayub meng-
garuk-garuk dengan kukunya sampai kukunya rontok semua. Lalu digaruk dengan
kain kasar, dan terus garuk-garuk dengan kepingan genting dan batu.
Ayub tak henti-hentinya menggaruk-garuk
karena sangat gatalnya. Kondisi tubuhnya semakin rontok dan berbau bacin.
Akhirnya Ayub diusir penduduk untuk keluar dari desanya Dia dibuatkan tempat
menetap di rumah gubug. Ayub ditempatkan di dalamnya, lalu ditinggalkan
penduduk desa, kecuali istrinya yang bernama Rahmah. Istrinya tetap setia
melayani apa yang menjadi keperluan Ayub, seperti makanan.
Ayub juga ditinggalkan tiga orang yang telah beriman, tetapi mereka tidak
meninggalkan agamanya.
Diriwayatkan, ada seorang lelaki datang
kepada Umar bin Khaththab r. a. dengan maksud mengadukan kejelekan istrinya.
Lelaki itu berdiri di depan rumah Umar menunggu beliau keluar. Kebetulan ia mendengarkan
istri Umar yang sedang menjelek-jelekkan Umar dengan ucapannya. Sedangkan Umar bin
Khaththab diam saja tidak menjawab.
Lelaki itu kembali seraya berkata, “Kalau
keadaan Amirul Mukminin seperti ini, apalagi saya.” Tak lama kemudian Umar
keluar melihat lelaki itu mundur kembali, lalu dipanggil dan ditegur, “Apa
keperluanmu?” Jawab lelaki itu, “Wahai Amirul Mukminin, saya datang untuk
mengadukan kejelekan istriku yang sangat menyakitkan saya. Lalu saya tahu
ternyata istrimu juga demikian, apalagi keadaanku.”
Sahut Umar, “Wahai saudaraku! Aku mi butuh ucapan jelek istriku karena hak-hak
istriku yang mesti aku cukupi. Istriku memasak makanan, membuat roti untukku,
mencuci pakaianku, dan menyusui anakku. Hatiku tenteram karena terhindar dari
perkara haram lantaran pelayanan istriku. Maka dialah sebagai jaminannya ”
Lelaki itu berkata, “Andai didiamkan wahai saudaraku, itu hanya sebentar lagi
mudah.”
Disebutkan dalam hadis: “Siapa yang
bersabar atas kejelekan suaminya, maka Allah memberikan pahala seperti pahala Asiyah
istri Fir’aun. "
Asalnya, ketika Nabi Musa a. s.
mengalahkan tukang-tukang sihir Fir’aun, Asiyah beriman kepada Nabi Musa. Setelah
Fir’aun mengetahui istrinya beriman, ia menancapkan empat buah tonggak di tanah
untuk mengikat kedua tangan dan kedua kaki Asiyah Fir’aun mengikatnya pada
keempat tonggak itu. Setiap anggota tubuhnya diikat dengan tali dan dihadapkan pada
matahari. Jika Fir’aun dan kaumnya berpaling, maka pura malaikat menaungi
Asiyah Setelah kaum Fir’aun membawa batu besar, Asiyah berkata, “Wahai Tuhanku,
semoga Engkau berkenan membangunkan untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam
surga, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya.” Ini disebutkan di
dalam Al-Quran:
“Dan Allah membuat istri Fir’aun sebagai perumpamaan
bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata, ‘Ya Tuhanku, bangunlah
untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun
dan perbuatannya, serta selamatkanlah aku dari kaum yang zalim." (QS. QS
At-Tahrlm: 11).
Seketika itu Asiyah melihat rumah yang dibangun dengan marmer putih lalu ruhnya
keluar. Setelah keluar ruhnya, batu besar itu ditimpakan pada jasadnya yang
sudah tak bernyawa itu sehingga Asiyah tidak merasakan sakit.
Sayid Al-Habib Abdullah Alhaddad berkata,
“Seorang lelaki sempurna adalah yang toleransi dalam hak-haknya, dan tidak toleransi
dalam hak-hak Allah Ta’ala. Sedangkan seorang laki-laki yang kurang sempurna
agamanya adalah yang keadaannya sebaliknya.”
Sayid Al-Habib Abdullah Alhaddad adalah
ahli tarekat yang terkenal dan penuh
asrar Sementara itu, negara membuat istilah bahwa keturunan Rasulullah Saw. itu
kalau laki-laki disebut “Habib”, jika wanita disebut “Hababah”. Sementara itu
banyak
kaum muslimin banyak menyebut “Sayyid” dan “Sayyidah”. Lelaki yang sempurna
maksudnya adalah sempurna dalam agamanya. Tetapi tidak mempermudah hak-hak
Allah, seperti kewajiban salat dan menyambung rambut. Sebab hal itu adalah
haram.
Sedangkan lelaki yang kurang sempurna
agamanya adalah yang keadaannya sebaliknya. Yaitu orang yang mempermudah
hak-hak Allah Ta’ala, tetapi tidak berbuat kelonggaran pada hak-hak dirinya
sendiri.
HIKAYAT
Sementara itu, orang-orang saleh ada yang mempunyai saudara yang saleh. Ia
mengunjunginya setahun sekali. Suatu hari ia datang seraya mengetuk pintunya.
Istri orang yang saleh bertanya dari balik pintu, “Siapa?”
Sahutnya, “Saudara suamimu, karena Allah
aku datang untuk berkunjung.”
Ucap wanita itu, “Suamiku pergi mencari
kayu, semoga tidak dikembalikan lagi ke sini oleh Allah.” Lalu wanita tadi
benar-benar mencaci maki suaminya.
Di tengah-tengah wanita itu mencaci maki suaminya,
tiba-tiba suaminya datang membawa sebongkok kayu yang diletakkan di punggung
macan.
Kayu itu lalu diturunkan dari punggung macan sambil berkata kepada macan,
“Kembalilah kamu! Semoga Allah memberkatimu.” Kemudian ia memasukkan saudaranya
yang berkunjung setelah mengucapkan salam menunjukkan kegembiraan kedatangan saudaranya,
terus minta pulang dan merasa kagum
dengan kesabaran saudaranya terhadap istrinya, karena se patah katapun ia tidak
menjawab ucapan caci maki istrinya itu.
Pada tahun yang kedua, saudaranya datang
lagi mengetuk pintu. Tanya wanita itu, “Siapa?” Sahutnya, “Aku saudara suamimu
datang untuk berkunjung.”
Jawabnya, “Baiklah, selamat datang, silakan.”
Wanita itu benar-benar menyanjung orang
yang datang mengunjungi suaminya seraya mempersilakan menunggu. Tak lama
kemudian, saudaranya datang
memanggul kayu pada punggungnya. Lalu ia dipersilakan masuk dan dijamu makanan.
Ketika tamu itu akan pulang, ia sempat menanyakan keadaan wanita
tadi dan wanita yang dahulu serta seekor macan yang membawakan kayunya.
Jawabnya, “Wahai saudara ku, istriku yang jelek ucapannya itu sudah mati, aku
selalu sabar menghadapi kejelekan ucapannya. Lalu Allah menundukkan macan
kepadaku karena kesabaranku menghadapi istriku dahulu. Kemudian aku menikah
dengan wanita salehah ini. Aku merasa enak dan tenang beserta wanita ini. Maka
macan yang dahulu itu telah terputus danku. Sehingga aku membawa kayu pada
punggungku, karena aku merasa tenteram dan enak beserta istri wanita salehah
ini.
FAEDAH
Ada beberapa hal di mana suami
diperbolehkan memukul istri:
1. Suami boleh memukul istri karena suami
menghendaki istri berhias dan bersolek, sedangkan istri tidak mengindahkan
kehendak suami itu. Juga karena istri menolak diajak ke tempat tidur.
2. Suami boleh memukul istri karena
keluar dan rumah tanpa izin, memukul anaknya menangis, menyobek-nyobek pakaian
suami, atau karena memegang jenggot suami seraya berkata, “Hai keledai, hai
goblok,” sekalipun suami memaki istri terlebih dahulu.
3. Suami boleh memukul istri karena membuka mukanya dengan lelaki bukan
muhrimnya, berbincang-bincang dengan laki-laki lam, bicara dengan suami agar
orang lain mendengar suaranya, memberikan sesuatu dan rumah istri yang tidak wajar
dibenkan, atau karena tidak mandi haid.
Di dalam hal memukul istri karena
meninggalkan salat ada dua pendapat. Yang lebih baik, suami hendaknya memukul
istri karena meninggalkan salat, jika tidak mau melakukan salat karena
diperintah.
Ketahuilah, sebaiknya suami itu
melaksanakan hal-hal sebagai berikut kepada istri:
1. Memberikan wasiat, memerintahkan,
mengingatkan, dan menyenangkan hati istri. Di dalam hadis disebutkan: “Semoga
Allah melimpahkan rahmat kepada lelaki yang berkata, ‘Hai ahliku, peliharalah
salat, puasa, zakat, orang-orang miskinmu, anak yatim, dan tetanggamu. Semoga
Allah mengumpulkan kamu semua bersama mereka di surga.”
2. Suami hendaknya memberikan nafkah
istrinya sesuai kemampuannya, usaha dan kekuatannya.
3. Suami hendaknya dapat menahan diri,
tidak mudah marah apabila istri menyakitkan hatinya
4. Suami hendaknya menundukkan dan
menyenangkan hati istri dengan menuruti kehendaknya dengan kebaikan. Sebab,
umumnya wanita itu kurang sempurna akal dan agamanya. Dalam hadis disebutkan: “Andaikata
Allah tidak menutupi wanita dengan sifat malu, niscaya ia tidak ada harganya,
tidak menyamai harga secakup tanah ”
5. Suami hendaknya menyuruh istrinya
melakukan perbuatan yang baik. Syaikh Ramli mengatakan dalam kitab Umdatur Rabih,
“Suami tidak boleh memukul istri karena meninggalkan salat. Maksudnya cukup
memerintahkan salat.”
6. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh
‘Athiyah, “Suami hendaknya mengajar istrinya apa yang menjadi, kebutuhan
agamanya, dari hukum-hukum bersuci seperti mandi haid, janabat, wudu dan
tayamum.
Haid, maksudnya suami mengajarkan istri
tentang masalah-masalah yang berhubungan
dengan haid, seperti menjelaskan salat yang wajib di qadha.
Sebab, wanita sewaktu darahnya telah terputus sebelum Maghrib, sekira waktunya
cukup untuk salat satu rakaat, maka ia wajib meng qadha salat Zhuhur dan Ashar.
Dan sekiranya darah itu terputus sebelum Subuh, sekiranya waktunya
masih cukup untuk salat satu rakaat, maka wanita itu wajib menggadha salat
Maghrib dan Isya. Demikian ini minimal pengertian yang harus
dipelihara oleh kaum wanita, seperti yang tersebut di dalam kitab Ihya’.
7. Suami harus mengajarkan berbagai macam
ibadah kepada istri. Baik ibadah fardhu maupun ibadah sunat, seperti salat,
zakat, puasa dan haji.
Jika suami dapat mengajar istrinya sendiri, maka istri tidak boleh keluar rumah
untuk bertanya kepada orang-orang alim atau ulama Jika suami tidak dapat
mengajar istri karena tidak tahu lantaran dangkalnya ilmu, maka sebagai gantinya
dialah yang harus bertanya kepadu ulama lalu menerangkan jawaban orang yang
memberi fatwa
itu kepada istrinya. Istri sendiri tidak boleh keluar. Jika suami tidak sanggup
bertanya kepada orang alim, maka istri boleh keluar, bahkan wajib keluar, dan
suami berdosa kalau melarangnya. Jika istri telah mengetahui tentang
kewajiban-kewajibannya,
maka ia tidak boleh keluar mendatangi majelis pengajian kecuali dengan izin dan
ridha dari suaminy.
Allah Swt. berfirman dalam surat
At-Tahrim:“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri dan keluargamu dari
api neraka ...” (Qs. At-Tahrim: 6)
Maksudnya orang-orang yang telah
menyatakan beriman, wajib memelihara diri dan keluarganya, yaitu istri,
anak-anak dan siapa saja yang disebut keluarga, agar tidak masuk neraka.
Juru bicara Al-Quran, Abdullah bin Abbas
memberikan komentar atas pengertian ayat tersebut, “Kamu semua hendaknya
mengajar keluargamu dalam urusan syariat-syariat Islam.”
8. Suami hendaknya mengajar budi pekerti
yang baik kepada keluarganya. Sebab, manusia yang sangat berat siksanya pada
hari kiamat adalah orang dimana keluarganya bodoh-bodoh dalam agama Islam.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a. dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda:
“Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dipertanggungjawabkan atas
kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan dipertanggungjawabkan kepemimpinannya.
Seorang suami menjadi pemimpin keluarganya dan dipertanggungjawabkan
kepemimpinannya. Seorang istri menjadi
pemimpin di rumah suaminya dan dipertanggungjawabkan atas kepemimpinannya.
Seorang pelayan adalah pemimpin harta tuannya dan dipertanggungjawabkan dari
kepemimpinannya. Seorang anak menjadi pemimpin harta orang tuanya dan
dipertanggungjawabkan dari kepemimpinannya. Maka setiap kamu adalah pemimpin
dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya.”
Maksudnya, setiap kamu adalah orang yang
dipercaya untuk berlaku baik terhadap apa yang dipercayakan kepada kamu semua.
Maka setiap diri dituntut untuk berlaku adil dan mengurus kemaslahatannya atas
apa yang dipercayakan kepadanya
Dipertanggungjawabkan dari
kepemimpinannya,maksudnya adalah di akhirat kelak akan dimintai tanggung jawab
atas apa yang dipimpinnya. Jika ia mencukupi apa yang menjadi kewajibannya
dalam memimpin atau memelihara, maka ia memperoleh bagian yang sempurna. Jika
tidak dapat memenuhi, maka setiap orang pada hari kiamat akan dituntut haknya
di akhirat.
Penguasa agung atau penggantinya adalah
orang yang memimpin dan menjaga serta menguasai rakyatnya. Ia akan diminta
tanggung jawabnya dalam
memimpin rakyatnya, apakah sudah menjaga hak-hak rakyatnya atau belum.
Seorang suami menjadi pemimpin keluarga, istri dan anak-anaknya. Ia akan
dimintai pertanggungan jawab atas keluarganya, apakah sudah memenuhi hak-hak
mereka atau belum. Seperti memberi pakaian, memelihara, mengasuh, mendidik, dan
yang lain seperti bergaul dengan baik terhadap mereka atau tidak.
Seorang istri menjadi pemimpin di rumah
suaminya. Ia harus dapat mengatur penghidupan dengan baik, harus bersikap baik
terhadap suami, serta memelihara harta suami dan anak-anaknya. Istri juga akan
dimintai pertanggunganjawab atas kepemimpinannya, apakah sudah melaksanakan apa
yang menjadi kewajibannya atau belum.
Seorang pelayan harus menjaga harta
tuannya dan menata apa yang menjadi kebaikannya. Pelayan juga akan dimintai
tanggung jawabnya atas apa yang dikuasainya, apakah ia telah memenuhi
kewajibannya atau belum.
Seorang anak harus menjaga harta ayahnya
dan mengaturnya dengan baik. Anak juga dimintai pertanggunganjawab atas apa
yang dikuasainya, apakah sudah memenuhi atau belum.
Jadi, setiap kamu adalah pemimpin, dan
akan dipertanggungjawabkan kepemimpinannya. “Fa” dari kata “fakullukum” menjadi
jawab syarat yang terbuang. Kata itu bersifat umum. Ia dapat memasukkan
seseorang yang hidup sendirian, belum beristri dan tidak punya pelayan. Sebab,
orang seperti ini dapat dikategorikan sebagai pemimpin. Maksudnya, orang yang
menjaga anggota tubuhnya sehingga mau melakukan kewajiban yang diperintahkan
dan menjauhi segala larangan. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Turmudzi. Rasulullah Saw. bersabda: “Takutlah
kamu semua kepada Allah, takutlah kepada Allah dalam urusan kaum wanita, karena
mereka adalah amanat Allah pada kekuasaanmu.”
Ada tiga wasiat terakhir Rasulullah Saw.
yang diamanatkan kepada umatnya sewaktu beliau hendak berpisah meniggal dunia.
Tiga wasiat itu diucapkan Rasulullah Saw. di saat hendak menghembuskan nafasnya
yang terakhir, sehingga lisannya kurang jelas dan samar-samar, yaitu sabdanya: Jagalah
salat ... salat! Begitupun hamba sahayamu. Kamu semua jangan membebani mereka
apa yang tidak mampu mereka lakukan Takutlah kepada Allah , takutlah kepada
Allah dalam urusan wanita, karena mereka adalah seperti tawanan yang ada pada kekuasaanmu. Kamu semua menguasai mereka dengan
amanat Allah, dan kamu menghalalkan farji mereka dengan kalimat Allah "
Allah Ta’ala berfirman dalam surat Thaha
tentang perintah salat lima waktu kepada keluarga serumah pada para pengikut
kita: "Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat.” (QS. Thaha:
132).
Diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa
beliaubersabda:
“Tak seorangpun yang menghadap Allah
dengan membawa dosa yang lebih besar daripada kebodohan keluarganya.”
Sementara itu, ulama mengatakan bahwa
orang yang pertama kali mengganduli seorang lelaki pada hari kiamat adalah
keluarga dan anak-anaknya, mereka seraya berkata, “Wahai Tuhan kami! Ambilkanlah
hak kami pada orang ini. Karena dia tidak mengajarkan urusan agama kepada kami.
Dia memberi makan kami dari yang haram, sedangkan kami tidak tahu.” Orang itu
lalu dipukul, karena usahanya
yang haram, sehingga seluruh daging tubuhnya terkelupas, kemudian dibawa ke
neraka. Demikianlah sebagaimana disebutkan di dalam kitab Al-Jawahir karya Imam
Abu Laits As-Samarqandi.