Terjemah dan Rangkuman Kitab At Tibyan Fi Ulumil Quran
Karya Syaikh
Muhammad Ali Ash Shobuny
Pengajar di
Fakultas Syariah Wa Dirasat Al Islamiyah di Makkah al Mukarromah
BAB 2 HIKMAH TURUNNYA AL QURAN BERANGSUR-ANGSUR
BAB 7 TAFSIR DAN PARA AHLI TAFSIR
Asbabun
Nuzul
Faedah Mengetahui Asbabun Nuzul
Apa itu asbabun nuzul?
Bagaimana asbabun nuzul diketahui
Macam-macam asbabun nuzul
Apakah suatu ungkapan itu didasarkan pada keumuman teksnya atau
didasarkan atas kekhususan penyebabnya
BAB 3
ASBABUN NUZUL
Mengetahui "Asbabun Nuzul" sangat
besar pengaruhnya dalam memahami makna ayat yang mulia. Oleh karena itu,para
ulama sangat berhati-hati dalam memahami "Asbabun Nuzul". Sehingga
banyak di antara mereka yang menulis tentang itu. Di antaranya, yang terdahulu
ialah Ali Al-Madiny (guru Imam Bukhari r.a.)... Yang terkenal dalam bidang ilmu
ini adalah kitab "Asbabun Nuzul" karya Imam Al-Wahidi. Syaikhul
Islam, Imam Ibnu Hajar juga mengarang kitab tentang itu. Bahkan ada pula kitab
yang besar dan lengkap, judulnya "Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul",
karya Imam Suyuthi.
Mengingat betapa pentingnya "Asbabun
Nuzul", maka bisa kita katakan bahwa sebagian ayat tidak mungkin bisa
diketahui makna-makna atau diambil hukum darinya, sebelum mengetahui secara
pasti tentang asbabun nuzul-nya.
Contoh ayat:
وَلِلّٰهِ الۡمَشۡرِقُ
وَالۡمَغۡرِبُۚ فَاَيۡنَمَا تُوَلُّوۡا فَثَمَّ وَجۡهُ اللّٰهِؕ
اِنَّ اللّٰهَ وَاسِعٌ عَلِيۡمٌ
Artinya:
"Kepunyaan Allah lah Timur dan Barat, kemana pun engkau menghadapkan
wajah, di sana lah kiblat (yang disukai) Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah: 115).
Kadangkala terjadi pemahaman seolah-olah ayat
di atas memperbolehkan shalat menghadap kepada selain qiblat (Ka'bah). Padahal
pemahaman seperti ini salah, karena menghadap qiblat itu termasuk syarat sahnya
shalat. Namun dengan mengetahui "sebab turunnya ayat", maka pemahaman
menjadi jelas. Ayat itu tersebut turun dalam kaitannya dengan orang yang dalam keadaan bepergian.
Di mana ia kehilangan qiblat, tidak tahu arahnya. Kemudian setelah berijtihad,
ia melaksanakan shalat. Maka, kemana pun ia menghadap, ketika itu, shalatnya
tetap sah. Ia tidak wajib mengulangi shalatnya lagi., manakala telah menemukan
qiblat, meskipun dalam shalatnya tadi, ia menghadap ke arah bukan qiblat.
Jelaslah bahwa ayat tersebut bukan berlaku untuk umum, melainkan untuk
orang-orang tertentu yang tidak mengetahui arah qiblat.
Contoh lain, betapa pentingnya mengetahui
"Asbabun Nuzul" untuk memahami suatu ayat, yaitu firman Allah 'Azza
wa Jalla:
لَيۡسَ عَلَى ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ
ٱلصَّـٰلِحَـٰتِجُنَاحٌ۬ فِيمَا طَعِمُوٓاْ إِذَا مَاٱتَّقَواْ وَّءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ
ٱلصَّـٰلِحَـٰتِثُمَّ ٱتَّقَواْ وَّءَامَنُواْ ثُمَّ ٱتَّقَواْ وَّأَحۡسَنُواْۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِين
Artinya: "Tiada berdosa orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan
dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan
yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap
juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan".(Q.S. Al-Ma'idah: 93).
Ayat ini turun dalam kaitannya dengan masalah
arak. Kadangkala terjadi salah paham, seolah-olah arak itu tidak diharamkan.
Seperti anggapan sebagian orang-orang bodoh. Mereka mengatakan, "Arak itu
tidak diharamkan berdasarkan Al-Qur'an".
Kalau saja mereka mengerti tentang sebab turunnya ayat tersebut,
sudah barang tentu mereka tidak akan berbuat kesalahan sedemikian rupa.
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا
ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَـٰم ُرِجۡسٌ۬ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَـٰنِ
فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُون
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan".(Q.S. Al-Ma'idah: 90).
Mendengar ayat tersebut, lantas para sahabat bertanya kepada
Rasulullah saw: "Bagaimana dengan orang-orang yang ikut berperang membela
agama Allah dan gugur?. Mereka itu para peminum arak, padahal minum arak itu
termasuk perbuatan keji. Kemudian turun ayat tersebut yang menerangkan bahwa
orang yang meminumnya sebelum diharamkan, maka Allah telah mengampuninya. Ia
tidak akan mendapat dosa atau siksa. Karena, Allah tidak akan menyiksa atas
perbuatan orang sebelum ia masuk Islam atau sebelum ada hukum
"diharamkan". Dengan demikian, jelaslah maksud ayat tersebut. Dan ia
tetap sebagai "nash qoth'i" dalam hal minum arak.
Faedah Mengetahui Asbabun Nuzul
Sebagian orang berpendapat bahwa pembahasan
tentang asbabun nuzul tidaklah penting untuk mengetahui tafsir Al Quran,
tentunya ini adalah anggapan yang salah dan perkataan yang tertolak. Berikut
pendapat beberapa ulama tentang faedah mengetahui asbabun nuzul.
Imam Wahidi berpendapat, untuk mengetahui
tafsir suatu ayat Al Qur’an tidak mungkin bisa tanpa mengetahui latar belakang
peristiwa dan kejadian diturunkannya.
Ibnu daqiq Al-Ied berpendapat, bahwa keterangan tentang turunnya
ayat merupakan jalan yang kuat dalam memahami arti dan ma’na Al Qur’an.
Sedangkan menurut pendapat Ibnu Taimiyyah,
mengetahui latar belakang turunnya suatu ayat, sangat menolong kita dalam
memahami ma’na ayat itu sendiri, sebab dengan mengetahui peristiwa turunnya itu
memberikan dasar untuk mengetahui penyebabnya.
Adapun faedahnya bisa kita ringkas sebagai berikut:
a. Mengetahui
hikmah dibalik disyariatkannya suatu hukum
b. Kekhususan
hukum disebabkan oleh sebab tertentu
c. Menghindari
anggapan bahwa hukum itu menyempitkan dalam memandang hukum yang nampak
lahirnya menyempitkan
d. Mengerti
nama yang dituju oleh turunnya ayat dan sekaligus menghilangkan kesalah pahaman
Adapun faedah-faedah mengetahui asbabun nuzul sebagaimana berikut:
Pertama
Dapat mengetahui hikmah disyari’atkannya hukum. Contoh: Marwan
mendapatkan kesulitan memaknai ma’na ayat: “ Janganlah kamu kira mereka yang
bersuku ria atas perbuatannya dan suka di puji dengan sesuatu yang tidak mereka
perbuat, janganlah kamu kira mereka akan lepas dari siksaan, dan untuk mereka
itu siksaan yang paling pedih.” (QS. Ali Imron:188)
Kemudian beliau memerintahkan pembantunya: “pergilah kepada Ibnu
Abbas dan katakanlah, ‘Kalau saja setiap orang yang suka atas sesuatu yang
telah diperbuat serta suka dipuji atas sesuatu yang tidak diperbuat itu
disiksa’”. Ibnu Abbas lalu menerangkan, namun orang itu tetap tidak paham.
Kemudian Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya ayat ini turun pada ahli
kitab-Yahudi- ketika mereka ditanya oleh Nabi saw. mereka menyembunyikan
sesuatu kepada Nabi saw. Bahkan mereka mengatakan yang lain. Mereka kira tekag
mengabarkan sesuatu yang dipertanyakan Nabi saw., dan turunlah ayat tersebut.
(HR. Bukhari Muslim)
Kedua
Membantu memahami ayat dan menghindari ketidak jelasan dari ayat
tersebut. Contoh: Urwah bin Zubair r.a kebingungan memaknai firman
Allah: “Sesungguhnya Shafā dan Marwah adalah
sebahagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah
atau ber-umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.
Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka
sesungguhnya Allah Maha Menerima kebaikan, Maha Mengetahui.” (QS. Al
Baqoroh: 158)
Ayat ini mengisyaratkan bahwa sa’i (antara
Shofa dan Marwah) itu tidak wajib. Sampai-sampai Urwah bertanya kepada bibinya
Aisyah: “ Wahai bibi! Sesungguhnya Allah berfirman “Maka tiada mengapa ia
berlari-lari antara keduanya...” Menurut pendapatku tidak mengapalah orang
meninggalkan sa’i antara keduanya, “ Kemudian Aisyah bercerita kepadanya: “
Pada zaman Jahiliyah manusia bersa’i antara Shafa dan Marwah. Mereka menyengaja
dua berhala. Satu di shafa namanya Isafa dan satunya lagi di marwah, namanya
Na’ilah. Ketika orang-orang telah masuk Islam, maka sebagian sahabat ada yang
tidak mau bersa’i lagi, karena takut ibadahnya itu serupa dengan ibadahnya
orang-orang Jahiliyah. Kemudian turunlah ayat tadi untuk menolak anggapan
berdosa itu dan sekaligus diwajibkan mereka bersa’i karena Allah, bukan karena
berhala”. Demikianlah Aisyah menolak paham Urwah bin Zubair. Dan itu disebabkan
karena tahu asbabun nuzul.
Ketiga
Kekhususan hukum disebabkan oleh sebab tertentu. Contoh: Sebagian
Ulama’ tidak mengetahui makna firman Allah Azza Wa Jalla:
وَاللَّائِي
يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ
أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ۚ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ
يُسْرًا.
“Perempuan-perempuan yang telah putus dari haid (darah yang keluar
disetiap bulan), jika kamu ragu-ragu (tentang iddanya), maka iddanya tiga
bulan.”(QS. At Thalaq: 4)
Sehingga meraka mengatakan: “Jelas perempuan yang putus darah
haidnya, tidak mempunyai iddah”. Namun pendapat ini salah. Setelah mengetahui
asbabun nuzul kesalahpahaman mereka menjadi Nampak. Sebenarnya, ayat ayat itu
ditunjukkan pada orang yang tidak mengerti hokum iddah seorang perempuan dan
juga masih ragu, apakah mereka itu mempunyai iddah atau tidak. Jadi, makna (ان ارتبتم) adalah: jika kamu kesulitan menghukumi
mereka, maka inilah hukum mereka itu. Dan sesunggunya ayat ini turun setelah
ada sebagian sahabat mengatakan bahwa iddah seorang wanita itu tidak disebutkan
dalam al Qur’an. Yakni gadis-gadis kecil dan wanita yang berhenti haid dikarenakan
faktor lanjut usia. Maka turunlah ayat tersebut untuk menerangkan iddah
masing-masing perempuan
Keempat
Menghindari anggapan bahwa hukum itu menyempitkan dalam memandang
hukum yang nampak lahirnya menyempitkan.
“Katakanlah, ‘Tiada aku
peroleh dalam apa yang diwahyukan kepadaku (suatu makanan) yang diharamkan atas
orang yang memakannya, kecuali mayat (bangkai), darah yang mengalir atau daging
babi, karena demikian itu keji atau fasik (hewan) yang disembelih bukan dengan
nama Allah.”(QS. Al An’am: 145)
Imam Syafi’i berkata: “ Ketika orang kafir telah mengharamkan
sesuatu yang dihalalkan Allah dan menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah,
maka datang ayat tersebut untuk membatalkan pendapat mereka. Seolah-olah Allah
Swt. mengatakan, ‘Yang halal justru yang telah kamu haramkan dan yang haram
justru yang telah kamu halalkan’. Akan tetapi maksud ayat ini hanya menetapkan
hukum haram, bukan menetapkan hukum halal. Imam Haromain memberikan komentar:
“Inilah pendapat yang amat bagus. Kalau saja imam syafi’i tidak mengemukakan
demikian, tentu kami tidak akan diperkenankan berbeda pendapat dengan imam
malik dalam meringkas hukum haram dalam apa yang telah disebutkan ayat
tersebut.
Kelima
Mengerti nama yang dituju oleh turunnya ayat dan sekaligus
menghilangkan kesalah pahaman. Contoh: Marwan mengira bahwa ayat 17 surat
al-Ahqof: وَالَّذِي
قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا itu diturunkan pada kisah Abdur Rahman bin
Abi Bakar. Aisyah membantanh: “Itu tidak benar”. Kemudian Aisyah menjelaskan
sebab turunnya ayat dan perinciannya kepada Marwan, sesuai yang diriwayatkan
oleh imam Bukhari r.a:
“Marwan itu sebagai pejabat di Madinah. Maka Muawiyah berkirim
surat kepadanya, mengabarkan bahwa Yazid hendak diangkat sebagai khalifah,
marwan segera mengumpulkan orang-orang dan berpidato. Marwan dalam pidatonya
menyebutkan tentang Yazid dan mengajak agar berbaiat kepadanya. Kata Marwan
“Sungguhnya Amirul Mu’minin menilai Yazid itu mempunya pendapat yang cemerlang.
Jika beliau mengangkatnya sebagai khalifah, maka demikianlah Abu Bakar dan
Umar’. Mendengar itu Abu bakar berkata, ‘Tidak! Kepemimpiman hanyalah seperti
raja-raja romawi’ (Heracliusme). Marwan mengatakan ‘ Inilah sunnah Abu Bakara
dan Umar’. Abdurrahman menegaskan lagi. Hiracliusme! Demi Allah Abu Bakar tidak
pernah memberikan jabatan itu kepada anak atau keluarganya. Tapi, Muawiyah
memberikan kemulyaan itu kepada anaknya’. Kemudian Marwan mendesak, ‘tangkap
dia (Abdurrahman)!’, lalu Abdurrahman masuk ke pondoknya Aisyah sementara
orang-orang tidak mampu menolongnya. Kata Marwan, ‘Inilah orang-orang yang
dikehendaki Allah dalam firmanNya (artinya); Orang yang berkata kepada ibu
bapaknya; cis, kamu berdua, adakah kamu janjikan kepadaku bahwa aku akan
dikeluarkan (dari dalam kubur) sesungguhnya telah lalu umat sebelumku.”. Maka
Aisyah r.a menjawab dari hijab, ‘Allah tidak pernah menurunkan ayat al Qur’an
tentang kasus orang tertentu diantara kita, kecuali ayat yang menurunkan
tentang uzurku (kebebasanku). Kalau aku mau memberi nama orang yang ditujuh
oleh turunnya ayat, tentu aku sampaikan.
Apa itu asbabun nuzul?
Terkadang terjadi suatu kasus (kejadian),
kemudian turun satu atau beberapa ayat yang berhubungan dengan kasus tersebut,
maka itulah yang disebut dengan Asbabun Nuzul. Dari segi lain, kadang-kadang
ada suatu pertanyaan yang dilontarkan kepada Nabi SAW tentang suatu hukum
syara’ atau penjelasan secara terperinci tentang urusan agama. Kemudian
turunlah satu atau beberapa ayat yang berhubungan dengan pertanyaan tersebut,
ini juga disebut sababun nuzul.
Contoh asbabun nuzul yang berupa
peristiwa.terhadap hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Khabbab bin Al Arat,
ia berkata : saya adalaha tukang besi. Saya saya menghutangkan kepada Ash Ibnu
Wail, suatu etika saya datang kepadanya untuk menagih piutangku”. Ia menjwab, “
saya tidak akan membayar hutangku kepadamu sebelum engkau mengkufurkan Muhammad
dan beralih menyembah Al Lata dan Al ‘Uzza”. Saya menjawab, aku tidak akan
mengkufurkannya sehingga engkau dimatikan Allah dan dibangkitkan kembali”.
Jawab Ash Ibnu Wail, ‘ jadi, kelak aku akan mati dan dibangkitkan kembali?
Kalau begitu, tanggulah aku pad hari itu, nanti aku akan memberikan harta dan
anak untuk membayar hutang kepadamu”.Karena peristiwa ini Allah SWT. Menurunkan
ayat:
اَفَرَءَيۡتَ الَّذِىۡ كَفَرَ بِاٰيٰتِنَا
وَقَالَ لَاُوۡتَيَنَّ مَالًا وَّوَلَدًا ؕ
اَطَّلَعَ الۡغَيۡبَ اَمِ اتَّخَذَ عِنۡدَ الرَّحۡمٰنِ عَهۡدًا ۙ كَلَّا
ؕ سَنَكۡتُبُ مَا يَقُوۡلُ وَنَمُدُّ لَهٗ مِنَ الۡعَذَابِ مَدًّا
ۙ وَّنَرِثُهٗ مَا يَقُوۡلُ وَيَاۡتِيۡنَا
فَرۡدًا
“Maka apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat
Kami dan ia mengatakan, "Pasti aku akan diberi harta dan anak.” Adakah ia
melihat yang gaib atau ia telah membuat perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha
Pemurah? Sekali-kali tidak, Kami akan menulis apa yang ia katakan, dan
benar-benar Kami akan memperpanjang azab untuknya, dan Kami akan mewarisi apa
yang ia katakan itu dan ia akan datang kepada Kami dengan seorang diri.” (QS.
Maryam ayat 77-80)
Contoh lain adalah pertanyaan yang
diriwayatkan oleh sahabat Muadz bin Jabal ra.:”Wahai Rasulullah, ada orang
Yahudi yang mengadu kepada kami dan mengungkapkan permasalahannya tentang
hilal, maka ada apa dengan Hilal, dia asalnya tampak tipis kemudian bertambah
tebal dan bulat, kemudian terus berkurang lagi hingga dia kembali kebentuknya
semula. Maka turunlah ayat:
يسألونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس والحج
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: "Hilal
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; (Q.S.
Al-Baqarah: 189).
Bagaimana asbabun nuzul diketahui
Untuk mengetahui sebab nuzul tidak boleh
hanya dengan melalui akal atau pendapat, yaitu Bi al-Ra’yi (بالرأى,) tetapi mestilah dengan riwayat yang
sahih dan pendengaran, juga hendaklah mereka menyaksikan sendiri ayat itu
diturunkan atau mereka yang mengetahui sebab-sebabnya dan mengkaji tentangnya
dari para sahabat, tabi’in dan mereka yang berjuang keras mengkaji ilmu ini
yang terdiri dari kalangan ulama yang dipercaya.
Ibnu Sirin rahimahullah berkata : “Saya
berkata kepada Ubaidah tentang satu ayat dalam Alqur'an. Beliau menjawab :
“Takutlah kepada Allah dan berkatalah yang benar. Orang-orang yang tahu tentang
Alqur'an yang diturunkan Allah telah tiada”. Yang ia maksud adalah para
Shahabat.
Pengetahuan tentang asbabun nuzul didasarkan
kepada periwayatan yang benar, jika perawi secara jelas menyatakan sebab
turunnya suatu ayat, maka hal tersebut merupakan pernyataan yang jelas seperti
ia perawi mengatakan: “sebab turunnya ayat ini adalah ini dan ini...”.
Apabila seorang perawi menerangkan dengan
lafal/kata “sebab” atau memakai fa’ta’qibiyyah “fa’ yang mempunyai arti=
“maka/kemudian”, yang masuk ke dalam materi turunnya ayat, sesudah ia
menerangkan suatu peristiwa/sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Nabi SAW.
Misalnya ia berkata: “terjadi peristiwa ini aatau nabi ditanya tentang
peristiwa ini, maka turunlah ayat ini”. Maka
yang demikian itu, merupakan Nash/pernyataan yang jelas menunjukkan sebab
turunnya ayat itu.
Adakalanya suatu kalimat tidak menunjukkan
sebab turunnya ayat seperti perkataaan; (turun ayat ini di...), akan tetapi
yang dimaksud adalah sebab turunnya ayat, terkadang yang dimaksud oleh suatu
ayat adalah tentang suatu hukum
Dalam hal ini al-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan berkata: Telah
diketahui kebiasaan para sahabat dan tabiin, bahwa apabila mereka mengatakan:
‘Turun ayat ini tentang itu’, maka maksud mereka ialah menerangkan, bahwa ayat
itu mengandung hukum itu, bukan dimaksudkan untuk menerangkan sebab turun ayat.
Ibnu Taimiyyah berkata: adakalanya maksud turunnya ayat ini di
sini adalah sebaga asbabun nuzul, adakalanya asbabun nuzulnya masuk di dalam
ayat meskipun tidak menjadi asbabun nuzulnya.
Macam-macam asbabun nuzul
Banyak ahli tafsir yang menyebutkan macam-macam asbabun nuzul,
dalam keadaan demikian kita bisa merangkumnya menjadi beberapa hal:
Pertama: Dengan mengungkapkan keduanya dengan kalimat (telah turun ayat
ini dalam keadaan ini...) dan menyebutkan hal lain yang tidak disebutkan di
awal sehingga menjadi simpulan untuk suatu hukum dan tafsir untuk makna ayat.
Kedua: Dengan mengungkapkan salah satunya dengan ungkapan: (telah turun
ayat dalam keadaan ini...). Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu
tidak tegas, misalnya ayat ini turun mengenai urusan ini. Sedang riwayat yang
lain menyebutkan asbabun nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat
pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan asbabun
nuzul secara tegas; dan riwayat yang lain dipandang termasuk di dalam hukum
ayat. Contohnya ialah riwayat tentang asbabun nuzul: Dari Nafi’ disebutkan:
Pada suatu hari aku membaca (Istri-istri adalah ibarat tempat kamu bercocok
tanam), maka kata Ibnu Umar: Tahukah engkau mengenai apa ayat ini diturunkan?
Aku menjawab: Tidak, ia berkata ayat ini turun mengenai persoalan mendatangi
istri dari belakang. Bentuk redaksi riwayat dari Ibnu Umar ini tidak dengan
tegas menunjukkan asbabun nuzul.
Apakah suatu ungkapan itu didasarkan pada keumuman teksnya atau
didasarkan atas kekhususan penyebabnya
Para ulama ushul berbeda pendapat dalam
masalah rinci yaitu: apakah suatu ungkapan itu didasarkan pada keumuman teksnya
atau didasarkan atas kekhususan penyebabnya? Atau jika ada suatu kejadian maka
diturunkan suatu ayat, apakah hukum pada ayat itu terbatas pada kejadian yang
terjadi atau pada seseorang yang ada di dalamnya, ataukah hukum tersebut
berlaku untuk semuanya?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa suatu
ungkapan itu didasarkan pada keumuman teksnya, bukan pada kekhususan penyebabnya,
inilah pendapat yang benar meskipun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa
suatu ungkapan itu didasarkan pada kekhususan teksnya.
Imam Suyuthi rahimahullah di dalam kitabnya
Al Itqan berkata: Di antara dalil yang menunjukkan dijadikannya keumuman
redaksi sebagai patokan adalah argumentasi para sahabat RA, dalam berbagai
peristiwa, dengan berpedoman pada keumuman ayat-ayat yang—notabene—turun dalam
sebab-sebab spesifik. Seperti turunnya ayat tentang zhihar dalam kasus Salmah
bin Shakhr dan ayat li’an dalam kasus Hilal bin Umayyah serta hukuman atas
tuduahn berzina dalm kasus Aisyah, kemudian melebarlah hukum tersebut kepada
yang lainnya karena keumuman lafadz. Ibnu Abbas berkata tentang ungkapan
keumuman, beliau berkata tentang ayat tentang pencurian yang kala itu turun
ayat ketika ada perempuan yang mencuri, diriwayatkan dari Najdah al Hanafi
berkata: aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang firman Allah Ta’ala; ( وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
أَيْدِيَهُمَا)
Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Apakah ayat itu khusus atau umum? Diawab oleh Ibnu Abbas: ayat
tersebut umum.
Ibnu Taimiyyah berkata: Terkadang ada yang mengatakan bahwa ayat
ini turun dalam kejadian ini-apalagi jika yang disebutkan adalah orang-
sebagaimana ayat zhihar yang turun atas istri Tsabit bin Qaysdan ayat kalalah
yang turun atas Jabir bin Abdullah.