Terjemah Kitab
Fathul Muin
فَصْلٌ فِيْ شُرُوْطِ الصَّلَاةِ
FASAL TENTANG
SYARAT SHALAT
الشَّرْطُ مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ صِحَّةُ الصَّلَاةِ،
وَ لَيْسَ مِنْهَا. وَ قُدِّمَتِ الشُّرُوْطُ عَلَى الْأَرْكَانِ لِأَنَّهَا أَوْلَى
بِالتَّقْدِيْمِ، إِذِ الشَّرْطُ مَا يَجِبُ تَقْدِيْمُهُ عَلَى الصَّلَاةِ وَ اسْتِمْرَارُهُ
فِيْهَا. (شُرُوْطُ الصَّلَاةِ خَمْسَةٌ: أَحَدُهَا: طَهَارَةٌ عَنْ حَدَثٍ وَ جَنَابَةٍ
الطَّهَارَةُ: لُغَةً)، النَّظَافَةُ وَ الْخُلُوْصُ مِنَ الدَّنَسِ. وَ شَرْعًا: رَفْعُ
الْمَنْعِ الْمُتَرَتَّبِ عَلَى الْحَدَثِ أَوِ النَّجَسِ.
Syarat adalah Suatu hal yang
menjadikan sahnya shalat, namun bukan bagian dari shalat . Syarat-syarat shalat
lebih didahulukan daripada rukun-rukunnya sebab syarat lebih utama didahulukan
karena syarat adalah hal yang wajib didahulukan atas shalat dan wajib harus
selalu ada dalam shalat. Syarat-syarat shalat ada lima. Yang pertam adalah suci
dari hadats dan janabah. Bersuci secara
bahasa adalah bersih dan lepas dari kotoran. Sedang secara syara‘ adalah
menghilangkan penghalang yang berupa hadats atau najis.
فَالْأُوْلَى) أَيِ الطَّهَارَةُ عَنِ الْحَدَثِ:
(الْوُضُوْءُ) هُوَ – بِضَمِّ الْوَاوِ – اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ فِيْ أَعْضَاءٍ مَخْصُوْصَةٍ
مُفْتَتَحًا بِنِيَّةٍ. وَ بِفَتْحِهَا: مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ. وَ كَانَ ابْتِدَاءُ
وُجُوْبِهِ مَعَ ابْتِدَاءِ وُجُوْبِ الْمَكْتُوْبَةِ لَيْلَةَ الْإِسْرَاءِ.
Syarat Shalat Ke-1(Untuk yang
pertama) yakni bersuci dari hadats adalah dengan cara (berwudhu’). Lafazh
wudhu’ dengan membaca dhammah wāw-nya bermakna menggunakan air pada
anggota-anggota tertentu yang diawali dengan sebuah niat. Dan dengan terbaca
fatḥah wāw-nya bermakna sesuatu yang digunakan untuk berwudhu’. Awal
diwajibkannya berwudhu’ adalah bersamaan dengan kewajiban shalat lima waktu
pada malam Isrā’-nya Nabi s.a.w.
Syarat
Wudhu
وَ شُرُوْطُهُ) أَيِ الْوُضُوْءِ كَشُرُوْطِ الْغُسْلِ
خَمْسَةٌ. أَحَدُهَا: (مَاءٌ مُطْلَقٌ)، فَلَا يَرْفَعُ الْحَدَثَ وَ لَا يُزِيْلُ
النَّجَسَ وَ لَا يَحْصُلُ سَائِرَ الطَّهَارَةِ – وَ لَوْ مَسْنُوْنَةً – إِلَّا الْمَاءُ
الْمُطْلَقُ، وَ هُوَ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ الْمَاءِ بِلَا قَيْدٍ، وَ إِنْ رَشَحَ
مِنْ بِخَارِ الْمَاءِ الطَّهُوْرِ الْمُغْلَى، أَوِ اسْتُهْلِكَ فِيْهِ الْخَلِيْطُ،
أَوْ قَيْدٍ بِمُوَافَقَةِ الْوَاقِعِ كَمَاءِ الْبَحْرِ. بِخِلَافِ مَا لَا يُذْكَرُ
إِلَّا مُقَيَّدًا كَمَاءِ الْوَرْدِ، (غَيْرُ مُسْتَعْمَلٍ فِيْ) فَرْضِ طَهَارَةٍ،
مِنْ (رَفْعِ حَدَثٍ) أَصْغَرَ أَوْ أَكْبَرَ، وَ لَوْ مِنْ طُهْرِ حَنَفِيٍّ لَمْ
يَنْوِ، أَوْ صَبِيٍّ لَمْ يُمَيِّزْ لِطَوَافٍ. (وَ) إِزَالَةِ (نَجَسٍ) وَ لَوْ مَعْفُوًّا
عَنْهُ. (قَلِيْلًا) أَيْ حَالَ كَوْنِ الْمُسْتَعْمَلِ قَلِيْلًا، أَيْ دُوْنَ الْقُلَّتَيْنِ.
فَإِنْ جُمِعَ الْمُسْتَعْمَلُ فَبَلَغَ قُلَّتَيْنِ فَمُطَهِّرٌ، كَمَا لَوْ جُمِعَ
الْمُتَنَجِّسُ فَبَلَغَ قُلَّتَيْنِ وَ لَمْ يَتَغَيَّرْ، وَ إِنْ قَلَّ بَعْدُ بِتَفْرِيْقِهِ.
فَعُلِمَ أَنَّ الْاِسْتِعْمَالَ لَا يَثْبُتُ إِلَّا مَعَ قِلَّةِ الْمَاءِ، أَيْ
وَ بَعْدَ فَصْلِهِ عَنِ الْمَحَلِّ الْمُسْتَعْمَلِ وَ لَوْ حُكْمًا، كَأَنْ جَاوَزَ
مَنْكِبَ الْمُتَوَضِّئِ أَوْ رُكْبَتَهُ، وَ إِنْ عَادَ لِمَحَلِّهِ أَوِ انْتَقَلَ
مِنْ يَدٍ لِأُخْرَى. نَعَمْ، لَا يَضُرُّ فِي الْمُحْدِثِ انْفِصَالُ الْمَاءِ مِنَ
الْكَفِّ إِلَى السَّاعِدِ، وَ لَا فِي الْجُنُبِ انْفِصَالُهُ مِنَ الرَّأْسِ إِلَى
نَحْوِ الصَّدْرِ مِمَّا يَغْلِبُ فِيْهِ التَّقَاذُفُ.
Syarat Wudhu’(Syarat-syaratnya
wudhu’) seperti halnya syarat-syaratnya mandi berjumlah lima syarat. Syarat
yang pertama adalah (menggunakan air mutlak). Maka hadats dan najis tidak akan
hilang, begitu pula tidak akan dapat membuahkan kesucian lain walaupun itu
sunnah kecuali dengan menggunakan air yang mutlak. Air mutlak adalah sebuah
penamaan air tersebut terikat dengan sebab mencocoki terhadap realita yang
terjadi seperti air laut walaupun air tersebut menetes dari uap air suci yang
mendidih atau larut di dalamnya sesuatu yang mencampuri. Hal ini berbeda dengan air yang tidak disebut
kecuali selalu terikat dengan nama lain
seperti air mawar. Air mutlak tersebut haruslah (belum digunakan untuk)
kefardhuan bersuci, yakni (dari
menghilangkan hadats) kecil ataupun besar walaupun bekas bersuci dari madzhab Ḥanafiyyah
yang tidak menggunakan niat atau dari seorang anak kecil yang belum tamyiz
untuk ibadah thawāf (dan belum digunakan untuk menghilangkan najis) walaupun
najis tersebut dima‘fuw (sedang keadaan air yang digunakan tersebut adalah air
yang jumlahnya sedikit) maksudnya adalah air yang kurang dari dua qullah. Jika
seandainya ada air musta‘mal dikumpulkan hingga mencapai dua qullah, maka air
tersebut dihukumi suci dan mensucikan seperti halnya ada air yang terkena najis
kemudian dikumpulkan hingga mencapai dua qullah dan sifat air menjadi sedikit
dengan memisah-misahkannya. Maka dari itu dapat diketahui, bahwa air musta‘mal
tidak akan ada kecuali pada air yang jumlahnya sedikit dan setelah terpisahnya
air dari tempat digunakannya air tersebut walaupun secara hukum saja seperti
melampauinya air dari pundaknya orang yang berwudhu’ atau kedua lututnya
walaupun air tersebut kembali ke tempat semula atau air berpindah dari satu
tangan ke tangan yang lain. Benar bahwa air yang telah terpisah walaupun secara
hukum dikatakan musta‘mal namun tidak masalah terpisahnya air dari telapak
tangan menuju lengan bagi seorang yang hadats dan bagi orang mandi junub, dari
kepala menuju semisal dada yakni dari setiap anggota yang secara umumnya air
tersebut menetes.
فرع) لو أدخل المتوضئ يده
بقصد الغسل عن الحدث أولا بقصد بعد نية الجنب، أو تثليث وجه المحدث، أو بعد الغسلة
الاولى، إن قصد الاقتصار عليها، بلا نية اغتراف ولا قصد أخذ الماء لغرض آخر صار مستعملا
بالنسبة لغير يده فله أن يغسل بما فيها باقي ساعدها.
(Cabangan Masalah). Kalau seandainya
seorang yang berwudhu’ memasukkan tangannya dengan maksud mandi menghilangkan
hadats ataupun orang tersebut tidak berniat seperti itu, namun setelah berniat
mandi junub, atau setelah mengulang tiga kali dalam membasuh wajah seorang yang
hadats kecil atau setelah basuhan pertama – jika ia meringkas dengan satu
basuhan saja – dengan tanpa berniat ightirāf dan juga tidak bertujuan mengambil
air karena tujuan lain selain bersuci maka air tersebut menjadi musta‘mal untuk
selain tangannya dan baginya diperbolehkan untuk membasuh lengannya dengan air
yang berada pada tangannya.
وَ) غَيْرُ (مُتَغَيَّرٍ) تَغَيُّرًا (كَثِيْرًا)
بِحَيْثُ يَمْنَعُ إِطْلَاقَ اسْمِ الْمَاءِ عَلَيْهِ، بِأَنْ تَغَيَّرَ أَحَدُ صِفَاتِهِ
مِنْ طَعْمٍ أَوْ لَوْنٍ أَوْ رِيْحٍ، وَ لَوْ تَقْدِيْرِيًّا أَوْ كَانَ التَّغَيُّرُ
بِمَا عَلَى عُضْوِ الْمُتَطَهِّرِ فِي الْأَصَحِّ، وَ إِنَّمَا يُؤَثِّرُ التَّغَيُّرُ
إِنْ كَانَ (بِخَلِيْطٍ) أَيْ مُخَالِطًا لِلْمَاءٍ، وَ هُوَ مَا لَا يَتَمَيَّزُ فِيْ
رَأْيِ الْعَيْنِ (طَاهِرٍ) وَ قَدْ (غَنِيَ) الْمَاءُ (عَنْهُ) كَزْعَفَرَانٍ، وَ
ثَمَرَ شَجَرٍ نَبَتَ قُرْبَ الْمَاءِ، وَ وَرَقٍ طُرِحَ ثُمَّ تَفَتَّتَ، لَا تُرَابٍ
وَ مِلْحِ مَاءٍ وَ إِنْ طُرِحَا فِيْهِ. وَ لَا يُضَرُّ تَغَيُّرٌ لَا يَمْنَعُ الْاِسْمَ
لِقِلَّتِهِ وَ لَوِ احْتِمَالًا، بِأَنْ شَكَّ أَهُوَ كَثِيْرٌ أَوْ قَلِيْلٌ. وَ
خَرَجَ بِقَوْلِيْ بِخَلِيْطِ الْمُجَاوِرُ، وَ هُوَ مَا يَتَمَيَّزُ لِلنَّاظِرِ،
كَعُوْدٍ وَ دُهْنٍ وَ لَوْ مُطَيِّبَيْنَ، وَ مِنْهُ الْبُخُوْرُ وَ إِنْ كَثُرَ وَ
ظَهَرَ نَحْوَ رِيْحِهِ، خِلَافًا لِجَمْعٍ. وَ مِنْهُ أَيْضًا مَاءٌ أُغْلِيَ فِيْهِ
نَحْوَ بُرٍّ وَ تَمْرٍ حَيْثُ لَمْ يُعْلَمِ انْفِصَالُ عَيْنٍ فِيْهِ مُخَالِطَةً،
بِأَنْ لَمْ يَصِلَ إِلَى حَدٍّ بِحَيْثُ لَهُ اسْمٌ آخَرَ كَالْمَرَقَةِ، وَ لَوْ
شَكَّ فِيْ شَيْءٍ أَمُخَالِطٌ هُوَ أَمْ مُجَاوِرٌ، لَهُ حُكْمُ الْمُجَاوِرِ. وَ
بِقُوْلِيْ غَنِيٌّ عَنْهُ مَا لَا يُسْتَغْنَى عَنْهُ، كَمَا فِيْ مَقَرِّهِ وَ مَمَرِّهِ،
مِنْ نَحْوِ طِيْنٍ وَ طُحْلُبٍ مُتَفَتِّتٍ وَ كِبْرِيْتٍ، وَ كَالتَّغَيُّرِ بِطُوْلِ
الْمُكْثِ أَوْ بِأَوْرَاقٍ مُتَنَاثِرَةٍ بِنَفْسِهَا وَ إِنْ تَفَتَّتَتْ وَ بَعُدَتِ
الشَّجَرَةُ عَنِ الْمَاءِ. (أَوْ بِنَجَسٍ) وَ أَنْ قَلَّ التَّغَيُّرُ. (وَ لَوْ
كَانَ) الْمَاءُ (كَثِيْرًا) أَيْ قُلَّتَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ فِيْ صُوْرَتَيِ التَّغْيِيْرِ
بِالطَّاهِرِ وَ النَّجَسِ.
(Dan) tidak (ada perubahan) dengan
perubahan (yang banyak) sekira perubahan tersebut dapat mencegah kemutlakan
nama air, sebagaimana perubahan yang terjadi pada salah satu sifatnya air yakni
dari rasa, warna dan baunya walaupun perubahannya hanya secara perkiraan atau
adanya perubahan sebab sesuatu yang berada pada anggota orang yang bersuci
menurut pendapat ashaḥḥ. Perubahan hanya akan terjadi apabila perubahan
disebabkan oleh (sesuatu yang mencampuri air) yakni mukhālith – mukhālith
adalah benda yang tidak terlihat berbeda dengan air – (yang bersifat suci) dan
(air tersebut dapat terhindar dari percampuran tersebut) seperti minyak
za‘faran, buah dari pohon yang tumbuh di dekat air dan dedaunan yang dijatuhkan
kemudian hancur di dalamnya, bukan debu dan garam air walaupun dijatuhkan ke
dalam air. Tidak masalah sebuah perubahan yang tidak merubah kemutlakan nama
air sebab perubahannya sedikit, walaupun terjadi keraguan sebagaimana seorang
yang ragu apakah perubahan tersebut banyak atau sedikit. Dikecualikan dari
ucapan saya: mukhālith adalah mujāwir. Mujāwir adalah benda yang terlihat
berbeda dengan air seperti kayu, minyak walaupun keduanya dibuat wewangian.
Sebagian dari benda mujāwir adalah tetesan air yang mendidih walaupun sangat
banyak dan baunya tampak jelas, berbeda dengan pendapat sekelompok ulama’.
Sebagian lagi adalah air yang mendidih sedang di dalamnya terdapat sejenis
gandum dan kurma sekira tidak diketahui terpisahnya sebuah bentuk benda yang
mencampuri air dengan tidak terjadinya penamaan yang lain seperti air kuah.
Kalau seandainya sebuah benda diragukan apakah mukhālith ataupun mujāwir, maka
benda itu dihukumi mujāwir. Dikecualikan pula dengan ucapanku: dapat
dihindarkan dari air adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan seperti halnya
kasus air yang berada pada tempat menetapnya air dan tempat mengalirnya air,
seperti sejenis lumpur, lumut yang hancur, belerang, dan seperti perubahan
sebab diam yang terlalu lama atau dedaunan yang berguguran dengan sendirinya
walaupun hancur dan pohonnya jauh dari air tersebut. (Atau perubahan terjadi
dengan sebab najis) walaupun perubahannya hanya sedikit (dan walaupun adanya)
air (tersebut banyak) yakni dua qullah lebih dalam dua contoh perubahan dengan
menggunakan perkara yang suci dan najis.
وَ الْقُلَّتَانِ بِالْوَزْنِ: خَمْسُمِائَةِ رِطْلِ
بَغْدَادِيٍّ تَقْرِيْبًا، وَ بِالْمِسَاحَةِ فِي الْمُرَبَّعِ: ذِرَاعٌ وَ رُبُعٌ
طُوْلًا وَ عَرْضًا وَ عُمْقًا، بِذِرَاعِ الْيَدِ الْمُعْتَدِلَةِ. وَ فِي الْمُدَوَّرِ:
ذِرَاعٌ مِنْ سَائِرِ الْجَوَانِبِ بِذِرَاعِ الْآدَمِيِّ، وَ ذِرَاعَانِ عُمْقًا بِذِرَاعِ
النَّجَّارِ، وَ هُوَ ذِرَاعٌ وَ رُبُعٌ. وَ لَا تَنَجَّسَ قُلَّتَا مَاءٍ وَ لَوِ
احْتِمَالًا، كَأَنْ شَكَّ فِيْ مَاءٍ أَبْلَغَهُمَا أَمْ لَا، وَ إِنْ تُيُقِّنَتْ
قِلَّتُهُ قَبْلَ بِمُلَاقَاةِ نَجَسٍ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ بِهِ، وَ إِنِ اسْتُهْلِكَتِ
النَّجَاسَةُ فِيْهِ. وَ لَا يَجِبُ التَّبَاعُدُ مِنْ نَجَسٍ فِيْ مَاءٍ كَثِيْرٍ.
وَ لَوْ بَالَ فِي الْبَحْرِ مَثَلًا فَارْتَفَعَتْ مِنْهُ رَغْوَةٌ فَهِيَ نَجِسَةٌ
إِنْ تَحَقَّقَ أَنَّهَا مِنْ عَيْنِ النَّجَاسَةِ، أَوْ مِنَ الْمُتَغَيِّرِ أَحَدُ
أَوْصَافِهِ بِهَا، وَ إِلَّا فَلَا. وَ لَوْ طُرِحَتْ فِيْهِ بَعْرَةٌ، فَوَقَعَتْ
مِنْ أَجْلِ الطَّرْحِ قَطْرَةٌ عَلَى شَيْءٍ لَمْ تُنَجِّسْهُ،
Ukuran air dua qullah dengan
timbangan adalah kurang-lebih 500 liter Baghdad, sedang dua qullah dengan alat
ukur dalam wadah kubus adalah 1 ¼ hasta orang normal setiap panjang, lebar dan
dalamnya. Sedang dalam wadah silinder atau bulat adalah dengan diameter 1 hasta
manusia disetiap sisi dan dalamnya 2 hasta dengan hasta tangan tukang kayu,
yakni 1 ¼ hasta tangan biasa. Air yang berjumlah dua qullah tidak dapat
dihukumi najis – walaupun masih kemungkinan seperti diragukan apakah ari
tersebut sudah mencapai dua qullah ataupun belum dan walaupun sebelumnya telah
diyakini sedikitnya jumlah air tersebut – dengan sebab terkena najis selama
najis tersebut tidak merubah sifat air walaupun najis tersebut larut di
dalamnya. Tidak wajib menjauhi najis di air yang berjumlah banyak. Kalau
seandainya seseorang kencing di laut, kemudian terjadi buih, maka buih tersebut
dihukumi najis bila jelas buih itu dari air kencingnya atau dari air yang telah
berubah salah satu sifat air dengan sebab air kencing tersebut, dan bila tidak
seperti itu maka tidaklah dihukumi najis. Jika sebuah kotoran kering
dilemparkan ke dalam air, lalu dari pelemparan tersebut menimbulkan percikan
air yang mengenai pada suatu benda, maka benda tersebut tidak dihukumi najis.
وَ يُنَجِّسُ قَلِيْلُ الْمَاءِ – وَ هُوَ مَا
دُوْنَ الْقُلَّتَيْنِ – حَيْثُ لَمْ يَكُنْ وَارِدًا بِوُصُوْلِ نَجَسٍ إِلَيْهِ يُرَى
بِالْبَصَرِ الْمُعْتَدِلِ، غَيْرَ مَعْفُوٍّ عَنْهُ فِي الْمَاءِ، وَ لَوْ مَعْفُوًّا
عَنْهِ فِي الصَّلَاةِ، كَغَيْرِهِ مِنْ رُطَبٍ وَ مَائِعٍ، وَ إِنْ كَثُرَ. لَا بِوُصُوْلِ
مَيْتَةٍ لَا دَمَ لِجِنْسِهَا سَائِلٌ عِنْدَ شَقِّ عُضْوٍ مِنْهَا، كَعَقْرَبٍ وَ
وَزْعٍ، إِلَّا إِنْ تَغَيَّرَ مَا أَصَابَتْهُ – وَ لَوْ يَسِيْرًا – فَحِيْنَئِذٍ
يَنْجُسُ. لَا سَرْطَانٍ وَ ضِفْدَعٍ فَيَنْجُسُ بِهِمَا، خِلَافًا لِجَمْعٍ، وَ لَا
بِمَيْتَةٍ كَانَ نَشْؤُهَا مِنَ الْمَاءِ كَالْعَلَقِ، وَ لَوْ طُرِحَ فِيْهِ مَيْتَةٌ
مِنْ ذلِكَ نَجَسَ، وَ إِنْ كَانَ الطَّارِحُ غَيْرَ مُكَلَّفٍ، وَ لَا أَثَرَ لِطَرْحِ
الْحَيِّ مُطْلَقًا. وَ اخْتَارَ كَثِيْرُوْنَ مِنْ أَئِمَّتِنَا مَذْهَبَ مَالِكٍ:
أَنَّ الْمَاءَ لَا يَنْجُسُ مُطْلَقًا إِلَّا بِالتَّغَيُّرِ، وَ الْجَارِيْ كَرَاكِدٍ
وَ فِي الْقَدِيْمِ: لَا يَنْجُسُ قَلِيْلُهُ بِلَا تَغَيُّرٍ، وَ هُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ.
قَالَ فِي الْمَجْمُوْعِ: سَوَاءٌ كَانَتِ النَّجَاسَةُ مَائِعَةً أَوْ جَامِدَةً.
وَ الْمَاءُ الْقَلِيْلُ إِذَا تَنَجَّسَ يَطْهُرُ بِبُلُوْغِهِ قُلَّتَيْنِ – وَ لَوْ
بِمَاءٍ مُتَنَجِّسٍ – حَيْثُ لَا تَغَيُّرَ بِهِ، وَ الْكَثِيْرُ يَطْهُرُ بِزَوَالِ
تَغَيُّرِهِ بِنَفْسِهِ أَوْ بِمَاءٍ زِيْدَ عَلَيْهِ أَوْ نُقِصَ عَنْهُ وَ كَانَ
الْبَاقِيْ كَثِيْرًا.
Air yang jumlahnya sedikit yakni air
yang kurang dari dua qullah dapat menjadi najis – bila air itu tidak dialirkan
– dengan sebab masuknya najis pada air tersebut dengan najis yang dapat dilihat
dengan mata orang yang normal, yang tidak dima‘fuw di dalam air walaupun
dima‘fuw di dalam shalat, seperti halnya hukum selain air yakni dari perkara
yang basah dan cair walaupun cairan yang berjumlah banyak. Tidak najis dengan
sebab masuknya bangkai yang tidak memiliki jenis darah yang mengalir saat
anggota tubuhnya dirobek seperti scorpio (kalajengking) dan cecak kecuali
bangkai tersebut merubah sifat air walaupun dengan perubahan yang sedikit, maka
pada saat seperti itu air menjadi najis. Tidak dengan masuknya bangkai kepiting
dan katak, maka air menjadi najis dengan sebab dua bangkai hewan tersebut,
sementara segolongan ulama’ berpendapat lain. Dan juga tidak najis dengan sebab
bangkai dari hewan yang muncul dari air seperti halnya lintah. Kalau seandainya
bangkai-bangkai itu dilempar ke dalam
air, maka air dihukumi najis walaupun yang melempar adalah selainnya orang yang
mukallaf. Tidak masalah melempar hewan pada waktu masih hidup secara mutlak.
Mayoritas ulama’ kita lebih memilih pendapat Imām Mālik yang mengatakan bahwa
air tidak dihukumi najis secara mutlak kecuali air menjadi berubah. Air yang
mengalir seperti halnya air yang diam. Dalam qaul qadīm Imām Syāfi‘ī disebutkan
bahwa tidak dihukumi najis sedikitnya air tanpa perubahan dan itu adalah
madzhab Imām Mālik. Dan Majmū‘-nya Imām Nawawī mengatakan: Baik adanya najis
tersebut cair ataupun padat. Air sedikit yang terkena najis dapat menjadi suci
dengan sampainya air tersebut menjadi dua qullah – walaupun dengan menggunakan
air yang terkena najis – sekira tidak ditemukan perubahan pada sifat air
tersebut. Sedangkan air banyak yang terkena najis dapat suci dengan sebab
hilangnya perubahan pada air itu dengan sendirinya atau dengan air yang
ditambahkan atau dikurangi sedang sisanya masih banyak.
(وَ) ثَانِيْهَا: (جَرِيُّ مَاءٍ عَلَى عُضْوٍ) مَغْسُوْلٍ،
فَلَا يَكْفِيْ أَنْ يَمَسَّهُ الْمَاءُ بِلَا جِرْيَانٍ لِأَنَّهُ لَا يُسَمَّى غُسْلًا.
(وَ) ثَالِثُهَا: (أَنْ لَا يَكُوْنَ عَلَيْهِ) أَيْ عَلَى الْعُضْوِ (مُغَيَّرٌ لِلْمَاءِ
تَغَيُّرًا ضَارًّا) كَزَعْفَرَانٍ وَ صَنْدَلٍ، خِلَافًا لِجَمْعٍ. (وَ) رَابِعُهَا:
(أَنْ لَا يَكُوْنَ عَلى الْعُضْوِ حَائِلٌ) بَيْنَ الْمَاءِ وَ الْمَغْسُوْلِ، (كَنُوْرَةٍ)
وَ شَمْعٍ وَ دُهْنٍ جَامِدٍ وَ عَيْنِ حُبْرٍ وَ حِنَّاءٍ، بِخِلَافِ دُهْنٍ جَارٍ
أَيْ مَائِعٍ – وَ إِنْ لَمْ يَثْبُتِ الْمَاءُ عَلَيْهِ – وَ أَثَرَ حُبْرٍ وَ حِنَّاءٍ.
وَ كَذَا يُشْتَرَطُ – عَلَى مَا جَزَمَ بِهِ كَثِيْرُوْنَ – أَنْ لَا يَكُوْنَ وَسَخٌ
تَحْتَ ظُفْرٍ يَمْنَعُ وُصُوْلَ الْمَاءِ لِمَا تَحْتَهُ، خِلَافًا لِجَمْعٍ مِنْهُمُ
الْغَزَالِيُّ وَ الزَّرْكَشِيُّ وَ غَيْرُهُمَا، وَ أَطَالُوْا فِيْ تَرْجِيْحِهِ
وَ صَرَّحُوْا بِالْمُسَامَحَةِ عَمَّا تَحْتَهَا مِنَ الْوَسَخِ دُوْنَ نَحْوِ الْعَجِيْنِ.
وَ أَشَارَ الْأَذْرَعِيُّ وَ غَيْرُهُ إِلَى ضَعْفِ مَقَالَتِهِمْ. وَ قَدْ صَرَّحَ
فِي التَّتِمَّةِ وَ غَيْرِهَا، بِمَا فِي الرَّوْضَةِ وَ غَيْرِهَا، مِنْ عَدَمِ الْمُسَامَحَةِ
بِشَيْءٍ مِمَّا تَحْتَهَا حَيْثُ مَنَعَ وُصُوْلِ الْمَاءِ بِمَحَلِّهِ. وَ أَفْتَى
الْبَغَوِيُّ فِيْ وَسَخٍ حَصَلَ مِنْ غُبَارٍ بِأَنَّهُ يَمْنَعُ صِحَّةَ الْوُضُوْءِ،
بِخِلَافٍ مَا نَشَأَ مِنْ بَدَنِهِ وَ هُوَ الْعِرْقُ الْمُتَجَمِّدُ. وَ جَزَمَ بِهِ
فِي الْأَنْوَارِ.
(Syarat yang kedua dari wudhu’)
adalah (mengalirkan air pada anggota yang dibasuh), maka tidak cukup
mengusapkan air tanpa mengalirkan karena hal tersebut tidak dinamakan membasuh.
(Syarat ketiga dari wudhu’) adalah (pada anggota ketiga dari wudhu’) adalah
(pada anggota wudhu’ tidak terdapat sesuatu yang dapat merubah air dengan
perubahan yang membahayakan seperti minyak za‘faran dan kayu cendana, sementara
sekelompok ulama’ berpendapat lain. (Syarat yang keempat dari wudhu’) adalah
(pada anggota wudhu’ tidak ada penghalang) di antara air dan anggota yang
dibasuh (seperti kapur), lilin, minyak yang telah mengeras, dzat tinta dan
inai. Berbeda dengan minyak yang cair –walaupun air tidak menetap pada anggota
wudlu – dan bekas tinta dan inai. Begitu pula disyaratkan – menurut mayoritas
ulama’ – tidak adanya kotoran kuku yang dapat mencegah masuknya air pada bagian
di bawah kuku tersebut. Sementara sekelompok ulama’ berpendapat lain, sebagian
ulama’ tersebut adalah Imām al-Ghazālī, Imām az-Zarkasyī dan selain keduanya.
Mereka bersikukuh memperkuat pendapatnya dan menjelaskan bahwa sesuatu yang
berada di bawah kuku yakni dari kotoran bukan sejenis adonan roti merupakan
dispensasi (rukhshah). Imām al-Adzra‘ī dan selainnya memberi isyarat atas
lemahnya pendapat mereka. Imām Mutawallī dalam kitab Tatimah dan selainnya
menjelaskan dengan menggunakan pendapat yang tertuang dalam ar-Raudhah dan
selainnya bahwa kotoran yang berada di bawah kuku, jika dapat menghalangi
masuknya air ke tempatnya tidaklah mendapatkan dispensasi. Imām al-Baghawī
berfatwa bahwa kotoran yang dihasilkan dari debu itu dapat menghalangi sahnya
wudhu’, berbeda dengan keringat yang mengeras yang muncul dari tubuhnya sendiri
dan Imām Yūsuf telah mengambil keputusan dalam kitab al-Anwār-nya sesuai dengan
hal tersebut.
وَ) خَامِسُهَا: (دُخُوْلُ وَقْتٍ لِدَائِمِ حَدَثٍ)
كَسَلِسٍ وَ مُسْتَحَاضَةٍ. وَ يُشْتَرَطُ لَهُ أَيْضًا ظَنُّ دُخُوْلِهِ، فَلَا يَتَوَضَّأُ
– كَالْمُتَيَمِّمِ – لِفَرْضٍ أَوْ نَفْلٍ مُؤَقَتٍ قَبْلَ وَقْتِ فِعْلِهِ، وَ لِصَلَاةِ
جَنَازَةٍ قَبْلَ الْغُسْلِ، وَ تَحِيَّةٍ قَبْلَ دُخُوْلِ الْمَسْجِدِ، وَ لِلرَّوَاتِبِ
الْمُتَأَخِّرَةِ قَبْلَ فِعْلِ الْفَرْضِ، وَ لَزِمَ وُضُوْآنِ أَوْ تَيَمُّمَانِ
عَلَى خَطِيْبٍ دَائِمٍ الْحَدَثِ، أَحَدُهُمَا: لِلْخُطْبَتَيْنِ وَ الْآخَرُ بَعْدَهُمَا
لِصَلَاةِ جُمْعَةٍ، وَ يَكْفِيْ وَاحِدٌ لَهُمَا لِغَيْرِهِ، وَ يَجِبُ عَلَيْهِ الْوُضُوْءُ
لِكُلِّ فَرْضٍ – كَالتَّيَمُّمِ وَ كَذَا غُسْلُ الْفَرْجِ وَ إِبْدَالُ الْقُطْنَةِ
الَّتِيْ بِفَمِهِ وَ الْعَصَابَةِ، وَ إِنْ لَمْ تَزُلْ عَنْ مَوْضِعِهَا. وَ عَلَى
نَحْوِ سَلِسٍ مُبَادَرَةٌ بِالصَّلَاةِ، فَلَوْ أَخَّرَ لِمَصْلَحَتِهَا كَانْتِظَارِ
جَمَاعَةٍ أَوْ جُمْعَةٍ وَ إِنْ أُخِّرَتْ عَنْ أَوَّلِ الْوَقْتِ وَ كَذَهَابٍ إِلَى
مَسْجِدٍ لَمْ يَضُرُّهُ.
(Syarat wudhu’ yang kelima) adalah
(masuknya waktu shalat bagi seorang yang selalu hadats) seperti orang yang
beser dan istiḥādhah, dan disyaratkan pula baginya untuk menduga masuknya waktu
shalat, maka baginya tidak diperbolehkan berwudhu’ – seperti halnya orang yang
tayammum – untuk shalat fardhu ataupun sunnah sebelum masuknya waktu untuk
mengerjakannya, dan untuk shalat janazah sebelum memandikannya, dan untuk
shalat tahiyyat-ul-masjid sebelum masuk masjid, dan untuk shalat rawatib yang
diakhirkan sebelum melakukan shalat fardhu. Wajib melakukan dua wudhu’ atau dua
tayammum bagi seorang khatib yang selalu hadats, satu wudhu’ untuk dua khutbah
dan satunya setelah dua khutbah untuk melakukan shalat jum‘at, dan dicukupkan
satu wudhu’ untuk kedua hal tersebut baginya untuk berwudhu’ di setiap akan
melaksanakan shalat fardhu’ seperti halnya tayammum Begitu pula wajib membasuh
vagina dan mengganti kapuk yang berada pada bibir vagina dan mengganti pembalut
walaupun pembalut tersebut tidak bergeser dari tempatnya. Dan bagi sejenis
beser kencing diwajibkan untuk bersegera melaksanakan shalat. Kalau seandainya
ia mengakhirkan shalat karena untuk kemaslahatan shalat seperti menunggu
jama‘ah atau shalat jum‘at – walaupun shalat tersebut diakhirkan dari awal
waktu – dan seperti berangkat menuju masjid, maka hukumnya tidaklah masalah
baginya.
Fardhu
(Rukun) Wudhu
وَ فُرُوْضُهُ سِتَّةٌ) أَحَدُهَا: (نِيَّةٌ) وُضُوْءٍ
أَوْ أَدَاءِ (فَرْضِ وُضُوْءٍ) أَوْ رَفْعِ حَدَثٍ لِغَيْرِ دَائِمِ حَدَثٍ، حَتَّى
فِي الْوُضُوْءِ الْمُجَدَّدِ أَوِ الطَّهَارَةِ عَنْهُ، أَوِ الطَّهَارَةِ لِنَحْوِ
الصَّلَاةِ، مِمَّا لَا يُبَاحُ إِلَّا بِالْوُضُوْءِ، أَوِ اسْتِبَاحَةٍ مُفْتَقِرٍّ
إِلَى وُضُوْءِ كَالصَّلَاةِ وَ مَسَّ الْمُصْحَفِ. وَ لَا تَكْفِيْ نِيَّةُ اسْتِبَاحَةِ
مَا يُنْدَبُ لَهُ الْوُضُوْءُ، كَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوِ الْحَدِيْثِ، وَ كَدُخُوْلِ
مَسْجِدٍ وَ زِيَارَةِ قَبْرٍ. وَ الْأَصْلُ فِيْ وُجُوْبِ النِّيَّةِ خَبَرُ، إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ. أَيْ إِنَّمَا صِحَّتُهَا لِإِكْمَالِهَا. وَ يَجِبُ قَرْنَهَا
(عِنْدَ) أَوَّلِ (غَسْلِ) جُزْءٍ مِنْ (وَجْهٍ)، فَلَوْ قَرَنَهَا بِأَثْنَائِهِ كَفَى
وَ وَجَبَ إِعَادَةُ غَسْلِ مَا سَبَقَهَا. وَ لَا يَكْفِيْ قَرْنُهَا بِمَا قَبْلَهُ
حَيْثُ لَمْ يَسْتَصْحِبْهَا إِلَى غُسْلِ شَيْءٍ مِنْهُ، وَ مَا قَارَنَهَا هُوَ أَوَّلُهُ،
فَتَفُوْتُ سُنَّةُ الْمَضْمَضَةِ إِنِ انْغَسَلَ مَعَهَا شَيْءٌ مِنَ الْوَجْهِ –
كَحُمْرَةِ الشَّفَةِ – بَعْدَ النِّيَّةِ فَالْأَوْلَى أَنْ يُفَرِّقَ النِّيَّةُ
بِأَنْ يَنْوِيَ عِنْدَ كُلِّ مِنْ غَسْلِ الْكَفَّيْنِ وَ الْمَضْمَضَةِ وَ الْاِسْتِنْشَاقِ
سُنَّةَ الْوُضُوْءِ، ثُمَّ فَرْضَ الْوُضُوْءِ عِنْدَ غَسْلِ الْوَجْهِ، حَتَّى لَا
تَفُوْتَ فَضِيْلَةُ اسْتِصْحَابِ النِّيَّةِ مِنْ أَوَّلِهِ. وَ فَضِيْلَةُ الْمَضْمَضَةِ
وَ الْاِسْتِنْشَاقِ مَعَ انْغِسَالِ حُمْرَةِ الشَّفَةِ.
Baca juga: Bab Zakat
Rukun
Wudhu’
(Kefardhuan wudhu’ ada enam). Yang
pertama adalah (niat) wudhu’ atau mengerjakan (kefardhuan wudhu’) atau mengerjakan
(kefardhuan wudhu’) atau menghilangkan hadats bagi selain orang yang selalu
hadats. Semua niat tersebut juga berlaku
sampai di dalam wudhu’ yang diperbaharui. Boleh juga berniat bersuci dari
hadats, bersuci untuk sesamanya shalat yakni dari setiap hal yang tidak
diperbolehkan dilakukan kecuali dengan wudhu’ atau berniat supaya diperbolehkan
melakukan setiap hal yang membutuhkan wudhu’ seperti shalat dan menyentuh
mushhaf. Tidak cukup niat supaya diperbolehkan melakukan hal yang disunnahkan
untuk berwudhu’ seperti membaca al-Qur’ān dan hadits, dan tidak pula niat untuk
diperbolehkan masuk masjid dan ziarah qubur. Dasar dari kewajiban berniat ini
adalah hadits: Keabsahan sebuah amal hanyalah dengan kesempurnaan niat. Wajib
membarengkan niat (ketika mengawali membasuh bagian wajah). Jika seseorang membarengkan niat di tengah
pembasuhan bagian wajah maka hal tersebut mencukupi dan wajib baginya
mengulangi membasuh bagian yang telah mendahului niat. Tidak cukup membarengkan
niat dengan anggota sebelum wajah sekira orang tersebut tidak melanggengkan
niat sampai membasuh bagian dari wajah. Anggota wajah yang dibarengi niat
adalah awal pembasuhan, maka kesunnahan berkumur akan hilang bila bagian wajah
– seperti bagian merah bibir – terbasuh saat berkumur setelah berniat wudhu’.
Oleh karenanya, yang lebih baik adalah memetakan niat dengan berniat ketika
membasuh kedua telapak tangan, berkumur dan menghirup air ke hidung dengan niat
sunnah, kemudian disusul dengan niat fardhu wudhu’ ketika membasuh wajah hingga
kesunnahan melanggengkan niat dari awal membasuh wajah tidak hilang, dan tidak
hilang pula kesunnahan berkumur dan menghirup air dari hidung dengan
terbasuhnya bagian merahnya bibir.
وَ) ثَانِيْهَا: (غَسْلُ) ظَاهِرِ (وَجْهِهِ) لِآيَةٍ:
* (فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ) * (وَ هُوَ) طُوْلًا (مَا بَيْنَ مَنَابِِت) شَعْرِ
(رَأْسِهِ) غَالِبًا (وَ) تَحْتَ (مُنْتَهَى لِحْيَيْهِ) – بِفَتْحِ اللَّامِ – فَهُوَ
مِنَ الْوَجْهِ دُوْنَ مَا تَحْتَهُ، وَ الشَّعْرِ النَّابِتِ عَلَى مَا تَحْتَهُ،
(وَ) عَرْضًا (مَا بَيْنَ أُذُنَيْهِ). وَ يَجِبُ غَسل شَعْرِ الْوَجْهِ مِنْ هُدْبٍ
وَ حَاجِبٍ وَ شَارِبٍ وَ عُنْفُقَةٍ وَ لِحْيَةٍ – وَ هِيَ مَا نَبَتَ عَلَى الذَّقَنِ
– وَ هُوَ مُجْتَمَعٌ اللَّحَيَيْنِ – وَ عُذَارٍ – هُوَ مَا نَبَتَ عَلَى الْعَظْمِ
الْمُحَاذِيْ لِلْأُذُنِ – وَ عَارِضٍ – وَ هُوَ مَا انْحَطَ عَنْهُ إِلَى اللِّحْيَةِ
-. وَ مِنَ الْوَجْهِ حُمْرَةُ الشَّفَتَيْنِ وَ مَوْضِعُ الْغَمَمِ – وَ هُوَ مَا
نَبَتَ عَلَيْهِ الشَّعْرُ مِنَ الْجَبْهَةِ دُوْنَ مَحَلِّ التَّحْذِيْفِ عَلَى الْأَصَحِّ،
وَ هُوَ مَا نَبَتَ عَلَيْهِ الشَّعْرْ الْخَفِيْفُ بَيْنَ ابْتِدَاءِ الْعُذَارِ وَ
النَّزْعَةِ – وَ دُوْنَ وَتَدِ الْأُذُنِ وَ النَّزْعَتَيْنِ – وَ هُمَا بَيَاضَانِ
يَكْتَنِفَانِ النَّاصِيَةِ – وَ مَوْضِعُ الصَّلَعِ – وَ هُوَ مَا بَيْنَهُمَا إِذَا
انْحَسَرَ عَنْهُ الشَّعْرُ -. وَ يُسَنُّ غُسْلُ كُلِّ مَا قِيْلَ إِنَّهُ لَيْسَ
مِنَ الْوَجْهِ. وَ يَجِبُ غُسْلُ ظَاهِرِ وَ بَاطِنِ كُلِّ مِنَ الشُّعُوْرِ السَّابِقَةِ
– وَ إِنْ كَثَفَ – لِنُدْرَةِ الْكَثَافَةِ فِيْهَا، لَا بَاطِنُ كَثِيْفِ لِحْيَةٍ
وَ عَارِضٍ – وَ الْكَثِيْفُ مَا لَمْ تَرَ الْبَشَرَةُ مِنْ خِلَالِهِ فِيْ مَجْلِسِ
التَّخَاطُبِ عُرْفًا – وَ يَجِبُ غُسْلُ مَا لَا يَتَحَقَّقُ غَسْلُ جَمِيْعِهِ إِلَّا
بِغَسْلِهِ، لِأَنَّ مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ وَاجِبٌ.
Kefardhuan wudhu’ yang kedua adalah
(membasuh bagian luar wajah) (55) sebab telah dijelaskan dalam ayat al-Qur’ān:
Maka basuhlah wajah kalian semua. (Wajah) dari sisi lebarnya adalah (anggota di
antara tempat tumbuhnya rambut) (66) secara umumnya (dan) bagian bawah (tempat
akhir dua tulang rahang). Tulang rahang adalah termasuk dari bagian wajah,
bukan bagian yang berada di bawah tulang rahang dan rambut yang tumbuh di
bagian bawah tulang tersebut. Sedang wajah dari sisi lebarnya (adalah anggota
di antara dua kuping). Wajib membasuh rambut yang tumbuh di wajah seperti bulu
mata, alis, kumis, rawis, jenggot – yakni rambut yang tumbuh di bawah dagu
sedang dagu adalah tempat berkumpulnya dua tulang rahang – , rambut ati-ati –
yakni rambut yang tumbuh pada tulang yang melurusi kuping, – rambut jabang –
yakni rambut yang berada pada posisi akhir rambut ati-ati sampai jenggot.
Sebagian dari bagian wajah adalah merah dua bibir dan tempat ghamam (sinom;
jawa) – adalah tempat tumbuhnya rambut kening – bukan tempat taḥdzīf (77)
menurut pendapat yang ashaḥḥ – yakni daerah tumbuhnya rambut tipis di antara
awal rambut ati-ati dan tempat dua sisi dahi yang tak berambut – , dan bukan
pasak telinga dan dua naz‘ah – dua naz‘ah adalah dua daerah bebas rambut yang
mengelilingi ubun-ubun – , dan bukan tempat botak – yakni daerah di antara dua
naz‘ah ketika rambut rontok – . Disunnahkan untuk membasuh setiap anggota yang
tidak disebut sebagai wajah. Wajib membasuh bagian luar dan dalam setiap
rambut-rambut yang telah lewat – walaupun tebal – sebab hal tersebut jarang
terjadi. Tidak wajib membasuh bagian dalam rambut yang tebal dari jenggot dan
jabang. Katagori tebal adalah selama tidak terlihat dari sela-sela rambut di
tempat perbincangan secara umumnya. Wajib membasuh anggota yang tidak mungkin
terbasuh keseluruhannya kecuali dengan membasuhnya, sebab perkara yang tidak
mungkin sempurna kewajibannya kecuali dengan perkara tersebut, maka hukumnya
wajib.
وَ) ثَالِثُهَا: (غَسْلُ يَدَيْهِ) مِنْ كَفَّيْهِ
وَ ذِرَاعَيْهِ (بِكُلِّ مِرْفَقٍ) لِلْآيَةِ. وَ يَجِبُ غَسْلُ جَمِيْعِ مَا فِيْ
مَحَلِّ الْفَرْضِ مِنْ شَعْرٍ وَ ظُفْرٍ، وَ إِنْ طَالَ. (فَرْعٌ) لَوْ نَسِيَ لُمْعَةً
فَانْغَسَلَتْ فِيْ تَثْلِيْثٍ، أَوْ إِعَادَةِ وُضُوْءٍ لِنِسْيَانٍ لَهُ، لَا تَجْدِيْدٍ
وَ احْتِيَاطٍ، أَجْزَأَهُ. (وَ) رَابِعُهَا: (مَسْحُ بَعْضِ رَأْسِهِ) كَالنَّزْعَةِ
وَ الْبَيَاضِ الَّذِيْ وَرَاءَ الْأُذُنِ بَشَرٌ أَوْ شَعْرٌ فِيْ حَدِّهِ، وَ لَوْ
بَعْضَ شَعْرَةٍ وَاحِدَةٍ، لِلْآيَةِ. قَالَ الْبَغَوِيُّ: يَنْبَغِيْ أَنْ لَا يُجْزِئَ
أَقَلُّ مِنْ قَدْرِ النَّاصِيَةِ، وَ هِيَ مَا بَيْنَ النَّزْعَتَيْنِ، لِأَنَّهُ
لَمْ يَمْسَحْ أَقَلَّ مِنْهَا، وَ هُوَ رِوَايَةٌ عَنْ أَبِيْ حَنِيْفَةَ رَحِمَهُ
اللهُ تَعَالَى، وَ الْمَشْهُوْر عَنْهُ وُجُوْبُ مَسْحِ الرُّبُعِ. (وَ) خَامِسُهَا:
(غَسْلُ رِجْلَيْهِ) بِكُلِّ كَعْبٍ مِنْ كُلِّ رِجْلٍ، لِلْآيَةِ. أَوْ مَسْحُ خُفَّيْهِمَا
بِشُرُوْطِهِ. وَ يَجِبُ غُسْلُ بَاطِنِ ثَقْبٍ وَ شَقٍّ.
(Fardhu yang ketiga) adalah
(membasuh kedua tangan) yakni dari dua telapak tangan dan dua lengan (besertaan
setiap siku-siku) karena adanya ayat al-Qur’ān yang telah menjelaskan. Wajib
membasuh seluruh anggota yang berada pada tempat yang wajib dibasuh dari
rambut dan kuku, walaupun kuku tersebut
panjang.
(Cabang Masalah). Kalau seandainya
seseorang lupa tidak membasuh sedikit dari anggota wudhu’ lalu anggota tersebut
terbasuh pada basuhan yang ketiga atau saat mengulangi wudhu’ karena lupa,
bukan karena memperbaharui wudhu’ dan berhati-hati maka hal tersebut mencukupi.
(Fardhu yang keempat) adalah (mengusap sebagian kepala) – seperti daerah dua
sisi dahi yang tak berambut dan warna putih yang berada di belakang kuping – ,
yakni berupa kulit ataupun rambut yang masih pada batasannya – walaupun
sebagian satu rambut saja – sebab ayat yang menjelaskan hal tersebut. Imām
Baghawī mengatakan: Sebaiknya tidak mencukupi sebuah usapan yang kurang dari
kadar ubun-ubun yakni anggota yang di antara dua naz‘ah sebab Nabi s.a.w. tidak
pernah mengusap kurang dari kadar tersebut,
dan hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imām Abū Ḥanīfah
– semoga Allah mengasihinya – . Pendapat yang masyhur dari madzhab Abū Ḥanīfah
adalah wajib membasuh seperempat dari kepala. (Fardhu yang kelima) adalah
(membasuh kedua kaki) besertaan setiap mata kaki dari setiap kaki karena ayat
al-Qur’ān yang telah menjelaskan, atau mengusap kedua muzah dengan
syarat-syaratnya Wajib untuk membasuh bagian tubuh yang berlubang dan robek.
فَرْعٌ) لَوْ دَخَلَتْ شَوْكَةٌ فِيْ رِجْلِهِ
وَ ظَهَرَ بَعْضُهَا، وَجَبَ قَلْعُهَا وَ غَسْلُ مَحَلِّهَا لِأَنَّهُ صَارَ فِيْ
حُكْمِ الظَّاهِرِ، فَإِنِ اسْتَتَرَتْ كُلُّهَا صَارَتْ فِيْ حُكْمِ الْبَاطَنِ فَيَصِحُّ
وُضُوْؤُهُ. وَ لَوْ تَنَفَّطَ فِيْ رِجْلٍ أَوْ غَيْرِهِ لَمْ يَجِبْ غُسْلُ بَاطِنِهِ
مَا لَمْ يَتَشَقَّقْ، فَإِنْ تَشَقَّقَ وَجَبَ غَسْلُ بَاطِنِهِ مَا لَمْ يَرْتَتِقْ.
(Cabangan Masalah). Kalau seandainya
kaki seseorang tertancap duri dan sebagian duri tersebut tampak, maka wajib
untuk mencabutnya dan membasuh bekas duri menancap sebab tempat tersebut
dihukum menjadi anggota luar. Jika semua duri terbenam maka duri dihukumi
bagian dalam hingga sahlah wudhu’nya. Kalau seandainya kaki atau anggota lain
melepuh, mata tidak wajib untuk membasuh bagian dalamnya selama anggota itu
tidak sobek. Jika anggota tersebut sobek, maka wajib untuk membasuh bagian
dalamnya selama belum melekat.
تَنْبِيْهٌ) ذَكَرُوْا فِي الْغُسْلِ أَنَّهُ يُعْفَى
عَنْ بَاطِنٍ عَقْدِ الشَّعْرِ أَيْ إِذَا انْعَقَدَ بِنَفْسِهِ وَ أُلْحِقَ بِهَا
مِنِ ابْتُلِيَ بِنَحْوِ طَبَّوُعٍ لَصَقَ بَأُصُوْلِ شَعْرِهِ حَتَّى مَنَعَ وُصُوْلَ
الْمَاءِ إِلَيْهَا وَ لَمْ يُمْكِنْ إِزَالَتُهُ. وَ قَدْ صَرَّحَ شَيْخُ شُيُوْخِنَا
زَكَرِيَّا الْأَنْصَارِيُّ بِأَنَّهُ لَا يُلْحَقُ بِهَا، بَلْ عَلَيْهِ التَّيَمُّمُ.
لكِنْ قَالَ تِلْمِيْذُهُ – شَيْخُنَا -: وَ الَّذِيْ يُتَّجَهُ الْعَفْوُ لِلضَّرُوْرَةِ.
(Peringatan). Para ulama menyebutkan
dalam masalah mandi bahwa anggota dalam dari rambut yang tersimpul diampuni –
di-ma‘fuw – jika rambut tersebut tersimpul dengan sendirinya. Disamakan dengan
hal tersebut adalah seseorang yang diuji dengan sejenis telur kutu yang melekat
pada pangkal-pangkal rambut hingga mencegah masuknya air ke tempat tersebut dan
tidak mungkin dihilangkan. Gurunya guru kita Syaikh Zakariyyā al-Anshārī telah
menjelaskan bahwa permasalahan itu tidak bisa disamakan, bahkan orang tersebut
harus bertayammum. Namun muridnya yakni guru kita Ibnu Ḥajar mengatakan: Bahwa
pendapat yang unggul adalah diampuni sebab hal itu termasuk dalam keadaan
darurat.
وَ) سَادِسُهَا: (تَرْتِيْبٌ) كَمَا ذُكِرَ مِنْ
تَقْدِيْمِ غَسْلِ الْوَجْهِ فَالْيَدَيْنِ فَالرَّأْسِ فَالرِّجْلَيْنِ لِلاتِّبَاعِ.
وَ لَوِ انْغَمَسَ مُحْدِثٌ، وَ لَوْ فِيْ مَاءٍ قَلِيْلٍ بِنِيَّةٍ مُعْتَبَرَةٍ مِمَّا
مَرًّا أَجْزَأَهُ عَنِ الْوُضُوْءِ، وَ لَوْ لَمْ يَمْكُثْ فِي الْاِنْغِمَاسِ زَمَنًا
يُمْكِنُ فِيْهِ التَّرْتِيْبُ. نَعَمْ، لَوِ اغْتَسَلَ بِنِيَّتِهِ فَيُشْتَرَطَ فِيْهِ
التَّرْتِيْبُ حَقِيْقًة، وَ لَا يَضُرُّ نِسْيَانُ لُمْعَةٍ أَوْ لُمَعٍ فِيْ غَيْرِ
أَعْضَاءِ الْوُضُوْءِ، بَلْ لَوْ كَانَ عَلَى مَا عَدَا أَعْضَائِهِ، مَانِعٌ كَشَمْعٍ
لَمْ يَضُرَّ – كَمَا اسْتَظْهَرَهُ شَيْخُنَا -. وَ لَوْ أَحْدَثَ وَ أَجْنَبَ أَجْزَأَهُ
الْغُسْلُ عَنْهُمَا بِنِيَّتِهِ. وَ لَا يَجِبُ تَيَقُّنُ عُمُوْمِ الْمَاءِ جَمِيْعَ
الْعُضْوِ بَلْ يَكْفِيْ غَلَبَةُ الظَّنِّ بِهِ.
(Fardhu yang keenam) adalah (tartib)
seperti keterangan yang telah disebutkan yakni dari mendahulukan membasuh
wajah, lalu kedua tangan, kepala, lalu yang terakhir kedua kaki karena
mengikuti Nabi s.a.w. Kalau seandainya seseorang yang berhadats menyelam
walaupun di dalam air yang jumlahnya sedikit, dengan niat yang sesuai yakni
dari niat yang telah disebutkan, maka hal tersebut mencukupi dari wudhu’, walaupun orang tersebut tidak diam di dalam
air saat menyelam dengan kadar waktu yang seandainya membasuh dengan niat
menghilangkan hadats, maka diisyaratkan harus tartib secara nyata. Tidak
masalah lupa tidak membasuh sedikit anggota atau beberapa anggota di selain
anggota wudhu’ bahkan kalaupun bila di selain anggota wudhu’ terdapat
penghalang seperti lilin, maka hal tersebut tidak masalah pula seperti yang
telah dijelaskan oleh guru kita. Kalau seandainya seseorang hadats kecil dan
junub maka mencukupi baginya dair dua hal tersebut dengan niat mandi saja.
Tidak wajib untuk meyakini telah ratanya air pada seluruh anggota bahkan cukup
baginya praduga kuat tentang hal tersebut.
فَرْعٌ) لَوْ شَكَّ الْمُتَوَضِّئُ أَوِ الْمُغْتَسِلُ
فِيْ تَطْهِيْرِ عُضْو قَبْلَ الْفِرَاغِ مِنْ وُضُوْئِهِ أَوْ غُسْلِهِ طَهَّرَهُ،
وَ كَذَا مَا بَعْدَهُ فِي الْوُضُوْءِ، أَوْ بَعْدَ الْفِرَاغِ مِنْ طُهْرِهِ، لَمْ
يُؤَثَّرْ. وَ لَوْ كَانَ الشَّكُّ فِي النِّيَّةِ لَمْ يُؤَثِّرْ أَيْضًا عَلَى الْأَوْجَهِ،
كَمَا فِيْ شَرْحِ الْمِنْهَاجِ لِشَيْخِنَا، وَ قَالَ: فِيْهِ قِيَاسُ مَا يَأْتِيْ
فِي الشَّكِّ بَعْدَ الْفَاتِحَةِ وَ قَبْلَ الرُّكُوْعِ: أَنَّهُ لَوْ شَكَّ بَعْدَ
عُضْوٍ فِيْ أَصْلِ غُسْلِهِ لَزِمَهُ إِعَادَتُهُ، أَوْ بَعْضَهُ لَمْ تَلْزَمْهُ.
فَلْيُحْمَلْ كَلَامُهُمْ الْأَوَّلِ عَلَى الشَّكِّ فِيْ أَصْلِ الْعُضْوِ لَا بَعْضِهِ.
(Cabangan Masalah). Kalau seandainya
seorang yang berwudhu’ atau mandi ragu di dalam menyucikan anggota sebelum
selesai dari wudhu’ atau mandinya, maka orang tersebut harus menyucikan anggota
yang diragukan itu, begitu pula wajib disucikan anggota yang setelahnya di
dalam kasus wudhu’Atau keraguan tersebut terjadi setelah selesai dari bersuci,
maka hal itu tidak memberi dampak apapun. Kalaupun seandainya adanya keraguan di
dalam niat, maka tidak memberi petunjuk pula menurut pendapat yang lebih unggul
seperti penjelasan dalam Syaraḥ Minhāj milik guru kita. Guru kita berkata dalam
Syaraḥ Minhāj: Penyamaan permasalahan yang akan ada nanti di dalam kasus
keraguan setelah fātiḥah dan sebelum ruku‘ adalah bahwa bila keraguan seorang
yang berwudhu’ terjadi setelah selesainya pembasuhan satu anggota di dalam asal
pembasuhan, maka seorang tersebut harus mengulangi wudhu’nya atau keraguan
terjadi ketika masih membasuh sebagian anggota, maka tidak wajib mengulanginya.
Oleh karena itu, ucapan para ulama yang awal diarahkan pada kasus keraguan di
dalam asal pembasuhan anggota bukan sebagiannya.
(وسن) للمتوضئ
- ولو بماء مغصوب على الاوجه - (تسمية أوله) أي أول الوضوء - للاتباع - وأقلها باسم
الله، وأكملها بسم الله الرحمن الرحيم. وتجب عند أحمد، ويسن قبلها التعوذ وبعدها الشهادتان
والحمد لله الذي جعل الماء طهورا. ويسن لمن تركها أوله أن يأتي بها أثناءه قائلا: باسم
الله أوله وآخره. لا بعد فراغه. وكذا في نحو الاكل والشرب والتأليف، والاكتحال مما
يسن له التسمية. والمنقول عن الشافعي وكثير من الاصحاب أن أول السنن التسمية، وبه جزم
النووي في المجموع وغيره. فينوي معها عند غسل اليدين. وقال جمع متقدمون: إن أولها السواك
ثم بعده التسمية.
Sunah bagi orang yang wudu:
meskipun.menggunakan air hasil ghasab, –atas tinjauhan beberapa wajah
pendapat–: Membaca Basmalah pada permulaan wudu, karena mengikuti ‘ Nabi saw.
Paling tidak, yang dibaca: Bismillah. Sedang sempurnanya! Bismillahir rahmanir
rahim.
Membaca Basmalah menurut pendapat
Imam Ahmad r.a., adalah wajib. Sebelum membaca Basmalah, sunah membaca
Ta’awudz: dan sesudahnya sunah membaca dua kalimat syahadat serta Alhamdu
lillahil ladzii ja’alal maa-a thahuran. (Segala puji milik Allah yang telah
menjadikan air sebagai pencuci). Bagi yang lupa membaca Basmalah di permulaan
wudunya, sunah di tengah wudunya membaca: Bismillahi awwalahu wa akhirahu
(Dengan menyebut nama Allah dari awal sampai akhir). Tidak sunah membacanya
setelah selesai wudu.
Kesunahan dan tata cara membaca
Basmalah di atas, juga berlaku dalam amal-amal kebaikan, misalnya makan, minum,
mengarang dan memakai celak mata. Apa yang dipindah dari Imam Syafi’i dan
beberapa sahabat Syafi’i, bahwa Basmalah adalah permulaan wudu. Seperti itu
juga kemantapan Imam An-Nawawi dalam kitab Majmu’ serta imam lainnya. Karena
itu, orang yang wudu hendaknya membaca Basmalah bersamaan ketika mencuci kedua
tangannya, sementara itu hatinya niat wudu.
Segolongan ulama terdahulu berkata:
Sebenarnya, awal kesunahan-kesunahan wudu, adalah bersiwak, sesudah itu membaca
Basmalah
)فرع) تسن التسمية لتلاوة القرآن، ولو من أثناء سورة في صلاة أو خارجها، ولغسل
وتيمم وذبح. (فغسل الكفين) معا إلى الكوعين مع التسمية المقترنة بالنية، وإن توضأ من
نحو إبريق أو علم طهرهما - للاتباع - (فسواك) عرضا في الاسنان ظاهرا وباطنا وطولا في
اللسان، للخبر الصحيح: لولا أن أشق على أمتي لامرتهم بالسواك عند كل وضوء. أي أمر إيجاب.
ويحصل (بكل خشن) ولو بنحو خرقة أو أشنان، والعود أفضل من غيره، وأولاه ذو الريح الطيب،
وأفضله الاراك. لا بأصبعه ولو خشنة، خلافا لما اختاره النووي . وإنما يتأكد السواك
- ولو لمن لا أسنان له - لكل وضوء. (ولكل صلاة) فرضها ونفلها وإن سلم من كل ركعتين
أو استاك لوضوئها، وإن لم يفصل بينهما فاصل حيث لم يخش تنجس فمه، وذلك لخبر الحميدي
بإسناد جيد: ركعتان بسواك أفضل من سبعين ركعة بلا سواك. ولو تركه أولها تداركه أثناءها
بفعل قليل، كالتعمم، ويتأكد أيضا لتلاوة قرآن أو حديث أو علم شرعي، أو تغير فم - ريحا
أو لونا - بنحو نوم أو أكل كريه، أو سن بنحو صفرة، أو استيقاظ من نوم وإرادته، ودخول
مسجد ومنزل، وفي السحر وعند الاحتضار، كما دل عليه خبرالصحيحين. ويقال: إنه يسهل خروج
الروح. وأخذ بعضهم من ذلك تأكده للمريض. وينبغي أن ينوي بالسواك السنة ليثاب عليه،
ويبلع ريقه أول استياكه، وأن لا يمصه. ويندب التخليل قبل السواك أو بعده من أثر الطعام،
والسواك أفضل منه، خلافا لمن عكس. ولا يكره بسواك غير أذن أو علم رضاه، وإلا حرم، كأخذه
من ملك الغير، ما لم تجر عادة بالاعراض عنه. ويكره للصائم بعد الزوال، إن لم يتغير
فمه بنحو نوم (فمضمضة فاستنشاق) للاتباع، وأقلهما إيصال الماء إلى الفم والانف. ولا
يشترط في حصول أصل السنة إدارته في الفم ومجه منه ونثره من الانف، بل تسن كالمبالغة
فيهما لمفطر للامر بها. (و) يسن جمعهما (بثلاث غرف) يتمضمض ثم يستنشق من كل منها.
(ومسح كل رأس) للاتباع وخروجا من خلاف مالك وأحمد، فإن اقتصر على البعض فالاولى أن
يكون هو الناصية، والاولى في كيفيته أن يضع يديه على مقدم رأسه، ملصقا مسبحته بالاخرى
وإبهاميه على صدغيه، ثم يذهب بهما مع بقية أصابعه غير الابهامين لقفاه، ثم يردهما إلى
المبدأ إن كان له شعر ينقلب، وإلا فليقتصر على الذهاب. وإن كان على رأسه عمامة أو قلنسوة
تمم عليها بعد مسح الناصية - للاتباع - (و) مسح كل (الاذنين) ظاهرا وباطنا وصماخيه
- للاتباع -، ولا يسن مسح الرقبة إذ لم يثبت فيه شئ. قال النووي: بل هو بدعة، وحديثه
موضوع. (ودلك أعضاء) وهو إمرار اليد عليها عقب ملاقاتها للماء، خروجا من خلاف من أوجبه.
(وتخليل لحية كثة) والافضل كونه بأصابع يمناه ومن أسفل، مع تفريقها، وبغرفة مستقلة
- للاتباع - ويكره تركه. (و) تخليل (أصابع) اليدين بالتشبيك، والرجلين بأي كيفية كان.
والافضل أن يخللها من أسفل بخنصر يده اليسرى، مبتدئا بخنصر الرجل اليمنى ومختتما بخنصر
اليسرى. (وإطالة الغرة) بأن يغسل مع الوجه مقدم رأسه وأذنيه وصفحتي عنقه. (و) إطالة
(تحجيل) بأن يغسل مع اليدين بعض العضدين ومع الرجلين بعض الساقين، وغايته استيعاب العضد
والساق، وذلك لخبر الشيخين: إن أمتي يدعون يوم القيامة غرا محجلين من آثار الوضوء.
فمن استطاع منكم أن يطيل غرته فليفعل. زاد مسلم: وتحجيله: أي يدعون بيض الوجوه والايدي
والارجل. ويحصل أقل الاطالة بغسل أدنى زيادة على الواجب وكمالها باستيعاب ما مر (وتثليث
كل) من مغسول وممسوح، ودلك وتخليل وسواك وبسملة، وذكر عقبه، - للاتباع - في أكثر ذلك.
ويحصل التثليث بغمس اليد مثلا ولو في ماء قليل إذا حركها مرتين، ولو ردد ماء الغسلة
الثانية حصل له أصل سنة التثليث - كما استظهره شيخنا - ولا يجزئ تثليث عضو قبل إتمام
واجب غسله ولا بعد تمام الوضوء. ويكره النقص عن الثلاث كالزيادة عليها، أي بنية الوضوء،
كما بحثه جمع. وتحرم من ماء موقوف على التطهر.
Cabang:
Sunah membaca Basmalah ketika mulai
membaca Algur-an, walaupun dari tengah-tengah surah –di luar atau dalam sholat–:
disunahkan pula waktu akan mandi dan menyembelih binatang.Membasuh dua tepak
tangan sampa: pergelangan secara bersama, yang diawali dengan membaca Basmalah,
sementara hati niat wudu, meskipun berwudu dari tempat semacam kendi atau telah
. meyakinkan atas kesucian kedua tangannya, karena hal ini berdasarkan
ittiba’.Bersiwak; dengan melebar pas da gigi dalam dan luar serta memanjang
pada lidah.
Berdasarkan sebuah hadis sahih:
“Jika aku tidak takut memberatkan “umatku, niscaya aku memerintahkannya bersiwak
setiap wudu.” Perintah yang dimaksudkan oleh beliau, adalah “wajib”, Bersiwak
itu bisa dihasilkan kesunahannya dengan sesuatu yang kasar, meskipun berupa
sobekan kain (gombal) atau kayu asynan (benalu). Yang utama adalah menggunakan
kayu ‘ud (kayu garu).
Sedangkan yang lebih utama lagi
adalah kayu ‘ud yang masih basah dan berbau wangi. Dari kayu tersebut yang
lebih utama adalah kayu arak. Tidak disunahkan bersiwak dengan menggunakan
jarijemari, meskipun berwujud kasar. Sementara itu, Imam An-Nawawi memilih
kebalikan pendapat tersebut.
Bersiwak itu hukumnya sunah muakad,
–walaupun bagi orang yang tidak bergigi-setiap berwudu, akan sholat, baik sholat
fardu atau sunah, meskipun tiap dua rakaat salam atau sudah bersiwak waktu
berwudu, dan sekalipun antara sholat dan wudunya tidak terpisah sesuatu. (Hukum
sunah muakad bersiwak untuk setiap akan sholat ini), sekiranya tidak
dikhawatirkan kenajisan mulutnya. Hal itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan
oleh Imam AlHumaidi dengan sanad yang jayid: “Sholat dua rakaat yang dikerjakan
dengan bersiwak, adalah lebih utama daripada tujuh puluh rakaat tanpa bersiwak
lebih dahulu.” Jika lupa bersiwak di permulaan sholat, maka ia sunah melakukan
di tengah-tengahnya dengan perbuatan yang sedikit, sebagaimana memakai serban.
Bersiwak juga sunah muakad di waktu
akan membaca Alqur-an atau Alhadis, ilmu agama, dan ketika mulut berbau busuk
atau berubah warnanya akibat semacam tidur atau makanan yang berbau tidak
menyenangkan: atau gigi Serwarna kuning, sesudah bangun tidur atau akan tidur,
di kala hendak masuk mesjid atau rumah, sesudah waktu sahur dan akan dicabut
nyawanya. Semua.isu sebagaimana ditunjukkan dalam hadis Bukhari Muslim.
Dikatakan, bahwa bersiwak (dalam keadaan sakratuk Maut) dapat mempercepat
keluar roh dari jasad. Dari keterangan hadis tersebut dapat disimpulkan:
Bersiwak hukumnya sunah muakad bagi, orang sakit.
Dalam bersiwak, harus niat
mengerjakan kesunahan, –supaya dapat pahala–: hendaknya juga menelan ludah
bekas bersiwak yang pertama, namun tidak perlu menyesap alat siwak. Sunah
mencukil sisa-sisa makanan yang berada di sela-sela gigi, baik dilakukan
sebelum bersiwak ataupun sesudahnya. Bersiwak hukumnya lebih utama daripada
mencukil, (tapi) pendapat ini berlawanan dengan pendapat ulama lainnya. Memakai
alat siwak orang lain itu hukumnya tidak makruh, asal telah mendapat izin atau
sudah diketahui akan kerelaannya. Jika tidak demikian, maka hukumnya adalah
haram, sebagaimana mengambil alat siwak tik orang lain. Demikian itu jika
memang tidak berlaku kebiasaan melarang memakai siwak orang lain.
Orang yang berpuasa hukumnya makruh
bersiwak sesudah matahari tergelincir ke arah barat, selagi mulutnya tidak
berubah baunya akibat tidur misalnya.Berkumur dan menghirup air ke dalam
hidung, karena ittiba’ kepada Nabi saw. Setidak-tidaknya: Memasukkan air ke
mulut dan hidung.
Untuk memperoleh asal sunah, tidak
disyaratkan memutar-mutar air dalam mulut, membuang dan menyemburkan
(mengeluarkan)nya dari hidung, tapi ketiga hal tersebut hanyalah sebagai
kesunahan belaka, seperu juga masalah menyangatkan dalam memutar-mutar air
kumur dan sesapan bagi orang yang tidak berpuasa. Ini semua karena berdasarkan
perintah melakukan keduanya.
Sunah mengumpulkan berkumur dan
menghirup air pada tiga ceduk: masing-masing ceduk digunakan berkumur dan
mengshirup air.Meratakan usapan ke seluruh kepala. Karena ittiba’ kepada Rasul
saw. dan menghindari perselisihan terhadap Imam Malik dan Ahmad r.a. Jika yang berwudu mencukupkan dengan usapan
sebagian kepala, maka yang lebih utama adalah mengusap ubun-ubun.
Cara mengusap yang lebih utama,
adalah meletakkan kedua tangannya pada bagian depan kepala, dalam posisi
telunjuk saling bertemu, dua ibu jari diletakkan pada dua pelipis, lantas
memutar-mutarnya beserta jari-jari lain ke belakang sampai tengkuk, lalu
kembali lagi ke depan. Jika kepalanya berambut, rambutnya sampat membalik: dan
jika tidak berambut, maka cukup memutar tangan saja.
Sesudah mengusap ubun-ubun, sunah
menyempurnakan usapan pada serban atau kopiah, jika memakainya. Karena ittiba’
kepada Nabi saw.Mengusap dua telinga secara merata, luar atau dalam serta dua
lubangnya. Karena ittiba’. Mengusap leher hukumnya tidak sunah, sebab tidak ada
satu pun dasarnya. ‘
Imam Nawawi berkata: Mengusap leher
hukumnya adalah bid’ah, dan yang menerangkannya adalah Maudhu’
(palsu).Menggosok-gosok anggota. Yaitu menggosokkan tangan pada anggota setelah
terkena air. Karena hal ini menghindari perselisihan ulama yang menetapkan
wajib (Imam Malik).Menyela-nyela jenggot yang tebal. Cara yang lebih utama adalah
dengan menggunakan jari-jari kanan, dimulai dari bawah serta mengurai dan
dengan satu siuk khusus. Dasarnya adalah ittiba’. Jika diunggalkan adalah
makruh.Menyela-nyela jari-jari kedua tangan dengan berpanca dan jari-jari kaki
dengan cara apapun.
Cara yang paling utama: Menyela-nyelai
jari-jari kaki dari bawah dengan kelingking tangan kiri, mulai dari kelingking
kaki kanan dan diakhiri pada kelingking kaki kiri. Artinya, menyela-nyela
jari-jari dengan jari kelingking tangan kiri, dari bawah kaki, yang dimulai
dari kelingking kaki kanan dan diakhiri pada kelingking kaki kiri.Memanjangkan
basuhan muka. Yaitu dengan cara membasuh muka serta bagian depan kepala, dua
telinga dan dua lembar kuduknya.Memanjangkan basuhan kedua tangan dan kaki.
Yaitu mengikutkan kedua bahu ketika membasuh kedua tangan: dan dua betis ketika
membasuh kedua kaki. Batas maksimalnya adalah meratakan basuhan pada bahu dan
betis.
Berdasarkan hadis Bukhari-Muslim:
“Sesungguhnya di hari Kiamat umatku dipanggil dalam keadaan wajah, dua langan
dan kaki yang memancarkan sinar karena bekas-bekas wudunya. .Maka, barangsiapa
yang mampu untuk memanjangkan basuhannya, hendaknya ia mau melakukan.” Imam
Muslim memberj tambahan: “Dan memanjangkan basuhan kedua tangan serta kaki.”
Maksud dari hadis di atas: Mereka nanti di hari Akhir dipanggil dalam keadaan
wajah, tangan dan kaki bersinar.
Paling tidak, memanjangkan basuhan
bisa terjadi dengan melebihkan sedikit atas perkara yang wajib. Sedangkan untuk
sempurnanya, adalah meratakan basuhan pada anggota-anggota yang telah
lewat.Mengulang tiga kali setiap basuhan, usapan, gosokan, selaselaan,
bersiwak, Basmalah dan zikir setelah berwudu. Karena berdasarkan ittiba’ kepada
Nabi saw.
Penigakalian bisa terjadi dengan
umpama memasukkan tangan —walaupun ke air yang sedikit– lalu menggerakkannya
dua kali dalam air itu. Jika ia mengulang-ulang air basuhan yang kedua, maka
berhasillah hukum penigakalian, sebagaimana yang dijelaskan oleh Guru kita
(Ibnu Hajar AlHaitami). Penigakalian tidak bisa mencukupi (tidak sah), jika
dilakukan sebelum basuhan wajib, dan tidak mencukupi sesudah sempurna wudunya.
Membasuh kurang dari tiga kali
hukumnya makruh, sebagaimana melebihinya dengan niat wudu, sebagaimana yang
dibahas oleh segolongan ulama. Jika tambahan: tersebut dengan air wakaf
persediaan bersuci, maka hukumnya adalah haram.
(فرع) يأخذ الشاك أثناء الوضوء في استيعاب أو عدد باليقين،
وجوبا في الواجب وندبا في المندوب، ولو في الماء الموقوف. أما الشك بعد الفراغ فلا
يؤثر. (وتيامن) أي تقديم يمين على يسار في اليدين والرجلين، ولنحو أقطع في جميع أعضاء
وضوئه، وذلك لانه (ص) كان يحب التيمن في تطهره وشأنه كله، أي مما هو من باب التكريم،
كاكتحال ولبس نحو قميص ونعل، وتقليم ظفر، وحلق نحو رأس، وأخذ وعطاء، وسواك وتخليل،
ويكره تركه، ويسن التياسر في ضده - وهو ما كان من باب الاهانة والاذى - كاستنجاء وامتخاط،
وخلع لباس ونعل. ويسن البداءة بغسل أعلى وجهه وأطراف يديه ورجليه، وإن صب عليه غيره.
وأخذ الماء إلى الوجه بكفيه معا، ووضع ما يغترف منه عن يمينه وما يصب منه عن يساره.
(وولاء) بين أفعال وضوء السليم بأن يشرع في تطهير كل عضو قبل جفاف ما قبله، وذلك -
للاتباع - وخروجا من خلاف من أوجبه، ويجب لسلس. (وتعهد) عقب و (موق) - وهو طرف العين
الذي يلي الانف - ولحاظ - وهو الطرف الآخر - بسبابتي شقيهما. ومحل ندب تعهدهما إذا
لم يكن فيهما رمص يمنع وصول الماء إلى محله وإلا فتعهدهما واجب - كما في المجموع
-. ولا يسن غسل باطن العين، بل قال بعضهم: يكره للضرر، وإنما يغسل إذا تنجس لغلظ أمر
النجاسة. (واستقبال) القبلة في كل وضوئه. (وترك تكلم) في أثناء وضوئه بلا حاجة بغير
ذكر، ولا يكره سلام عليه ولا منه ولا رده. (و) ترك (تنشيف) بلا عذر للاتباع (والشهادتان
عقبه) أي الوضوء، بحيث لا يطول فاصل عنه عرفا، فيقول مستقبلا للقبلة، رافعا يديه وبصره
إلى السماء - ولو أعمى -: أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا
عبده ورسوله. لما روى مسلم عن رسول الله (ص): من توضأ فقال أشهد أن لا إله إلا الله
- الخ - فتحت له أبواب الجنة الثمانية، يدخل من أيها شاء. زاد الترمذي: اللهم اجعلني
من التوابين واجعلني من المتطهرين. وروى الحاكم وصححه: من توضأ ثم قال: سبحانك اللهم
وبحمدك، أشهد أن لا إله إلا أنت. أستغفرك وأتوب إليك. كتب في رق، ثم طبع بطابع فلم
يكسر إلى يوم القيامة. أي لم يتطرق إليه إبطال كما صح حتى يرى ثوابه العظيم. ثم يصلي
ويسلم على سيدنا محمد وآل سيدنا محمد، ويقرأ * (إنا أنزلناه) * ثلاثا، كذلك بلا رفع
يد. وأما دعاء الاعضاء المشهور فلا أصل له يعتد به فلذلك حذفته، تبعا لشيخ المذهب النووي
رضي الله عنه. وقيل: يستحب أن يقول عند كل عضو: أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك
له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. لخبر رواه المستغفري وقال: حسن غريب. (وشربه) من
(فضلوضوئه) لخبر: إن فيه شفاء من كل داء ويسن رش إزاره به، أي إن توهم حصول مقذر له،
كما استظهره شيخنا. وعليه يحمل رشه (ص) لازاره به. وركعتان بعد الوضوء أي بحيث تنسبان
إليه عرفا، فتفوتان بطول الفصل عرفا على الاوجه، وعند بعضهم بالاعراض، وبعضهم بجفاف
الاعضاء، وقيل: بالحدث. ويقرأ ندبا في أولى ركعتيه بعد الفاتحة: * (ولو أنهم إذ ظلموا
أنفسهم) * إلى * (رحيما) *، وفي الثانية: * (ومن يعمل سوءا أو يظلم نفسه) * إلى *
(رحيما) *.
Cabang:
Orang yang di tengah-tengah berwudu
merasa ragu dalam hal pemerataan atau jumlah basuhan, maka ia watib mengambil
yang di yakini dalam perkara yang wajib (seperti ragu dalam masalah basuhan
pertama atau pemerataannya terhadap anggota. Maka dalam keadaan seperti ini, ia
wajib menyempurnakan basuhan itu – pen), dan sunah ” mengambil perkara yang
diyakini dalam hal yang sunah (misalnya dalam basuhan kedua atau ketiga – pen),
Meskipun air yang di pergunakan berwudu adalah air wakaf.
Adapun ragu setelah selesai berwudu,
adalah tidak membawa pengaruh apa-apa.Serba kanan. Yaitu: mendahulukan yang
kanan ketika membasuh kedua tangan dan kaki. Sedang bagi orang yang putus
anggotanya, serba kanannya pada semua anggota wudu.
Hal itu, karena Nabi saw. gemar
mendahulukan yang kanan dalam bersuci dan tindak-tanduk yang tergolong positif,
misalnya bercelak mata, memakai baju, sandal, memotong kuku, inemotong rambut
kepala, mengambil, memberi, bersiwak dan menyela-nyelai. Meninggalkan serba
kanan adalah makruh.
Pada perbuatan-perbuatan kebalikan
tahrim (positif), disunahkan mendahulukan kiri. Yaitu segala perbuatan yang
masuk kategori negatif dan kotor, misalnya istinja, mem. buang ingus, melepas
pakaian dan sandal. Disunahkan memulai membasuhnya dari wajah bagian atas, dari
ujung tangan dan kaki –walaupun berwudu dengan air yang dituangkan oleh orang
lain–.
Sunah juga mengambil air basuhan
wajah dengan dua tangan sekaligus, serta meletakkan wadah air yang diciduk pada
sebelah kanan: dan wadah air yang dituangkan oleh orang lain, diletakkan di
sebelah kiri.Sambung-menyambung di antara perbuatan-perbuatan wudu satu dengan
lainnya, bagi . orang yang sehat. Caranya: Segera membasuh satu anggota sebelum
basuhan anggota di depannya kering. Hal ini berdasarkan ittiba’ kepada Nabi dan
menghindari khilaf ulama yang mewajibkannya (Imam Malik).
Sambung-menyambung hukumnya wajib
bagi orang yang terkena penyakit beser.Berhati-hati dalam membasuh tumit, ekor
mata, dua tepian mata yang letaknya dekat – hidung, pengelirik dan tepi mata
yang lain, dengan menggunakan dua ujung telunjuk masing-masing. Hukum kesunahan
di atas, jika pada tepian mata tidak terdapat tahi mata yang menghalangi air
sampai ke tempat dasar.
Bila terdapat tahi matanya, maka berhati-hati
menjaga tempat tersebut adalah wajib, sebagaimana yang termaktub dalam kitab
Al-Majmu’ Membasuh dalam mata hukumnya tidak sunah. Bahkan sebagian ulama
berkata, bahwa hal itu adalah makruh, sebab berakibat dharar (bahaya). (Wajib)
membasuhnya, hanya kalau ada najis di situ, karena najis itu besar
artinya.Menghadap kiblat selama berwudu.Tidak berbicara selama berwudu, kecuali
mengucapkan zikir wudu, atau jika tidak ada hajat berbicara.
Memberi salam terhadap orang sedang
berwudu, mengucapkan salam dan menjawab baginya, adalah tidak makruh.Tidak
menyeka air yang ada pada anggota wudu, kecuali karena ada suatu uzur (misalnya
karena dingin dan sebagainya – pen) karena ituba’ kepada Rasul saw.Membaca dua
kalimat syahadat setelah berwudu, jika (antara wudu dengannya) tidak lama waktu
berselang menurut anggapan yang biasa.
(Caranya), orang yang berwudu
menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan dan melihat ke langit -walaupun orang
buta-seraya mengucapkan: Saya bersaksi, sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah
Yang Esa dan tiada yang menyekutukan-Nya, dan saya bersaksi sesungguhnya Nabi
Muhammad adalah hamba dan pesuruh-Nya.
Berdasarkan sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Rasulullah saw.: “Barangsiapa berwudu lalu
berdoa: Saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan seterusnya …, maka dibukakan
untuknya delapan pintu surga, terserah dari mana saja ia masuk.” Imam At-Tirimidzi menambah: “Ya, Allah!
Jadikanlah saya termasuk golongan orang-orang yang bertobat dan suci.”
Diriwayatkan serta disahihkan oleh
Imam Hakim: “Barangsiapa berwudu lalu berdoa: Maha Suci Engkau. Ya, Allah dan
dengan pujiMu saya bersaksi, bahwa. tiada Tuhan selain Engkau, saya mohon
ampunan dan bertobat kepada Engkau, maka ditulis pada selembar kulit dengan
cetakan yang tidak akan berubah sampai hari kiamat –seperti yang telah
disahihkan oleh Imam Harim.” Maksudnya: Tidak akan dibatalkan sampai ia melihat
pahala-Nya yang agung.
Setelah itu membaca selawar salam
kepada Baginda Nabi Muhammad saw. dan keluarga beliau. Lalu membaca surat
Al-Qadar sebanyak tiga kali, dengan menghadap kiblat tanpa mengangkat tangan.
Mengenai doa yang dibaca pada basuhan tiap-tiap anggota, adalah dada dasarnya
yang kuat. Karena itu, saya membuangnya, seperti yang dilakukan oleh Syaikhul
Mazhab, Imam Nawawi.
Dikatakan: Setiap membasuh anggota,
adalah disunahkan membaca: Saya bersaksi, sesungguhnya tiada Tuhan selain
Allah, Yang Maha Esa dan uada yang menyekutui-Nya, dan saya bersaksi, bahwa
Nabi Muhammad adalah hamba dan pesuruh-Nya. Dasarnya adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Al-Mustaghfiri, dan ia mengatakan: Hasan tersebut adalah
hadis Hasan Gharib.Meminum air dari sisa wudu. Berdasarkan sebuah hadis, bahwa
air tersebut membawa obat untuk: segala penyakit. Memercikkan air sisa wudu
pada pakaiannya. Hal ini dimaksudkan bila ia merasa ragu akan adanya kotoran
pada pakaiannya (dan hal ini untuk menghilangkan was-was -pen), sebagaimana
yang dijelaskan oleh Guru kita. Adapun keadaan Rasulullah saw. memerckkan air
sisa berwudu pada pakaian beliau, adalah diarahkan atas keraguan seperti
itu.Melakukan sholat dua rakaat setelah berwudu, asal waktunya belum berselang
lama menurut ukuran umum.
Kesunahan sholat dua rakaat di atas,
menjadi hilang jika telah berselang lama menurut umum. Hal ini atas tinjauan
beberapa wajah (bentuk) pendapat. Sedangkan menurut sebagian ulama: Hal itu
bisa hilang sebab bermaksud tidak mengerjakan sholat, menurut sebagian lagi:
Sebab anggota wudu kering: dan menurut sebagiannya lagi: Sebab telah berhadas.
Dalam rakaat pertama sesudah membaca
Fatihah, sunah membaca ayat: وَلَوْأَنَّهُمْ إِذْظَلَمّوُاأَنْفُسَهُمْ sampai ayat: رَحِيْمًا (Q.S. An-Nisaa: 64), sedangkan pada rakaat
kedua, sunah membaca: وَمَنْ يَعْمَلْ سُوْءًا
أَوْيَظْلِمْ نَفْسَهُ sampai ayat: رَحِيْمًا (QS. AnNisaa’:
110).
)فائدة) يحرم التطهر بالمسبل للشرب، وكذا بماء جهل حاله على الاوجه، وكذا حمل
شئ من المسبل إلى غير محله. (وليقتصر) أي المتوضئ، (حتما) أي وجوبا، (على) غسل أو مسح
(واجب) أي فلا يجوز تثليث ولا إتيان سائر السنن (لضيق وقت) عن إدراك الصلاة كلها فيه،
كما صرح به البغوي وغيره، وتبعه المتأخرون. لكن أفتى في فوات الصلاة لو أكمل سننها
بأن يأتيها، ولو لم يدرك ركعة. وقد يفرق بأنه ثم اشتغل بالمقصود، فكان كما لو مد في
القراءة. (أو قلة ماء) بحيث لا يكفي إلا الفرض فلو كان معه ماء لا يكفيه لتتمة طهره.
إن ثلث أو أتى السنن أو احتاج إلى الفاضل لعطش محترم، حرم استعماله في شئ من السنن.
وكذا يقال في الغسل. (وندبا) على الواجب بترك السنن، (لادراك جماعة) لم يرج غيرها.
نعم، ما قيل بوجوبه - كالدلك - ينبغي تقديمه عليها، نظير ما مر من ندب تقديم الفائت
بعذر على الحاضرة، وإن فاتت الجماعة.
Faedah:
Bersuci dengan air wakaf persediaan
untuk minum, adalah haram, begitu juga dengan air yang belum jelas statusnya
(untuk minum apa untuk bersuci), menuru tinjauan berbagai pendapat. Memindah
air yang disediakan untuk minum ke tempat lain adalah juga haram.
Jika waktu sudah sempit untuk
mengerjakan sholat seluruhnya dalam waktu itu, maka wajib bagi orang yang
berwudu membatasi diri pada basuhan atau usapan, karena itu, ia tidak boleh
mengulang tiga kali dan tidak boleh melakukan kesunahankesunahan lain. Hal itu
telah dijelaskan oleh Imam Al-Baghawi dan lainnya, serta diikuti oleh
ulama-ulama akhir. Akan tetapi Imam Al-Baghawi dalam masalah tertinggal sholat
berfatwa: Seseorang boleh menyempurnakan kesunahan-kesunahan sholat, meskipun
akhirnya ia tidak menemukan satu rakaat dalam waktunya.
Dalam pada itu, Al-Baghawi
membedakan (antara masalah wudu dengan sholat), bahwa orang yang mengerjakan sholat
terleka pada suatu maksud (yaitu: sholat). Maka dihukumi sebagaimana orang yang
memanjangkan bacaan dalam sholat (sehingga keluar dari waktunya). Atau bila
persediaan air berwudu sedikit, yang perkiraannya hanya cukup untuk mengerjakan
hal fardu.
Jika orang yang berwudu ada air yang
tidak cukup untuk kesempurnaan bersuci –jika ia mengulang tiga kali atau
melakukan kesunahan-kesunahan–, atau diperlukan sisa air untuk binatang
dimuliakan syarak yang haus, maka baginya haram menggunakan air tersebut untuk
melakukan kesunahan.
Begitu juga, masalah tersebut
berlaku dalam mandi janabah. Orang yang berwudu hukumnya sunah membatasi pada
hal-hal yang wajib saja, jika ia tergesa-gesa untuk mengikuti sholat berjamaah,
yang tiada jamaah selain itu.
Benarlah begitu. Untuk sunah wudu
yang ada pendapat lain mengatakan wajib, misalnya menggosok (menurut Imam Malik
hukumnya wajib), maka hendaknya didahulukan sebelum berjamaah. Hukum ini searah
dengan penjelasan yang telah lewat tentang kesunahan mendahulukan sholat
tertinggal sebab uzur atas sholat Ada’ (tunai),
(تتمة) يتيمم عن الحدثين لفقد ماء أو خوف محذور من استعماله
بتراب طهور له غبار. وأركانه نية استباحة الصلاة المفروضة مقرونة بنقل التراب، ومسح
وجهه ثم يديه. ولو تيقن ماء آخر الوقت فانتظاره أفضل، وإلا فتعجيل تيمم. وإذا امتنع
استعماله في عضو وجب تيمم وغسل صحيح ومسح كل الساتر الضار نزعه بماء، ولا ترتيب بينهما
لجنب. أو عضوين فتيممان، ولا يصلي به إلا فرضا واحدا ولو نذرا. وصح جنائز مع فرض
.
Kesempurnaan:
Tayamum boleh dilakukan karena hadas
besar atau kecil, jika tiada air atau khawatir berbahaya dalam menggunakannya,
dengan debu – yang suci menyucikan. Rukun Tayamum:Berniat memperoleh kewenangan
melakukan sholat fardu, secara bersamaan memindahkan debu ke muka.
Menyapu muka. Menyapu kedua tangan.
Jika seseorang merasa yakin mendapat
air di akhir waktu, maka baginya lebih baik menanti. Kalau tidak punya
keyakinan, yang lebih utama adalah bersegera mengerjakan tayamum. Jika anggota
seseorang tercegah menggunakan air, maka baginya wajib bertayamum, membasuh
anggota yang sehat dan mengusapkan air pada pembalut yang berbahaya jika
dilepas. Bagi orang junub tidak wajib tertib antara tayamum dan membasuh
anggota yang sehat. Jika yang tidak bisa terkena air itu dua anggota, maka
tayamum wajib dilakukan dua kali.
Dengan satu kali tayamum, hanya
diperbolehkan melakukan satu kali sholat fardu, sekalipun sala nazar. Dan
hukumnya adalah sah, sz kali tayamum untuk melakuk sholat fardu dan sholat
Jenazah.
وَ نَوَاقِضُه)ُ أَيْ أَسْبَابُ نَوَاقِضِ الْوُضُوْءِ
أَرْبَعَةٌ: أَحَدُهَا: (تَيَقُّنُ خُرُوْجِ شَيْءٍ) غَيْرُ مَنِيِّهِ، عَيْنًا كَانَ
أَوْ رِيْحًا، رَطْبًا أَوْ جَافًا، مُعْتَادًا كَبَوْلٍ أَوْ نَادِرًا كَدَمِ بَاسُوْرٍ
أَوْ غَيْرِهِ، انْفَصَلَ أَوْ لَا – كَدُوْدَةٍ أَخْرَجَتْ رَأْسَهَا ثُمَّ رَجَعَتْ
– (مِنْ أَحَدِ سَبِيْلِيْ) الْمُتَوَضِّئِ (الْحَيِّ) دُبُرًا كَانَ أَوْ قُبُلًا.
(وَ لَوْ) كَانَ الْخَارِجُ (بَاسُوْرًا) نَابِتًا دَاخِلَ الدُّبُرِ فَخَرَجَ أَوْ
زَادَ خُرُوْجُهُ. لكِنْ أَفْتَى الْعَلَّامَةُ الْكَمَالُ الرَّدَّادُ بِعَدَمِ النَّقْضِ
بِخُرُوْجِ الْبَاسُوْرِ نَفْسِهِ بَلْ بِالْخَارِجِ مِنُهُ كَالدَّمِ. وَ عَنْ مَالِكٍ:
لَا يَنْتَقِضُ الْوُضُوْءُ بِالنَّادِرِ.
Sebab-sebab yang membatalkan wudhu’
ada empat. Yang pertama adalah (yakin
keluarnya sesuatu) yang selain spermanya sendiri baik berupa benda atau angin, basah ataupun
kering, yang telah lumrah keluar seperti air kencing atau jarang seperti darah
bawasir atau yang lainnya, terpisah ataupun tidak seperti cacing yang mengeluarkan kepalanya
lantas kembali lagi. (dari salah satu dari dua jalan) orang yang berwudhu’
(yang masih hidup) baik itu anus ataupun alat kelamin. (Walaupun) perkara yang
keluar adalah (penyakit bawasir) yang tumbuh di dalam anus, lalu penyakit itu
keluar atau semakin keluar, namun seorang yang sangat alim yakni Imām al-Kamāl
ar-Raddād berfatwa bahwa keluarnya penyakit bawasir sendiri tidaklah
membatalkan wudhu’, namun yang membatalkan adalah dengan sebab sesuatu yang
keluar dari efek penyakit itu seperti darah. Dari Imam Malik: Tidaklah batal
wudhu’ dengan sebab benda yang jarang keluar.
وَ) ثَانِيْهَا: (زَوَالُ عَقْلِ) أَيْ تَمْيِيْزٍ،
بِسُكْرٍ أَوْ جُنُوْنٍ أَوْ إِغْمَاءٍ أَوْ نَوْمٍ، لِلْخَبَرِ الصَّحِيْحِ: فَمَنْ
نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ. وَ خَرَجَ بِزَوْالِ الْعَقْلِ النُّعَاسُ وَ أَوَائِلُ نَشْوَةِ
السُّكْرِ، فَلَا نَقْضَ بِهِمَا، كَمَا إِذَا شَكَّ هَلْ نَامَ أَوْ نَعُسَ؟ وَ مِنْ
عَلَامَةِ النُّعَاسِ سِمَاعُ كَلَامِ الْحَاضِرِيْنَ وَ إِنْ لَمْ يَفْهَمْهُ، (لَا)
زَوَالُهُ (بِنَوْمٍ) قَاعِدٍ (مُمَكِّنُ مَقْعَدَهُ) أَيْ أَلْيَيْهِ مِنْ مَقَرِّهِ،
وَ إِنِ اسْتَنَدَ لِمَا لَوْ زَالَ سَقَطَ أَوِ احْتَبَى، وَ لَيْسَ بَيْنَ مَقْعَدِهِ
وَ مَقَرِّهِ تِجَافٍ. وَ يَنْتَقِضُ وُضُوْءُ مُمَكِّنٍ اِنْتَبَهَ بَعْدَ زَوَالِ
أَلْيَتِهِ عَنْ مَقَرِّهِ، لَا وُضُوْءُ شَاكٍّ هَلْ كَانَ مُمْكِنًا أَوْ لَا؟ أَوْ
هَل زَالَتْ أَلْيَتِهِ قَبْلَ الْيَقَظَةِ أَوْ بَعْدَهَا؟.. وَ تَيَقُّنُ الرُّؤْيَا
مَعَ عَدَمِ تَذَكُّرِ نَوْمٍ لَا أَثَرَ لَهُ بِخِلَافِهِ مَعَ الشَّكِّ فِيْهِ لِأَنَّهَا
مُرَجَّحَةٌ لِأَحَدِ طَرْفَيْهِ.
(Yang) keduanya adalah (hilangnya
akal) maksudnya adalah kesadarannya dengan sebab mabuk, gila, epilepsi atau
tidur sebab hadits yang shaḥīḥ: Barang siapa tidur, maka berwudhu’lah.
Dikecualikan dengan hilangnya kesadaran adalah mengantuk dan permulaan mabuk,
maka dua hal tersebut tidak membatalkan wudhu’ seperti ketika seorang ragu
apakah telah tertidur atau hanya mengantuk. Sebagian dari tanda mengantuk
adalah masih mendengar pembicaraan orang yang ada walaupun tidak faham. (Tidak)
dengan hilangnya kesadaran (sebab tidur) dengan posisi duduk (yang menetapkan
pantatnya di tempat duduknya) walaupun ia bersandar pada suatu benda sekira
benda tersebut hilang, maka ia akan ambruk, atau walaupun ia tidur dengan
posisi memeluk lutut sedang di antara tempat duduk dan menetapnya tidak ada
renggang. Batal wudhu’nya seorang yang menetapkan pantatnya yang tersadar
setelah kondisi pantat tidak pada tempat menetapnya. Tidak batal wudhu’nya
orang yang ragu apakah menetapkan pantat atau tidak?, apakah kedua pantatnya
tidak pada kondisi di tempat menetapnya sebelum sadar atau setelahnya? Yakin
bermimpi besertaan tidak ingat tidur tidaklah memberi dampak sama sekali.
Berbeda bila ketika ragu tentang hal itu sebab yakin bermimpi merupakan hal
yang lebih diunggulkan dari salah satu dari dua sisi keraguan.
وَ) ثَالِثُهَا: (مَسَّ فَرْجِ آدَمِيٍّ) أَوْ
مَحَلُّ قَطْعِهِ، وَ لَوْ لِمَيِّتٍ أَوْ صَغِيْرٍ، قُبُلًا كَانَ الْفَرْجُ أَوْ
دُبُرًا مُتَّصِلًا أَوْ مَقْطُوْعًا، إِلَّا مَا قُطِعَ فِي الْخِتَانِ. وَ النَّاقِضُ
مِنَ الدُّبُرِ مُلْتَقَى الْمُنْفَذِ، وَ مِنْ قُبُلِ الْمَرْأَةِ مُلْتَقَى شُفْرَيْهَا
عَلَى الْمَنْفَذِ لَا مَا وَرَاءَهُمَا كَمَحَلِّ خِتَانِهَا. نَعَمْ، يُنْدَبُ الْوُضُوْءُ
مِنْ مَسِّ نَحْوِ الْعَانَةِ، وَ بَاطِنِ الْأَلْيَةِ، وَ الْأُنْثَيَيْنِ، وَ شَعْرٍ
نَبَتَ فَوْقَ ذَكَرٍ، وَ أَصْلِ فَخْذٍ، وَ لَمْسِ صَغِيْرَةٍ وَ أَمْرَدٍ وَ أَبْرَصَ
وَ يَهُوْدِيٍّ، وَ مِنْ نَحْوِ فَصْدٍ، وَ نَظْرٍ بِشَهْوَةٍ وَ لَوْ إِلَى مَحْرَمٍ،
وَ تَلَفُّظٍ بِمَعْصِيَةٍ، وَ غَضَبٍ، وَ حَمْلٍ مَيِّتٍ وَ مَسِّهِ، وَ قَصِّ ظُفْرٍ
وَ شَارِبٍ، وَ حَلْقِ رَأْسِهِ. وَ خَرَجَ بِآدَمِيٍّ فَرْجُ الْبَهِيْمَةِ إِذْ لَا
يُشْتَهَى، وَ مِنْ ثَمَّ جَازَ النَّظْرُ إِلَيْهِ. (بِبَطْنِ كَفٍّ) لِقَوْلِهِ
(ص): مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ، وَ فِيْ رِوَايَةٍ: مَنْ مَسَّ ذَكَرًا فَلْيَتَوَضَّأْ.
وَ بَطْنُ الْكَفِّ هُوَ بَطْنُ الرَّاحَتَيْنِ وَ بَطْنُ الْأَصَابِعِ و الْمُنْحَرِفِ
إِلَيْهِمَا عِنْدَ انْطِبَاقِهِمَا، مَعَ يَسِيْرِ تَحَامُلٍ دُوْنَ رُؤُوْسِ الْأَصَابِعِ
وَ مَا بَيْنَهَا وَ حَرْفُ الْكَفِّ.
Yang ketiganya adalah menyentuh
kemaluan manusia atau tempat terpotongnya walaupun milik mayit atau anak kecil,
baik kemaluan tersebut kelamin atau anus, masih menempel atau sudah terputus
(88) kecuali anggota yang terputus di saat khitan. Anggota yang batal disentuh
dari anus adalah dua bibir lubang anus dan dari kelamin wanita adalah dua bibir
vagina, tidak bagian selain dari keduanya seperti tempat khitan. Benar tidak
membatalkan, namun disunnahkan berwudhu’ dari menyentuh sejenis bulu kemaluan,
bagian dalam pantat, dua testis, rambut
yang tumbuh di atas dzakar, pangkal paha, menyentuh wanita kecil, menyentuh
lelaki tampan yang belum berkumis, menyentuh orang berpenyakit lepra, menyentuh
orang Yahudi, setelah bekam, melihat dengan syahwat, walaupun pada mahramnya,
mengucapkan maksiat, marah, membawa mayit dan menyentuhnya, memotong kuku dan
mencukur kumis, dan mencukur rambut. Dikecualikan dari manusia adalah kemaluan
hewan sebab hewan tidaklah menimbulkan nafus oleh karena itu diperbolehkan
untuk melihat kemaluannya. (Menyentuh yang dapat membatalkan adalah bila dengan
menggunakan bagian dalam telapak tangan) sebab sabda Rasūl s.a.w.: Barang siapa
menyentuh kemaluan – dalam satu riwayat – Barang siapa menyentuh dzakar, maka
berwudhu’lah. Batin telapak tangan adalah bagian dalam dari telapak tangan,
batin jari-jari, dan anggota yang membengkok ke arah keduanya ketika
ditelangkupkan dengan sedikit menekan,
bukan ujung jari-jari dan anggota yang berada di antara jari-jari dan
sisi telapak tangan.
وَ) رَابِعُهَا: (تَلَاقَيْ بَشَرَتَيْ ذَكَرٍ
وَ أُنْثَى) وَ لَوْ بِلَا شَهْوَةٍ، وَ إِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا مُكْرَهًا أَوْ مَيْتًا،
لكِنْ لَا يَنْقُضُ وُضُوْءُ الْمَيِّتِ. وَ الْمُرَادُ بِالْبَشَرَةِ هُنَا غَيْرُ
الشَّعْرِ وَ السِّنِّ وَ الظُّفْرِ – قَالَهُ شَيْخُنَا – وَ غَيْرُ بَاطِنِ الْعَيْنِ،
وَ ذلِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: * (أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ) * أَيْ لَمَسْتُمْ.
وَ لَوْ شَكَّ هَلْ مَا لَمَسَهُ شَعْرٌ أَوْ بَشَرَةٌ، لَمْ يَنْتَقِضْ، كَمَا لَوْ
وَقَعَتْ يَدُهُ عَلَى بَشَرَةٍ لَا يَعْلَمُ أَهِيَ بَشَرَةُ رَجُلٍ أَوِ امْرَأَةٍ،
أَوْ شَكَّ: هَلْ لَمَسَ مَحْرَمًا أَوْ أَجْنَبِيَّةً؟ وَ قَالَ شَيْخُنَا فِيْ شَرْحِ
الْعُبَابِ: وَ لَوْ أَخْبَرَهُ عَدْلٌ بِلَمْسِهَا لَهُ، أَوْ بِنَحْوِ خُرُوْجِ رِيْحٍ
مِنْهُ فِيْ حَالِ نَوْمِهِ مُمَكِّنًا، وَجَبَ عَلَيْهِ الْأَخْذُ بِقَوْلِهِ. (بِكِبَرٍ)
فِيْهِمَا، فَلَا نَقْضَ بِتَلَاقَيْهِمَا مَعَ صِغَرِ فِيْهِمَا، أَوْ فِيْ أَحَدِهِمَا،
لِاِنْتِفَاءِ مَظِنَّةِ الشَّهْوَةِ. وَ الْمُرَادُ بِذِي الصِّغَرِ: مَنْ لَا يُشْتَهَى
عُرْفًا غَالِبًا. (لَا) تَلَاقَيْ بَشَرَتَيْهِمَا) (مَعَ مَحْرَمِيَّةٍ) بَيْنَهُمَا،
بِنَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ أَوْ مُصَاهَرَةٍ، لِانْتِفَاءٍ مَظَنَّةِ الشَّهْوَةِ. وَ لَوِ
اشْتَبَهَتْ مَحْرَمُهُ بِأَجْنَبِيَّاتٍ مَحْصُوْرَاتٍ فَلَمَسَ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ
لَمْ يَنْتَقِضْ، وَ كَذَا بِغَيْرِ مَحْصُوْرَاتٍ عَلَى الْأَوْجَهِ. (وَ لَا يُرْتَفَعُ
يَقِيْنُ وُضُوْءٍ أَوْ حَدَثٍ بِظَنِّ ضِدِّهِ) وَ لَا بِالشَّكِّ فِيْهِ الْمَفْهُوْمُ
بِالْأَوْلَى فَيَأْخُذُ بِالْيَقِيْنِ اسْتِصْحَابًا لَهُ.
(Yang) keempatnya adalah (bertemunya
kulit lelaki dan perempuan) walaupun dengan tanpa syahwat, dan walaupun salah
satunya dipaksa satu mayit namun wudhu’nya mayit tidaklah batal. Yang
dikehendaki dari kulit dalam bab ini adalah selain rambut, gigi dan kuku
seperti yang telah disampaikan guru kita dan selain batin mata. Hal itu karena
firman Allah: Atau kalian semua menyentuh wanita. Kalau seandainya seseorang
ragu apakah ia menyentuh rambut atau kulit, maka wudhu’nya tidak batal seperti
kasus ketika tangannya berada di atas kulit, namun ia tidak tahu apakah kulit
tersebut milik lelaki atau wanita atau seseorang ragu, apakah ia menyentuh mahram
atau wanita lain. Guru kita mengatakan dalam Syaraḥ ‘Ubāb: Kalau seandainya ada
seorang yang adil memberi kabar bahwa yang ia sentuh adalah wanita lain atau
kabar tentang kentut saat tidur dengan menetapkan pantatnya, maka wajib untuk
mengindahkan ucapannya.
(Besertaan keduanya telah dewasa),
maka tidak membatalkan dengan sebab pertemuan dua kulit anak kecil atau salah
satunya sebab tiadanya tempat praduga timbulnya syahwat. Yang dimaksud anak
kecil adalah anak yang belum menimbulkan nafsu secara umumnya. (Tidak batal)
bertemunya dua kulit yang di antara keduanya (terdapat sifat mahram) dengan
sebab jalur pernikahan karena tidak adanya kecurigaan timbulnya syahwat. Kalau
seandainya mahramnya serupa dengan wanita lain yang dapat terhitung jumlahnya
kemudian ia menyentuh salah satu wanita itu maka wudhu’nya tidak batal. Begitu
pula bila dengan wanita lain yang tak terhitung menurut pendapat yang unggul.
(Keyakinan telah berwudhu’ atau telah hadats tidaklah dapat hilang dengan
dugaan sebaliknya) dan juga tidak dengan keraguan dengan pemahaman yang lebih
utama. Maka orang itu harus mengambil hukum yang yakin sebagai upaya untuk
melanggengkan hukum semula.
خَاتِمَةٌ) يَحْرُمُ بِالْحَدَثِ: صَلَاةٌ وَ طَوَافٌ
وَ سُجُوْدٌ، وَ حَمْلُ مُصْحَفٌ، وَ مَا كُتِبَ لِدَرْسِ قُرْآنٍ وَ لَوْ بَعْضَ آيَةٍ
كَلَوْحٍ. وَ الْعِبْرَةُ فِيْ قَصْدِ الدِّرَاسَةِ وَ التَّبَرُّكِ بِحَالَةِ الْكِتَابَةِ
دُوْنَ مَا بَعْدَهَا، وَ بِالْكَاتَبِ لِنَفْسِهِ أَوْ لِغَيْرِهِ تَبَرُّعًا، وَ
إِلَّا فَآمِرُهُ لَا حَمْلُهُ مَعَ مَتَّاعٍ، وَ الْمُصْحَفُ غَيْرُ مَقْصُوْدٍ بِالْحَمْلِ
وَ مَسُّ وَرَقِهِ، وَ لَوْ لِبَيَاضٍ أَوْ نَحْوِ ظَرْفٍ أُعِدُّ لَهُ وَ هُوَ فِيْهِ،
لَا قَلْبُ وَرَقِهِ بِعَوْدٍ إِذَا لَمْ يَنْفَصِلْ عَلَيْهِ، وَ لَا مَعَ تَفْسِيْرٍ
زَادَ وَ لَوِ احْتِمَالًا. وَ لَا يُمْنَعُ صَبِيٌّ مُمَيَّزٌ – مُحْدِثٌ وَ لَوْ
جُنُبًا – حَمْلُ وَ مَسُّ نَحْوِ مُصْحَفٍ لِحَاجَةِ تَعَلُّمِهِ وَ دَرْسِهِ وَ وَسِيْلَتِهِمَا،
كَحَمْلِهِ لِلْمَكْتُبِ وَ الْإِتْيَانِ بِهِ لِلْمُعَلِّمِ لِيُعَلِّمُهُ مِنْهُ.
وَ يَحْرُمُ تَمْكِيْنُ غَيْرُ الْمُمَيِّزِ مِنْ نَحْوِ مُصْحَفٍ، وَ لَوْ بَعْضَ
آيَةٍ، وَ كِتَابَتُهُ بِالْعَجَمِيَّةِ، وَ وَضْعُ نَحْوِ دِرْهَمٍ فِيْ مَكْتُوْبِهِ،
وَ عِلْمٍ شَرْعِيٍّ. وَ كَذَا جَعْلُهُ بَيْنَ أَوْرَاقِهِ – خِلَافًا لِشَيْخِنَا
– وَ تَمْزِيْقُهُ عَبَثًا، وَ بَلْعُ مَا كُتِبَ عَلَيْهِ لَا شُرْبُ مَحْوِهِ، وَ
مَدُّ الرِّجْلِ لِلْمُصْحَفِ مَا لَمْ يَكُنْ عَلَى مُرْتَفِعٍ. وَ يُسَنُّ الْقِيَامُ
لَهُ كَالْعَالِمِ بَلْ أَوْلَى، وَ يُكْرَهُ حَرْقُ مَا كُتِبَ عَلَيْهِ إِلَّا لِغَرَضِ
نَحْوِ صِيَانَةٍ، فَغَسْلُهُ أَوْلَى مِنْهُ.
Haram sebab berhadats melakukan
shalat, thawaf, sujud, membawa mushhaf,
dan benda yang ditulis al-Qur’ān dengan tujuan untuk dirasah (nderes; jawa) –
walaupun sebagian ayat –seperti papan tulis. Penilaian di dalam tujuan untuk
dirasah atau untuk mencari barakah adalah terletak ketika menulis bukan setelah
hal tersebut, dan juga terletak pada penulis untuk dirinya sendiri atau untuk
orang lain dengan cuma-cuma. Jika tidak cuma-cuma, maka niat terletak pada
orang yang menyuruh. Tidak haram membawa mushhaf bila bersamaan dengan benda
lain, sedang mushhaf tidak dimaksud untuk dibawa. Haram menyentuh kertas
mushhaf walaupun pada bagian yang kosong atau walaupun mushhaf tersebut berada
pada wadah khusus yang telah disiapkan dan mushhaf ada di dalamnya. Tidak haram
membuka lembaran mushhaf dengan kayu asal lembaran tersebut tidak terlepas dari
kayu tersebut. Juga tidak haram ketika besertaan dengan tafsir yang melebihi
dari tulisan mushhaf walaupun masih kemungkinan. Anak kecil yang telah tamyiz
dan berhadats walaupun junub tidak boleh untuk dilarang membawa dan
menyentuhnya sebab kebutuhan belajar dan mengajinya, begitu pula kebutuhan
perantara keduanya seperti membawanya ke tempat belajar dan ke hadapan guru
supaya guru tersebut mengajarinya. Haram membiarkan selain anak yang tamyiz
untuk membawa atau menyentuh sejenis mushhaf walaupun sebagian ayat. Haram
menulisnya selain dengan huruf ‘Arab, haram pula meletakkan sejenis uang dirham
di bagian yang tertulis mushhaf dan ilmu syari‘at, begitu pula menjadikan uang
dirham di antara lembaran-lembarannya, sedang guru kami berbeda pendapat. Haram
menyobek mushhaf tanpa tujuan dan menelan barang yang bertuliskan mushhaf .
Tidak haram meminum air leburannya. Haram memanjangkan kaki ke arah mushhaf
selama mushhaf itu tidak berada pada tempat yang tinggi. Disunnahkan untuk
berdiri karena mushhaf seperti berdiri untuk orang alim bahkan untuk mushhaf
lebih utama. Dimakruhkan membakar barang yang bertuliskan mushhaf kecuali
karena ada tujuan untuk menjaganya, namun membasuh lebih utama dari pada
membakarnya.
وَ يَحْرُمُ بِالْجَنَابَةِ الْمُكْثُ فِي الْمَسْجِدِ
وَ قِرَاءَةُ قُرْآنٍ بِقَصْدِهِ، وَ لَوْ بَعْضَ آيَةٍ، بِحَيْثُ يَسْمَعُ نَفْسَهُ
وَ لَوْ صِبِيًّا – خِلَافًا لِمَا أَفْتَى بِهِ النَّوَوِيُّ -. وَ بِنَحْوِ حَيْضٍ،
لَا بِخُرُوْجِ طَلْقٍ، صَلَاةٌ وَ قِرَاءَةٌ وَ صَوْمٌ. وَ يَجِبُ قَضَاؤُهُ لَا الصَّلَاةُ،
بَلْ يَحْرُمُ قَضَاؤُهَا عَلَى الْأَوْجَهِ.
Haram sebab janabah berdiam di dalam
masjid, menyengaja membaca al-Qur’ān walaupun sebagian ayat sekira terdengar
diri sendiri walaupun anak kecil, berbeda dengan fatwa Imām Nawawī. Haram
dengan sebab sesamanya haid tidak dengan sebab keluarnya darah saat melahirkan.
– untuk melakukan shalat, membaca al-Qur’ān dan puasa. Wajib untuk mengqadha’
puasa dan tidak wajib mengqadha’ shalat, bahkan haram hukumnya menurut pendapat
yang lebih unggul.
MANDI BESAR
وَ) الطَّهَارَةُ (الثَّانِيَةُ: الْغُسْلُ) هُوَ
لُغَةً: سَيَلَانُ الْمَاءِ عَلَى الشَّيْءِ. وَ شَرْعًا: سَيَلَانُهُ عَلَى جَمِيْعِ
الْبَدَنِ بِالنِّيَّةِ. وَ لَا يَجِبُ فَوْرًا وَ إِنْ عَصَى بِسَبَبِهِ، بِخِلَافِ
نَجَسٍ عَصَى بِسَبَبِهِ. وَ الْأَشْهَرُ فِيْ كَلَامِ الْفُقَهَاءِ ضَمُّ غَيْنِهِ،
لكِنَّ الْفَتْحَ أَفْصَحُ، وَ بِضَمِّهَا مُشْتَرَكٌ بَيْنَ الْفِعْلِ وَ مَاءِ الْغُسْلِ.
(Bersuci yang kedua adalah mandi).
Mandi secara bahasa adalah mengalirkan air pada sesuatu. Sedang secara syara‘
adalah mengalirkan air pada seluruh tubuh disertai dengan niat. Tidak wajib
untuk segera mandi walaupun sebab yang mengharuskan mandi itu adalah maksiat
berbeda dengan najis yang sebabnya adalah maksiat. Pendapat yang masyhur dalam pembicaraan
ulama’ fiqh adalah dengan membaca dhammah ghain lafazh al-ghuslu, namun dengan
membaca fatḥah akan lebih fasih. Dengan membaca dhammah berarti memiliki makna
pekerjaan mandi dan air yang digunakan.
وَ مُوْجِبُهُ) أَرْبَعَةٌ: أَحَدُهَا: (خُرُوْجُ
مَنِيِّهِ أَوَّلًا) وَ يُعْرَفُ بِأَحَدِ خَوَاصِّهِ الثَّلَاثِ: مِنْ تَلَذُّذٍ بِخُرُوْجِهِ،
أَوْ تَدَفُّقٍ، أَوْ رِيْحِ عَجِيْنٍ رَطْبًا وَ بَيَاضِ بِيْضٍ جَافًا. فَإِنْ فُقِدَتْ
هذِهِ الْخَوَّاصُ فَلَا غُسْلَ. نَعَمْ، لَوْ شَكَّ فِيْ شَيْءٍ أَمَنِيٌّ هُوَ أَوْ
مَذِيٌّ؟ تَخَيَّرَ وَ لَوْ بِالتَّشَهِيْ. فَإِنْ شَاءَ جَعَلَهُ مَنِيًّا وَ اغْتَسَلَ،
أَوْ مَذِيًا وَ غَسَلَهُ وَ تَوَضَّأَ. وَ لَوْ رَأَى مَنِيًّا مُجَفَّفًا فِيْ نَحْوِ
ثَوْبِهِ لَزِمَهُ الْغُسْلُ وَ إِعَادَةُ كُلِّ صَلَاةٍ تَيَقَّنَهَا بَعْدَهُ، مَا
لَمْ يَحْتَمِلْ عَادَةً كَوْنُهُ مِنْ غَيْرِهِ. (وَ) ثَانِيْهَا: (دُخُوْلُ حَشَفَةٍ)
أَوْ قَدْرِهَا مِنْ فَاقِدِهَا، وَ لَوْ كَانَتْ مِنْ ذَكَرٍ مَقْطُوْعٍ أَوْ مِنْ
بَهِيْمَةٍ أَوْ مَيِّتٍ. (فَرْجًا) قُبُلًا أَوْ دُبُرًا، (وَ لَوْ لِبَهِيْمَةٍ
) كَسَمَكَةٍ أَوْ مَيِّتٍ، وَ لَا يُعَادُ غُسْلُهُ لِانْقِطَاعِ تَكْلِيْفِهِ.
(Hal yang mewajibkan mandi) ada
empat. Yang pertama adalah (keluarnya mani seseorang; yang pertama). Air mani
dapat diketahui dengan salah satu dari tiga sifatnya khususnya: Merasa nikmat
sebab keluarnya, keluar dengan tercurat, berbau adonan roti saat basah dan
putih telur ketika kering. Jika tidak dijumpai kekhususan ini, maka tidaklah
wajib untuk mandi. Benar tidak wajib mandi, namun kalau seandainya seseorang
ragu pada sesuatu apakah itu mani ataukah madzi? maka diperbolehkan baginya
untuk memilih walaupun sekehendak hatinya. Jika ia mau, boleh menjadikannya
mani dan wajib mandi atau menjadikan madzi dan membasuhnya lalu berwudhu’. Kalau
seandainya seseorang melihat mani yang kering di bajunya maka wajib untuk mandi
dan mengulangi setiap shalat yang diyakini telah dikerjakan setelah melihat
mani tersebut selama mani tersebut tidak ada kemungkinan secara adatnya milik
orang lain. (Yang) kedua adalah masuknya (kepala penis) atau kadar dari kepala
penis yang terpotong, dari hewan atau dari mayit. (ke dalam kemaluan) baik
kelamin ataupun anus (walaupun milik hewan) seperti ikan laut ataupun mayit.
Mandinya mayit tidak perlu di ulangi sebab tanggungannya terhadap hukum
syari‘at telah terputus.
وَ) ثَالِثُهَا: (حَيْضٌ) أَيِ انْقِطَاعُهُ، وَ
هُوَ دَمٌ يَخْرُجُ مِنْ أَقْصَى رَحِمِ الْمَرْأَةِ فِيْ أَوْقَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ.
(وَ أَقَلُّ سَنَةٍ تِسْعُ سِنِيْنَ قَمَرِيَّةً) أَيِ اسْتِكْمَالُهَا. نَعَمْ، إِنْ
رَأَتْهُ قَبْلَ تَمَامِهَا بِدُوْنِ سِتَّةَ عَشَرَ يَوْمًا فَهُوْ حَيْضٌ، وَ أَقَلُّهُ
يَوْمٌ وَ لَيْلَةٌ، وَ أَكْثَرُهُ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، كَأَقَلِّ طُهْرٍ بَيْنَ
الْحَيْضَتَيْنِ. وَ يَحْرُمُ بِهِ مَا يَحْرُمُ بِالْجَنَابَةِ، وَ مُبَاشَرَةُ مَا
بَيْنَ سُرَّتِهَا وَ رُكْبَتِهَا. وَ قِيْلَ: لَا يَحْرُمُ غَيْرُ الْوَطْئِ. وَ اخْتَارَهُ
النَّوَوِيُّ فِي التَّحْقِيْقِ، لِخَبَرِ مُسْلِمٍ: اصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا
النِّكَاحَ. وَ إِذَا انْقَطَعَ دَمُهَا حَلَّ لَهَا قَبْلَ الْغُسْلِ صَوْمٌ لَا وَطْئٌ،
خِلَافًا لِمَا بِحَثَهُ الْعَلَامَةِ الْجَلَالُ السُّيُوْطِيُّ رَحِمَهُ اللهُ.
وَ) رَابِعُهَا: (نِفَاسٌ) أَيِ انْقِطَاعُهُ،
وَ هُوَ دَمُ حَيْضٍ مُجْتَمِعٍ يَخْرُجُ بَعْدَ فِرَاغِ جَمِيْعِ الرَّحْمِ، وَ أَقَلُّهُ
لَحْظَةً، وَ غَالِبُهُ أَرْبَعُوْنَ يَوْمًا، وَ أَكْثَرُهُ سِتُّوْنَ يَوْمًا. وَ
يَحْرُمُ بِهِ مَا يَحْرُمُ بِالْحَيْضِ، وَ يَجِبُ الْغَسْلُ أَيْضًا بِوِلَادَةٍ
وَ لَوْ بِلَا بَلَلٍ، وَ إِلْقَاءِ عَلَقَةٍ وَ مُضْغَةٍ، وَ بِمَوْتِ مُسْلِمٍ غَيْرِ
شَهِيْدٍ.
(Yang) ketiganya adalah (berhentinya
haid). Haid adalah darah yang keluar dari pangkal rahim wanita di waktu-waktu
tertentu. (Minimal wanita dapat mengalami haid adalah wanita yang sempurna
berumur sembilan tahun Qamariyyah). Benar minimalnya sempurna sembilan tahun,
namun jika ada seorang wanita yang belum sempurna umur tersebut dengan kurang
16 hari, maka itu namanya haid. Minimal haid adalah satu hari satu malam dan
maksimalnya adalah 15 hari seperti minimal suci di antara dua haid. Diharamkan
dengan sebab haid hal-hal yang diharamkan sebab junub, dan ditambah dengan
keharaman menyentuh anggota di antara pusar dan lutut. Sebagian pendapat
mengatakan hal itu tidaklah haram selain bersetubuh. Pendapat tersebut dipilih
oleh Imām Nawawī dalam kitab Taḥqīq-nya sebab hadits yang diriwayatkan Imam
Muslim: Lakukanlah segala sesuatu selain bersetubuh. Ketika darah telah
terputus maka halal bagi wanita tersebut sebelum mandi untuk melakukan puasa,
tidak bersetubuh, berbeda dengan pendapat yang telah dibahas oleh al-‘Allāmah Jalāl-ud-Dīn as-Suyūthī semoga Allah mengasihinya
–
(Yang) keempatnya adalah
(berhentinya nifas). Nifas adalah darah haid yang terkumpul setelah kosongnya
seluruh rahim. Minimal dari nifas adalah satu tetes, umumnya 40 hari, dan
maksimalnya 60 hari. Haram sebab nifas (adalah sama dengan) semua keharaman
sebab haid. Dan juga wajib untuk melakukan mandi sebab melahirkan (88) walaupun
tanpa cairan basah, sebab mengeluarkan segumpal darah, segumpal daging (99) dan
sebab matinya orang muslim yang tidak syahid.
وَ فَرْضُهُ) – أَيِ الْغُسْلِ – شَيْئَانِ: أَحَدُهُمَا:
(نِيَّةُ رَفْعِ الْجَنَابَةِ) لِلْجُنُبِ، أَوِ الْحَيْضِ لِلْحَائِضِ. أَيْ رَفْعِ
حُكْمِهِ. (أَوْ) نِيَّةُ (أَدَاءِ فَرْضِ الْغُسْلِ) أَوْ رَفْعِ حَدَثٍ، أَوِ الطَّهَارَةِ
عَنْهُ، أَوْ أَدَاءِ الْغُسْلِ. وَ كَذَا الْغُسْلُ لِلصَّلَاةِ لَا الْغُسْلُ فَقَطْ.
وَ يَجِبُ أَنْ تَكُوْنَ النِّيَّةُ (مَقْرُوْنَةً بِأَوَّلِهِ) – أَيِ الْغُسْلِ
– يَعْنِيْ بِأَوَّلِ مَغْسُوْلٍ مِنَ الْبَدَنِ، وَ لَوْ مِنْ أَسْفَلِهِ. فَلَوْ
نَوَى بَعْدَ غَسْلِ جُزْءٍ وَجَبَ إِعَادَةُ غَسْلِهِ. وَ لَوْ نَوَى رَفْعَ الْجَنَابَةِ
وَ غَسَلَ بَعْضَ الْبَدَنِ ثُمَّ نَامَ فَاسْتَيْقَظَ وَ أَرَادَ غَسْلَ الْبَاقِيْ
لَمْ يَحْتَجْ إِلَى إِعَادَةِ النِّيَّةِ.
(Kefardhuan mandi) ada dua hal. Yang
pertama adalah (niat menghilangkan hukum janabah) bagi orang junub,
menghilangkan hukum haid bagi orang haid (atau) berniat (menunaikan kefardhuan
mandi), menghilangkan hadats, niat bersuci dari hadats atau niat menunaikan
mandi, begitu pula berniat mandi untuk shalat, tidak berniat mandi saja. Niat
haruslah (dibarengkan dengan permulaan mandi) maksudnya adalah awal anggota
yang dibasuh walaupun dari anggota tubuh bagian bawah. Jika seseorang berniat
setelah membasuh satu bagian tubuh, maka wajib mengulangi membasuh anggota
tersebut. Jika setelah berniat menghilangkan janabah dan membasuh sebagian
tubuhnya lalu tidur kemudian bangun dan meneruskan anggota tubuh yang lain,
maka tidak perlu untuk mengulangi niatnya.
وَ) ثَانِيْهُمَا: (تَعْمِيْمُ) ظَاهِرِ (بَدَنٍ
حَتَّى) الْأَظْفَارَ وَ مَا تَحْتَهَا، وَ (الشَّعْرِ) ظَاهِرًا وَ بَاطِنًا وَ إِنْ
كَثُفَ، وَ مَا ظَهَرَ مِنْ نَحْوِ مَنْبَتِ شَعْرَةٍ زَالَتْ قَبْلَ غَسْلِهَا، وَ
صُمَاخٍ وَ فَرْجِ امْرَأَةٍ عِنْدَ جُلُوْسِهَا عَلَى قَدَمَيْهَا، وَ شُقُوْقٍ (وَ
بَاطِنِ جُدْرِيٍّ) انْفَتَحَ رَأْسُهُ لَا بَاطِنِ قَرْحَةٍ بَرِئَتْ وَ ارْتَفَعَ
قَشْرُهَا وَ لَمْ يَظْهَرْ شَيْءٌ مِمَّا تَحْتَهُ. وَ يَحْرُمُ فَتْقُ الْمُلْتَحِمِ
(وَ مَا تَحْتَ قُلْفَةٍ) مِنَ الْأَقْلَفِ فَيَجِبُ غَسْلُ بَاطِنِهَا لِأَنَّهَا
مُسْتَحِقَّةُ الْإِزَالَةِ، لَا بَاطِنِ شَعْرٍ اِنْعَقَدَ بِنَفْسِهِ وَ إِنْ كَثُرَ،
وَ لَا يَجِبُ مَضْمَضَةٌ وَ اسْتِنْشَاقٌ بَلْ يُكْرَهُ تَرْكُهُمَا. (بِمَاءٍ طَهُوْرٍ)
وَ مَرَّ أَنَّهُ يَضُرُّ تَغَيُّرُ الْمَاءِ تَغَيُّرًا ضَارًّا وَ لَوْ بِمَا عَلَى
الْعُضْوِ، خِلَافًا لِجَمْعٍ. (وَ يَكْفِيْ ظَنُّ عُمُوْمِهِ) – أَيِ الْمَاءِ – عَلَى
الْبَشَرَةِ وَ الشَّعْرِ وَ إِنْ لَمْ يَتَيَقَّنْهُ، فَلَا يَجِبُ تَيَقُّنُ عُمُوْمِهِ
بَلْ يَكْفِيْ غَلَبَةُ الظَّنِّ بِهِ فِيْهِ كَالْوُضُوْءِ.
(Yang) kedua adalah (meratakan air
ke seluruh anggota luar badan) sampai pada kuku-kuku, anggota yang berada di
bawahnya, (seluruh rambut) luar dalam walaupun tebal, anggota yang terlihat
dari tempat tumbuhnya rambut yang terlepas sebelum membasuhnya, lubang kuping,
vagina wanita saat duduk jongkok,
anggota tubuh yang robek dan bagian dalam bisul yang terbuka ujungnya,
tidak batin luka yang telah sembuh dan kulitnya telah hilang dan tidak tampak
sesuatu di bawahnya. Haram hukumnya menyobek jari-jari yang rekat. (Kewajiabn tersebut sampai pada anggota yang
berada di bawah kuncup bagi lelaki yang belum khitan). Maka wajib untuk
membasuh bagian dalamnya sebab kuncup tersebut harus dihilangkan, tidak batin
rambut yang terikat dengan sendirinya walaupun banyak. Tidak wajib berkumur dan
menyerap air dari hidung, akan tetapi hukumnya makruh meninggalkan keduanya.
(Dengan menggunakan air yang suci mensucikan). Telah lewat penjelasan tentang
bahayanya perubahan air dengan perubahan yang dapat merusak kesucian air,
walaupun dengan sebab sesuatu yang berada pada anggotanya sendiri, berbeda
dengan pendapat segolongan ‘ulama’. (Cukup adanya praduga telah ratanya air
terhadap kulit dan rambut) walaupun tidak meyakinkannya. Maka tidak wajib
baginya untuk yakin telah ratanya air, bahkan cukup dengan praduga saja seperti
halnya wudhu’.
وَ سُنَّ) لِلْغُسْلِ الْوَاجِبِ وَ الْمَنْدُوْبِ
(تَسْمِيَّةٌ) أَوَّلَهُ، (وَ إِزَالَةُ قَذَرٍ طَاهِرٍ) كَمَنِيٍّ وَ مُخَاطٍ، وَ
نَجَسٍ كَمَذِيٍّ، وَ إِنْ كَفَى لَهُمَا غَسْلَةٌ وَاحِدَةٌ، وَ أَنْ يَبُوْلَ مَنْ
أَنْزَلَ قَبْلَ أَنْ يَغْتَسِلَ لِيَخْرُجَ مَا بَقِيَ بَمَجْرَاهُ. (فَ) – بَعْدَ
إِزَالَةِ الْقَذَرِ (مَضْمَضَةٌ وَ اسْتِنْشَاقٌ ثُمَّ وُضُوْءٌ) كَامِلًا – لِلْاِتِّبَاعِ
-، رَوَاهُ الشَّيْخَانِ. وَ يُسَنُّ لَهُ اسْتِصْحَابُهُ إِلَى الْفِرَاغِ، حَتَّى
لَوْ أَحْدَثَ، سُنَّ لَهُ إِعَادَتُهُ. وَ زَعْمُ الْمَحَامِلِيْ اخْتِصَاصَهُ بِالْغُسْلِ
الْوَاجِبِ ضَعِيْفٌ، وَ الْأَفْضَلُ عَدَمُ تَأْخِيْرِ غَسْلِ قَدَمَيْهِ عَنِ الْغُسْلِ،
كَمَا صَرَّحَ بِهِ فِي الرَّوْضَةِ، وَ إِنْ ثَبَتَ تَأْخِيْرُهُمَا فِي الْبُخَارِيِّ.
وَ لَوْ تَوَضَّأَ أَثْنَاءَ الْغُسْلِ أَوْ بَعْدَهُ حَصَلَ لَهُ أَصْلُ السُّنَّةِ،
لكِنِ الْأَفْضَلُ تَقْدِيْمُهُ، وَ يُكْرَهُ تَرْكُهُ. وَ يَنْوِيْ بِهِ سُنَّةَ الْغُسْلِ
إِنْ تَجَرَّدَتْ جَنَابَتُهُ عَنِ الْأَصْغَرِ، وَ إِلَّا نَوَى بِهِ رَفْعَ الْحَدَثِ
الْأَصْغَرِ أَوْ نَحْوِهِ، خُرُوْجًا مِنْ خِلَافِ مُوْجِبِهِ الْقَائِلِ بِعَدَمِ
الْاِنْدِرَاجِ. وَ لَوْ أَحْدَثَ بَعْدَ ارْتِفَاعِ جَنَابَةِ أَعْضَاءِ الْوُضُوْءِ
لَزِمَهُ الْوُضُوْءُ مُرَتَّبًا بِالنِّيَّةِ. (فَتَعَهُّدُ مَعَاطِفٍ) كَالْأُذُنِ
و الْإِبْطِ وَ السُّرَّةِ وَ الْمُوْقِ وَ مَحَلُّ شَقٍّ، وَ تَعَهُّدُ أُصُوْلِ شَعْرٍ،
ثُمَّ غَسْلُ رَأْسٍ بِالْإِفَاضَةِ بَعْدَ تَخْلِيْلِهِ إِنْ كَانَ عَلَيْهِ شَعْرٌ،
وَ لَا تَيَامُنَ فِيْهِ لِغَيْرِ أَقْطَعَ. ثُمَّ غَسْلُ شَقٍّ أَيْمَنَ ثُمَّ أَيْسَرَ،
(وَ دَلْكٌ) لِمَا تَصِلُهُ يَدُهُ مِنْ بَدَنِهِ، خُرُوْجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ.
(وَ تَثْلِيْثٌ) لِغُسْلٍ جَمِيْعِ الْبَدَنِ، وَ الدَّلْكُ وَ التَّسْمِيَةُ وَ الذِّكْرُ
عَقِبَهُ، وَ يَحْصُلُ فِيْ رَاكِدٍ بِتَحَرُّكِ جَمِيْعِ الْبَدَنِ ثَلَاثًا، وَ إِنْ
لَمْ يَنْقُلْ قَدَمَيْهِ إِلَى مَوْضِعٍ آخَرَ، عَلَى الْأَوْجَهِ (وَ اسْتِقْبَالٌ)
لِلْقِبْلَةِ وَ مُوَالَاةٌ، وَ تَرْكُ تَكَلُّمٍ بِلَا حَاجَةٍ، وَ تَنْشِيْفٌ بِلَا
عُذْرٍ. وَ تُسَنُّ الشَّهَادَتَانِ الْمُتَقَدِّمَتَانِ فِي الْوُضُوْءِ مَعَ مَا
مَعَهُمَا عَقِبَ الْغُسْلِ، وَ أَنْ لَا يَغْتَسِلَ لِجَنَابَةٍ أَوْ غَيْرِهَا، كَالْوُضُوْءِ
فِيْ مَاءٍ رَاكِدٍ لَمْ يَسْتَبْحِرْ كَنَابِعٍ مِنْ عَيْنٍ غَيْرِ جَارٍ.
Disunnahkan di dalam mandi wajib dan
sunnah untuk melafazhkan basamalah pada permulaannya dan menghilangkan kotoran
yang suci seperti mani dan liur dahak dan kotoran yang najis seperti madzi,
walaupun cukup bagi keduanya satu basuhan. Sunnah untuk kencing lebih dahulu
bagi seorang yang mengeluarkan mani sebelum mandi supaya mani yang tersisa ikut
keluar dari tempat lewatnya air kencing. Setelah menghilangkan kotoran,
disunnahkan berkumur dan menyerap air dari hidung, kemudian berwudhu’ secara
sempurna, sebab mengikuti sabda Nabi yang diriwayatkan Imām Bukhārī-Muslim.
Disunnahkan baginya untuk melanggengkan kesucian wudhu’ sampai selesainya
mandi, hingga kalau seandainya ia hadats disunnahkan untuk mengulangi
wudhu’nya. Dugaan Imām Maḥāmilī tentang kekhususan kesunnahkan wudhu’ terhadap mandi
wajib adalah pendapat yang lemah. Yang lebih utama adalah tidak mengakhirkan
membasuh kedua telapak kaki dari mandi seperti yang telah dijelaskan oleh Imām
Nawawī dalam kitab Raudhah-nya walaupun mengakhirkan dua telapak kaki tersebut
terdapat dalam hadits Imam Bukhari. Kalau seandainya seseorang berwudhu’ di
tengah mandi atau setelah selesai, maka kesunnahan telah ia dapatkan. Namun
yang lebih utama adalah mendahulukannya dan dimakruhkan untuk meninggalkannya.
Berniatlah kesunnahan mandi saat berwudhu’ jika jinabahnya tidak bersamaan
dengan hadats kecil. Jika bersamaan hadats kecil, maka berniatlah menghilangkan
hadats kecil atau sesamanya sebagai upaya keluar dari perbedaan ‘ulama’ yang
mewajibkannya yang mengatakan bahwa wudhu’ tidak masuk dalam mandi besar.
Kalau seseorang berhadats setelah
hilangnya janabah dari anggota wudhu’nya maka wajib baginya untuk berwudhu’
secara tertib disertati dengan niat wudhu’. (Disunnahkan untuk memperhatikan
lipatan-lipatan tubuhnya seperti telinga, ketiak, pusar, saluaran air mata,
daerah-daerah yang sobek, memperhatikan akar-akar rambut, kemudian setelah itu
diguyur dengan air setelah disela-sela jika ia punya rambut, dan tidak ada
kesunnahan mendahulukan kepala kanan bagi selain seorang yang tangannya
terpotong. Setelah itu membasuh anggota badan yang kanan, disusul yang kiri dan
menggosok anggota badan yang terjangkau oleh tangannya sebagai upaya keluar
dari perselisihan ‘ulama’ yang mewajibkannya.
(Sunnah untuk meniga kalikan) dalam membasuh seluruh tubuhnya, menggosok,
bismillah dan dzikir setelahnya. Kesunnahan meniga kalikan ini akan didapatkan
dengan menggerakkan tubuhnya tiga kali di air yang diam walaupun tidak sampai
memindah dua telapak kakinya ke tempat lain, menurut pendapat yang lebih
unggul. Sunnah menghadap ke arah kiblat, teruns-menerus, meninggalkan
perbincangan tanpa ada hajat dan meninggalakan mengelap tanpa udzur.
Disunnahkan membaca dua kalimat syahadat setelah mandi, seperti yang telah
disebutkan sebelumnya dalam bab wudhu’ beserta doa-doanya. Disunnahkan untuk
tidak mandi junub atau selainnya – seperti halnya wudhu’ – dia air yang diam
selama tidak berjumlah yang banyak seperti halnya mata air yang tidak mengalir.
فَرْعٌ) لَوِ اغْتَسَلَ لِجَنَابَةٍ وَ نَحْوُ
جُمْعَةٍ بِنِيَّتِهِمَا حَصَلَا، وَ إِنْ كَانَ الْأَفْضَلُ إِفْرَادُ كُلٍّ بِغُسْلٍ،
أَوْ لِأَحَدِهِمَا حَصَلَ فَقَطْ. (وَ لَوْ أَحْدَثَ ثُمَّ أَجْنَبَ كَفَى غُسْلٌ
وَاحِدٌ) وَ إِنْ لَمْ يَنْوِ مَعَهُ الْوُضُوْءُ وَ لَا رَتَّبَ أَعْضَاءَهُ.
(Cabang Masalah). Kalau seandainya
seseorang melakukan mandi junub dan semacam mandi Jum‘at dengan niat keduanya,
maka keduanya dapat dihasilkan, walaupun yang utama adalah menyendirikan setiap
satu mandi. Atau berniat salah satunya, maka yang hasil hanyalah satu saja.
Kalau seandainya seseorang berhadats kemudian junub, maka cukup melakukan satu
mandi walaupun ia tidak berniat wudhu’ besertana mandi itu. Dan tidaklah ada
hukum tartib di antara anggota-anggotanya.
فَرْعٌ) يُسَنَّ لِجُنُبٍ وَ حَائِضٍ وَ نُفَسَاءُ
بَعْدَ انْقِطَاعِ دَمِهِمَا غَسْلُ فَرْجٍ وَ وُضُوْءٍ لِنَوْمٍ وَ أَكْلٍ وَ شُرْبٍ،
وَ يُكْرَهُ فِعْلُ شَيْءٍ مِنْ ذلِكَ بِلَا وُضُوْءٍ. وَ يَنْبَغِيْ أَنْ لَا يُزِيْلُوْا
قَبْلَ الْغُسْلِ شَعْرًا أَوْ ظُفْرًا، وَ كَذَا دَمًا، لِأَنَّ ذلِكَ يَرِدُ فِي
الْآخِرَةِ جُنُبًا. (وَ جَازَ تَكَشُّفٌ لَهُ) أَيْ لِلْغُسْلِ، (فِيْ خَلْوَةٍ) أَوْ
بِحَضْرَةِ مَنْ يَجُوْزُ نَظْرُهُ إِلَى عَوْرَتِهِ كَزَوْجَةٍ وَ أَمَةٍ، وَ السَّتْرُ
أَفْضَلُ. وَ حَرُمَ إِنْ كَانَ ثَمَّ مَنْ يَحْرُمُ نَظْرُهُ إِلَيْهَا، كَمَا حَرُمَ
فِي الْخَلْوَةِ بِلَا حَاجَةٍ وَ حَلَّ فِيْهَا لِأَدْنَى غَرَضٍ، كَمَا يَأْتِيْ.
(Cabangan Masalah). Disunnahkan bagi
seorang yang junub, haidh dan nifas setelah berhentinya darah untuk membasuh
kemaluannya dan berwudhu’ sebelum tidur, makan dan minum. Dimakruhkan untuk melakukan sesuatu dari itu
tanpa berwudhu’. Sebaiknya mereka sebelum mandi tidak memotong rambut dan kuku,
begitu pula menghilangkan darah, sebab semua itu akan dikembalikan di akhirat
dalam keadaan junub. Diperbolehkan untuk membuka aurat ketika mandi di tempat
yang sepi atau disamping orang yang diperbolehkan untuk melihat auratnya,
seperti istri dan budak wanitanya. Sedangkan menutupinya adalah hal yang lebih
utama. Haram membuka aurat bila di tempat tersebut dapat seorang yang haram
melihat auratnya, seperti diharamkan membuka aurat di tempat yang sepi tanpa
ada hajat. Boleh membukanya bila ada minimal hajat seperti keterangan nanti.
وَ ثَانِيْهَا) أَيْ ثَانِيْ شُرُوْطِ الصَّلَاةِ.
(طَهَارَةُ بَدَنٍ) وَ مِنْهُ دَاخِلُ الْفَمِ وَ الْأَنْفِ وَ الْعَيْنِ. (وَ مَلْبُوْسٍ)
وَ غَيْرِهِ مِنْ كُلِّ مَحْمُوْلٍ لَهُ، وَ إِنْ لَمْ يَتَحَرَّكْ بِحَرَكَتِهِ.
(وَ مَكَانٍ) يُصَلَّى فِيْهِ (عَنْ نَجَسٍ) غَيْرَ مَعْفُوٍّ عَنْهُ، فَلَا تَصِحُّ
الصَّلَاةُ مَعَهُ، وَ لَوْ نَاسِيًا أَوْ جَاهِلًا بِوُجُوْدِهِ، أَوْ بِكَوْنِهِ
مُبْطِلًا، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: * (وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ) * وَ لِخَبَرِ الشَّيْخَيْنِ.
وَ لَا يَضُرُّ مُحَاذَاةُ نَجَسٍ لِبَدَنِهِ، لكِنْ تُكْرَهُ مَعَ محُاَذَاتِهِ، كَاسْتِقْبَالِ
نَجَسٍ أَوْ مُتَنَجِّسٍ. وَ السَّقْفِ كَذلِكَ إِنْ قَرُبَ مِنْهُ بِحَيْثُ يُعَدُّ
مُحَاذِيًا لَهُ عُرْفًا.
(Syarat yang kedua) dari shalat
adalah (sucinya badan), sebagian dari badan adalah bagian dalam mulut, hidung, dan kedua mata, (sucinya pakaian) dan
selainnya, yakni dari setiap hal yang dibawa walaupun tidak ikut bergerak
dengan gerakannya. (Dan tempat) shalatnya (dari najis) yang tidak dapat
diampuni. Maka tidak sah shalat besertaan dengan najis tersebut atau tidak
mengerti dapat membatalkannya najis terhadap shalat. Hal itu sebab firman Allah ta‘ālā: Dan
sucikanlah pakaianmu, dan hadits Nabi yang
diriwayatkan Imam Bukhar-Muslim. Tidak masalah sejajarnya najis terhadap
badannya, namun hukumnya makruh seperti menghadap najis atau benda yang terkena
najis. Melurusi terhadap atap yang najis hukumnya juga makruh jika atap
tersebut dekat dengannya, sekira orang tersebut dianggap melurusinya secara
umumnya.
(ولا يجب اجتناب النجس) في غير الصلاة، ومحله في غير التضمخ
به في بدن أو ثوب، فهو حرام بلا حاجة، وهو شرعا مستقذر، يمنع صحة الصلاة حيث لا مرخص،
فهو (كروث وبول ولو) كانا من طائر وسمك وجراد وما لا نفس له سائلة، أو (من مأكول) لحمه
على الاصح. قال الاصطخري والروياني من أئمتنا، كمالك وأحمد: إنهما طاهران من المأكول.
ولو راثت أو قاءت بهيمة حيا، فإن كان صلبا بحيث لو زرع نبت، فمتنجس يغسل ويؤكل، وإلا
فنجس. ولم يبينوا حكم غير الحب. قال شيخنا: والذي يظهر أنه إن تغير عن حاله قبل البلع
ولو يسيرا فنجس، وإلا فمتنجس. وفي المجموع عن شيخ نصر: العفو عن بول بقر الدياسة على
الحب. وعن الجويني: تشديد النكير على البحث عنه وتطهيره. وبحث الفزاري العفو عن بعر
الفأرة إذا وقع في مائع وعمت البلوى به. وأما ما يوجد على ورق بعض الشجر كالرغوة فنجس،
لانه يخرج من باطن بعض الديدان، كما شوهد ذلك وليس العنبر روثا، خلافا لمن زعمه، بل
هو نبات في البحر. (ومذي) بمعجمة، للامر بغسل الذكر منه، وهو ماء أبيض أو أصفر رقيق،
يخرج غالبا عند ثوران الشهوة بغير شهوة قوية. (وودي) بمهملة، وهو ماء أبيض كدر ثخين،
يخرج غالبا عقب البول أو عند حمل شئ ثقيل.
(ودم) حتى ما بقي على نحو
عظم، لكنه معفو عنه. واستثنوا منه الكبد والطحال والمسك، أي ولو من ميت، إن انعقد.
والعلقة والمضغة، ولبنا خرج بلون دم، ودم بيضة لم تفسد. (وقيح) لانه دم مستحيل، وصديد:
وهو ماء رقيق يخالطه دم، وكذا ماء جرح. وجدري ونفط إن تغير، وإلا فماؤها طاهر (وقئ
معدة) وإن لم يتغير، وهو الراجع بعد الوصول للمعدة ولو ماء، أما الراجع قبل الوصول
إليها يقينا أو احتمالا فلا يكون نجسا ولا متنجسا، خلافا للقفال. وأفتى شيخنا أن الصبي
إذا ابتلي بتتابع القئ عفي عن ثدي أمه الداخل في فيه، لا عن مقبله أو مماسه، وكمرة
ولبن غير مأكول إلا الآدمي، وجرة نحو بعير. أما المني فطاهر، خلافا لمالك. وكذا بلغم
غير معدة من رأس أو صدر وماء سائل من فم نائم، ولو نتنا أو أصفر، ما لم يتحقق أنه من
معدة، إلا ممن ابتلي به فيعفى عنه وإن كثر. ورطوبة فرج، أي قبل على الاصح. وهي ماء
أبيض متردد بين المذي والعرق، يخرج من باطن الفرج الذي لا يجب غسله، بخلاف ما يخرج
مما يجب غسله فإنه طاهر قطعا، وما يخرج من وراء باطن الفرج فإنه نجس قطعا، ككل خارج
من الباطن، وكالماء الخارج مع الولد أو قبله، ولا فرق بين انفصالها وعدمه على المعتمد.
قال بعضهم: الفرق بين الرطوبة الطاهرة والنجسة الاتصال والانفصال. فلو انفصلت، ففي
الكفاية عن الامام أنها نجسة، ولا يجب غسل ذكر المجامع والبيض والولد. وأفتى شيخنا
بالعفو عن رطوبة الباسور لمبتلى بها، وكذا بيض غير مأكول، ويحل أكله على الاصح. وشعر
مأكول وريشه إذا أبين في حياته. ولو شك في شعر أو نحوه، أهو من مأكول أو غيره ؟ أو
هل انفصل من حي أو ميت ؟ فهو طاهر، وقياسه أن العظم كذلك. وبه صرح في الجواهر. وبيض
الميتة إن تصلب طاهر وإلا فنجس. وسؤر كل حيوان طاهر طاهر، فلو تنجس فمه ثم ولغ في ماء
قليل أو مائع، فإن كان بعد غيبة يمكن فيها طهارته بولوغه في ماء كثير أو جار لم ينجسه
ولو هرا وإلا نجسه. قال شيخنا - كالسيوطي، تبعا لبعض المتأخرين - إنه يعفى عن يسير
عرفا، من شعر نجس من غير مغلظ، ومن دخان نجاسة، وما على رجل ذباب، وإن رؤي، وما على
منفذ غير آدمي مما خرج منه، وذرق طير وما على فمه، وروث ما نشؤه من الماء أو بين أوراق
شجر النارجيل التي تستر بها البيوت عن المفطر حيث يعسر صون الماء عنه. قال جمع: وكذا
ما تلقيه الفئران من الروث في حياض الا خلية إذا عم الابتلاء به، ويؤيده بحث الفزاري،
وشرط ذلك كله إذا كان في الماء أن لا يغير. انتهى. والزباد طاهر، ويعفى عن قليل شعره
كالثلاث. كذا أطلقوه ولم يبينوا أن المراد القليل في المأخوذ للاستعمال أو في الاناء
المأخوذ منه. قال شيخنا: والذي يتجه الاول إن كان جامدا، لان العبرة فيه بمحل النجاسة
فقط، فإن كثرت في محل واحد لم يعف عنه، وإلا عفي، بخلاف المائع فإن جميعه كالشئ الواحد.
فإن قل الشعر فيه عفي عنه وإلا فلا، ولا نظر للمأخوذ حينئذ. ونقل المحب الطبري عن ابن
الصباغ واعتمده، أنه يعفى عن جرة البعير ونحوه فلا ينجس ما شرب منه، وألحق به فم ما
يجتر من ولد البقرة والضأن إذا التقم أخلاف أمه. وقال ابن الصلاح: يعفى عما اتصل به
شئ من أفواه الصبيان مع تحقق نجاستها، وألحق غيره بهم أفواه المجانين. وجزم به الزركشي.
(وكميتة) ولو نحو ذباب مما
لا نفس له سائلة، خلافا للقفال ومن تبعه في قوله بطهارته لعدم الدم المتعفن، كمالك
وأبي حنيفة. فالميتة نجسة وإن لم يسل دمها، وكذا شعرها وعظمها وقرنها، خلافا لابي حنيفة،
إذا لم يكن عليها دسم. وأفتى الحافظ ابن حجر العسقلاني بصحة الصلاة إذا حمل المصلي
ميتة ذباب إن كان في محل يشق الاحتراز عنه. (غير بشر وسمك وجراد) لحل تناول الاخيرين.
وأما الآدمي فلقوله تعالى: (ولقد كرمنا بني آدم) * وقضية التكريم أن لا يحكم بنجاستهم
بالموت. وغير صيد لم تدرك ذكاته، وجنين مذكاة مات بذكاتها. ويحل أكل دود مأكول معه،
ولا يجب غسل نحو الفم منه. ونقل في الجواهر عن الاصحاب: لا يجوز أكل سمك ملح ولم ينزع
ما في جوفه، أي من المستقذرات. وظاهره: لا فرق بين كبيره وصغيره. لكن ذكر الشيخان جواز
أكل الصغير مع ما في جوفه لعسر تنقية ما فيه. (وكمسكر) أي صالح للاسكار، فدخلت القطرة
من المسكر. (مائع) كخمر، وهي المتخذة من العنب، ونبيذ، وهو المتخذ من غيره. وخرج بالمائع
نحو البنج والحشيش. وتطهر خمر تخللت بنفسها من غير مصاحبة عين أجنبية لها وإن لم تؤثر
في التخليل كحصاة. ويتبعها في الطهارة الدن، وإن تشرب منها أو غلت فيه وارتفعت بسبب
الغليان ثم نزلت، أما إذا ارتفعت بلا غليان بل بفعل فاعل فلا تطهر، وإن غمر المرتفع
قبل جفافه أو بعده بخمر أخرى - على الاوجه. كما جزم به شيخنا. والذي اعتمده شيخنا المحقق
عبد الرحمن بن زياد أنها تطهر إن غمر المرتفع قبل الجفاف لا بعده. ثم قال: لو صب خمر
في إناء ثم أخرجت منه، وصب فيه خمر أخرى بعد جفاف الاناء وقبل غسله لم تطهر، وإن تخللت
بعد نقلها منه في إناء آخر. انتهى. والدليل على كون الخمر خلا. الحموضة في طعمها، وإن
لم توجد نهاية الحموضة، وإن قذفت بالزبد. ويطهر جلد نجس بالموت باندباغ نقاه بحيث لا
يعود إليه نتن ولا فساد لو نقع في الماء. (وككلب وخنزير) وفرع كل منهما مع الآخر أو
مع غيره، ودود ميتتهما طاهر، وكذا نسج عنكبوت على المشهور. كما قاله السبكي والاذرعي،
وجزم صاحب العدة والحاوي بنجاسته. وما يخرج من جلد نحو حية في حياتها كالعرق، على ما
أفتى به بعضهم. لكن قال شيخنا: فيه نظر، بل الاقرب أنه نجس لانه جزء متجسد منفصل من
حي، فهو كميتته. وقال أيضا: لو نزا كلب أو خنزير على آدمية فولدت آدميا كان الولد نجسا،
ومع ذلك هو مكلف بالصلاة وغيرها. وظاهر أنه يعفى عما يضطر إلى ملامسته، وأنه تجوز إمامته
إذ لا إعادة عليه، ودخوله المسجد حيث لا رطوبة للجماعة ونحوها. ويطهر متنجس بعينية
بغسل مزيل لصفاتها، من طعم ولون وريح. ولا يضر بقاء لون أو ريح عسر زواله ، ولو من
مغلظ، فإن بقيا معا لم يطهر. ومتنجس بحكمية كبول جف لم يدرك له صفة بجري الماء عليه
مرة، وإن كان حبا أو لحما طبخ بنجس، أو ثوبا صبغ بنجس، فيطهر باطنها بصب الماء على
ظاهرها، كسيف سقي وهو محمى بنجس. ويشترط في طهر المحل ورود الماء القليل على المحل
المتنجس، فإن ورد متنجس على ماء قليل لا كثير تنجس، وإن لم يتغير فلا يطهر غيره. وفارق
الوارد غيره بقوته لكونه عاملا، فلو تنجس فمه كفى أخذ الماء بيده إليه وإن لم يعلها
عليه - كما قال شيخنا - ويجب غسل كل ما في حد الظاهر منه ولو بالادارة، كصب ماء في
إناء متنجس وإدارته بجوانبه. ولا يجوز له ابتلاع شئ قبل تطهير فمه، حتى بالغرغرة.
Najis menurut syara’: Segala kotoran yang menghalangi kesahan sholat yang
dikerjakan dalam keadaan tiada keringanan.
Seperti: 1-2 Tinja (tahi, facces),
Air kemih (urine), sekalipun keluar dari burung, ikan, belalang dan binatang
yang berdarah tidak mengalir, ataupun dari binatang yang dagingnya halal
dimakan, menurut pendapat yang Ashah.
Al-Ashthakhri dan Ar-Rauyani, dari
kalangan ulama Syafi’iyah, sebagaimana pendapat Imam Malik dan Ahmad, berkata:
Tinja dan air kemih dari binatang yang halal dimakan hukumnya adalah suci.
Andaikata ada binatang berak atau memuntahkan biji-bijian, maka jika biji
tersebut keras, dalam arti kalau ditanam masih bisa tumbuh, adalah dihukumi
seperti barang yang terkena najis: kalau tidak keras, dihukumi najis.
Dalam pada itu, para fukaha tidak
menjelaskan hukum selain bijian.
Guru kami menjelaskan: Yang jelas,
jika pada selain bijian itu terdapat perubahan dengan keadaan sebelum ditelan, meskipun
sedikit, maka hukumnya adalah najis: kalau tidak, hukumnya adalah barang yang
terkena najis.
Di dalam kitab Al-Majmu’ dari
penjelasan Imam Asy-Syekh Nashr dikatakan, bahwa air kemih sapi penggiling yang
mengenai bijian yang digiling, adalah diampuni adanya (sebab darurat).
Dari penjelasan Imam Al-Juwaini,
tampaklah akan begitu pengingkarannya untuk membahas . dan menyuakan barang
tersebut.
Menurut pembahasan Imam Al: Fazari,
bahwa tinja tikus jika masuk ke benda cair dan hal itu sudah menjadi bencana
yang umum, adalah diampuni adanya.
Mengenai apa yang kita lihat pada
lembaran-lembaran daun, seperti buih, adalah najis. Sebab perkara tersebut
keluar dari perut ulat, sebagaimana yang telah kita saksikan sendiri.
Anbar bukanlah termasuk tinja
–berbeda dengan pendapat yang mengategorikannya–, tapi ia adalah tumbuhan yang
tumbuh di laut.Madzi: dengan dititik dalnya — dengan alasan adanya perintah
membasuh zakar darinya.
Ia adalah barang cair yang berwarna
putih atau kuning, yang biasanya keluar sewaktu nafsu seks bergejolak tidak
begitu kuat.Wadi, tertulis dengan dal tidak bertitik. Yaitu: Air putih, kotor
dan kental yang biasa keluar setelah buang air kencing, atau ketika membawa
sesuatu yang berat.Darah, sekalipun hanya percikan yang masih tertinggal pada
semacam tulang. Hanya saja darah yang semacam itu hukumnya maju.
Para fukaha mengecualikan: hati,
limpa, misik –sekalipun yang terjadi dari kijang mati-segumpal darah bibit
bayi, segumpal daging bibit bayi, air susu yang keluar berwarna darah dan darah
telur yang masih segar, belum busuk.Nanah, karena ia merupakan darah yang telah
mengalami perubahan. Jug# nanah darah, yaitu cairan tidak kental yang bercampur
darah.Air luka, air bisul, air koreng, jika telah berubah, kalau tidak .
berubah, maka air tersebut suci seperti semula.Muntahan dari perut, sekalipun
tidak berubah dari keadaan aslinya.
Muntahan adalah makanan yang keluar
kembali setelah sampai ke dalam perut, sekalipun berupa air.
Mengenai makanan yang keluar lagi
sebelum sampai dalam perut, –baik diyakinkan atau dimungkinkan–, maka bukan
termasuk najis bukan juga benda terkena najis, lain halnya dengan pendapat Imam
Al-Qaffal.
Guru kami berfatwa: Sesungguhnya
bayi yang sakit sering muntah, muntahnya yang mengena puting susu ibu yang
masuk dalam mulutnya adalah dima’fu: lain halnya dengan muntah yang mengena
pada waktu mencium atau memegang mulutnya.Empedu, air susu binatang yang tidak
halal dimakan, selain manusia dan makanan kunyahan kedua kalinya dari semisal
unta (binatang pemamah biak).
Mengenai air sperma, hukumnya adalah
suci, lain halnya dengan pendapat Imam Malik r.a.
Termasuk suci lagi, liur dahak
selain yang keluar dari perut, seperti dari kepala atau dada, dan lendir dari
mulut orang tidur, sekalipun berbau busuk juga menguning, selagi tidak jelas
keluar dari perut: selain lendir orang yang berpenyakit selalu mengeluarkan
lendir perut, maka lendir semacam ini dima’fu, sekalipun jumlahnya banyak.
Air farji (kelenjar bartholini)
termasuk suci, yaitu air putih bersifat tengah-tengah antara madzi dan
keringat, keluar dari bagian dalam farji yang tidak wajib dibasuh, Air ini
menurut pendapat yang Ashah hukumnya adalah suci secara pasti tanpa ada
perselisihan). Berbeda dengan yang keluar dari dalam farji yang wajib dibasuh.
Air yang keluar dari dalam bilik farji, secara pasti air ini hukumnya najis,
hukumnya seperti segala sesuatu yang keluar dari dalam farji, (kecuali telor.
dan bayi), dan seperti air yang keluar bersamaan atau menjelang bayi lahir.
Menurut pendapat yang Muktamad: Air yang ada dalam farji tersebut, semua adalah
tidak ada perbedaan antara sudah terpisah atau belum dari farji:
Sebagian ulama berkata: Perbedaan
antara air farji yang suci dan najis, adalah terletak pada terpisah atau
tidaknya. Dalam kitab Al-Kifayah dari pendapat Imam Al-Haramain, bahwa air yang
terpisah hukumnya najis.
Tidak wajib membasuh zakar setelah
bersetubuh, telor dan anak yang baru lahir.
Guru kami berfatwa, bahwa basaban
bawasir (cairan tran, sudasi plasma) itu diampuni bagi orang yang terkena
penyakit tersebut.
Termasuk suci lagi: Telor binatang
yang tidak halal dimakan dagingnya, -telor binatang ini menurut pendapat Ashah
adalah halal dimakan-, rambut dan bulu binatang yang halal dimakan, jika telah
dicabut waktu hidupnya. Jika diragukan, apakah rambut (bulu) tersebut dari
binatang yang halal dimakan atau haram: atau apakah terpisah dari binatang yang
masih hidup atau bangkai, maka hukum rambut (bulu) tersebut adalah suci.
Dalam hal ini, tulang dapat
dikiaskan hukumnya dengan bulu. Seperti itulah yang dijelaskan dalam kitab
Al-Jawahir.
Telor bangkai itu jika sudah
mengeras, hukumnya adalah suci, kalau masih lunak, hukumnya adalah najis.
Air sisa minuman dari binatang yang
suci, adalah suci juga. Andaikata moncongnya terkena najis, lalu menjilat air
yang sedikit atau benda cair lainnya, maka hukumnya: Jika waktu minum itu
setelah pergi jauh dalam tempo yang memungkinkan untuk menyucikan moncongnya,
kembali dengan mencelupkan ke air yang banyak atau air mengalir, maka air yang
sedikit tersebut adalah tetap suci, sekalipun binatang itu adalah kucing, kalau
tidak habis pergi seperti tersebut di atas, maka hukum air sedikit itu adalah
najis.
Guru kami (Ibnu Hajar AlHaitami,
sebagaimana Imam As-Suyuti berkata –dengan mengikuti Ulama Mutaakhirin–:
Sesungguhnya najis yang sedikit menurut penilaian umuin adalah dima’fu, yaitu
rambut najis, selain najis mughallazhah, asap benda najis, najis yang terdapat
di kaki lalat meskipun terlihat oleh mata, kotoran yang tertinggal pada pintu
pelepasannya (anus), kotoran burung, najis yang ada pada moncongnya, kotoran
binatang yang tumbuh dalam air (misalnya lintah) atau kotoran binatang kecil
yang hidup di selasela daun nyiur yang dianyam untuk menahan air hujan di atap
rumah, sekira sulit menyelamatkan air dari kotoran tersebut.
Segolongan ulama berpendapat:
Termasuk najis yang diampuni adanya, yaitu najis yang terbawa oleh tikus dari
kamar-kamar WC, jika najis itu meratai, Pendapat ini dikuatkan oleh pembahasan
Imam Al-Fazari.
Syarat najis-najis tersebut
diampuni, jika najis tersebut tidak sampai mengubah air. -selesai-.
Binatang musang kasturi adalah suci.
Sedang najis yang ada di beberapa helai bulunya, umpama tiga helai, diampuni
adanya. Para ulama tidak menjelaskan: Apakah yang dimaksudkan dengan rambut
yang sedikit itu yang diambil dari musang ataukah yang tertinggal di dalam
wadah tempat musang tersebut diambil minyaknya.
Dalam hal. ini, Guru kami
menerangkan: Pendapat yang jelas alasannya adalah yang awal (rambut yang
diambil dari musang), jika bahan minyak kasturi tersebut sudah padat. Sebab
yang ditinjau dalam kepadatan adalah pada tempat najis saja (dasarnya: Hadis
yang berkaitan dengan masalah tikus yang jatuh ke dalam bubur saman pen).
Jika najisnya banyak dan berada pada
satu tempat, maka tidak diampuni adanya di tempat tersebut (benda padat): kalau
najisnya sedikit, diampuni. Lain halnya dengan benda cair, sebab jumlah
keseluruhannya seperti barang tunggal.
Jika rambut yang berada dalam benda
cair itu sedikit, maka diampuni adanya: kalau tidak demikian, tidak diampuni. Dan
tidak ada sangkut pautnya lagi dengan rambut musang yang diambil dalam keadaan
minyak kasturi berupa cair.
Imam Al-Muhib Ath-Thabari menukil
sebagai pegangannya, dari Ibnu Shabagh, bahwa makanan yang dikeluarkan untuk
dikunyah kedua kali oleh unta dan binatang lainnya (pemamah biak), adalah tidak
menajiskan air yang diminumnya.
Ia juga menyamakan hukum. mulut
binatang pemamah biak, seperti anak lembu dan biri-biri, waktu menyesap puting
induknya, dengan masalah di atas.
Ibnu Shalah berkata: Sesuatu yang
terkena sedikit kotoran dari mulut sang bayi, yang jelas – jelas najis adalah
diampuni adanya. Selain Ibnu Shalah menyamakan hukum mulut orang-orang gila
dengah mulut anak kecil di atas. Seperti ini, Imam Az-Zarkasyi telah memegang
kuat.(Termasuk benda najis lagi): Bangkai, meskipun sejenis bangkai lalat,
yaitu binatangbinatang yang berdarah tidak mengalir. Pendapat ini bertentangan
dengan Imam AlOaffal dan ulama yang mengikutinya, tentang kesucian binatang
sejenis lalat dengan alasan tidak ada darah busuk padanya, hal ini seiring
dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Malik r.a.
Oleh karena itu, bangkai adalah
najis, sekalipun tidak berdarah mengalir (darah dingin). Begitu juga rambut,
tulang dan tanduknya. Pendapat tersebut berbeda dengan Imam Abu Hanifah r.a.
Beliau berpendapat: Rambut bangkai dan seterusnya adalah suci, jika tidak
terdapat lemak padanya (jika ada lemaknya, maka hukumnya najis).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani
(ulama yang terkenal ahli hadis) mengeluarkan fatwa, bahwa sholat orang yang membawa
bangkai lalat adalah sah, jika ia berada di tempat yang sulit untuk
menghilangkannya.
Selain bangkai manusia, ikan dan
belalang. Dengan alasan, ikan dan belalang adalah halal dimakan. Mengenai
bangkai manusia, berdasarkan firman Allah swt.: “Dan sungguh telah Kami
muliakan manusia”, Dan di antar2 bentuk memuliakannya, adalah menghukumi akan
ke- udaknajisannya sebab mati.
Dan selain binatang hasil buruan.
yang mati sebelum disembelih (misalnya mati sebab binatang pemburu atau alat
tajam). Begitu juga janin binatang yang mati : sebab induknya disembelih.
Hukumnya adalah halal, ulat yang
ikut termakan bersama perkara yang menyertainya (misalnya buah-buahan), juga
tidak wajib mencuci mulut setelah memakannya.
Dinukil dari beberapa Ashhabus
Syafi’iyah dalam kitab Al-Jawahsy, bahwa hukumnya tidak halah memakan ikan asin
sebelum dibersihkan kotoran-kotoran yang berada dalam perutnya.
Menurut lahir penJapat tersebut,
“adalah tidak ada perbedaan antara ikan besar dan kecil.
Akan tetapi, Guru kami (Ibnu Hajar
Al-Haitami) mengemuka“kan kebolehan memakan ikin asin kecil bersama kotoran
yang berada di dalam perutnya, karena sulit membersihkannya.Barang yang
memabukkan, Artinya, segala yang dapat memabukkan, termasuk di sini setetes
barang yang bisa memabukkan.
Yang cair, misalnya arak, yaitu
minuman yang terbuat dari anggurdan .nabidz,. yaitu minuman yang memabukkan.
yang terbuat dari selain anggur.
Kata-kata “cair”, terkecualikan
sejenis pohon ganja dan rumput.
Khamar dapat menjadi suci setelah
berubah menjadi cuka dengan sendirinya, tanpa dicampuri benda lain –sekalipun
tidak mempengaruhi dalam perubahannya menjadi cuka, misalnya krikil-wadahnya
menjadi suci juga, sekalipun arak mendidih dan membuih, lalu sebab pendidihan
surut ke bawah lagi.
Jika pembuihan khamar tersebut bukan
karena pendidihan, tetapi sebab dikocok umpama, maka khamar tersebut tidak
dihukumi suci. Sekalipun dituangkan arak lain di atas wadah sebelum atau
sesudah kering, atas dasar beberapa peninjauan, seperti yang dipegang teguh
oleh Guru kami.
Menurut apa yang dipegang oleh Guru
kami, Al-Muhaggig Abdur Rahman bin Ziyad: Arak menjadi suci jika penuangan arak
lain sebelum kering arak bagian atas, bukan yang kering setelahnya.
Kemudian beliau berkata: Jika arak
dituangkan dalam wadah dan diambil kembali, Talu setelah kering wadah itu
dituangi arak lain dan wadah belum dicuci, maka arak ini tidak bisa suci,
sekalipun arak itu baru berubah setelah dipindahkan ke tempat lain. -Selesai-.
Tanda-tanda yang menunjukkan kalau
khamar itu menjadi cuka, adalah rasanya masam, meskipun belum benar-benar masam
dan masih membuih.
Kulit bangkai yang najis bisa
menjadi suci: Dengan cara disamak sampai bersih: sekiranya tidak akan busuk dan
hancur setelah itu, jika direndam dalam air.Termasuk najis: Anjing, babi, dan
keturunan masing-masing dalam tunggal jenis atau berkawin dengan binatang
(suci) lainnya.
Ulat bangkai anjing dan babi adalah
suci. Begitu juga benang laba-laba: menurut pendapat yang masyhur, seperti yang
dikemukakan oleh Imam As: Subki dan Imam Al-Adzra’i.
Pengarang kitab AlUddah dan AlHawi
memantapkan atas najis benang laba-laba dan perkara yang keluar dari kulit,
semacam ular hidup, sebagaimana hukum keringatnya. Hal ini telah difatwakan
oleh sebagian ulama.
Akan tetapi Guru kami berpendapat:
Dalam masalah tersebut, ada tinjauan khusus. Yang lebih mendekati kebenaran,
bahwa perkara yang keluar dari semacam ular hidup adalah najis, sebab merupakan
bagian yang terbentuk sendiri, yang terpisah dari binatang hidup, maka hukumnya
sebagaimana bangkai.
Guru kami berpendapat lagi: Jika
seekor anjing atau babi menyetubuhi wanita, lalu melahirkan bayi manusia, maka
bayi itu hukumnya adalah najis. Di samping itu, ia termasuk mukalaf yang wajib sholat
dan lain-lainnya. Yang jelas, persentuhan (orang lain) dengan anak tersebut
dalam keadaan terpaksa, adalah diampuni.
Sesungguhnya dia sah menjadi imam sholat
–sebab dia tidak wajib mengulangi sholatnya-boleh masuk mesjid untuk berjamaah
dan lain-lainnya, sekira badannya kering.
Mencuci barang yang terkena najis
Ainiyah, adalah dengan membasuhnya sampai hilang sifat-sifat najis, baik rasa,
bau dan: warngnya. : :
Warna bekas najis atau baunya yang
sulit dihilangkan –sekalipun dari najis mughallazhah–, adalah tidak menjadi
masalah.
Jika masih terdapat warna dan
baunya, maka benda tersebut belum suci.
Barang yang terkena najis hukmiyah
–seperti air kencing yang telah kering dan hilang semua sifat-sifatnya–, cukup
disucikan dengan merigalirkan air satu kali. Jika barang tersebut berupa
biji-bijian atau daging yang dimasak dengan barang najis, atau pakaian yang
diwarna dengan benda najis, maka dalamnya bisa menjadi suci dengan menyiram
luarnya, seperti halnya pedang yang ditempa dengan benda najis, maka cukup
disiram bagian luarnya, sucilah seluruhnya.
Disyaratkan agar suci tempat yang
terkena najis, hendaklah air yang sedikit sampai pada tempat najis.
Jika barang yang terkena najis
sampai (dicelupkan) pada air sedikit, bukan banyak, maka air sedikit tersebut
hukumnya menjadi najis, sekalipun air tidak mengalami perubahan. Karena itu,
air tersebut tidak bisa menyucikan barang lain.
Air yang mendatangi (mengairi) pada
tempat yang terkena najis, tidak gama dengan lainnya (batang terkena najis,
yang mendatangi/memasuki air), sebab air yang ada pada bentuk pertama dengan
kekuatannya bisa menolak najis (pada diri dan lainnya).
Jika mulut seseorang terkena najis,
maka cukuplah mengambil air dengan tangan lalu membasuhnya, sekalipun udak
mencucurkan air dari atas mulutnya, sebagaimana pendapat Guru kami.
Di samping itu, dha wajib mencua
bagian luar mulut, meskipun sekadar memutarkan air dengan tangannya.
Sebagaimana menuangkan air dalam
wadah yang terkena najis, lalu memutar-mutarkannya ke samping kun-kanan (hal wu
sudah mencukupi atas kesuaan wadah tersebut –pen).
Bagi orang seperu di mas, udak boleh
menelan sesuatu sebelum mulutnya sua kembali, meskupun sekadar membolak-balik
dalam kerongkongan.
(فرع) لو أصاب الارض نحو بول وجف، فصب على موضعه ماء فغمره،
طهر، ولو لم ينضب - أي يغور - سواء كانت الارض صلبة أم رخوة. وإذا كانت الارض لم تتشرب
ما تنجست به فلا بد من إزالة العين قبل صب الماء القليل عليها، كما لو كانت في إناء.
ولو كانت النجاسة جامدة فتفتتت واختلطت بالتراب لم يطهر، كالمختلط بنحو صديد، بإفاضة
الماء عليه. بل لا بد من إزالة جميع التراب المختلط بها. وأفتى بعضهم في مصحف تنجس
بغير معفو عنه بوجوب غسله وإن أدى إلى تلفه، وإن كان ليتيم. قال شيخنا: ويتعين فرضه
فيما إذا مست النجاسة شيئا من القرآن، بخلاف ما إذا كانت في نحو الجلد أو الحواشي.
Cabang:
Jika sejengkal tanah terkena semacam
air kencing dan telah kering, lalu pada tempat itu dituangkan air sampai
merata, maka tanah tersebut sudah menjadi sua, sekalipun air tidak masuk dalam
pori-pori tanah, baik tanah itu keras ataupun gembur.
Jika tanahnya tidak dapat meresap
najis yang mengenainya, maka sebelum menuangkan air yang sedikit, harus
dihilangkan benda najisnya, sebagaimana jika najis itu berada di suatu tempat.
Jika najis itu keras dan telah
hancur, lalu bercampur dengan debu, maka tempat yang terkena najis tidak bisa
menjadi suci sebab dengan menuangkan air “sebagaimana debu yang tercampur
sejenis nanah berdarah–, tetapi semua tanah (debu) yang tercampuri najis itu
harus dihilangkan.
Sebagian fukaha memfatwakan
kewajiban membasuh Mushaf yang terkena najis yang tidak ma’fu, sekalipun
menyebabkan rusak, atau milik anak yatim.
Guru kami berkata: Bahkan membasuh
Alqur-an yang terkena najis dihukumi fardu ain. Lain halnya jika najisnya hanya
mengenai pada sejenis sampul atau tepian Mushaf.
(فرع) غسالة المتنجس - ولو معفوا عنه كدم قليل - إن انفصلت
وقد زالت العين وصفاتها، ولم تتغير ولم يزد وزنها - بعد اعتبار ما يأخذه الثوب من الماء
والماء من الوسخ - وقد طهر المحل: طاهرة. قال شيخنا: ويظهر الاكتفاء فيهما بالظن.
Cabang :
Air bekas basuhan barang yang
terkena najis –sekalipun najis ma’fu, seperti setitik darah adalah suci
hukumnya. Jika air telah pisah (dari tempat yang dicuci), sedangkan materi dan
sifat-sifat najis telah hilang, air tidak berubah, timbangannya tidak bertambah
setelah diperhitungkan air yang meresap pada baju (yang dicuci) dan air
tambahan dari kotoran, serta tempat yang terkena najis (baju) yang suci
kembali.
Guru kami berkata: Yang jelas, untuk
perhitungan banyaknya air yang terserap dan yang tambahan dari kotoran, adalah
cukup dengan persangkaan saja.
(فرع) إذا وقع في طعام جامد كسمن فأرة مثلا فماتت، ألقيت
وما حولها مما ماسها فقط، والباقي طاهر. والجامد هو الذي إذا غرف منه لا يتراد على
قرب.
Cabang:
Umpama ada seekor tikus jatuh di
tengah-tengah makanan yang padat, misalnya bubur samin, lalu mati, maka
cukuplah diambil serta membuang bagian sekelilingnya yang terkena. Sedangkan
sisanya tetap suci.
Batas makanan disebut padat adalah
bila diambil sebagian, maka bagian kiri-kanannya tidak meleleh ke bagian yang
terambil tadi.
فرع) إذا تنجس ماء البئر القليل بملاقاة نجس لم
يطهر بالنزح، بل ينبغي أن لا ينزح ليكثر الماء بنبع أو صب ماء فيه، أو الكثير بتغير
به لم يطهر إلا بزواله. فإن بقيت فيه نجاسة كشعر فأرة ولم يتغير فطهور تعذر استعماله
إذ لا يخلو منه دلو فلينزح كله. فإن اغترف قبل النزح ولم يتيقن فيما اغترفه شعرا لم
يضر وإن ظنه، عملا بتقديم الاصل على الظاهر. ولا يطهر متنجس بنحو كلب إلا بسبع غسلات
بعد زوال العين ولو بمرات، فمزيلها مرة واحدة، إحداهن بتراب تيمم ممزوج بالماء، بأن
يكدر الماء حتى يظهر أثره فيه ويصل بواسطته إلى جميع أجزاء المحل المتنجس. ويكفي في
الراكد تحريكه سبعا. قال شيخنا: يظهر أن الذهاب مرة والعود أ خرى. وفي الجاري مرور
سبع جريات، ولا تتريب في أرض ترابية.
Cabang:
Jika air perigi yang sedikit terkena
najis, maka tidak bisa suci dengan cara dikuras. Tapi harus dibiarkan lebih
dahulu, agar air bertambah banyak dari sumbernya, atau dengan menambah air yang
lain:
Kalau air perigi itu banyak, tetapi
telah berubah lantaran najis tersebut, maka air itu tidak bisa menjadi suci
sebelum perubahan itu hilang.
Jika dalam air perigi yang banyak
ini masih tertinggal najis, misalnya bulu tikus, sedangkan 2ir udak berubah, maka
air tersebut dihukumi suci, dan menyucikan namun tidak bisa digunakan (dengan
diambil menggunakan timba atau lainnya -pen).
(Air tersebut tidak bisa
dipergunakan) sebab timba penciduknya senantiasa terkena ramLut najis itu.
Hendaknya air yang berada dalam
perigi dikuras dulu semuanya.
Jika seseorang menciduk sebelum air
dikuras, serta ia tidak meyakini ada rambut tikus yang ikut, maka tidaklah
mengapa (air tetap suci), bahkan meskipun ia mempunyai persangkaan rambut
(bulu) ikut terciduk: terikutnya rambut, dasarnya adalah meletakkan prinsip
mendahulukan asal dari pada hukum lahir.
Barang yang terkena najis semacam
anjing (najis mughallazhah) bisa suci kembali dengan mencucinya tujuh kali
basuhan, setelah materi najisnya hilang, sekalipun baru hilang setelah beberapa
basuhan, dalam hal ini banya dihitung sekali. Salah satu di antara basuhan
tersebut dicampur dengan debu yang sah digunakan tayamun, yang dicampur dengan
air, sekira menjadi keruh dan ada bekasnya di air itu, serta ketujuh basuhan
tersebut meratai tempat yang terkena najis.
Jika barang yang terkena najis
dimasukkan dalam air yang tidak mengalir, maka cukuplah dengan menggerakkan
sebanyak tujuh kali.
Guru kami berkata: Dalam hal ini
telah jelas, bahwa gerakan ke sana dihitung sekali, dan kembali lagi dihitung
satu kali lagi.
Jika dimasukkan dalam air yang
mengalir, cukuplah dengan lewatnya tujuh kali aliran air. Jika di tanah yang
berdebu, maka air tidak usah dicampur dengan debu lagi (maksudnya tanah yang
terkena najis ini, lalu disucikanpen).
فرع) لو مس كلبا داخل ماء
كثير لم تنجس يده، ولو رفع كلب رأسه من ماء وفمه مترطب، ولم يعلم مماسته له، لم ينجس.
قال مالك وداود: الكلب طاهر ولا ينجس الماء القليل بولوغه، وإنما يجب غسل الاناء بولوغه
تعبدا. (ويعفى عن دم نحو برغوث) مما لا نفس له سائلة كبعوض وقمل، لا عن جلده. (و) دم
نحو (دمل) كبثرة وجرح، وعن قيحه وصديده، (وإن كثر) الدم فيهما وانتشر بعرق، أو فحش
الاول بحيث طبق الثوب - على النقول المعتمدة - (بغير فعله) فإن كثر بفعله قصدا، كأن
قتل نحو برغوث في ثوبه، أو عصر نحو دمل أوحمل ثوبا فيه دم براغيث مثلا، وصلى فيه أو
فرشه وصلى عليه، أو زاد على ملبوسه لا لغرض كتجمل، فلا يعفى إلا عن القليل على الاصح
- كما في التحقيق والمجموع - وإن اقتضى كلام الروضة العفو عن كثير دم نحو الدمل وإن
عصر. واعتمده ابن النقيب والاذرعي. ومحل العفو - هنا وفيما يأتي - بالنسبة للصلاة لا
لنحو ماء قليل، فينجس به وإن قل، ولا أثر لملاقاة البدن له رطبا، ولا يكلف تنشيف البدن
لعسره.
(و) عن (قليل) نحو دم (غيره)
- أي أجنبي - غير مغلظ، بخلاف كثيره. ومنه كما قال الاذرعي: دم انفصل من بدنه ثم أصابه.
(و) عن قليل (نحو دم حيض ورعاف) كما في المجموع. ويقاس بهما دم سائر المنافذ، إلا الخارج
من معدن النجاسة كمحل الغائط. والمرجع في القلة والكثرة العرف، وما شك في كثرته له
حكم القليل. ولو تفرق النجس في محال - ولو جمع كثر - كان له حكم القليل عند الامام،
والكثير عند المتولي والغزالي وغيرهما، ورجحه بعضهم. ويعفى عن دم نحو فصد وحجم بمحلهما
وإن كثر. وتصح صلاة من أدمى لثته قبل غسل الفم، إذا لم يبتلع ريقه فيها، لان دم اللثة
معفو عنه بالنسبة إلى الريق. ولو رعف قبل الصلاة ودام فإن رجا انقطاعه والوقت متسع
انتظره، وإلا تحفظ - كالسلس - خلافا لمن زعم انتظاره، وإن خرج الوقت. كما تؤخر لغسل
ثوبه المتنجس وإن خرج. ويفرق بقدرة هذا على إزالة النجس من أصله فلزمته، بخلافه في
مسألتنا. وعن قليل طين محل مرور متيقن نجاسته ولو بمغلظ، للمشقة، ما لم تبق عينها متميزة.
ويختلف ذلك بالوقت ومحله من الثوب والبدن. وإذا تعين عين النجاسة في الطريق، ولو مواطئ
كلب، فلا يعفى عنها، (وإن عمت الطريق على الاوجه).
(وأفتى شيخنا) في طريق لا
طين بها بل فيها قذر الادمي وروث الكلاب والبهائم وقد أصابها المطر، بالعفو عند مشقة
الاحتراز.
Cabang:
Jika seseorang menyentuh anjing
dalam air yang banyak, maka tangannya tidak menjadi najis. Jika anjing
mengangkat kepalanya dari wadah yang terisi air (sedikit) dan mulutnya basah,
tetapi tidak diketahui ia telah menyentuhnya, maka air tersebut tidak dihukumi
najis. Imam Malik dan Imam Dawudr.a. berkata: Anjing itu hukumnya sua (begitu
juga menurut Imam Malik, babi itu hukumnya suci -pen). Air sedikit yang
terjilat anjing tidak menjadi najis. Hanya saja wadah yang terjilat anjing
wajib dibasuh, semata-mata karena penekanan ibadah (bukan karena najis).
Najis yang diampuni (ma’fu)
adanya:1. Semacam darah nyamuk, termasuk segala serangga yang berdarah tidak
mengalir (darah dingin), misalnya mrutu dan kutu. Kalau kulitnya tidak termasuk
diampuni.Darah sejenis kudis, misalnya bisul api (udun semat), darah luka-luka,
nanah dan nanah darah (nanah uwuk: Jawa). Sekalipun darah nyamuk dan kudis itu
banyak dan mengalir bersama-sama keringat. Untuk yang pertama (darah nyamuk),
meskipun sampai meratai pakaian –menurut nukilan. nukilan yang dapat
dipegangi–. (Dengan syarat) darah-darah tersebut bukan diusahakan oleh orang
yang bersangkutan.
Jika darah-darah tersebut banyak
karena diusahakan, misalnya sengaja membunuh nyamuk pada pakaiannya, memeras
kudis, memakai pakaian yang berlumuran darah nyamuk misalnya, lalu dipakai sholat,
atau tikar yang dipakai sholat berlumuran darah, atau memakai pakaian tambahan
yang berdarah tanpa tujuan sebagaimana berhias, maka darah semacam ini tidak
diampuni adanya, kecuali jika darah itu hanya sedikit –sebagaimana yang
dikatakan oleh pendapat yang Ashah–
Hal di atas sebagaimana yang
termaktub dalam kitab At-Tahqiq dan Al-Majmu’, Meskipun pembicaraan “kitab”
Ar-Raudhah menetepkan, babnya darah sejenis kudis sekalipun diperas dan
jumlahnya banyak, adalah dumpuni adanya: Di mana Ibnu Nagib dan Al-Adzra’i
berpegangan kitab Ar-Raudhah tersebut. Status ampunan dalam masalah ini dan
yang akan dituturkan nanti, adalah terletak pada penggunaan sholat, bukan pada
semacam air yang sedikit, karena hal ini menjadikan air najis, sekalipun jumlah
najis yang mengenai sedikit.
Tidak mempengaruhi bagi badan yang
dalam keadaan basah terpercik darah sedikit yang diampuni adanya, lagi pula
udak | wajib menyeka badan, sebab hal tersebut sulit dilakukan,Darah sedikit
yang timbul dari orang lain, yang bukan najis mughallazhah. Lain halnya jika
najis berjumlah banyak. Termasuk kategori darah orang lain, misalnya yang
dikatakan oleh Imam Al-Adzra’i, adalah: Darah sendiri yang telah terpisah, lalu
mengenai pada badannya.Darah sedikit jenis haid dan darah hidung, sebagaimana
yang termaktub dalam kitab Al-Majmu’ Dikiaskan dengan keduanya, adalah darah
semua lubang tubuh selain lubang jalan najis, seperti cloaca (lubang anus atau
dubur). Dasar penilaian sedikit dan banyak, adalah kebiasaan yang berlaku.
Sesuatu yang masih disangsikan akan
banyaknya, adalah dihukumi sedikit. Jika ada darah berceceran di berbagai
tempat, seandainya dikumpulkan jumlahnya banyak, menurut Imam Al-Haramain,
darah itu dihukumi sedikit. Sedangkan menurut Imam AlGhazali, Al-Mutawalh dan
lainnya, adalah dihukumi darah banyak. Pendapat yang terakhir ini telah
dikuatkan oleh sebagian fukaha.Darah yang keluar sebab tusuk jarum dan bekam,
sekalipun banyak, selagi masih berada di tempatnya.
Sholat dihukumi sah, bagi orang yang
gusinya berdarah sebelum dicuci, selagi ia belum menelan ludah ketika sholat.
Sebab, darah gusi itu dima’fu adanya, dalam arti bila bercampur dengan air
ludah sendiri. Jika seseorang mulai mengeluarkan darah hidung sebelum sholat
dan terus-menerus keluar darahnya,. maka jika dapat diharapkan pendarahannya
selesai dalam waktu sholat masih luas, hendaknya ia menanti berhentinya, kalau
tidak, hendaknya disumbat sebagaimana orang yang beser kencing, membalut
penisnya. Lain halnya dengan pendapat yang mengatakan, bahwa orang itu wajib
menanti berhenti pendarahan, sekalipun waktunya terlewat, sebagaimana sholat
harus ditunda lantaran mencuci pakaian yang terkena najis, sekalipun waktunya
terlewat.
Masalah hidung yang berdarah dengan
pencucian pakaian, haruslah dibedakan, sebab dalam masalah pencucian pakaian
yang terkena najis, adalah adanya kemampuan menghilangkan najis dari asalnya
(sebelum mengerjakan sholat): Lain halnya dengan masalah pendarahan hidung
(sebab orang yang – berdarah hidungnya tidak mampu menghilangkan darah tersebut
-pen).Sedikit lumpur tempat air berlalu yang telah diyakini najisnya, sekalipun
berupa najis mughallazhah. Sebab, rasanya berat untuk menghindarinya. (Tetapi)
selagi materi najisnya tidak tampak dengan jelas.
Jika suatu najis sudah dipastikan
datang dari jalanan, maka tidak diampuni adanya, sekalipun jalanan anjing,
bahkan meratai jalan. Hal ini berdasarkan berbagai tinjauan pendapat. Guru kami
berfatwa tentang jalan yang tidak berlumpur, tetapi di situ terdapat kotoran
manusia, anjing dan binatang-binatang lain, lalu terkena air hujan, maka najis
tersebut diampuni adanya, di kala sulit menghindarinya.
قاعدة مهمة): وهي أن ما أصله الطهارة وغلب على
الظن تنجسه لغلبة النجاسة في مثله، فيه قولان معروفان بقولي الاصل. والظاهر أو الغالب
أرجحهما أنه طاهر، عملا بالاصل المتيقن، لانه أضبط من الغالب المختلف بالاحوال والازمان،
(وذلك كثياب خمار وحائض وصبيان)، وأواني متدينين بالنجاسة، وورق يغلب نثره على نجس،
ولعاب صبي، وجوخ اشتهر عمله بشحم الخنزير، وجبن شامي اشتهر عمله بإنفحة الخنزير. وقد
جاءه (ص) جبنة من عندهم فأكل منها ولم يسأل عن ذلك. ذكره شيخنا في شرح المنهاج. (و)
يعفى عن (محل استجماره و) عن (ونيم ذباب) وبول (وروث خفاش) في المكان، وكذا الثوب والبدن،
وإن كثرت، لعسر الاحتراز عنها. ويعفى عما جف من ذرق سائر الطيور في المكان إذا عمت
البلوى به. وقضية كلام المجموع العفو عنه في الثوب والبدن أيضا، ولا يعفى عن بعر الفأر
- ولو يابسا - على الاوجه. لكن أفتى شيخنا ابن زياد - كبعض المتأخرين - بالعفو عنه
إذا عمت البلوى به، كعمومها في ذرق الطيور. ولا تصح صلاة من حمل مستجمرا أو حيوانا
بمنفذه نجس، أو مذكى غسل مذبحه دون جوفه، أو ميتا طاهرا كآدمي وسمك يغسل باطنه، أو
بيضة مذرة في باطنها دم. ولا صلاة قابض طرف متصل بنجس وإن لم يتحرك بحركته.
Kaidah Penting:
Yaitu: Sesuatu yang asalnya suci,
lalu diperkirakan menjadi najis dengan alasan, bahwa barang yang semacam itu
pada umumnya najis, dalam masalah seperti ini ada dua pendapat yang terkenal
dengan asal dan lahir atau ghalib.
Yang lebih kuat dari kedua pendapat,
adalah barang tersebut hukumnya suci, dengan dasar “Asal keyakinan yang telah
ada”, di mana hal ini lebih tepercaya daripada “kebiasaan kejadian” yang selalu
berbeda menurut keadaan dan masa.
Hal itu dapat dicontohkan dengan
pakaian pembuat khamar (arak), orang yang haid, anakanak, tempat pemeluk agama
yang ajarannya menggunakan barang najis, dedaunan yang pada ghalibnya jatuh di
tempat najis, air liur bayi, sutera jukh yang terkenal dibuat dari lemak babi,
keju Syam (Siria) yang terkenal terbuat dari perut besar babi.
(Landasan yang menguatkan asal-pen)
Rasulullah saw. pernah disuguhi keju dari penduduk Syam, lalu beliau makan
sebagian, serta tidak bertanya dari apa keju tersebut dibuat.
Demikianlah sebagian besar kaidah
yang dituturkan oleh : Guru kami (Ibnu Hajar Al-Haitami) dalam Syarah
Mimhaj.Bekas tempat Istijmar (bersuci/ istinja dengan batu), noda . kotoran
lalat, air kemih dan kotoran kelelawar, jika mengena pada tempat sholat,
pakaian dan badan, meskipun banyak, sebab hal itu sulit untuk
menjaganya.Kotoran segala burung jika mengena pada suatu tempat, dengan syarat:
Tempat tersebut memang kepadatan kotoran itu dan sudah kering. Bahkan menurut
kesimpulan dari pembicaraan kitab Al-Majmu’ (milik Imam Nawawi), termasuk
diampuni juga, jika kotoran tersebut mengena pada pakaian dan badan. ,
Kotoran tikus sekalipun sudah
kering, adalah tidak diampuni adanya –atas dasar beberapa peninjauan pendapat.
Akan tetapi, Guru kami Ibnu Ziyad
telah mengeluarkan fatwa sebagaimana pendapat sebagian ulama Mutaakhirin, bahwa
kotoran tikus itu diampuni adanya, jika memang sudah Meratai, sebagaimana
kotoran burung yang sudah merata.
Tidaklah sah, sholat seorang yang
menggendong orang beristinja dengan batu, membawa binatang yang pada pintu
pelepasan (cloaca) terdapat najis, binatang disembelih yang telah dibersihkan
tempat penyembelihannya, tetapi kotoran dalam perutnya belum dibuang, atau
bangkai suci, misalnya manusia atau ikan yang belum dibersihkan kotoran dalam
perutnya, atau membawa telor mandul yang di dalamnya terdapat darah.
Tidak sah pula, sholat seseorang ‘
yang membawa sesuatu, di mana ujungnya terkena najis, sekalipun ujung tersebut
tidak bergerak sebab geraknya.
فرع: لو رأى من يريد صلاة وبثوبه نجس غير معفو
عنه لزمه إعلامه. وكذا يلزم تعليم من رآه يخل بواجب عبادة في رأي مقلده.
Cabang:
Jika seseorang melihat orang lain
akan mengerjakan sholat, padahal di pakaiannya terdapat najis yang tidak dima’fu,
maka baginya wajib memberi tahu akan hal itu.
Begitu juga wajib mengajar seseorang
yang:a lihat melanggar kewajiban beribadah menurut imam yang diikutinya.
تتمة: يجب الاستنجاء من كل خارج ملوث بماء. ويكفي
فيه غلبة ظن زوال النجاسة، ولا يسن حينئذ شم يده، وينبغي الاسترخاء لئلا يبقى أثرها
في تضاعيف شرج المقعدة، أو بثلاث مسحات تعم المحل في كل مرة، مع تنقية بجامد قالع.
ويندب لداخل الخلاء أن يقدم يساره، ويمينه لانصرافه، بعكس المسجد. وينحي ما عليه معظم،
من قرآن واسم نبي أو ملك، ولو مشتركا كعزيز وأحمد إن قصد به معظم. ويسكت حال خروج خارج
ولو عن غير ذكر وفي غير حال الخروج عن ذكر. ويبعد ويستتر. وأن لا يقضي حاجته في ماء
مباح راكد ما لم يستبحر. ومتحدث غير مملوك لاحد، وطريق. وقيل: يحرم التغوط فيها. وتحت
مثمر بملكه، أو مملوك علم رضا مالكه، وإلا حرم. ولا يستقبل عين القبلة ولا يستدبرها،
ويحرمان في غير المعد وحيث لا ساتر. فلو استقبلها بصدره وحول فرجه عنها ثم بال، لم
يضر، بخلاف عكسه. ولا يستاك ولا يبزق في بوله. وأن يقول عند دخوله: اللهم إني أعوذ
بك من الخبث والخبائث. والخروج: غفرانك، الحمد لله الذي أذهب عني الاذى وعافاني. وبعد
الاستنجاء: اللهم طهر قلبي من النفاق وحصن فرجي من الفواحش. قال البغوي: لو شك بعد
الاستنجاء هل غسل ذكره لم تلزمه إعادته.
Istinja
Penyempurnaan:
Istinja memakai air hukumnya wajib,
setelah mengeluarkan setiap yang meleleh basah. Istinja sudah dianggap
mencukupi, setelah diperkirakan, bahwa najisnya telah hilang. Dengan demikian
bagi seseorang tidaklah disunahkan membau (mencium) tangannya. Wajib istinja
itu dilakukan dengan mengendorkan anggota badan, agar sisa-sisa najis tidak ada
yang tertinggal di lipatanlipatan tepian lubang dubur (cloaca). Istinja itu
juga bisa dilakukan dengan menggunakan benda keras yang dapat meresap, dengan
cara tiga kali usapan, yang masing-masing meratal tempat najis dan
membersihkannya.
Disunahkan bagi orang yang masuk WC,
agar mendahulukan kaki kiri, dan mendahulukan kaki kanan jika mau keluar. Hal
ini kebalikan masuk/keluar mesjid. Sunah juga agar melepas sesuatu yang ada
suratan agung, misalnya Alqur-an, nama Nabi dan Malaikat, sekalipun namanama
tersebut digunakan juga menamai yang lain, misalnya Aziz dan Ahmad, jika
nama-nama tersebut dikehendaki sebagai nama yang agung.
Disuriahkan pula diam pada saat
kotoran sedang keluar, sekalipun bukan berupa zikir: kalau di luar saat
tersebut, hendaknya meninggalkan bentuk zikir saja. Hendaknya mengambil tempat
yang jauh dari manusia, serta membuat penutup. Hendaknya tidak membuang hajat
di perairan umum yang tidak mengalir, juga tidak menyumber, di tempat bercanda
milik umum: di jalanan –ada pendapat yang mengatakan hukum untuk ini adalah
haram–: di bawah pohon berbuah yang tumbuh di tanah milik sendiri, atau tanah
milik orang lain yang sudah diketahui kerelaannya, jika belum diketahui
kerelaan buang hajat di situ, maka hukumnya adalah haram.
Hendaknya tidak menghadap kiblat
ataupun membelakanginya. Maka hal ini hukumnya haram, jika dilakukan di tempat
yang tidak disediakan untuk buang hajat serta tidak bertabir. Jika dadanya menghadap
kiblat dan alat kelaminnya dipalingkan, lalu kencing, maka hal ini tidaklah
menjadi masalah. Lain halnya jika melakukan kebalikan dari itu.
Sunah juga tidak bersiwak dan
meludahi kencingnya. Hendaknya berdoa di saat masuk WC: Allahumma … dan
seterusnya (Ya, Allah, aku berlindung kepada-Mu dari godaan setan jantan ‘ dan
betina).
Ketika keluar berdoa:.
Alhamdulillahilladzi… dan seterusnya. (Aku mohon ampun kepada-Mu. Segala puji
milik Allah, Dzat yang telah menghilangkan penyakit dariku dan menganugerahkan
kesehatan kepadaku). Lalu setelah istinja membaca: Allahumma … dan seterusnya.
(Ya, Allah, sucikanlah hatiku dari sifat munafik, dan bentengilah farjiku dari
bentuk perbuatanperbuatan keji).
Al-Baghawi berkata: Jika setelah
beristinja merasa ragu: Sudah membasuh zakar atau belum? Maka baginya tidak
wajib mengulanginya.
ثالثها): (أي شروط الصلاة) (ستر رجل) ولو صبيا،
(وأمة) ولو مكاتبة وأم ولد. (ما بين سرة وركبة) لهما، ولو خاليا في ظلمة. للخبر الصحيح:
لا يقبل الله صلاة حائض - أي بالغ - إلا بخمار. ويجب ستر جزء منهما ليتحقق به ستر العورة.
(و) ستر (حرة) ولو صغيرة (غير وجه وكفين) ظهرهما وبطنهما إلى الكوعين (بما لا يصف لونا)
أي لون البشرة في مجلس التخاطب. كذا ضبطه بذلك أحمد بن موسى بن عجيل. ويكفي ما يحكي
لحجم الاعضاء، لكنه خلاف الاولى، ويجب الستر من الاعلى والجوانب لا من الاسفل (إن قدر)
أي كل من الرجل والحرة والامة. (عليه) أي الستر. أما العاجز عما يستر العورة فيصلي
وجوبا عاريا بلا إعادة، ولو مع وجود ساتر متنجس تعذر غسله، لا من أمكنه تطهيره، وإن
خرج الوقت، ولو قدر على ساتر بعض العورة لزمه الستر بما وجد، وقدم السوأتين فالقبل
فالدبر، ولا يصلي عاريا مع وجود حرير بل لابسا له، لانه يباح للحاجة. ويلزم التطيين
لو عدم الثوب أو نحوه. ويجوز لمكتس اقتداء بعار، وليس للعاري غصب الثوب. ويسن للمصلي
أن يلبس أحسن ثيابه ويرتدي ويتعمم ويتقمص ويتطيلس، ولو كان عنده ثوبان فقط لبس أحدهما
وارتدى بالآخر إن كان ثم سترة، وإلا جعله مصلى. كما أفتى به شيخنا.
Syarat Sholat Ketiga: Menutup Bagian
Badan
Yaitu mulai pusat hingga lutut! bagi
laki-laki, sekalipun kanak-kanak, dan sekalipun mukatab atau ummu walad,
meskipup menyepi di tempat gelap. Berdasarkan sebuah hadis sahih: “Allah tidak
akan menerima sholat orang balig, kecuali dengan memakai tutup kepala (bagi
seorang wanita).”
Wajib menutup bagian dari pusat dan
lutut, agar nyata, bahwa aurat telah tertutup. Dan menutup seluruh badan,
selain muka dan kedua tapak tangan sampai pergelangan, bagi wanita merdeka
sekalipun kanak-kanak. Penutupnya adalah sesuatu yang tidak bisa menampakkan
warna kulit dalam percakapan. Demikianlah, batasan yang telah diberikan oleh
Ahmad bin Musa bin ‘Ujail. Boleh menutup aurat dengan suatu pakaian yang
menampakkan bentuk badan, tetapi hal ini khilaful aula. Kewajiban menutup,
adalah dari bagian atas dan samping, bukan dari bawah.
(Wajib menutup itu) jika
masingmasing dari laki-laki, wanita merdeka dan amat, mampu menutupnya.
Mengenai orang yang tidak mampu menutup aurat, ia wajib sholat dengan telanjang
dan tidak wajib mengulangi sholatnya, sekalipun ia masih punya penutup yang
terkena najis, di mana ia berhalangan mencucinya. Lain halnya jika ia mampu
untuk menyucikannya, (maka ia tidak boleh sholat secara telanjang, tapi wajib
mencucinya) sekalipun sampai keluar waktu (sholat). Jika seseorang hanya mampu
menutup sebagian auratnya, maka ia wajib menutupnya dengan sesuatu yang ada.
Dalam.hal ini, agar mendahulukan menutup kubul dan dubur: jika tidak cukup,
maka menutup kubul saja, kemudian dubur. Jika yang dimiliki adalah pakaian dari
sutera, maka tidak boleh sholat . dengan cara telanjang, tapi wajib memakai
sutera itu. Sebab, memakai sutera manakala ada hajat, hukumnya adalah boleh.
Bila tidak mempunyai pakaian, ia wajib melumuri auratnya dengan lumpur atau
sejenisnya. Orang yang memakai pakaian, sah sholatnya bermakmum kepada orang
yang telanjang. (Sekalipun akan sholat) secara telanjang, baginya tetap tidak
boleh ghasab pakaian untuk sholat.
Bagi orang yang sholat, disunahkan
mengenakan pakaian yang paling bagus, berselendang, memakai serban, baju kurung
dan baju toga. Jika seseorang hanya memiliki dua pakaian sholat, maka yang satu
: dipakai dan yang satu lagi disampirkan (diselendangkan), jika memang di situ
sudah ada sutrah (batas yang ada di hadapan untuk sholat), jika belum ada
sutrah, maka yang satu tersebut hendaknya digunakan sajadah sholat, sebagaimana
yang difatwakan oleh Guru kami.
فرع) يجب هذا الستر خارج الصلاة أيضا، ولو بثوب
نجس أو حرير لم يجد غيره، حتى في الخلوة، لكن الواجب فيها ستر سوأتي الرجل، وما بين
سرة وركبة غيره. ويجوز كشفها في الخلوة، ولو من المسجد، لادنى غرض كتبريد وصيانة ثوب
من الدنس، والغبار عند كنس البيت، وكغسل .
Cabang:
Menutup aurat seperti tertuturkan dj
atas, diwajibkan juga di luar galat, sekalipun dengan pakaian najis atau
sutera, jika hanya itu yang ditemukan, walaupun ia berada di tempat sepi. Hanya
saja di tempat sepi yang wajib bagi seorang laki-laki, adalah menutup kubul dan
dubur, sedang bagi selain laki-laki, wajib menutup mulai pusat sampai lutut.
Boleh hukumnya, membuka aurat hanya
untuk keperluan kecil, meskipun di dalam mesjid, misalnya untuk mendinginkan
badan, menjaga pakaian dari kotoran dan debu ketika menyapu rumah, mandi atau
sejenisnya.
Syarat Sholat Keempat: Mengetahui
Waktu Sholat
ورابعها: معرفة دخول وقت) يقينا أو ظنا. فمن صلى
بدونها لم تصح صلاته وإن وقعت في الوقت، لان الاعتبار في العبادات بما في ظن المكلف،
وبما في نفس الامر، وفي العقود بما في نفس الامر فقط. (فوقت ظهر من زوال) الشمس (إلى
مصير ظل كل شئ مثله، غير ظل استواء) أي الظل الموجود عنده، إن وجد. وسميت بذلك لانها
أول صلاة ظهرت. (ف) - وقت (عصر) من آخر وقت الظهر (إلى غروب) جميع قرص شمس، (ف)
- وقت (مغرب) من الغروب (إلى مغيب الشفق الاحمر، ف) - وقت (عشاء) من مغيب الشفق. قال
شيخنا: وينبغي ندب تأخيرها لزوال الاصفر والابيض، خروجا من خلاف من أوجب ذلك. ويمتد
(إلى طلوع (فجر) صادق، (ف) - وقت (صبح) من طلوع الفجر الصادق لا الكاذب (إلى طلوع)
بعض (الشمس)، والعصر هي الصلاة الوسطى، لصحة الحديث به. فهي أفضل الصلوات، ويليها الصبح،
ثم العشاء، ثم الظهر، ثم المغرب، كما استظهره شيخنا من الادلة. وإنما فضلوا جماعة الصبح
والعشاء لانها فيهما أشق. قال الرافعي: كانت الصبح صلاة آدم، والظهر صلاة داود، والعصر
صلاة سليمان، والمغرب صلاة يعقوب، والعشاء صلاة يونس، عليهم الصلاة والسلام. انتهى.
واعلم أن الصلاة تجب بأول الوقت وجوبا موسعا، فله التأخير عن أوله إلى وقت يسعها بشرط
أن يعزم على فعلها فيه، ولو أدرك في الوقت ركعة لا دونها فالكل أداء وإلا فقضاء. ويأثم
بإخراج بعضها عن الوقت وإن أدرك ركعة. نعم، لو شرع في غير الجمعة وقد بقي ما يسعها
جاز له - بلا كراهة - أن يطولها بالقراءة أو الذكر حتى يخرج الوقت، وإن لم يوقع منها
ركعة فيه - على المعتمد - فإن لم يبق من الوقت ما يسعها، أو كانت جمعة، لم يجز المد،
ولا يسن الاقتصار على أركان الصلاة لادراك كلها في الوقت.
Syarat Sholat Keempat: Mengetahui
Waktu Sholat
Yaitu, mengetahui waktu sholat telah
tiba,” dengan penuh keyakinan atau perkiraan. Barangsiapa melakukan sholat
tanpa mengetahui waktu masuknya, maka sholatnya tidak sah. Sekalipun ternyata
dilakukan dalam waktunya. Sebab, penilaian suatu ibadah adalah perkiraan si
mukalaf dan kenyataannya. Sedangkan penilaian suatu akad, adalah keadaan akad
itu sendiri.
Waktu sholat Zhuhur, adalah mulai
matahari condong ke arah barat, sampai panjang bayang-bayang menyamai bendanya,
setelah memperkirakan bayang-bayang istiwak yaitu bayang-bayang yang terjadi
pada waktu matahari sedang berkulminasi (berada tepat pada titik
tertinggi/titik zenit), bila bayang-bayang istiwak wujud
Diberi nama “zhuhur”, sebab pertama
sekali sholat dilakukan dengan jelas (dalam agama Islam). Waktu sholat Asar,
adalah mulai waktu zhuhur habis, sampai seluruh busur matahari terbenam di
ufuk. Waktu sholat Magrib, adalah mulai matahari terbenam, sampai teja merah
lenyap.
Waktu sholat Isyak, adalah mulai
teja merah lenyap. -Dalam hal ini, Guru kami berpendapat: Sebaiknya, sunah mengakhirkan
sholat Isyak, sampai teja kuning dan putih lenyap, atas dasar menghindari
perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya-, sampai fajar shadik terbit.
Waktu sholat Subuh, adalah mulai terbit fajar shadik -bukan fajar kadzib-
sampai matahari terbit sebagian busurnya. Sholat Asar itulah yang dinamakan sholat
“Wustha”, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis sahih.
Safat Asar, adalah sholat yang
paling utama, lalu secara berurutan di bawahnya, yaitu Subuh, Isyak, Zhuhur
lalu Magrib. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Guru kami dari beberapa
dalil. Hanya saja, para ulama melebihkan jamaah sholat Subuh dan Isyak, sebab
di sini lebih terasa berat untuk melakukannya.
Imam Ar-Rafi’i berkata: Sholat
Subuh, adalah sholat Nabi Adam a.s., Sholat Zhuhur, adalah sholat Nabi Dawud
a.s.: Sholat Asar, adalah sholat Nabi Sulaiman a.s.: sholat Magrib, adalah sholat
Nabi Ya’quba.s.: dan sholat Isyak, adalah sholat Nabi Yunus a.s.
Ketahuilah! Sholat adalah wajib.
dikerjakan pada awal waktunya, sebagaimana kewajiban yang diluaskan waktu
pelaksanaannya. Karena itu, seseorang boleh menundanya sampai pada waktu yang
diperkirakan masih cukup untuk sholat, dengan syarat ia mempunyai ‘azm (maksud
yang kuat) mengerjakan sholat, pada awal waktunya.
Jika seseorang masih mendapatkan
waktu sholat untuk satu rakaat (penuh), maka sholatnya dianggap sholat ada’,
Kalau tidak bisa mendapatkan satu rakaat, maka sholatnya dianggap kadha.
Mengerjakan sebagian sholat di luar waktunya, adalah berdosa, sekalipun masih
mendapatkan satu rakaat.
Memang begitu! Kalau seseorang :
telah memulai sholat, selain sholat Jumat, di mana waktunya masih Juas, maka ia
boleh -tanpa makruhmemanjangkan sholat dengan bacaan ayat atau zikir, sehingga
lewat waktunya, bahkan sekalipun tidak sempat meletakkan satu rakaat sholat
dalam waktunya, menurut pendapat yang Mu’tamad.
Jika mulainya pada waktu di mana
sudah tidak dapat memuat sholat atau sholat Jumat, maka baginya tidak boleh
memanjangkan bacaannya. Tidak disunahkan meringkas rukun-rukun sholat saja,
hanya karena meletakkan rakaat-rakaat sholat di dalam waktunya.
فرع) يندب تعجيل صلاة - ولو عشاء - لاول وقتها،
لخبر: أفضل الاعمال الصلاة لاول وقتها. وتأخيرها عن أوله لتيقن جماعة أثناءه، وإن فحش
التأخير ما لم يضق الوقت، ولظنها إذا لم يفحش عرفا، لا لشك فيها مطلقا. والجماعة القليلة
أول الوقت أفضل من الكثيرة آخره. ويؤخر المحرم صلاة العشاء - وجوبا - لاجل خوف فوات
حج بفوت الوقوف بعرفة لو صلاها متمكنا، لان قضاءه صعب. والصلاة تؤخر لانها أسهل من
مشقته، ولا يصليها صلاة شدة الخوف. ويؤخر أيضا - وجوبا - من رأى نحو غريق أو أسير لو
أنقذه خرج الوقت .
Cabang:
Disunahkan agar bersegera
mengerjakan sholat -sekalipun sholat Isyakpada awal waktunya. Berdasarkan
hadis: “Perbuatan yang paling utama, adalah mengerjakan sholat pada awal
waktunya.” Sunah menurida sholat dari awal waktunya, karena berkeyakinan akan
menemukan jamaah sholat di tengah-tengah waktunya, sekalipun penundaan semacam
Int kurang baik. Kesunahan di atas, selagi waktunya belum Sempit.
Sunah juga menunda sholat dari awal
waktunya, karena menduga akan didirikan sholat jamaah, jika tidak tampak kurang
baik menurut ukuran umum. (Kalau meragukan keberadaan jamaah), maka tidak
disunahkan menunda sholat secara mutlak (baik tampak kurang sopan ataupun
tidak). Sholat berjamaah dengan sedikit pengikutnya di awal waktu, itu lebih
utama daripada banyak orang di akhir waktu.
Bagi orang yang ihram haji, wajib
mengakhirkan sholat Isyaknya, lantaran khawatir tertinggal ibadah haji, sebab
tertinggal wukuf di. Arafah -kalau ia melakukan sholat dahulu secara sempurna
syarat-rukunnya-, sebab mengadha. ibadah haji adalah lebih sulit. Sholat di
sini diakhirkan, sebab kesulitannya lebih ringan daripada haji. Dalam hal
seperti ini, ia tidak diperbolehkan sholat secara “khauf”. Wajib mengakhirkan sholat
pula, bagi seorang yang mengetahui semacam orang yang tenggelam atau tertawan,
jika ia menolongnya, maka akan kehabisan waktu sholat.
فرع) يكره النوم بعد دخول وقت الصلاة وقبل فعلها،
حيث ظن الاستيقاظ قبل ضيقه، لعادة أو لايقاظ غيره له، وإلا حرم النوم الذي لم يغلب
في الوقت.
Cabang:
Dimakruhkan tidur setelah masuk
waktu sholat, sedangkan ia belum mengerjakannya, kalau ia mengira bisa bangun
sebelum waktu tinggal sedikit, atas dasar kebiasaan atau ada orang lain yang
membangunkannya.Jika tidak ada perkiraan seperti itu, maka tidurnya adalah
haram.
فرع) يكره تحريما صلاة لا سبب لها، كالنفل المطلق
ومنه صلاة التسابيح، أو لها سبب متأخر كركعتي استخارة وإحرام بعد أداء صبح حتى ترتفع
الشمس كرمح، وعصر حتى تغرب، وعند استواء غير يوم الجمعة. لا ما له سبب متقدم كركعتي
وضوء وطواف وتحية وكسوف، وصلاة جنازة ولو على غائب، وإعادة مع جماعة ولو إماما، وكفائتة
فرض أو نفل لم يقصد تأخيرها للوقت المكروه ليقضيها فيه أو يداوم عليه. فلو تحرى إيقاع
صلاة غير صاحبة الوقت في الوقت المكروه من حيث كونه مكروها فتحرم مطلقا ولا تنعقد،
ولو فائتة يجب قضاؤها فورا لانه معاند للشرع.
Cabang:
Dimakruhkan secara tahrim melakukan sholat.
yang tidak mempunyai sebab, misalnya sholat sunah Mutlak (sholat sunah yang
waktunya tidak ditentukan), umpama sholat Tasbih: atau melakukan sholat yang
sebabnya ada di belakang, misalnya dua rakaat Istikharah dan dua rakaat sebelum
ihram. Yaitu: Setelah mengerjakan sholat Subuh hingga matahari naik setinggi
tombak: setelah sholat Asar hingga terbenam matahari, dan di waktu istiwak
selain hari Jumat.
Tidak termasuk di sini, sholat-sholat
‘ yang mempunyai sebab berada di depannya, misal: Dua rakaat setelah berwudu,
sesudah Thawaf, Tahiyatulmesjid, ‘ Gerhana dan sholat Jenazah, sekalipun gaib,
mengulangi sholat secara berjamaah, sekalipun menjadi imam, kadha sholat fardu
atau sunah tanpa ada maksud menundanya, sampai masuk waktu-waktu di atas, atau
melanggengkan untuk mengerjakannya di waktu tersebut.
Jika seseorang sengaja menunda “sholat
yang tidak berwaktu” pada waktu yang dimakruhkan tersebut, dengan tujuan agar
makruh, maka hal ini dihukumi haram, baik sholat itu mempunyai sebab atau
tidak. Di samping itu, sholat pun tidak sah, sekalipun sholat tersebut adalah sholat
Faaitah (tertinggal dari waktunya) yang wajib dikadha dengan seketika. Sebab,
perbuatan semacam ini (berusaha/sengaja mengerjakan sholat di waktu makruh),
adalah menentang syarak.
وخامسها: استقبال) عين (القبلة) أي الكعبة، بالصدر.
فلا يكفي استقبال جهتها، خلافا لابي حنيفة رحمه الله تعالى، (إلا في) حق العاجز عنه،
وفي صلاة (شدة خوف) ولو فرضا، فيصلي كيف أمكنه ماشيا وراكبا مستقبلا أو مستدبرا، كهارب
من حريق وسيل وسبع وحية، ومن دائن عند إعسار، وخوف حبس. (و) لا في (نفل سفر مباح) لقاصد
محل معين، فيجوز النفل راكبا وماشيا فيه ولو قصيرا. نعم، يشترط أن يكون مقصده على مسافة
لا يسمع النداء من بلده، بشروطه المقررة في الجمعة. وخرج بالمباح سفر المعصية فلا يجوز
ترك القبلة في النفل لابق، ومسافر عليه دين حال قادر عليه من غير إذن دائنه.
و) يجب (على ماش إتمام ركوع وسجود) لسهولة ذلك
عليه، وعلى راكب إيماء بهما. (واستقبال فيهما وفي تحرم) وجلوس بين السجدتين، فلا يمشي
إلا في القيام والاعتدال والتشهد والسلام، ويحرم انحرافه عن استقبال صوب مقصده عامدا
عالما مختارا إلا إلى القبلة. ويشترط ترك فعل كثير - كعدو وتحريك رجل بلا حاجة - وترك
تعمد وطئ نجس - ولو يابسا - وإن عم الطريق، ولا يضر وطئ يابس خطأ، ولا يكلف ماش التحفظ
عنه. ويجب الاستقبال في النفل لراكب سفينة غير ملاح.
Cabang:
Dimakruhkan secara tahrim melakukan sholat.
yang tidak mempunyai sebab, misalnya sholat sunah Mutlak (sholat sunah yang
waktunya tidak ditentukan), umpama sholat Tasbih: atau melakukan sholat yang
sebabnya ada di belakang, misalnya dua rakaat Istikharah dan dua rakaat sebelum
ihram. Yaitu: Setelah mengerjakan sholat Subuh hingga matahari naik setinggi
tombak: setelah sholat Asar hingga terbenam matahari, dan di waktu istiwak
selain hari Jumat.
Tidak termasuk di sini, sholat-sholat ‘ yang
mempunyai sebab berada di depannya, misal: Dua rakaat setelah berwudu, sesudah
Thawaf, Tahiyatulmesjid, ‘ Gerhana dan sholat Jenazah, sekalipun gaib,
mengulangi sholat secara berjamaah, sekalipun menjadi imam, kadha sholat fardu
atau sunah tanpa ada maksud menundanya, sampai masuk waktu-waktu di atas, atau
melanggengkan untuk mengerjakannya di waktu tersebut.
Jika seseorang sengaja menunda “sholat
yang tidak berwaktu” pada waktu yang dimakruhkan tersebut, dengan tujuan agar
makruh, maka hal ini dihukumi haram, baik sholat itu mempunyai sebab atau
tidak. Di samping itu, sholat pun tidak sah, sekalipun sholat tersebut adalah sholat
Faaitah (tertinggal dari waktunya) yang wajib dikadha dengan seketika. Sebab,
perbuatan semacam ini (berusaha/sengaja mengerjakan sholat di waktu makruh),
adalah menentang syarak.
Syarat Sholat Keenam: Mengetahui
Kefarduan Sholat
واعلم أيضا أنه يشترط في
صحة الصلاة العلم بفرضية الصلاة. فلو جهل فرضية أصل الصلاة، أو صلاته التي شرع فيها،
لم تصح، كما في المجموع والروضة. وتمييز فروضها من سننها. نعم، إن اعتقد العامي، أو
العالم على الاوجه، الكل فرضا صحت، أو سنة فلا. والعلم بكيفيتها الآتي بيانها قريبا
إن شاء الله تعالى.
Syarat
Sholat Keenam: Mengetahui Kefarduan Sholat
Ketahuilah, termasuk syarat sah sholat
juga, adalah mengetahui kefarduan sholat. Karena itu, jika seseorang tidak
mengetahui keberadaan kefarduan sholat pada umumnya atau kefarduan sholat yang
sedang dikerjakan, maka sholatnya tidak sah. Hal ini seperti yang termaktub
dalam kitab Al-Majmu’ dan Ar-Raudhah (milik Imam Nawawi).
Dapat juga membedakan mana yang
fardu dan yang sunah sholat.Memang begitu! Jika orang yang buta terhadap hukum
Islam ataupun alim -atas beberapa tinjauanmempunyai iktikad semua perbuatan sholat
adalah fardu, maka sholatnya sah: Atau berIktikad, bahwa semua perbuatan sholat
adalah sunah, maka sholatnya tidak sah. Juga harus mengetahui cara sholat,
seperti yang akan dijelaskan nanti. Insya Allah.