Terjemah Kitab Fathul Muin; LARANGAN-LARANGAN KETIKA IHRAM; محرمات الاحرام

 


LARANGAN-LARANGAN KETIKA IHRAM

 

فصل (في محرمات الاحرام) (يحرم بإحرام) على رجل وأنثى (وطئ) آية: * (فلا رفث) * أي لا ترفثوا. والرفث مفسر بالوطئ. ويفسد به الحج والعمرة. (وقبلة)، ومباشرة بشهوة. (واستمناء بيد) - بخلاف الانزال بنظر أو فكر - (ونكاح)، لخبر مسلم: لا ينكح المحرم ولا ينكح (وتطيب) في بدن أو ثوب بما يسمى طيبا، كمسك وعنبر، وكافور حي أو ميت، وورد ومائه، ولو بشد نحو مسك بطرف ثوبه، أو بجعله في جيبه. ولو خفيت رائحة الطيب، كالكاذي والفاغية - وهي تمر الحناء - فإن كان بحيث لو أصابه الماء فاحت، حرم، وإلا فلا، (ودهن) بفتح أوله (شعر) رأس، أو لحية بدهن، ولو غير مطيب، كزيت وسمن. (وإزالته) أي الشعر ولو واحدة من رأسه أو لحيته أو بدنه، نعم، إن احتاج إلى حلق شعر - بكثرة قمل أو جراحة - فلا حرمة، وعليه الفدية، فلو نبت شعر، بعينه أو غطاها فأزال ذلك، فلا حرمة، وفلا فدية. (وقلم) لظفر، ولو بعضه من يد أو رجل. نعم، له قطع ما انكسر من ظفره إن تأذى به ولو أدنى تأذ. (ويحرم ستر رجل) - لا امرأة - (بعض رأس بما يعد ساترا) عرقا من مخيط أو غير - كقلنسوة، وخرقة - إما ما لا يعد ساترا - كخيط رقيق، وتوسد نحو عمامة، ووضع يد لم يقصد بها الستر - فلا يحرم، بخلاف ما إذا قصده على نزاع فيه، وكحمل نحو زنبيل لم يقصد به ذلك أيضا، واستظلال بمحمل وإن مس رأسه، (ولبسه) أي الرجل (مخيطا) بخياطة: كقميص، وقباء، أو نسج، أو عقد في سائر بدنه، (بلا عذر) فلا يحرم على الرجل ستر رأس لعذر - كحر وبرد، ويظهر ضبطه هنا بما لا يطيق الصبر عليه، وإن لم يبح التيمم، فيحل مع الفدية، قياسا على وجوبها في الحلق مع العذر. ولا لبس مخيط إن لم يجد غيره، ولا قدر على تحصيله، ولو بنحو استعارة. بخلاف الهبة - لعظم المنة - فيحل ستر العورة بالمخيط بلا فدية، ولبسه في باقي بدنه لحاجة نحو حر وبرد مع فدية. ويحل الارتداء والالتحاف بالقميص والقباء، وعقد الازار، وشد خيط عليه ليثبت: لا وضع طوق القباء على رقبته، وإن لم يدخل يده (و) يحرم (ستر امرأة - لا رجل - بعض وجه) بما يعد ساترا (وفدية) ارتكاب واحد م‍ (- ما يحرم) بالاحرام غير الجماع (ذبح شاة) مجزئة في الاضحية، وهي جذعة ضأن، أو ثنية معز، (أو تصدق بثلاثة آصع لستة) من مساكين الحرم الشاملين للفقراء، لكل واحد نصف صاع، (أو صوم ثلاثة) أيام. فمرتكب المحرم مخير في الفدية بين الثلاثة المذكورة.

 

PASAL TENTANG LARANGAN-LARANGAN KETIKA IHRAM

Diharamkan bagi laki-laki dan wanita yang sedang ihram, mengerjakan beberapa hal:

 

Persetubuhan, berdasarkan ayat Alqur-an (Al-Baqarah:197) yang artinya: “,.. maka tidak boleh melakukan persetubuhan”, kata “rafas” di sini ditafsirkan dengan “persetubuhan”, Lantaran persetubuhan, maka haji dan umrah menjadi rusak.

Mencium dan persentuhan sesama kulit dengan syahwat.

Onani: Lain halrrya dengan keluar mani sebab pandangan mata atau lamunan.

Akad nikah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang artinya: “Orang yang sedang berihram, adalah tidak diperbolehkan nikah atau menikahkan”.

Memakai harum-haruman pada badan atau pakaian, dengan semisal misik atau minyak ambar, kapur harum orang hidup atau mati, bunga atau mawar, sekalipun hanya dengan mengikatkan semisal misik di ujung pakaian atau meletakkannya di dalam saku.

Jika baunya lemah, misalnya bunga kadzi atau inai, yang jika terkena air baunya menjadi semerbak, maka hukumnya juga haram, Kalau tidak semerbak, maka tidak diharamkan.

Mengenakan minyak rambut kepala atau jenggot, sekalipun tidak harum, misalnya minyak zait dan samin.

Menghilangkan rambut kepala, jenggot, atau bulu badan, sekalipun cuma sehelai. Memang, jika perlu untuk memotong rambut lantaran banyak kutu atau luka-lukanya, maka hukumnya tidak haram, dan ia wajib membayar fidyah. Jika ada rambut yang tumbuh di mata atau yang menutup matanya, lantas ia membuangnya, maka hukumnya tidak haram dan tidak wajib membayar fidyah.

Memotong kuku tangan atau kaki, sekalipun hanya sedikit saja. Akan tetapi, jika kuku tersebut mengalami pecah-pecah dan menyakitkan, sekalipun tidak seberapa, maka boleh dipotong.

Khusus bagi laki-laki tanpa uzur -tidak bagi wanitamenutup sebagian kepalanya dengan menggunakan sesuatu yang menurut ‘urf dianggap penutup, baik itu berjahit ataupun tidak, misalnya kopiah atau sesobek kain.

Adapun menutupnya dengan sesuatu yang tidak dinilai (dianggap) sebagai penutup, maka tidaklah haram hukumnya, misalnya benang kecil, berbantal dengan semacam serban atau meletakkan tangan di atas kepalanya tanpa ada maksud menutupinya. Lain halnya jika meletakkan tangannya dengan maksud menutup kepalanya, maka hukum keharamannya masih dipertentangkan oleh ulama.

Tidak haram membawa semacam keranjang yang tidak menutup kepala, juga tidak haram dengan  berteduh di bawah sekedup (rumah kecil di atas unta), sekalipun menyentuh kepalanya. Bagi laki-laki haram memakai di bagian mana pun dari badannya, pakaian yang berjahitkan benang, semisal baju kurung atau toga, pakaian tenunan atau yang diikat, di mana pemakaiannya tanpa uzur.

Karena itu, bila ada uzur, tidaklah haram bagi laki-laki menutup kepalanya, mesalnya karena udara sangat panas atau dingin. Batasan uzur adalah keadaan yang tidak kuat menderitanya, meskipun belum boleh bertayamum karenanya. Halal memutup kepala karena ada uzur, serta dengan diwajibkannya membayar fidyah, karena dikiaskan dengan kewajiban membayar fidyah pada potong rambut yang dilanggar sebab ada uzur.

Jika memakai pakaian yang berjahit karena memang tidak ada yang lainnya dan tidak bisa memperolehnya, sekalipun dengan cara meminjam, maka hukumnya tidak haram serta tidak wajib membayar fidyah. Lain halnya jika ia bisa mendapatkan pakaian yang tidak berjahit dengan sebab pemberian (maka memakai yang berjahit hukumnya tidak haram, sebab menerima hibah hukumnya tidak wajib -pen), lantaran yang disebut pemberian, besar sekali disebut-sebut oleh pemberinya pada akhirnya.

Halal memakai pakaian yang berjahit di seluruh badannya, karena kebutuhan semacam panas atau dingin, serta wajib membayar fidyah.

Halal berselendang atau berselimut dengan baju kemeja atau toga, membuhul atau mengikat sarung dengan benang agar terpakai kukuh: Tidak diperbolehkan memasang kalung baju toga pada lehernya, sekalipun tidak memasukkan kedua tangan ke dalam lengannya. Bagi wanita -bukan bagi lakilakiharam menutup sebagian mukanya memakai apa saja yang dianggap sebagai penutup.

Fidyah untuk satu pelanggaran atas. larangan selain persetubuhan di . waktu ihram, adalah menyembelih seekor kambing yang mencukupi dibuat berkurban. Yaitu domba berumur 1 tahun atau kambing biasa berumur 2 tahun. Atau bersedekah dengan 3 sha’ makanan kepada 6 orang fakir miskin daerah Haram, masingmasing 1/2 sha’ atau berpuasa tiga hari. Bagi pelanggar laranganlarangan di atas, boleh memilih salah satu dari ketiga macam fidyah tersebut.

 

فرع) لو فعل شيئا من المحرمات ناسيا أو جاهلا بتحريمه، وجبت الفدية إن كان إتلافا - كحلق شعر، وقلم ظفر، وقتل صيد - ولا تجب إن كان تمتعا - كلبس، وتطيب - والواجب في إزالة ثلاث شعرات أو أظفار ولا اتحاد زمان ومكان عرفا فدية كاملة، وفي واحدة: مد طعام. وفي اثنتين: مدان (ودم ترك مأمور) كإحرام من الميقات، ومبيت بمزدلفة ومنى، ورمي الاحجار، وطواف الوداع، كدم التمتع والقران. (ذبح) أي ذبح شاة تجزئ أضحية في الحرم، (ف‍) - الواجب على العاجز عن الذبح فيه ولو لغيبة ماله - وإن وجد من يقرضه، أو وجده بأكثر من ثمن المثل - (صوم) أيام (ثلاثة) فورا بعد إحرام، (وقبل) يوم (نحر) - ولو مسافرا -

   فلا يجوز تأخير شئ منها عنه، لانها تصير قضاء. ولا تقديمه على الاحرام بالحج، الآية. (و) يلزمه أيضا صوم (سبعة بوطنه) أي إذا رجع إلى أهله. ويسن تواليها - كالثلاثة - قال تعالى: * (فمن لم يجد فصيام ثلاثة أيام في الحج، وسبعة إذا رجعتم) *. (ويجب على مفسد نسك) من حج وعمرة (بوطئ: بدنة) بصفة الاضحية، وإن كان النسك، نفلا، والبدنة المرادة الواحد من الابل - ذكرا كان أو أنثى - فإن عجز عن البدنة فبقرة، فإن عجز عنها فسبع شياه، ثم يقوم البدنة، ويتصدق بقيمتها طعاما. ثم يصوم عن كل مد يوما. ولا يجب شئ على المرأة، بل تأثم. وعلم من قولي بمسد نسك: أنه يبطل بوطئ، ومع ذلك يجب مضي في فاسده. (وقضاء فورا)، وإن كان نسكه نفلا، لانه - وإن كان وقته موسعا - تضيق عليه بالشروع فيه. والنفل من ذلك يصير بالشروع فيه فرضا: أي واجب الاتمام كالفرض، بخلاف غيره من النفل.

 

Cabang:

Jika Muhrim (orang yang ihram) melanggar larangan-larangan tersebut karena lupa atau tidak mengetahui hukumnya, maka ia wajib membayar fidyah, bila pelanggarannya berupa Tamattu’ (kenikmatan), misalnya memakai pakaian yang berjahit atau wangi-wangian, maka tidak terkenakan kewajiban fidyah.

Dalam menghilangkan tiga rambut atau kuku dalam satu waktu dan tempat yang sama menurut ‘urf, adalah wajib fidyah penuh, Jika satu helai/potong, maka fidyah satu mud, Dan jika dua, maka wajib fidyah dua mud.

Dam (fidyah) yang harus dipenuhi sebab meninggalkan kewajiban haji, misalnya ihram dari miqat, bermalam di Muzdalifah, Mina, melempar jumrah dan tawaf wada’, adalah menyembelih kambing yang mencukupi dibuat kurban di Tanah Haram, sebagaimana Dam Haji Tamatu’ dan Qiran.

Bagi yang tidak mampu menyembelih kambing, adalah berpuasa tiga hari seketika setelah meninggalkan kewajibannya, yang ditunaikan setelah ihram dan sebelum tanggal 10 Zulhijah, sekalipun ia adalah seorang musafir. Ketidakmampuan tersebut sekalipun ada orang yang sanggup mengutanginya, Atau dapat mendapatkannya, (tapi) harganya di atas harga umum.

Karena itu, tidak boleh mengakhirkan puasa dari hari Nahr (10 Zulhijah), sebab hal ini akan menjadi qadha (yang hukumnya haram), Juga tidak boleh didahulukan sebelum ihram haji, hal ini berdasarkan ayat Alqur-an.

Selain itu, bagi orang tersebut wajib berpuasa 7 hari setelah sampai di kampung halamannya. Puasa-puasa tersebut sunah ditunaikan dengan cara sambung-menyambung, sebagaimana dengan puasa 3 hari di Tanah Haram.

Firman Allah (dalam surah Al-Baqarah:196), yang artinya: “… maka barangsiapa yang tidak menemukan kambing kurban, wajiblah berpuasa 3 hari dalam masa Haji dan 7 hari lagi setelah kalian pulang.”

Wajib bagi orang yang merusak nusuknya, yaitu haji atau umrah, sekalipun nusuk sunah dengan bersetubuh, membayar dam seekor unta kurban. Yang dimaksud dengan badanah di sini, adalah bisa unta jantan atau betina.

Kalau tidak mampu menyembelih unta, maka wajib menyembelih lembu: Kalau tidak mampu, maka 7 ekor kambing: Kalau tidak mampu, maka wajib bersedekah makanan sejumlah harga seekor unta: Dan jika masih tidak mampu, maka wajib berpuasa satu hari untuk satu mud dalam jumlah mud makanan tersebut.

Sedang bagi wanita yang disetubuhi, ia hanya berdosa, tapi tidak wajib membayar fidyah.

Dari ucapanku tadi “yang merusak nusuk”, bisa diketahui bahwa nusuk menjadi batal sebab persetubuhan: Dalam pada itu, ia wajib meneruskan nusuknya seperti tata cara yang tidak batal.

Selain dam yang telah disebutkan di atas, ia wajib mengqadha nusuknya dengan seketika (untuk umrah, ia harus mengerjakannya setelah Tahallul dan amalan-amalan yang mengikutinya, dan untuk haji, ia harus mengerjakan pada tahun haji berikutnya -pen), sekalipun nusuk yang dirusak, adalah nusuk sunah (misal nusuk yang dikerjakan oleh budak dan anak-anak -pen). Sebab, dengan telah menunaikannya, membuat waktu kewajiban yang semula luas menjadi sempit dan yang semula sunah menjadi fardu -maksudnya wajib ditunaikan seperti fardu-, lain halnya dengan ibadah-ibadah sunah selain nusuk.

 

 

تتمة) يسن لقاصد مكة، وللحاج - آكد - أن يهدي شيئا من النعم يسوقه من بلده، وإلا فيشتريه من الطريق ثم من مكة، ثم من عرفة، ثم من منى. وكونه سمينا حسنا، ولا يجب إلا بالنذر.

 

Penyempurnaan:

 

Sunah bagi siapa saja yang mengunjungi Mekah, lebih-lebih orang haji, mau menyembelih binatang ternak sebagai hadiah yang ia giring dari kampung halamannya sendiri: Kalau tidak bisa, maka hendaklah membelinya di tengah jalan, di Mekah, di Arafah, atau di Mina, Ternak tersebut hendaknya yang gemuk dan bagus. Hadiah tersebut hukumnya tidak wajib, kecuali jika dinazarkan.

 

Berkurban

مهمات) يسن - متأكدا - لحر قادر، تضحية بذبح جذع ضأن له سنة، أو سقط سنه - ولو قبل تمامها - أو ثني معز أو بقر لهما سنتان، أو إبل له خمس سنين بنية أضحية عند ذبح أو تعيين. وهي أفضل من الصدقة.

ووقتها من راتفاع شمس نحر إلى آخر أيام التشريق. ويجزئ سبع بقر أو إبل عن واحد، ولا يجزئ عجفاء ومقطوعة بعض ذنب أو أذن أبين - وإن قل - وذات عرج وعور ومرض بين، ولا يضر شق أذن، أو خرقها. والمعتمد عدم إجزاء التضحية بالحامل - خلافا لما صححه ابن الرفعة -. ولو نذر التضحية بمعيبة أو صغيرة، أو قال: جعلتها أضحية، فإنه يلزم ذبحها، ولا تجزئ أضحية، وإن اختص ذبحها بوقت الاضحية، وجرت مجراها في الصرف. ويحرم الاكل من أضحية أو هدي وجبا بنذره. ويجب التصدق - ولو على فقير واحد - بشئ نيئا - ولو يسيرا - من المتطوع بها. والافضل: التصدق بكله إلا لقما يتبرك بأكلها، وأن تكون من الكبد، وأن لا يأكل فوق ثلاث، والتصدق بجلدها. وله إطعام أغنياء - لا تمليكهم - ويسن أن يذبح الرجل بنفسه. وأن يشهدها من وكل به.

  وكره - لمريدها - إزالة نحو شعر في عشر ذي الحجة وأيام التشريق حتى يضحي. ويندب لمن تلزمه نفقة فرعه: أن يعق عنه من وضع إلى بلوغ، وهي كضحية، ولا يكسر عظم. والتصدق بمطبوخ يبعثه إلى الفقراء: أحب من ندائهم إليها ومن التصدق نيئا. وأن يذبح سابع ولادته، ويسمى فيه، وإن مات قبله، بل يسن تسمية سقط بلغ زمن نفخ الروح. وأفضل الاسماء: عبد الله، وعبد الرحمن. ولا يكره اسم نبي، أو ملك، بل جاء في التسمية بمحمد فضائل علية. ويحرم التسمية بملك الملوك، وقاضي القضاة، وحاكم الحكام. وكذا عبد النبي، وجار الله، والتكني بأبي القاسم. وسن أن يحلق رأسه - ولو أنثى - في السابع، ويتصدق بزنته ذهبا، أو فضة، وأن يؤذن، ويقرأ سورة الاخلاص، وآية: * (إني أعيذها بك وذريتها من الشيطان الرجيم) * بتأنيث الضمير - ولو في الذكر - في أذنه اليمنى، ويقام في اليسرى عقب الوضع. وأن يحنكه رجل، فامرأة - من أهل الخير - بتمر، فحلو - لم تمسه النار - حين يولد. ويقرأ عندها - وهي تطلق - آية الكرسي و * (إن ربكم الله) * الآية، والمعوذتان، والاكثار من دعاء الكرب. قال شيخنا: أما قراءة سورة الانعام، إلى: * (رطب ولا يابس إلا في كتاب مبين) * يوم يعق عن المولود، فمن مبتدعات العوام الجهلة، فينبغي الانكفاف عنها، وتحذير الناس منها - ما أمكن -. انتهى.

 

Penting:

Sunah muakkad bagi orang merdeka yang mampu, berkurban dengan menyembelih seekor domba jantan yang berumur satu tahun atau yang telah tanggal giginya, sekalipun belum genap satu tahun, bukan domba (wedus kajang: jawa) berumur dua tahun, lembu jantan yang berumur 2 tahun atau unta berumur 5 tahun, dengan niat menentukan pilihannya untuk berkurban.

Berkurban itu hukumnya lebih utama daripada bersedekah.

Waktu penyembelihannya adalah sejak matahari naik tinggi pada tanggal 10 Zulhijah sampai berakhir hari Tasyriq (waktu permulaan tersebut adalah waktu yang utama, karena binatang kurban boleh disembelih setelah terbit matahari dan terlewatnya dua rakaat Idul Adha beserta dua khotbahnya -pen).

Satu sepertujuh ekor lembu atau unta mencukupi untuk kurban satu orang. Binatang-binatang yang tidak cukup dibuat kurban: 1. badannya kurus, 2. Terpotong atau lepas sebagian ekor atau telinganya, 3. Pincang, 4. Buta, 5. Berpenyakit yang tampak jelas. Untuk binatang yang telinganya sobek atau retak, tidak menjadi masalah (mencukupi).

Menurut pendapat yang Muktamad, bahwa kurban dengan binatang yang bunting adalah tidak mencukupi, Lain halnya dengan pendapat yang disahihkan oleh Imam Ibnur Rif ah.

Jika seseorang bernazar akan menyembelih kurban dengan binatang yang cacat seperti di atas atau yang belum cukup umurnya, atau ia berkata: “Binatang yang cacat (muda) ini saya jadikan kurban”, maka ia wajib menyembelih binatang tersebut, tetapi belum cukup sebagai kurban, sekalipun ia menentukan waktu penyembelihannya pada waktu penyembelihan kurban, dan pentasarufan daging binatang tersebut seperti pena-sarufan kurban. Haram turut makan daging kurban atau hadiahnya yang wajib atasnya Sebab nazar.

Wajib menyedekahkan daging kurban sunah dalam keadaan mentah, sekalipun sedikit saja (lain halnya dengan daging kurban wajib, maka wajib menyedekahkan keseluruhannya – pen) kepada fakir, sekalipun hanya seorang saja. Akan tetapi yang lebih utama adalah menyedekahkan keseluruhannya, kecuali beberapa potong yang dimakan untuk mengambil berkahnya, yang dimakan hendaknya hati dan tidak melebihi tiga potong. Lebih utama juga menyedekahkan kulitnya (sebab bagi orang yang berkurban boleh memanfaatkan kulit, dan haram menjual atau memberikan kepada tukang jagal sebagai upah penyembelihannya -pen).

Bagi orang yang berkurban boleh memberi makan kepada orang-orang kaya, tetapi tidak boleh memberi kebebasan pemilikan terhadap daging tersebut kepada mereka (dengan kata lain, ia boleh memberi mereka hanya untuk dimakan -pen).

Sunah bagi pengurban laki-laki menyembelihnya sendiri dan sunah bagi wakil penyembelih binatang kurban agar memberikan persaksian terhadap kurbannya.

Makruh bagi orang yang hendak berkurban, menghilangkan semacam rambut badannya selama tanggal 10 Zulhijah, hingga ia menyembelih binatang kurbmannya.

Sunah berakikah bagi orangtua yang menanggung nafkah anak keturunannya, di mana penyembelihannya sejak kelahiran bayi sampai usia balig. Adapun hukum binatang akikah seperti yang ada pada kurban.

Sunah tulang-tulang binatang akikah tidak dipecah-pecah, Memberikan dagingnya dalam keadaan telah masak dan mengirimkan kepada fakir adalah lebih baik daripada memanggil mereka ke rumah, dan daripada memberi mereka berupa daging mentah. Sunah juga menyembelihnya pada hari ke-7 dari kelahiran sang bayi.

Sunah pula pada hari ke-7, memberi nama terhadap anak tersebut, sekalipun bayinya telah mati sebelumnya. Bahkan hukumnya juga sunah memberi nama terhadap bayi yang gugur dalam kandungan, yang sampai usia peniupan roh.

Nama yang lebih utama adalah Abdullah dan Abdur Rahman. Menamakan anak dengan nama-nama nabi atau malaikat, hukumnya tidak makruh, bahkan nama “Muhammad” banyak keutamaannya.

Haram hukumnya memberi nama dengan “Malikul Muluk” (Raja Diraja), “Qadhil Qudhat” (Hakim segala Hakim), dan “Hakimul Hukkam” (Hakim segala Hakim). Begitu juga haram memberi nama dengan “Abdun Nabi”, “Jarullah” (tetangga Allah), dan memberi gelar dengan ” Abil Qasim”.

 

Sunah mencukur bayi, sekalipun bayi perempuan pada hari ke-7, dan bersedekah emas atau perak seberat rambut itu. Waktu baru lahir sunah dibacakan surah Al-Ikhlas dan ayat “Inni … dan seterusnya. (… dan sesungguhnya aku memintakan perlindungan untuknya dan anak turunnya kepada-Mu dari godaan setan yang terkutuk Aali Imran: 36), pada telinga bayi bagian kanan dan pada telinga kirinya dibacakan kalimat ikamah. Dhamir yang ada pada ayat tersebut tetap dimuannatskan, sekalipun bayinya seorang laki-laki.

Sunah bagi laki-laki -jika tidak ada, maka wanita pun sunahyang Ahlul khair, menyuapkan buah kurma kepada sang bayi yang baru lahir, kalau tidak ada kurma, maka sunah dengan apa saja manisan yang tidak diproses memakai api.

Sunah bagi wanita yang sedang sakit menjelang melahirkan bayi, dibaca-” kan-ayat Kursi, ayat Ina Rabbakum .(AL-A’raf: 54), surah Al-Falaq dan An-Nas, serta memperbanyak doa, mohon kemudahan (yaitu Laa ilaahaillallaahul ‘azhimul halim dan seterusnya) di samping wanita tersebut. ,

Guru kita berkata: Pembacaan surah Al-An’am sampai ayat “Wa laa rathbiw wa laa yaabis … dan seterusnya, (Al-An’am: 59) ketika akikah, adalah perbuatan bid’ah dari orang-orang awam yang bodoh. Karena itu, seyogianya perbuatan itu dicegahnya dan dengan sekuat mungkin melarang orang-orang yang mengerjakan hal itu.

 

فرع) يسن لكل أحد، الادهان غبا، والاكتحال بالاثمد وترا عند نومه، وخضب شيب رأسه ولحيته: بحمرة أو صفرة. ويحرم حلق لحية، وخضب يدي الرجل ورجليه بحناء، خلافا لجمع فيهما. وبحث الاذرعي كراهة حلق ما فوق الحلقوم من الشعر. وقال غيره إنه مباح. ويسن الخضب للمفترشة، ويكره للخلية. ويحرم وشر الاسنان ووصل الشعر بشعر نجس، أو شعر آدمي، وربطه به - لا بخيوط الحرير، أو الصوف - ويستحب أن يكف الصبيان أول ساعة من الليل، وأن يغطي الاواني - ولو بنحو عود يعرض عليها - وأن يغلق الابواب مسميا الله فيهما، وأن يطفى المصابيح عند النوم. (واعلم) أن ذبح الحيوان البري المقدور عليه بقطع كل حلقوم - وهو مخرج النفس - وكل مرئ - وهو مجرى الطعام تحت الحلقوم - بكل محدد يجرح غير عظم، وسن، وظفر - كحديد - وقصب، وزجاج ، وذهب، وفضة - يحرم ما مات بثقل ما أصابه من محدد أو غيره - كبندقة - وإن أنهر الدم وأبان الرأس أو ذبح بكال لا يقطع إلا بقوة الذابح،

 

 فلذا ينبغي الاسراع بقطع الحلقوم بحيث لا ينتهي إلى حركة المذبوح قبل تمام القطع. ويحل الجنين بذبح أمه إن مات في بطنها، أو خرج في حركة مذبوح، ومات حالا. أما غير المقدور عليه بطيرانه أو شدة عدوه، وحشيا كان أو إنسيا كجمل، أو جدي - نفر شاردا، ولم يتيسر لحوقه حالا - وإن كان لو صبر سكن وقدر عليه - وإن لم يخف عليه نحو سارق - فيحل بالجرح المزهق بنحو سهم أو سيف في أي محل كان، ثم إن أدركه وبه حياة مستقرة، ذبحه - فإن تعذر ذبحه من غير تقصير منه حتى مات - كأن اشتغل بتوجيهه للقبلة، أو سل السكين فمات قبل الامكان، حل، وإلا كأن لم يكن معه سكين، أو علق في الغمد بحيث تعسر إخراجه، فلا. ويحرم قطعا رمي الصيد بالبندق المعتاد الآن - وهو ما يصنع بالحديد ويرمى بالنار - لانه محرق مذفف سريعا غالبا. قال شيخنا: نعم، إن علم حاذق أنه إنما يصيب نحو جناح كبير: فيشقه فقط، احتمل الجواز. والرمي بالبندق المعتاد قديما - وهو ما يصنع من الطين - جائز - على المعتمد - خلافا لبعض المحقين.

وشرط الذابح أن يكون مسلما - أو كتابيا ينكح. ويسن أن يقطع الودجين - وهما عرقا صفحتي عنق وأن يحد شفرته، ويوجه ذبيحته لقبلة، وأن يكون الذابح رجلا عاقلا، فامرأة، فصبيا. ويقول - ندبا - عند الذبح، وكذا عند رمي الصيد - ولو سمكا - وإرسال الجارحة: بسم الله الرحمن الرحيم. اللهم صل وسلم على سيدنا محمد . ويشترط في الذبيح - غير المريض - شيآن. أحدهما: أن يكون فيه حياة مستقرة أول ذبحه ولو ظنا، بنحو شدة حركة بعده، ولو وحدها - على المعتمد - وانفجار دم، وتدفقه إذا غلب على الظن بقاؤها فيهما - فإن شك في استقرارها لفقد العلامات حرم. ولو جرح حيوان، أو سقط عليه نحو سيف أو عضه نحو هرة - فإن بقيت فيه حياة مستقرة فذبحه، حل. وإن تيقن هلاكه بعد ساعة، وإلا لم يحل - كما لو قطع بعد رفع السكين ولو لعذر، ما بقي بعد انتهائها إلى حركة مذبوح.

 قال شيخنا في شرح المنهاج: وفي كلام بعضهم أنه لو رفع يده لنحو اضطرابه فأعادها فورا وأتم الذبح، حل، وقول بعضهم: لو رفع يده ثم أعادها لم يحل، مفرع على عدم الحياة المستقرة، عند إعادتها، أو محمول على ما إذا لم يعدها على الفور. ويؤيده إفتاء غير واحد فيما لو انفلتت شفرته فردها حالا، أنه يحل. انتهى. ولو انتهى لحركة مذبوح بمرض، وإن كان سببه أكل نبات مضر، كفى ذبحه في آخر رمقه، إذ لم يوجد ما يحال عليه الهلاك من جرح أو نحوه. فإن وجد، كأن أكل نباتا يؤدي إلى الهلاك، اشترط فيه وجود الحياة المستقرة فيه عند ابتداء الذبح، ولو بالظن، بالعلامة المذكورة بعده.

 

Cabang:

Sunah bagi setiap orang, berminyak sesekali (tidak terus-menerus, tapi sekali tempo), bercelak mata memakai itsmid yang diulang-ulang dengan bilangan gasal, setiap menjelang tidur, dan menyemir rambut uban dan jenggot dengan semir yang berwarna merah atau kuning.

Haram mencukur rambut jenggot, dan bagi laki-laki haram memakai pacar pada kuku tangan atau kaki: Lain halnya dengan pendapat segolongan ulama dalam kedua hal ini. Imam Al-Adzra’i membahas mengenai kemakruhan mencukur rambut yang ada di leher, Dalam hal ini selain beliau mengatakan kebolehannya.

Sunah bagi wanita yang bersuami (mempunyai sayid) memakai pacar, tetapi wanita yang tidak sedemikian hukumnya makruh.

Haram hukumnya meruncingkan gigi, menyubal atau menyambung rambut dengan rambut najis atau rambut orang: Akan tetapi tidak haram jika yang dibuat menyubal atau menyambung adalah rambut sutera atau woll.

Sunah menahan anak-anak kecil di dalam rumah pada waktu malam tiba: Menutup semua wadah yang ada, sekalipun dengan meletakkan kayu di atasnya, menutup pintu-pintu rumah, yang keduanya sunah dengan membaca Basmalah, Juga mematikan lampu ketika hendak tidur.

Ketahuilah! Binatang darat yang dapat dikuasai, cara penyembelihannya adalah dengan memotong putus urat kerongkongannya -yaitu jalan keluar-masuk nafas- dan memutus urat Mari’ -yaitu jalan makanan di belakang hulqum (kerongkongan), di mana pemotongannya dengan menggunakan benda tajam selain tulang, gigi dan kuku, misalnya besi, bambu, kaca, emas dan perak.

Karena itu, maka haramlah memakan binatang yang mati akibat tertimpa benda berat, baik berupa logam atau lainnya, misalnya peluru, sekalipun dapat mencucurkan darah atau bahkan memutuskan kepalanya. Begitu juga haram, jika binatang tersebut disembelih dengan benda yang tidak dapat memutuskan, kecuali dengan adanya tekanan kuat dari penyembelih. Karena itu, seyogianya (sunah) mempercepat memutus urat hulqum, sehingga binatangnya tidak sampai pada gerak ajal sebelum urat itu putus dengan sepenuhnya.

Janin yang mati dalam kandungan induknya sebab sembelihan induknya, hukumnya adalah halal. Demikian pula jika keluar dari induknya dalam keadaan gerak ajal (gerak seperti binatang yang disembelih, bukan yang masih ada hayat mustaqirrah -pen), lalu mati seketika.

Adapun binatang yang tidak terkuasai, lantaran terbang atau lari kencang, baik itu binatang buas atau jinak, misalnya unta atau anak kambing yang lepas dari ikatannya dan kabur, maka cara penyembelihannya adalah dengan melukainya di bagian mana pun dari tubuhnya yang dapat mengakibatkan mati, dengan menggunakan semacam anak panah atau pedang: sekalipun kalau mau sabar sebentar, maka akan bisa dikuasai, dan sekalipun tidak khawatir akan ada semacam pencuri.

Kemudian jika binatang tersebut tertangkap, dan di situ masih ada “hayat mustaqirrah” (masih hidup dan masih bisa memandang, bersuara dan bergerak dengan kesadaran -pen), maka binatang tersebut wajiblah disembelih.

Jika bukan karena gegabah dari pihak peluka di atas, sehingga binatang yang tidak terkuasai itu mati, misalnya karena terleka dengan menghadapkannya ke arah kiblat atau baru mengasah pisau dan belum selesai, ternyata binatang tersebut telah mendahului mati, maka binatang itu hukumnya halal, Kalau karena gegabah, misalnya ia tidak membawa pisau atau karena pisau terjepit pada sarung pisau dan sulit untuk dikeluarkannya, maka binatang yang mati tersebut hukumnya tidak halal.

Hukumnya haram secara qoth’i berburu binatang dengan menggunakan peluru yang digunakan sekarang ini, yaitu peluru yang terbuat dari logam dan diluncurkan oleh kekuatan api, karena peluru tersebut akan membakar pada galibnya terhadap binatang yang terkena dan akan segera mati. Guru kita berkata: Memang, jika pemburu itu adalah orang yang ahli dan yakin, bahwa pelurunya akan mengena pada semacam sayapnya lalu merobeknya saja, maka bisa dimungkinkan kebolehannya.

Berburu dengan peluru model kuno -yaitu peluru yang terbuat dari tanah keringhukumnya menurut pendapat Muktamad adalah boleh, Lain halnya dengan pendapat sebagian ulama Muhaqqiqin.

Syarat orang yang menyembelih harus Muslim atau kafir kitabi yang halal dinikah.

Sunah memotong dua urat, yaitu dua urat yang berada pada leher binatang: mengasah pisau setajamtajamnya, menghadapkan ke arah kiblat, dan penyembelih sunahnya seorang laki-laki yang berakal sehat, kalau tidak ada, maka wanita, dan kalau tidak ada wanita, maka barulah seorang anak-anak. Di kala menyembelih atau waktu meluncurkan alat buru, sekalipun berburu ikan laut, disunahkan membaca Bismillahirrahmanirrahim dan membaca Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad.

Syarat binatang sembelihan yang tidak sakit, ada dua:

Binatang tersebut masih ada Hayat Mustaqirrah di permulaan penyembelihannya, sekalipun hanya diperkirakan berdasarkan tanda semacam gerak keras setelah disembelih dan darah mengalir atau menyembur keluar. Menurut pendapat yang Muktamad, bahwa tanda-tanda “Hayat Mustaqirrah” tersebut tidak harus berkumpul, tapi satu saja sudah cukup (dan tanda-tanda tersebut tidak harus diyakini adanya, tapi cukup diperkirakan saja -pen).

Jika keberadaan Hayat Mustaqirrah masih diragukan, maka binatang itu menjadi haram.

Jika ada seekor binatang terluka, kejatuhan semacam pedang atau digigit semacam kucing, di mana pada binatang tersebut masih terdapat Hayat Mustaqirrah, lalu disembelihnya, maka halallah, sekalipun telah diyakini bahwa binatang itu sesaat lagi akan mati (sebab luka dan seterusnya).

Jika tidak ada Hayat Mustaqirrah pada binatang tersebut di atas, maka tidak halal. Seperti halnya dengan masalah berikut ini: Setelah pisau diangkat kembali, sekalipun karena uzur, lalu diletakkan lagi dan memutus sisa-sisa bagian yang wajib diputus (hulqum dan mari’) yang belum terputus, di mana binatang tersebut sudah sampai gerak madzbuh (binatang yang telah disembelih).

Guru kita berkata di dalam Syarhil Minhaj: Pembicaraan sebagian ulama menyatakan, bahwa jika penyembelihan mengangkat pisaunya karena binatang bergerak ke sana-sini, lalu dengan seketika ia mengembalikan pisaunya dan meneruskan sembelihannya, maka halallah binatang tersebut.

Mengenai ucapan sebagian ulama: “Apabila penyembelih mengangkat pisaunya, lalu meletakkan lagi, maka hukumnya tidak halal binatang itu”, adalah diarahkan permasalahannya pada peletakkan kembali di binatang yang sudah tidak terdapat hayat mustaqirrah, atau diarahkan peletakan pisau tidak dengan seketika, Hal tersebut dikuatkan oleh fatwa tidak hanya seorang saja, bahwa jika pisau yang dipegang oleh penyembelih itu lepas, lalu dengan seketika mengembalikan lagi, maka binatang . sembelihan itu hukumnya adalah halal. Selesai.

Jika lantaran sakit, binatang telah sampai pada gerak ajal (madzbuh), sekalipun sakitnya sebab makan makanan yang membahayakan, maka cukuplah disembelih pada akhir keluar sisa-sisa roh (jadi.tidak disyaratkan adanya hayat Mustaqirrah pada permulaan menyembelih -pen): bila pada binatang seperti ini tidak didapati penyebab kerusakannya, yaitu luka atau lainnya.

 

Jika didapati penyebab kematiannya, misalnya binatang itu makan tumbuh-tumbuhan yang bisa mengakibatkan kematiannya, maka disyaratkan ada hayat mustaqirrah pada permulaan penyembelihannya, sekalipun dengan perkiraan setelah disembelih terdapat tanda-tanda hayat mustaqirrah seperti yang telah tersebutkan di atas.

 

فائدة) من ذبح تقريا لله تعالى لدفع شر الجن عنه لم يحرم، أو بقصدهم حرم. وثانيهما: كونه مأكولا - وهو من الحيوان البري: الانعام، والخيل، وبقر وحش، وحماره، وظبي، وضبع، وضب، وأرنب، وثعلب، وسنجاب، وكل لقاط للحب. لا أسد، وقرد، وصقر، وطاوس، وحدأة، وبوم، ودرة، وكذا غراب أسود ورمادي اللون، خلافا لبعضهم. ويكره جلالة - ولو من غير نعم - كدجاج إن وجد فيها ريح النجاسة. ويحل أكل بيض غير المأكول، خلافا لجمع.

 ويحرم من الحيوان البحري: ضفدع، وتمساح، وسلحفاة، وسرطان. لا قرش، ودنليس على الاصح فيهما. قال في المجموع: الصحيح المعتمد أن جميع ما في البحر يحل ميتته إلا الضفدع، ويؤيده نقل ابن الصباغ عن الاصحاب حل جميع ما فيه، إلا الضفدع . ويحل أكل ميتة الجراد والسمك - إلا ما تغير في جوف غيره، ولو في صورة كلب أو خنزير. ويسن ذبح كبيرهما الذي يطول بقاؤه. ويكره ذبح صغيرهما، وأكل مشوي سمك قبل تطييب جوفه، وما أنتن منه - كاللحم - وقلي حي في دهن مغلي. وحل أكل دود نحو الفاكهة - حيا كان أو ميتا - بشرط أن لا ينفرد عنه، وإلا لم يحل أكله، ولو معه - كنمل السمن - لعدم تولده منه - على ما قاله الرداد - خلافا لبعض أصحابنا .

ويحرم كل جماد مضر لبدن أو عقل - كحجر، وتراب، وسم - وإن قل، إلا لمن لا يضره - ومسكر، ككثير أفيون، وحشيش، وبنج.

 

 

 

Faedah:

Barangsiapa menyembelih binatang sebagai ibadah kepada Allah Ta’ala, dengan tujuan menolak gangguan jin, maka hukumnya tidak haram, atau (kalau bertujuan) diperuntukkan jin, maka hukumnya haram (dan hasil sembelihan dihukumi bangkai -pen).

Binatang yang disembelih adalah binatang yang halal dimakan. Dari golongan binatang darat adalah: Unta, lembu, kambing (Al-An’am/ternak), kuda, sapi liar, himar liar, kijang, semacam serigala (tapi taringnya tidak begitu kuat, sehingga dianggap tidak bertaring -pen), biawak, kelinci, kancil, tupai dan setiap jenis burung pemakan biji-bijian.

Yang tidak halal: Singa, kera, sejenis burung elang (sejenis burung yang berkuku kuat), merak, betet, burung hantu, menco (burung yang suara dan warnanya indah), gagak hitam dan kelabu: lain halnya dengan pendapat sebagian ulama mengenai gagak yang kelabu.

Burung pemakan kotoran najis, sekalipun bukan berupa binatang ternak, adalah dihukumi makruh, jika masih berbau najis, misalnya ayam.

Halal memakan telor binatang tidak halal dagingnya, lain halnya dengan pendapat segolongan ulama.

Binatang laut yang haram dimakan: Katak, buaya, penyu dan kepiting. Menurut pendapat Al-Ashah, bahwa rajungan dan keong hukumnya tidak haram dimakan. Imam An-Nawawi berkata di dalam Al Majmu’: Pendapat yang sahih dan Muktamad, bahwa semua bangkai binatang laut hukumnya adalah halal, selain katak, Pendapat ini dikuatkan dengan penukilan Imam Ibnush Shalah dari Ashhabul Wujuh mengenai kehalalan semua binatang laut selain katak.

Halal memakan bangkai belalang dan ikan, kecuali jika sudah membusuk di dalam perut binatang lain. Sekalipun ikan tersebut berbentuk anjing atau babi. Sunah hukumnya menyembelih belalang dan ikan yang besar dan panjang umurnya.

Makruh menyembelih belalang atau ikan yang bentuknya kecil, memakan ikan goreng yang kotorannya belum dibersihkan: memakan ikan atau daging yang telah membusuk: dan menggoreng ikan dalam keadaan hidup.

Halal memakan ulat buah-buahan, baik masih hidup atau sudah mati, dengan syarat tidak dipisahkan dari buah-buahannya, Kalau makannya dengan cara dipisahkan, maka tidak halal, sekalipun dengan cara bersama-sama.

 

Tidak halal memakan semut yang berada dalam bubur samin, sebab tidak lahir dari sita, menurut pendapat yang dikemukakan oleh Imam Kamalur Radad, Lain halnya dengan pendapat sebagian Ashhabul Wujuh kita (dari kalangan Syafi’iyah).

 

Haram memakan benda keras yang dapat membahayakan badan dan akal, misalnya batu, debu, dan racun, sekalipun sedikit. Jika sedikit tidak membahayakannya, maka tidak haram, Haram juga segala macam yang memabukkan, misalnya memakan candu dengan kadar yang banyak, ganja dan kecubung.

 

فائدة أفضل المكاسب الزراعة، ثم الصناعة، ثم التجارة. قال جمع: هي أفضلها - ولا تحرم معاملة من أكثر ماله حرام، ولا الاكل منها - كما صححه في المجموع -. وأنكر النووي قول الغزالي بالحرمة، مع أنه تبعه في شرح مسلم. ولو عم الحرام الارض جاز أن يستعمل منه ما تمس حاجته إليه، دون ما زاد. هذا إن توقع معرفة أربابه. وإلا صار لبيت المال، فيأخذ منه بقدر ما يستحقه فيه - كما قاله شيخنا.

Faedah:

Pekerjaan yang paling utama adalah dengan urutan sebagai berikut: Pertanian, industri, kemudian perdagangan. Sebagian ulama mengatakan bahwa yang paling utama adalah perdagangan.

Tidak haramm bermuamalah dengan orang yang sebagian besar harta kekayaannya adalah barang haram, begitu juga dengan memakan harta itu menurut pendapat yang telah disahihkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’. Ia mengingkari pendapat Imam Al-Ghazali yang mengatakan keharaman hal tersebut, namun di dalam kitab Syarah Muslim ia mengikuti pendapat Imam Al-Ghazali.

Jika keharaman telah terjadi merata di muka bumi, maka bolehlah mempergunakan barang haram itu dengan sekadar kebutuhannya, bukan yang melebihi kebutuhannya. Demikian ini, jika masih dapat diketahui pemilik barang itu, kalau tidak, maka barang itu menjadi milik Baitulmal, dan boleh mengambil seukur hak yang dimiliki daripadanya, Demikianlah menurut yang dikatakan oleh Guru kita.

 

Nazar

 

 

فرع) نذكر فيه ما يجب على المكلف بالنذر. وهو قربة - على ما اقتضاه كلام الشيخين، وعليه كثيرون - بل بالغ بعضهم، فقال: دل على ندبه الكتاب، والسنة، والاجماع، والقياس. وقيل مكروه، للنهي عنه. وحمل الاكثرون النهي على نذر اللجاج، فإنه تعليق قربة بفعل شئ أو تركه - كإن دخلت الدار، أو إن لم أخرج منها، فلله علي صوم أو صدقة بكذا. فيتخير - من دخلها أو لم يخرج - بين ما التزمه وكفارة يمين. ولا يتعين الملتزم - ولو حجا -.

والفرع: ما اندرج تحت أصل كلي. (النذر: التزام) مسلم، (مكلف) رشيد: (قربة لم تتعين) - نفلا كانت أو فرض كفاية - كإدامة وتر، وعيادة مريض، وزيادة رجل قبرا، وتزوج حيث سن - خلافا لجمع - وصوم أيام البيض، والاثانين. فلو وقعت في أيام التشريق أو الحيض، أو النفاس، أو المرض، لم يجب القضاء - وكصلاة جنازة، وتجهيز ميت. ولو نذر صوم يوم بعينه، لم يصم قبله، فإن فعل أثم - كتقديم الصلاة على وقتها المعين -

ولا يجوز تأخيره عنه - كهي - بلا عذر، فإن فعل صح، وكان قضاء. ولو نذر صوم يوم خميس ولم يعين، كفاه أي خميس. ولو نذر صلاة: فيجب ركعتان بقيام قادر. أو صوما: فصوم يوم أو صوم أيام فثلاثة. أو صدقة، فمتمول، ويجب صرفه لحر مسكين - ما لم يعين شخصا أو أهل بلد - وإلا تعين صرفه له. ولا يتعين لصوم وصلاة مكان عينه، ولا لصدقة زمان عينه. وخرج بالمسلم، المكلف: الكافر والصبي، والمجنون - فلا يصح نذرهم - كنذر السفيه -،

 

وقيل يصح من الكافر. وبالقربة: المعصية - كصوم أيام التشريق وصلاة لا سبب لها في وقت مكروه - فلا ينعقدان -. وكالمعصية: المكروه - كالصلاة عند القبر. والنذر لاحد أبويه أو أولاده فقط. وكذا المباح: كلله علي أن آكل أو أنام. وإن قصد تقوية على العبادة، أو النشاط لها - ولا كفارة في المباح، على الاصح. وبلم تتعين: ما تعين عليه من فعل واجب عيني كمكتوبة وأداء ربع عشر مال تجارة وكترك محرم وإنما ينعقد النذر من المكلف (بلفظ منجز) بأن يلتزم قربة به من غير تعليق بشأ - وهذا نذر تبرر (كلله على كذا) من صلاة أو صوم أو نسك أو صدقة أو قراء أو اعتكاف (أو علي كذا) وإن لم يقل لله (أو نذرت كذا) وإن لم يذكر معها لله على المعتمد الذي صرح به البغوي وغيره من اضطراب طويل (أو) بلفظ (معلق) ويسمى نذر مجازاة وهو أن يلتزم قربة في مقابلة ما يرغب في حصوله من حدوث نعمة أو اندفاع نقمة (كان شفاني الله أو سلمني الله فعلى كذا) أو ألزمت نفسي أو واجب على كذا

وخرج بلفظ النية فلا يصح بمجرد النية كسائر العقود إلا باللفظ. وقيل يصح بالنية وحدها، (فيلزم) عليه (ما التزمه حالا في منجز وعند وجود صفة في معلق). وظاهر كلامهم أنه يلزمه الفور بأدائه عقب وجود المعلق عليه - خلافا لقضية كلام ابن عبد السلام - ولا يشترط قبول المنذور له في قسمي النذر ولا القبض، بل يشترط عدم رده.

ويصح النذر بما في ذمة المدين - ولو مجهولا - فيبرأ حالا، وإن لم يقبل - خلافا للجلال البلقيني - ولو نذر لغير أحد أصليه أو فروعه من ورثته بماله قبل مرض موته بيوم ملكه كله من غير مشارك، لزوال ملكه عنه، ولا يجوز للاصل الرجوع فيه. وينعقد معلقا في نحو: إذا مرضت فهو نذر قبل مرضي بيوم، وله التصرف قبل حصول المعلق عليه. ويلغو قوله: متى حصل لي الامر الفلاني أجئ لك بكذا - ما لم يقترن به لفظ التزام، أو نذر. وأفتى جمع فيمن أراد أن يتبايعا فاتفقا على أن ينذر كل للآخر بمتاعه، ففعلا، صح، وإن زاد المبتدئ: إن نذرت لي بمتاعك. وكثيرا ما يفعل ذلك فيما لا يصح بيعه ويصح نذره. ويصح إبراء المنذور له الناذر - عما في ذمته. قال القاضي:

ولا يشترط معرفة الناذر ما نذر به - كخمس ما يخرج له مع معشر، وككل ولد، أو ثمرة يخرج من أمتي أو شجرتي هذه -. وذكر أيضا أنه لا زكاة في الخمس المنذور. وقال غيره: محله إن نذر قبل الاشتداد، ويصح النذر للجنين - كالوصية له، بل أولى، لا للميت - إلا لقبر الشيخ الفلاني، وأراد به قربة. ثم: كإسراج ينتفع به، أو اطرد عرف - فيحمل النذر له على ذلك. ويقع لبعض العوام: جعلت هذا للنبي (ص) فيصح - كما بحث - لانه اشتهر في عرفهم للنذر، ويصرف لمصالح الحجرة النبوية.

قال السبكي: والاقرب عندي في الكعبة والحجرة الشريفة والمساجد الثلاثة، أن من خرج من ماله عن شئ لها واقتضى العرف صرفه في جهة من جهاتها: صرف إليها واختصت به. اه‍. قال شيخنا: فإن لم يقتض العرف شيئا، فالذي يتجه أنه يرجع في تعيين المصرف رأي ناظرها. قال: وظاهر أن الحكم كذلك في النذر لمسجد غيرها. انتهى. وأفتى بعضهم في، إن قضى الله حاجتي فعلي للكعبة كذا، بأنه غيرها. انتهى يتعين لمصالحها، ولا يصرف لفقراء الحرم -

كما دل عليه كلام المهذب وصرح به جمع متأخرون. ولو نذر شيئا للكعبة ونوى صرفه لقربة معينة - كالاسراج - تعين صرفه فيها، إن احتيج لذلك، وإلا بيع، وصرف لمصالحها - كما استظهره شيخنا -. ولو نذر إسراج نحو شمع أو زيت بسمجد، صح - إن كان ثم من ينتفع به، ولو على ندور - وإلا فلا. ولو نذر إهداء منقول إلى مكة، لزمه نقله، والتصدق بعينه على فقراء الحرم ما لم يعين قربة أخرى - كتطييب الكعبة - فيصرفه إليها. وعلى الناذر مؤنة إيصال الهدي إلى الحرم - فإن كان معسرا، باع بعضه لنقل الباقي. فإن تعسر نقله - كعقار، أو حجر رحى - باعه، ولو بغير إذن حاكم، ونقل ثمنه، وتصدق به على فقراء الحرم. وهل له إمساكه بقيمته أو لا ؟

وجهان. ولو نذر الصلاة في أحد المساجد الثلاثة، أجزأ بعضها عن بعض - كالاعتكاف - ولا يجزئ ألف صلاة في غير مسجد المدينة عن صلاة نذرها فيه، كعكسه - كما لا يجزئ قراءة الاخلاص عن ثلث القرآن المنذور. ومن نذر إتيان سائر المساجد وصلاة التطوع فيه، صلى حيث شاء، ولو في بيته. ولو نذر التصدق بدرهم لم يجزئ عنه جنس آخر. ولو نذر التصدق بمال بعينه، زال عن ملكه. فلو قال: علي أن أتصدق بعشرين دينارا وعينها على فلان، أو إن شفي مريضي فعلي ذلك: ملكها - وإن لم يقبضها ولا قبلها، بل وإن رد، فله التصرف فيها، وينعقد حول زكاتها من حين النذر.

 

وكذا إن لم يعينها ولم يردها المنذور له فتصير دينا له عليه ويثبت لها أحكام الديون من زكاة وغيرها. ولو تلف المعين لم يضمنه، إلا أن قصر - على ما استظهره شيخنا -. ولو نذر أن يعمر مسجدا معينا أو في موضع معين، لم يجز له أن يعمر غيره بدلا عنه، ولا في موضع آخر. كما لو نذر التصدق بدرهم فضة لم يجز التصدق بدله بدينار لاختلاف الاغراض.

 

Cabang: Tentang Nazar

Kami sebutkan kewajiban mukalaf sehubungan dengan nazar. : Menurut persesuaian pembicaraan Imam Rafi’i dan Nawawi, bahwa nazar itu merupakan suatu ibadah. Pendapat ini dipegang oleh kebanyakan ulama, bahkan sebagiannya memperkuat dan berkata: “Hukumnya adalah sunah, sesuai dengan petunjuk Alqur-an, Alhadis, Ijmak dan kias”.

Dikatakan, hukum nazar adalah makruh, sebab ada dalil yahg melarangnya. Kebanyakan ulama mengarahkan larangan tersebut pada Nazar Lajaj, karena nazar ini adalah penggantungan pelaksanaan ibadah pada melakukan atau meninggalkan sesuatu, misalnya: Jika aku masuk rumah atau tidak keluar darinya, maka bagiku berkewajiban puasa atau sedekah sekalian karena Allah: Dalam hal ini bagi penazar yang memasuki atau tidak keluar rumah, diperbolehkan memilih antara yang disanggupinya atau membayar kafarat Yamin (sumpah), Ia tidak wajib menunaikan yang telah disanggupinya, sekalipun hal itu berupa ibadah haji.

Pengertian “cabang” adalah bagian yang tercakup di dalam asal permasalahan yang luas. Nazar adalah: Penetapan pelaksanaan ibadah bukan fardu ain, baik itu berupa sunah atau fardu kifayah oleh orang muslim mukalaf yang Rasyid (pandai).

Misalnya: Melanggengkan sholat Witir, menjenguk orang sakit, ziarah kubur bagi orang laki-laki atau nikah jika telah sampai pada hukum sunah -lain halnya dengan pendapat segolongan ulama-, Berpuasa di hari Bidh dan hari Senen, jika hari-hari tersebut bertepatan dengan hari-hari Tasyrig, haid, nifas, atau sakit, maka tidaklah wajib mengqadhanya: Atau seperti sholat Jenazah dan merawat mayat.

Jika bernazar puasa di hari tertentu (misalnya Kamis atau Sabtu), maka tidak boleh dilakukannya pada hari sebelumnya, dan kalau dilakukannya, maka hukumnya berdosa, sebagaimana halnya dengan mendahulukan sholat sebelum masuk waktunya. Tidak boleh juga melakukan puasa pada hari sesudahnya, sebagaimana halnya dengan mengakhirkan sholat tanpa ada uzur, Jika ia melaksanakan puasa dengan mengakhirkan, maka hukumnya sah sebagai qadha.

Jika ia bernazar untuk puasa di hari Kamis yang tidak.ditentukan Kamis yang mana, maka sah jika dilakukan pada Kamis yang mana saja, Jikaia bernazar sholat yang tidak ditentukan rakaatnya, maka wajib mengerjakan dua rakaat dengan berdiri bagi yang berkuasa, Kalau nazar berpuasa, maka wajib berpuasa satu hari: jika nadar berpuasa beberapa hari, maka wajib mengerjakan puasa tiga hari, Jika nazar bersedekah, maka wajib bersedekah sesuatu yang ada nilai hartanya dan diberikan kepada orang miskin yang merdeka, jika ia tidak menentukan orang yang diberinya, atau kepada penduduk daerah setempat, Kalau ia telah. menentukan orang yang diberinya, maka wajib diberikan kepada orang tersebut.

Bernazar untuk melakukan puasa atau sholat di tempat tertentu, maka tidak wajib mengerjakannya di tempat tersebut, Jika ia nazar bersedekah pada zaman tertentu, maka tidak wajib melaksanakannya pada zaman tersebut. Tidak termasuk ketentuan “orang Muslim mukalaf”, yaitu orang kafir, kanak-kanak dan orang gila: Karena itu, nazar mereka hukumnya tidak sah, seperti halnya nazar orang bodoh. Ada yang mengatakan, bahwa nazar orang kafir hukumnya adalah sah.

Tidak termasuk ketentuan “perbuatan ibadah”, yaitu tindakan maksiat, misalnya berpuasa di hari Tasyriq atau sholat yang tidak punya sebab di waktu makruh: Karena itu, nazar untuk dua perkara ini hukumnya tidak sah. Termasuk tindakan maksiat, yaitu perbuatan makruh, seperti sholat di atas makam dan nazar khusus untuk salah satu kedua orangtua atau anak-anaknya.

Demikian pula dengan perbuatan mubah, misalnya: “Saya nazar makan atau tidur karena Allah” sekalipun dengan tujuan menguatkan atau menyemangatkan ibadah. Menurut pendapat Al-Ashah, bahwa dalam masalah nazar mubah (jika tidak dilaksanakan) adalah tidak terkena kewajiban kafarat.

Tidak termasuk ketentuan “ibadah bukan fardu ain”, yaitu ibadah yang merupakan fardu ain, misalnya sholat maktubah, membayar zakat 2,5% harta perdagangan atau menghindari hal-hal yang diharamkan.

Sesungguhnya nazar orang mukalaf itu bisa sah, jika dengan menggunakan lafal yang munjaz (lestari), yaitu seperti: Ia menyanggupi suatu ibadah yang tanpa digantungkan dengan waktu. Nazar seperti ini dinamakan Nazar Tabarrur.

Misalnya: “Saya wajib menunaikan umpama sholat, puasa, nusuk, sedekah, membaca Alqur-an, atau iktikaf karena Allah”. Atau “Saya nazar begini”, sekalipun tanpa menyebut “nama Allah”, menurut pendapat yang Muktamad, yang masih diperselisihkan oleh banyak ulama, seperti yang dijelaskan oleh Imam Al-Baghawi dan lain-lainnya.

 

Atau juga sah dengan menggunakan lafal yang digantungkan, dan nazar ini dinamakan nazar “Mujazah”. Yaitu menyanggupi suatu ibadah sebagai perimbangan atas terjadi suatu kenikmatan yang digemari atau tersingkir suatu bencana. Misalnya: “Jika Allah menyembuhkan penyakit kami ini atau menyelamatkan diri kami, maka kami wajib begini …” “…, maka kami menetapkan diri (menyanggupi) untuk melakukan begini” atau “…, maka kami berkewajiban melakukan begini”.

Tidak termasuk ketentuan “dengan lafal”, yaitu dengan niat, Karena itu, kesanggupan yang hanya niat saja adalah tidak bisa menjadi kesahan nazar, sebagaimana halnya dengan bentuk akad-akad lainnya. Ada yang mengatakan, bahwa nazar adalah sah dengan keberadaan niat saja.

Dalam Nazar Tabarrur, bagi orang yang nazar Wajib melaksanakan kesanggupannya dengan seketika, dan wajib melaksanakan kesanggupannya yang telah terjadi dalam Nazar Mujazah. Menurut lahir pembicaraan ulama, bagi dia dalam Nazar Mujazah wajib melakukan kesanggupannya dengan seketika, setelah terjadi perkara yang digantungkan tersebut, Lain halnya dengan pendapat yang sesuai dengan pembicaraan Imam Ibnu Abdis Salam.

Untuk kesahan dua nazar di atas, adalah tidak disyaratkan qabul (pernyataan setuju) dari Mandzur Lah (orang yang menerima nazar) dan qabdh-nya (penerimaan), tapi yang disyaratkan adalah tidak ada penolakannya.

Hukum kesahan bernazar dengan membebaskan tanggungan orang yang berutang, sekalipun jumlah tanggungan tersebut tidak diketahui berapa jumlahnya: Karena itu, dengan seketika tanggungan menjadi bebas, sekalipun orang yang berutang (Madin) tidak qabul, lain halnya dengan pendapat Imam AlJalal Al-Bulqini.

Jika seseorang sebelum sakit yang membawa kematiannya bernazar memberikan hartanya kepada selain salah satu orangtua dan anak cucunya, maka orang yang menerima (mandzus lah) memiliki seluruh harta yang dinazarkan kepadanya tanpa disekutui oleh ahli waris, sebab hak milik nadzir

Bagi orangtua tidak boleh mencabut kembali nazar yang diberikan kepada salah satu anaknya Nazar semisal: “Bila saya sakit, maka barang itu sebagai nazar kepada dia sejak satu hari sebelum sakitku”, adalah sah sebagai nazar Mujazah (mu’allaq). Bagi si nadzir boleh mentasarufkan harta yang ia nazarkan sebelum digantungkan dalam nazarnya).

Perkataan: “Bila dapat kucapai sesuatu itu, maka aku datang kepadamu dengan perkara ini”, adalah tidak bisa dibukumi sebagai nazar, selama tidak disertas lafal yang mengandung kesanggupan atau nazar.

Segolongan ulama mengeluarkan fatwanya, bahwa dua orang yang hendak berjual beli, lalu sepakat untuk saling menazarkan, lantas melakukannya, adalah dihukumi sah, sekalipun orang yang nazar menambahkan “jika daganganmu kamu nazarkan kepadaku”. Demikianlah kebanyakan cara yang ditempuh dalam barang yang tidak sah dijual, tapi sah jika dinazarkan. Adalah sah, pembebasan tanggungan orang yang nazar oleh Mandzur Lah.

Imam Al-Qadhi Husen berkata: Tidak disyaratkan, bahwa orang yang nazar harus mengetahui Mandzur Bih (barang yang dinazarkan), seperti 20% hasil panen biji-bijian yang wajib dikeluarkan zakatnya 1/10 atau 1/20nya, seluruh anak yang akan lahir dari budakku ini atau buah-buahan hasil pohonku ini. Beliau menyebutkan pula, bahwa jumlah 20% yang dinazarkan tersebut adalah tidak dikenakan zakat. Ulama lainnya berkata, bahwa ketidakwajiban zakat itu, jika dinazarkannya sebelum berisi.

Sah bernazar demikian juga berwasiat kepada janin yang ada dalam kandungan, Bahkan untuk masalah nazar adalah lebih diperbolehkan.

Tidak sah nazar kepada mayat, kecuali pada makam sang Guru Anu .. dan nazarnya dimaksudkan untuk ibadah di sana, misalnya menyalakan lampu yang dapat dimanfaatkan, atau memang sudah berlaku kebiasaan mentasarufkan Mandzur (barang nazar) pada makam (misalnya untuk memperbaikinya), maka harus diarahkan ke situ.

Terjadi pada sebagian orang-orang awam (suatu perkataan): “Aku jadikan barang ini untuk Nabi saw.”, ini sah sebagai nazar, sebagaimana yang telah dibahas, sebab menurut kebiasaan perkataan tersebut untuk nazar, Kemudian barang tersebut harus ditasarufkan untuk kemaslahatan bilik makam Nabi saw.

Imam Subki berkata: Yang lebih mendekati kebenaran menurutku, bahwa orang yang mengeluarkan hartanya sebagai nazar untuk bilik atau makam Nabi atau tiga mesjid (Masjidil Haram, Nabawi, dan Masjidil Aqsha), dan urf menentukan ditasarufkannya untuk kemaslahatan tempat-tempat tersebut maka secara khusus harus ditasarufkan ke situ. Selesai.

Guru kita berkata: Kemudian jika urf tidak menentukan apa-apa, maksa menurut pendapat yang berwajat adalah penentuan pentasarufannya diserahkan pada pendapat pengurus tempat tersebut.

Guru beliau berkata: Yang jelas, seperti itu pula hukum pentasarufan barang nazar pada mesjid-mesjid lainnya. Selesai.

Sebagian ulama mengeluarkan fatwa mengenai ucapan: “Jika Allah berkenan memenuhi hajatku, maka aku berkewajiban memberikan sesuatu pada Ka’bah”, maka barang yang dinazarkan tersebut wajib ditasarufkan untuk kemaslahatan Ka’bah, dan tidak boleh untuk orang-orang fakir Tanah Haram, demikianlah menurut petunjuk uraian kitab Al-Muhadzdzab dan yang telah dijelaskan oleh segolongan ulama.

Jika seseorang menazarkan sesuatu untuk Ka’bah dan ia menentukan arah pentasarufannya pada ibadah tertentu, misalnya untuk Jampu penerangan, maka wajib ditasarufkan ke situ, jika memang masih diperlukan: Jika tidak diperlukan, maka barang tersebut dijual dan uangnya ditasarufkan untuk kemaslahatan Ka’bah, demikianlah menurut penjelasan Guru kita (Ibnu Hajar Al-Haitami). Jika menazarkan untuk menyalakan lampu lilin atau minyak zaitun di mesjid, adalah sah jika di sana ada orang yang memanfaatkan, sekalipun jarang sekali: Kalau tidak, maka tidak sah.

Jika nazar menghadiahkan barang yang bisa dipindah ke Mekah, maka wajib membawa ke sana, lalu barang itu pula yang disedekahkan kepada orang-orang fakir Tanah Haram, selagi ia tidak menentukan ibadah lainnya, nusainya mengharumkan Ka’bah: Karena jitu, jika ia menentukan untuk mengharumkan Ka’bah, maka harus ditasarufkan ke situ.

Biaya pengangkutan hadiah yang ditentukan untuk Tanah Haram, adalah tanggungan orang yang nazar: Jika ia orang yang melarat, maka sebagian dari barang tersebut dijual untuk memindahkannya, Jika barang tersebut sulit untuk dipindahkannya, misalnya pekarangan atau batu penggiling, maka harus dijual, sekalipun tidak seizin hakim, dan uangnya dipindah (dibawa) ke sana serta dibagi-bagikan kepada orang fakir Tanah Haram.

Apakah bagi orang yang nazar diperbolehkan membelinya atau tidak? Di sini terdapat dua wajah (pendapat). Jika ia bernazar akan melakukan sholat atau iktikaf di salah satu dari tiga mesjid (Masjidil Haram, Nabawi dan Aqsha), maka cukuplah jika hal itu dilakukan di salah satu dari ketiga mesjid tersebut.

Tidaklah dianggap telah mencukupi sholat sebanyak seribu kali di lain mesjid Madinah (Mesjid Nabawi) sebagai ganti satu kali sholat yang dinazarkan di Madinah, demikian pula sebaliknya. Sebagaimana pula belum mencukupi dengan membaca surah Al-Ikhlas sebagai ganti sepertiga Alqur-an yang dinazarkan.

Barangsiapa bernazar untuk mendatangi dan sholat di dalam mesjidmesjid selain ketiga mesjid tersebut di atas, maka cukuplah dengan sholat di mana saja, sekalipun di dalam rumahnya. Jika ia bernazar untuk bersedekah satu dirham, maka belum dianggap mencukupi dengan memberikan uang jenis lainnya, Jika nazar bersedekah dengan harta yang telah ditentukan, maka harta itu lepas dari hak miliknya.

Jika ia berkata: “Bagiku wajib bersedekah 20 dirham untuk si Fulan” atau “Jika penyakitku sembuh, maka bagiku wajib bersedekah terhadap si Fulan sebanyak 20 dinar”, maka si Fulan sudah berhak memilikinya, sekalipun belum menerimanya serta tidak menyatakan qabul. Sedang haul zakatnya dihitung sejak pernyataan nazar.

Demikian pula, jika ia tidak menentukan dinar yang mana dan ternyata Mandzur Lah (orang yang menerima nazar) tidak menolaknya, maka dinar tersebut menjadi piutang atas diri si nadzir, dan berlakulah di sini hukumhukum yang berkaitan dengan zakat dan lainnya atas piutang itu.

 

Jika dinar yang ditentukan tersebut mengalami kerusakan, kalau rusaknya bukan lantaran kegabahan si nadzir, maka ia tidak wajib menanggungnya, menurut penjelasan Guru kita.Jika seseorang bernazar hendak membangun suatu mesjid yang telah ditentukan atau di tempat tertentu, maka baginya tidak b oleh membangun mesjid yang lainnya sebagai gantinya atau membangun di tempat lain yang tidak ditentukannya. Sebagaimana nazar bersedekah dengan dirham perak, maka baginya tidak boleh bersedekah dengan dinar sebagai gantinya, sebab adanya perbedaan maksud.

 

تتمة) اختلف جمع من مشايخ شيوخنا في نذر مقترض مالا معينا لمقرضه ما دام دينه في ذمته فقال بعضهم لا يصح، لانه على هذا الوجه الخاص غير قربة، بل يتوصل به إلى ربا النسيئة. وقال بعضهم يصح، لانه في مقابلة حدوث نعمة ربح القرض إن اتجر به، أو فيه اندفاع نقمة المطالبة إن احتاج لبقائه في ذمته لاعسار أو إنفاق، ولانه يسن للمقترض أن يرد زيادة عما اقترضه فإذا التزمها بنذر انعقد، ولزمته، فهو حينئذ مكافأة إحسان، لا وصلة للربا، إذ هو لا يكون إلا في عقد كبيع، ومن ثم لو شرط عليه النذر في عقد القرض، كان ربا. وقال شيخ مشايخنا العلامة المحقق الطنبداوي، فيما إذا نذر المديون للدائن منفعة الارض المرهونة مدة بقاء الدين في ذمته: والذي رأيته لمتأخري أصحابنا اليمنيين ما هو صريح في الصحة، وممن أفتى بذلك شيخ الاسلام محمد بن حسين القماط والعلامة الحسين بن عبد الرحمن الاهدل. (والله أعلم).

 

Penyempurnaan:

Segolongan ulama dari guru-guru kita berselisih pendapat mengenai kesahan nazar pengutang memberikan harta tertentu kepada pemiutangnya, selama utangnya masih ada pada tanggungannya.

Sebagian mereka berkata: Nazar tidak sah, sebab dari arah khusus tersebut (yaitu sebagai imbangan, selama utang masih berada pada tanggungannya -pen) adalah bukan ibadah (padahal syarat nazar harus merupakan kurban/ibadah), tetapi justru penazar menggunakannya sebagai perantara ke arah riba Nasiah.

Sebagian yang lain berkata: Nazar tetap sah, sebab sebagai imbangan (imbalan) atas terjadi kenikmatan berupa keuntungan utang jika harta tersebut diperdagangkan, atau sebagai imbangah atas terhindar dari bencana penagihan, jika ternyata utang tersebut masih perlu untuk diperpanjang dalam tanggungannya, lantaran penazar masih melarat atau untuk nafkah, Juga adanya kesunahan bagi pengutang untuk menambah jumlah pengembalian utangnya. Karena itu, jika penambahan jumlah tersebut ia tetapkan dengan nazar, maka hukumnya menjadi wajib, bukan sunah lagi. Dengan adanya jalan khusus tersebut, maka yang disanggupi oleh pengutang dengan cara nazar adalah sebagai imbalan jasa, bukan jembatan riba, sebab riba cuma terjadi dalam suatu akad, misalnya jual beli.

Dengan demikian, jika nazar tersebut disyaratkan sewaktu akad utang, maka menjadi riba. Guru para guru-guru kita, yaitu Al’Allamah Al-Muhaqqiq Ath-Thanbadawi berkata: Mengenai bilamana pengutang menazarkan kepada pemiutang untuk memberikan kemanfaatan bumi yang digadaikan padanya, selama utang masih jadi tanggungan pengutang, maka yang saya ketahui dari ulama Ashhabuna Mutaakhirin Yaman, bahwa nazar tersebut jelas sah.

Di antara ulama yang mengeluarkan fatwa seperti ini, adalah Syaikhul Islam Muhammad bin Husen Al-Qammath dan Al-Husen bin Abdur Rahman Al-Ahdal.

 

 

 

 

Komentar atau pertanyaan, silakan tulis di sini

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama