فصل
Menghadap
Kiblat
Menghadap
kiblat merupakan syarat shalat bagi orang yang mampu kecuali pada saat sangat
ketakutan, dan shalat sunnah saat safar/bepergian. Bagi musafir sholat sunnah
dalam keadaan berkendaraan atau jalan kaki, dan tidak disyaratkan bepergian
yang jauh menurut pendapat yang masyhur.
Jika
memungkinkan untuk menghadap kiblat bagi pengendara di pembaringan, dan
menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, maka dia harus melakukannya; jika tidak
demikian, maka menurut pendapat yang lebih benar: jika mudah untuk menghadap
kiblat, maka wajib; jika tidak mudah, maka tidak wajib.
Menghadap
kiblat ini khusus pada saat takbiratul ihram, dan dikatakan: disyaratkan saat salam
juga.
Haram berpaling dari arah perjalanannya kecuali ke arah
kiblat. Dia memberi isyarat pada saat ruku’ dan sujud, isyarat
pada saat sujud lebih rendah dari saat ruku’. Menurut pendapat yang lebih jelas:
bagi orang yang berjalan, dia sempurnakan ruku’ dan sujudnya, menghadap kiblat
saat ruku’ dan sujud, juga saat takbiratul ihram; dia tidak berjalan kecuali
pada saat berdiri dan tasyahud. Seandainya dia shalat fardhu di atas hewan
tunggangan; sedangkan dia menghadap ke kiblat, menyempurnakan ruku dan
sujudnya, dan hewan tunggangannya itu dalam keadaan berhent, maka boleh; jika
hewan tunggangannya berjalan, maka tidak boleh.
Barangsiapa
yang shalat di dalam ka’bah, sedangkan dia menghadap ke temboknya, atau ke
pintunya yang tertutup, ataupun terbuka dengan tnggi tangganya pintu adalah dua
pertiga dzira’, atau shalat di atas atiap ka’bah menghadap ke sebagian
bangunannya tersebut; maka semua itu boleh.
Orang yang bisa
mengetahui arah kiblat, maka haram baginya taqlid dan ijthad (dalam menentukan
arah kiblat). Jika tidak bisa mengetahui sendiri, maka dia ambil perkataan
orang terpercaya yang memberitahukan kepadanya tentang arah kiblat. Jika tidak
ada orang yang bisa memberi tahu, sedangkan dia bisa berijthad, maka haram
taqlid. Jika dia bingung, dia tetiap tidak taqlid menurut pendapat yang lebih
jelas; dan dia tetiap shalat sebagaimana keadaannya dan mengqadha.
Wajib
memperbaharui ijthad setiap kali waktu shalat datang menurut pendapat yang
shahih. Barangsiapa yang tidak mampu berijthad dan mengetahui petunjuk-petunjuk,
seperti orang buta; maka dia bertaqlid kepada orang terpercaya yang mengetahui;
akan tetapi jika dia mampu, maka menurut pendapat yang lebih benar: wajib
baginya belajar, kemudian haram taqlid.
Barangsiapa
shalat berdasarkan ijthadnya, kemudian dia yakin bahwa ijthadnya salah, maka
dia mengqadha menurut pendapat yang lebih jelas. Seandainya
dia yakin ijthadnya salah saat sedang shalat, maka wajib memulai lagi shalatnya
dari awal. Jika ijthadnya berubah, maka dia mengamalkan ijthad kedua dan tidak
mengqadha; hingga seandainya dia shalat empat rokaat dengan menghadap ke empat
arah berdasarkan ijthad, maka dia tidak mengqadha.