الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد
“Ijtihad
itu tidak akan rusak dengan ijtihad yang lain”
Misalnya :
1. Jika seseorang berubah ijtihadnya dalam menentukan arah kiblat, maka yang
dipakai adalah ijtihad yang kedua, tetapi tidak mesti mengqadho (mengulangi)
sholatnya (jika sudah melakukan sholat), bahkan walaupun ia sholat 4 raka‟at
dengan 4 arah kiblat yang berbeda itu tidak mesti diqodho.
2. Jika seorang
hakim telah memutuskan hukum sesuatu dengan ijtihadnya, kemudian ijtihad itu
berubah, maka hukum dari ijtihad yang pertama tadi tidaklah menjadi batal.
3. Apabila
seorang suami melakukan khulu‟ kepada istrinya sebanyak 3 kali kemudian setelah
itu ia menikahi istrinya (yang telah dikhulunya itu), dengan tidak menggunakan
Muhallil (orang yang menyelang), dengan beri‟tiqad bahwa khulu‟ itu adalah
fasakh nikah bukan thalaq, tetapi kemudian ijtihadnya berubah bahwa khulu‟ itu
adalah thalaq maka ia tetap masih diperbolehkan bersama
istrinya itu dengan pernikahannya tadi.
Imam Ghazali
berkata : Jika hakim telah memutuskan untuk menyatakan sah pada pernikahannya
itu maka tidaklah wajib memisahkannya, walaupun kemudian ijtihad hakim itu
berubah untuk memisahkannya sebagai perubahan hukum yang telah ditetapkan hakim
dalam ijtihadnya, sekalipun hakim tidak memberikan keputusan harus pisah, maka
hukum dalam pernikahan itu terdapat keragu-raguan. Qaul Mukhtar (yang dipilih)
berpendapat wajib memisahkannya karena kewajiban menjaga perempuan tadi dari
jima‟ haram berdasarkan
i‟tiqad/ijtihadnya hakim yang kedua.
PERINGATAN (تنبيه)
Pengertian
Kaidah ini adalah bahwa ijtihad (yang kedua) itu tidak membatalkan ijtihad yang
pertama, akan tetapi harus adanya perubahan hukum setelah itu, karena tidak
adanya tarjih (yang kuat) pada ijtihad yang pertama tadi, karena itu yang harus
digunakan adalah ijtihad kedua didalam menentukan arah kiblat, namun ijtihad
yang pertama tidaklah menjadi batal.
Allah Swt.
Berfirman dalam surat al-Baqarah : 148
فَاسْتَبِقُوا
الْخَيْرَاتِ
".....Maka
berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan...."