فصل
شرط الصوم الإمساك عن الجماع
والاستقاءة والصحيح انه لو تيقن أنه لم يرجع شيء إلى جوفه بطل وإن غلبه القيء فلا بأس
وكذا لو اقتلع نخامة ولفظها في الأصح فلو نزلت من دماغه وحصلت في حد الظاهر من الفم
فليقطعها من مجراها وليمجها فإن تركها مع القدرة فوصلت الجوف أفطر في الأصح وعن وصول
العين إلى ما يسمى جوفا وقيل: يشترط مع هذا أن يكون فيه قوة تحيل الغذاء أو الدواء
فعلى الوجهين باطن الدماغ والبطن والأمعاء والمثانة مفطر بالاستعاط أو الأكل أو الحقنة
أو الوصول من جائفة أو مأمومة ونحوهما والتقطير في باطن الأذن وإلا حليل مفطر في الأصح
وشرط الواصل كونه من منفذ مفتوح فلا يضر وصول الدهن بتشرب المسام ولا الاكتحال وإن
وجد طعمه بحلقه وكونه بقصد فلو وصل جوفه ذباب أو بعوضة أو غبار الطريق أو غربلة الدقيق
لم يفطر ولا يفطر ببلع ريقه من معدنه فلو خرج عن الفم ثم رده وابتلعه أو بل خيطا بريقه
ورده إلى فمه وعليه رطوبة تنفصل أو ابتلع ريقه مخلوطا بغيره أو متنجسا أفطر ولو جمع
ريقه فابتلعه لم يفطر في الأصح ولو سبق ماء المضمضة أو الاستنشاق إلى جوفه فالمذهب
أنه إن بالغ
أفطر وإلا فلا ولو بقي طعام
بين أسنانه فجرى به ريقه لم يفطر إن عجر عن تمييزه ومجه ولو أوجر مكرها لم يفطر وإن
أكره حتى أكل أفطر في الأظهر.
قلت: الأظهر لا يفطر والله
أعلم وإن أكل ناسيا لم يفطر إلا أن يكثر في الأصح قلت: الأصح لا يفطر والله أعلم والجماع
كالأكل على المذهب وعن الاستمناء فيفطر به وكذا خروج المنى بلمس وقبلة ومضاجعة لا فكر
ونظر بشهوة وتكره القبلة لمن حركت شهوته والأولى لغيره تركها. قلت: هي كراهة تحريم
في الأصح والله أعلم ولا يفطر بالقصد والحجامة والاحتياط أن لا يأكل آخر النهار إلا
بيقين ويحل بالاجتهاد في الأصح ويجوز إذا ظن بقاء الليل. قلت: وكذا لو شك والله أعلم
ولو أكل باجتهاد أولا أو آخر أو بان الغلط بطل صومه أو بلا ظن ولم يبن الحال صح إن
وقع في أوله وبطل في آخره ولو طلع الفجر وفي فمه طعام فلفظه صح صومه وكذا لو كان مجامعا
فنزع في الحال فإن مكث بطل.
Pembatal-pembatal
Puasa
Syarat puasa: Menahan
diri dari:
1. Jima’,
2. Muntah,
Menurut
pendapat yang shahih: seandainya dia yakin bahwa tidak ada sedikitpun muntah
yang kembali masuk ke perutnya, maka tetiap batal (puasanya).
Seandainya dia
dikalahkan oleh muntah, maka tidak mengapa; demikian juga seandainya terasa
tertelan dahak kemudian dia mengeluarkan/memuntahkannya menurut pendapat yang lebih
benar. Seandainya dahak itu turun dari kepala dan sampai ke bagian belakang
mulut, hendaknya dia hentkan dan dia muntahkan; jika dia tidak melakukannya
padahal sebenarnya dia mampu melakukannya kemudian dahak itu sampai ke perut,
maka batal puasanya menurut pendapat yang lebih benar.
3. Masuknya
sesuatu yang tampak ke tempat yang bisa dinamakan “jauf/rongga”,
Dan dikatakan:
disyaratakan dalam hal ini, bahwa di dalam “rongga” itu ada kekuatan untuk mengumpulkan
makanan atau obat.
Termasuk dalam
dua wajah/pendapat di atas (tanpa syarat atau dengan syarat): bagian dalam
kepala, perut/lambung, usus, dan kandung kencing; (itu semua) menyebabkan batal
puasa dengan memasukkan (sesuatu) ke lubang hidung, atau makan, atau suntk;
atau sampainya (sesuatu) dari lubang yang tembus ke bagian dalam (perut) atau
yang tembus kepala dan semisalnya.
Meneteskan
sesuatu ke dalam telinga dan ke saluran kencing atau saluran susu membatalkan
puasa menurut pendapat yang lebih benar.
Syarat sesuatu
yang sampai ke “rongga”: pertama, sampainya dari lubang yang terbuka; maka tidak
membatalkan sampainya minyak karena terhisap pori-pori; juga tidak membatalkan
bercelak walaupun ada rasanya di tenggorokan; kedua, dengan kesengajaan;
seandainya lalat sampai ke “rongga”, atau nyamuk, atau debu jalanan, atau
tepung yang diayak, maka tidak batal.
Tidak batal
karena menelan ludah dari sumbernya; seandainya ludah itu sudah keluar dari
mulut, kemudian dia masukkan kembali dan ditelan, atau membasahi benang dengan
ludahnya kemudian dia kembalikan (benang itu) ke mulutnya, sedangkan pada
benang itu terdapat ludah basah yang terpisah
(dan ditelan),
atau menelan ludah yang tercampur barang lain atau yang terkena najis, maka
batal.
Seandainya dia
mengumpulkan ludahnya kemudian menelannya, maka tidak batal menurut pendapat yang
lebih benar.
Seandainya
tertelan air kumur-kumur atau istnsyaq masuk ke “rongga”, maka menurut pendapat
madzhab: jika dia berlebih-lebihan maka batal, jika tidak berlebihan maka tidak
batal.
Seandainya
tersisa makanan di sela gigi-giginya kemudian ludah mengalir melewatnya, maka tidak
batal jika tidak mampu untuk memisahkannya dan membuangnya.
Seandainya
makanan masuk ke kerogkongan dalam keadaan tidak sadar (pingsan atau tidur),
maka tidak batal. Jika dia dipaksa (makan), kemudian dia makan, maka batal
menurut pendapat yang lebih jelas.
Pendapatku:
menurut pendapat yang lebih jelas: tidak batal; wallahu a’lam.
Jika dia makan
karena lupa, maka tidak batal kecuali jika banyak menurut pendapat yang lebih
benar.
Pendapatku:
menurut pendapat yang lebih benar: tidak batal; wallahu a’lam.
Jima’ (karena
lupa) dihukumi seperti makan (karena lupa) menurut pendapat madzhab.
4. Mengeluarkan
mani,
Puasa batal
karena mengeluarkan mani. Demikian juga (batal) dengan keluarnya mani karena
sentuhan atau ciuman atau berbaring bersama, tidak (batal) jika karena
berkhayal atau melihat dengan syahwat.
Makruh mencium
bagi orang yang tergerak syahwatnya disebabkan ciuman, dan bagi orang yang tidak
tergerak syahwatnya lebih utama tidak melakukan ciuman.
Pendapatku:
mencium itu makruh tahrim menurut pendapat yang lebih benar; wallahu a’lam.
(Puasa) tidak
batal karena mengeluarkan darah dan berbekam.
(Orang yang
puasa) hendaknya berhat-hat tidak makan di akhir siang kecuali telah yakin. halal
(makan akhir siang) berdasarkan ijthadnya. Boleh makan apabila dia menyangka
masih malam.
Pendapatku:
demikian juga (boleh) seandainya dia ragu-ragu; wallahu a’lam.
Seandainya dia
makan pada awal siang atau akhir siang berdasarkan ijthadnya, kemudian jelas
ternyata dia keliru, maka batal puasanya; atau makan tanpa persangkaan dan tidak
jelas keadaan sebenarnya, maka sah puasanya jika makannya di awal siang, dan
batal jika di akhir siang.
Seandainya
terbit fajar, sedangkan di dalam mulutnya masih ada makanan, kemudian dia
memuntahkannya, maka sah puasanya; demikian juga seandainya dia sedang
berjima’, kemudian dia cabut saat terbit fajar, jika dia tetiap (berjima’) maka
batal.