Terjemah dan Rangkuman Kitab At Tibyan Fi Ulumil Quran; KODIFIKASI AL QURAN

Terjemah dan Rangkuman Kitab At Tibyan Fi Ulumil Quran


Karya Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuny

Pengajar di Fakultas Syariah Wa Dirasat Al Islamiyah di Makkah al Mukarromah

 

BAB 1 PENDAHULUAN

BAB 2 HIKMAH TURUNNYA AL QURAN BERANGSUR-ANGSUR

BAB 3 ASBABUN NUZUL

BAB 6 KODIFIKASI AL QURAN

BAB 7 TAFSIR DAN PARA AHLI TAFSIR

 

Kodifikasi Al Quran pada fase Nabi SAW

Kodifikasi Al Qur’an dalam batin

Kodifikasi Al Quran melalui tulisan

Tatacara Penulisan

Kodifikasi Al Quran pada masa Abu Bakar

Beberapa pertanyaan seputar kodifikasi Al Quran:

Langkah kodifikasi Al Quran

Keistimewaan mushaf Abu Bakar

Mengapa Al Quran belum dikumpulkan pada masa Nabi SAW?

Kodifikasi Al Qur’an di Masa Utsman bin Affan RA

Sebab usman mengumpulkan al Quran

Perbedaan Kodifikasi Al Quran Pada Masa Abu Bakar dan Utsman bin Affan

 

 

 

BAB 6

KODIFIKASI AL QURAN

 

Kodifikasi Al Quran pada fase Nabi SAW

Kodifikasi Al Quran teradi dalam dua fase, fase Nabi SAW dan fase Khulafaur Rasyidin, masing-masing dari keduanya memiliki kekhususan dan kelebihan. Yang dimaksud dengan kata ‘kodifikasi’, adalah hafalan dan ingatan di dalam batin para lelaki, adakalanya juga bermakna penulisan di dalam lembaran-lembaran atau dedaunan. Upaya kodifikasi Al Qur’an dilakukan di masa Nabi Muhammad SAW dengan menempuh dua jalan.

Pertama, kodifikasi Al Qur’an dalam batin dengan jalan hafalan dan ingatan.

Kedua, kodifikasi Al Qur’an dalam catatan dengan jalan penulisan dan goresan.

Kodifikasi Al Qur’an dalam batin

Adapun Al Qur’an diturunkan kepada seorang nabi yang tumbuh dalam kultur masyarakat yang ummi sehingga ia mengerahkan perhatiannya untuk menghafal Al Qur’an untuk mengingatnya sebagaimana diturunkan kepadanya. Ia kemudian membacakannya dengan tenang kepada para sahabatnya agar mereka menghafalnya sebagaimana keterangan Surat Al-Jumuah ayat 2.

Dalam kultur masyarakat ummi, Rasulullah mengandalkan daya hafal dan daya ingatnya karena tidak membaca dan menulis. Demikian kondisi bangsa Arab secara umum ketika Al Qur’an diturunkan. Bangsa Arab ketika itu menikmati betul kekhasan bangsanya, yaitu mempunyai daya ingat yang baik dan mempunyai kecepatan hafalan atas sesuatu. Bangsa Arab sanggup menghafal ratusan ribu syair. Mereka dapat mengenali secara urut nasab dan keturunan seseorang atau suatu klan di luar kepala. Mereka sanggup memahami sejarah. Jarang sekali mereka yang tidak memahami keturunan dan nasab keluarganya atau tidak menghafal syair-syair terbaik karya para sastrawan Arab hebat yang digantung di Ka’bah.

Rasulullah SAW memberikan perhatian luar biasa kepada Al Qur’an. Rasulullah SAW menghidupkan malam dengan membaca Al Qur’an di dalam sholat, membacanya di luar sholat, dan merenungkan maknanya sehingga kedua kakinya memar karena terlalu lama berdiri dalam shalat malam untuk membaca Al Qur’an sebagaimana keterangan Surat Al-Muzzammil.

يٰٓاَيُّهَا الْمُزَّمِّلُۙ

قُمِ الَّيْلَ اِلَّا قَلِيْلًاۙ

نِّصْفَهٗٓ اَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيْلًاۙ

اَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلًاۗ

Wahai orang yang berselimut (Muhammad)!

Bangunlah (untuk salat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil,

(yaitu) separuhnya atau kurang sedikit dari itu,

atau lebih dari (seperdua) itu, dan bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan.

(QS. Al Muzzammil: 1-4)

 

Tentu tidak heran kalau Rasulullah SAW bergelar sayyidul huffazh. Ia memeliharan Al-Quran dalam hatinya dan menjadi rujukan umat Islam di masanya perihal Al Qur’an. Para sahabat juga memiliki perhatian yang besar terhadap Al Qur’an. Mereka berlomba untuk membaca dan mempelajari Al Qur’an. Mereka mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghafal Al Qur’an. Mereka mengajari istri dan anaknya Al Qur’an di rumah-rumah. Bila melewati rumah para sahabat di tengah kegelapan malam, niscaya kita akan mendengar suara orang membaca Al Qur’an sebagaimana dengung lebah.

Rasulullah SAW pernah melewati sebagian rumah sahabat Anshor di kegelapan malam. Beliau lalu berhenti sejenak untuk mendengarkan mereka membaca Al Qur’an dari luar.

Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa Al Asy’ari, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Abu Musa: "Seandainya saja semalam kamu mengetahuiku sedang mendengarkan bacaanmu. Sungguh engkau telah diberi suara yang bagus sebagaimana yang telah diberikan kepada keluarga Daud."

Telah masyhur bahwa banya para sahabat yang hafal Al Quran, Rasulullah mengutus mereka ke kota-kota maupun pedesaan untuk mengajari penduduk di sana  -sebagaimana yang dilakukan Nabi sebelum hirah- Mush’ab bin Umair dan Abdullah bin Ummi Maktum diutus kepada penduduk Madinah untuk mengajarkan kepada mereka tentang Islam dan membaca Al Quran serta Mu’adz bin Jabal yang diutus ke Mekkah  setelah hijrah.

 

 

 

Kodifikasi Al Quran melalui tulisan

Selain dihafalkan, Al Qur’an juga didokumentasikan melalui catatan pada lembaran-lembaran. Rasulullah SAW memiliki pencatat Al Qur’an. Setiap kali wahyu turun, Rasulullah SAW meminta para pencatat itu untuk menuliskannya sebagai upaya atau ikhtiar dalam mengikat dan merekam ayat Al Qur’an dalam catatan sehingga catatan dan hafalan saling mendukung. Para pencatat Al Qur’an merupakan sahabat-sahabat pilihan. Mereka yang dikenal sejarah sebagai pencatat Al Qur’an adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Mu’aw iyah bin Abu Sufyan, empat khalifah rasul, dan sejumlah sahabat terkemuka lainnya.

 

Tatacara Penulisan

Para sahabat umumnya mencatat Al Qur’an pada pelepah kurma, batu tulis yang tipis, lembaran kulit ternak, tulang-tulang bahu dan panggul yang umumnya merupakan alas tulis di zamannya. Perlu diingat juga bahwa zaman itu belum juga dikenal medium kertas sebagai zaman sekarang. "Kami bersama Rasulullah SAW menyusun Al Qur’an dari lembaran kulit," kata Zaid bin Tsabit. Penyusunan yang dimaksud oleh Zaid adalah aktivitas penyusunan rangkaian ayat Al Qur’an sesuai petunjuk Rasulullah SAW. Ulama bersepakat bahwa susunan Al Qur’an bersifat tauqifi, yaitu susunan ayat dan surat Al Qur’an yang kita saksikan hari ini pada banyak mushaf didasarkan pada perintah wahyu dari Allah. Sebuah riwayat menyebutkan, Jibril AS ketika membawa turun ayat atau sebuah surat Al Qur’an mengatakan, "Muhammad, Allah memerintahkanmu untuk meletakkan ayat ini di depan surat ini." Demikian juga Rasulullah memberikan petunjuk kepada para pencatatnya.


Kodifikasi Al Quran pada masa Abu Bakar

Setelah Rasulullah SAW selesai menyampaikan risalah, mengemban amanah, serta membimbing keberagamaan umat dan wafat pada 11 H atau sekira 632 M, kepemimpinan umat beralih kepada sahabat Abu Bakar As-Shiddiq RA. Di masa kepemimpinannya, Abu Bakar menghadapi berbagai tantangan sosial politik yang luar biasa.

Salah satu masalah besar yang dihadapi Sayyidina Abu Bakar RA adalah peperangan sahabat terhadap kelompok pembangkang beberapa suku di Arab pengikut Musailamah Al-Kadzdzab. Pertempuran di Yamamah (daerah yang terletak di tengah jazirah Arab) ini kemudian disebut dengan Perang Yamamah (12 H) yang selanjutnya berhasil ditumpas oleh panglima Khalid bin Walid. Pertempuran Yamamah berlangsung sengit. Banyak sahabat ahli Al Qur’an terkemuka gugur dalam penumpasan kelompok pembangkang tersebut. Jumlah ahli Al Qur’an yang gugur mencapai 70 sahabat. Peristiwa ini tentu saja menyusahkan umat Islam.

Keresahan ini mendera Sayyidina Umar bin Khattab RA. Ia kemudian menemui khalifah Abu Bakar RA yang didapatinya dalam keadaan sedih dan duka mendalam. Ia menyampaikan rekomendasi kepada khalifah Abu Bakar RA untuk melakukan kodifikasi terhadap Al Qur’an karena khawatir musnahnya Al Qur’an yang lebih banyak tersimpan dalam hafalan dan ingatan para sahabat. Sedangkan para sahabat penghafal Al Qur’an banyak yang gugur di pertempuran Yamamah.

Awalnya khalifah Abu Bakar RA sempat bimbang dan ragu pada usulan sahabat Umar bin Khattab RA. Kemudian ia mulai yakin setelah sahabat Umar RA menjelaskan segi kemaslahatannya. Hati dan pikiran Abu Bakar RA terbuka. Umar RA berhasil meyakinkan sahabat Abu Bakar RA. Ia memanggil sahabat Zaid bin Tsabit dan memintanya untuk mengodifikasi Al Qur’an dalam sebuah mushaf. Zaid bin Tsabit juga awalnya bimbang dan ragu, tetapi kemudian pikiran dan hatinya terbuka sebagaimana riwayat Bukhari. "Bagaimana aku melakukan hal yang tidak dilakukan Rasulullah SAW?" kata sahabat Abu Bakar RA. "Demi Allah, ini (mega) ‘proyek’ yang baik," kata sahabat Umar RA.

Umar RA, kata Abu Bakar RA, terus menerus mendatangiku untuk mendiskusikan masalah ini sehingga pikiranku terbuka untuk melakukan kodifikasi Al Qur’an. "Kau pemuda cerdas. Kami tidak akan mencurigaimu. Kau sejak dahulu menulis wahyu untuk Rasulullah SAW. Sekarang periksa dan himpunlah Al Qur’an," perintah khalifah Abu Bakar RA kepada Zait bin Tsabit. "Demi Allah, seandainya aku ditugasi untuk memindahkan bukit, niscaya itu tidak lebih berat bagiku daripada apa (kodifikasi Al Qur’an) yang ditugaskan kepadaku," kata Zaid dalam hati. "Bagaimana kalian berdua melakukan proyek yang tidak dilakukan Rasulullah?" kata Zaid. "Demi Allah ini pekerjaan baik," kata Abu Bakar.

Setelah Abu Bakar dan Umar terus mengajak Zaid berdiskusi, akhirnya ia terbuka juga untuk menerima usulan tersebut. Zaid bin Tsabit kemudian memeriksa Al-Qur'an dan menginventarisasinya dari catatan ayat dan surat yang tercecer pada batu tulis tipis, pelepah kurma, dan hafalan beberapa sahabat penghafal Al Qur’an. "Aku menelitinya sampai aku menemukan ayat akhir Surat At-Taubah (Surat At-Taubah ayat 128-129 hingga akhir surat, yaitu la qad ja’akum rasulun min anfusikum…) pada Abu Khuzaimah Al-Anshari yang tidak kutemukan pada seorang pun sahabat lainnya," kata Zaid. Lembaran-lembaran mushaf Al Qur’an itu disimpan dengan baik oleh Khalifah Abu Bakar RA hingga wafat. Lembaran mushaf itu kemudian berpindah ke tangan Amirul Mukminin Umar bin Khattab RA hingga ia wafat. Lembaran mushaf Al Qur’an itu selanjutnya untuk sementara dirawat oleh Hafshah binti Umar RA. (HR Bukhari). Riwayat ini menunjukkan dalil  untuk kodifikasi Al Quran.


Beberapa pertanyaan seputar kodifikasi Al Quran:

Pertama:

Mengapa Abu Bakar ragu-ragu untuk mengumpulkan Al Quran padahal hal tersebut sesuatu yang baik dan perara yang diwajibkan Islam?

Jawab: Bahwa Abu Bakar ra. Takut jika nantinya orang-orang Islam mempermudah hafalan al Quran dan hanya bersandarkan kepada mushaf-mushaf, sehingga keinginan merea untuk menghafal dan mengingat ayat-ayat berkurang diarenakan adanya mushaf yang tercetak, adapaun sebelum adanya mushaf mereka berusaha dan bersungguh-sungguh untuk menghafal al Quran. Di sisi lain bahwa Abu Bakar ash shiddiq adalah seorang yang berpetang teguh kepada syariat dengan perpedoman pada apa yang dilaukan Rasulullah SAW, sehingga beliau takut jika melakukan sesuatu yang baru yang tidak disukai Rasulullah SAW, beliaupun berkata kepada Umar ra.: Bagaimana aku melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan Rasulullah?.

Akan tetapi ketika melihat sesuatu yang penting, yang akan menadi perantara agung dalam menghafal kitab yang mulia dan memeliharanya dari perubahan dan penggantian, Allahpun melapangkan dadanya untuk melakukan sesuatu yang penting dan mulia tersebut.

 

Kedua:

Mengapa Abu Bakar memilih Zaid bin Tsabit untuk melaksanakan tugas mulia ini?

Jawab: Zaid bin Tsabit ra. Dianugerahi beberapa kemuliaan untuk mengumpulkan al Quran ini, suatu anugerah yang tidak dimiliki sahabat lainnya, Zaid bin Tsabit adalah seorang penghafal Al Quran, seorang penulis wahyu pada masa Rasulullah SAW dan menyaksikan wahyu terakhir di akhir hayat rasulullah. Beliau dikenal dengan keuletannya, seorang yang amanah, baik perangainya, istiqomah dalam agamanya, serta dikenal pula dengan kecerdasannya. Nilah yang menyebabkan Abu Bakar memilihnya.

 

Ketiga:

Apa maksud dari perkataan Zaid bin Tsabit sebagaimana riwayat Imam Al Bukhari (aku temukan akhiran surah At Taubah bersama Abu Khuzaimah dan tidak aku temukan pada sahabat lainnya).

Jawab: Bahwa Zaid bin Tsabit ra. Tidak menemukan ayat ini diantara sahabat kecuali pada Abu Khuzaimah al Anshory, maksudnya adalah bukan karena tidak dihafalkan, melainkan beliau ingin mengumpulkan antara hafalan dan tulisan sebagaimana yang akan kami jelaskan Insya Allah.

 

Langkah kodifikasi Al Quran

Dalam mengerjakan kodifikasi Zaid berpatokan pada dua sumber, pertama hafalan para sahabat. Kedua, catatan sahabat yang dilakukan di hadapan Rasulullah SAW. (As-Shabuni, 2016 M: 57). (Az-Zarqani, 2017 M: 203). Hafalan dan catatan saling mendukung kodifikasi Al Qur’an yang dilakukan Zaid bin Tsabit. Karena sangat berhati-hati, ia tidak menerima begitu saja catatan sahabat. Ia meminta sahabat yang mengajukan catatan Al Qur’annya untuk menghadirkan dua orang saksi yang berintegritas bahwa catatannya dilakukan di hadapan Rasulullah SAW.

Hadits riwayat Abu Dawud bercerita, suatu hari Sayyidina Umar bin Khattab datang dan menyeru, "Siapa saja yang menerima sesuatu dari Al Qur’an, hendaklah datang membawanya." Para sahabat mencatat Al Qur’an pada berbagai lembaran, papan, dan pelepah kurma. Catatan mereka tidak akan diterima sebelum disaksikan oleh dua orang. Riwayat Abu Dawud menceritakan, khalifah Abu Bakar RA berkata kepada Umar RA dan Zaid bin Tsabit, "Duduklah di pintu masjid. Siapa saja yang kepada kalian membawa dua saksi atas Al Qur’annya, hendaklah kalian tulis." Dua saksi yang dimaksud adalah hafalan dan catatannya, kata Ibnu Hajar Al-Asqalani. Imam As-Sakhawi dalam Kitab Jamalul Qurra’ mengatakan, kedua bukti tersebut bersaksi bahwa catatan Al Qur’an yang dibawa oleh sahabat tersebut ditulis di hadapan Rasulullah SAW.
Ketelitian dan kehati-hatian ini bertujuan agar teks yang ditulis benar-benar teks yang dicatat di hadapan Rasulullah SAW untuk menjaga orisinalitas dan keotentikannya.


Keistimewaan mushaf Abu Bakar

Mega proyek mushaf Al Qur’an yang dikodifikasi oleh khalifah Abu Bakar memiliki sejumlah keistimewaan yang membedakannya dari mushaf lainnya.

Pertama, mushaf Abu Bakar dikerjakan dengan penuh ketelitian dan upaya pengecekan secara maksimal.

Kedua, pencatatan ayat pada mushaf tidak dilakukan kecuali setelah dipastikan tidak ada pemansukhan pada bacaannya. Artinya, mushaf Abu Bakar hanya memuat Al Qur’an yang tidak dimansukh bacaannya.

Ketiga, umat bersepakat atas bacaannya. Kualitas periwayatannya mutawatir.

Keempat, cakupan mushaf atas ragam qiraah (qiraah sab’ah) yang berkembang ketika itu.

Kodifikasi mushaf Abu Bakar RA tidak menafikan sejumlah mushaf yang ada di tangan para sahabat. Hanya saja kodifikasi mushaf Abu Bakar RA dilakukan dengan penuh ketelitian. Zaid bin Tsabit mengerjakan kodifikasi Al Qur’an dengan serius, pemeriksaan seksama, ketelitian, dan juga kehati-hatian luar biasa.


Mengapa Al Quran belum dikumpulkan pada masa Nabi SAW?

Mengapa di zaman Rasulullah ayat-ayat Al-Qur'an tersebut tidak dikodifikasi atau dibukukan dalam satu mushaf?

Pertama, Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah tidak sekaligus melainkan secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Kondisi ini tentu tidak memungkinkan untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an dalam satu mushaf sebelum ayat-ayat itu turun secara keseluruhan.

Kedua, ada sebagian ayat Al-Qur'an yang ter-mansukh. Hal ini juga tidak memungkinkan untuk mengumpulkan ayat Al-Qur'an dalam satu mushaf kecuali sampai semuanya turun dengan sempurna.

Ketiga, susunan surat dan ayat-ayat dalam Al-Qur'an tidak berdasarkan waktu diterimanya wahyu oleh Rasulullah. Ada kalanya surat atau ayat diturunkan di awal tapi dalam susunannya ditempatkan menjelang akhir, hal ini tentunya menyebabkan adanya perubahan.
Keempat, selisih waktu antara ayat yang terakhir diterima dengan waktu wafatnya Rasullullah terbilang singkat, yakni sekitar 9 hari sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Waktu yang cukup singkat tersebut dinilai tidak cukup untuk membukukan Al-Qur'an dalam satu mushaf.

Kelima, tidak ada pihak yang mendorong untuk melakukan kodifikasi Al-Qur'an karena kultur masyarakat Arab saat itu lebih mengarahkan perhatiannya pada hafalan sehingga banyak melahirkan para penghafal Quran yang mampu menjaga kemurnian ayat-ayat Al-Qur'an.

Kodifikasi Al Qur’an di Masa Utsman bin Affan RA

Ada penyebab lain bagi Kodifikasi Al Qur’an di masa khalifah Utsman bin Affan selain penyebab yang ada pada masa Abu Bakar.

Kodifikasi Al Qur’an era khalifah Utsman didorong oleh situasi yang berbeda dari situasi yang dihadapi khalifah Abu Bakar, yaitu banyaknya penaklukan kota-kota dan sebaran umat Islam di berbagai kota-kota yang jauh.

Selain itu, kebutuhan umat Islam yang telah menyebar di berbagai penjuru negeri terhadap kajian Al Qur’an mengharuskan kerja-kerja kodifikasi Al Qur’an di era Utsman bin Affan RA. Sedangkan setiap penduduk mengambil qiraah dari sahabat rasul yang cukup terkenal di daerah tersebut dan sering kali telah mengalami kekeliruan karena faktor geografis.

Penduduk Syam membaca Al Qur’an dengan qiraah Ubay bin Ka’ab. Penduduk Kufah membaca Al Qur’an dengan qiraah Abdullah bin Mas’ud. Selain mereka membaca Al Qur’an dengan qiraah Abu Musa Al-Asy’ari. Perbedaan versi ini membawa konflik di tengah masyarakat.

Solusi yang diambil Sayyidina Utsman RA berangkat dari kecerdasan pikiran dan keluasan pandangannya untuk mengatasi konflik sosial sebelum memuncak. Ia kemudian memanggil para sahabat terkemuka ahli Al Qur’an untuk mencari akar masalah dan mencoba mengatasinya.  

Utsman kemudian membentuk tim pembukuan Al Quran yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam.


Sebab usman mengumpulkan al Quran

Imam Bukhari dalam Kitab Shahih-nya menceritakan dari sahabat Anas bin Malik RA, sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman datang menemui Utsman bin Affan RA. Hudzaifah yang bertugas dalam ekspedisi penaklukan Armenia dan Azirbaijan melaporkan kepada Utsman RA betapa terkejutnya ia atas keragaman versi bacaan Al Qur’an (di mana mereka saling mengafirkan karena perbedaan versi bacaan).

"Selamatkanlah umat ini sebelum mereka terpecah perihal bacaan seperti Yahudi dan Nasrani," kata Hudzaifah kepada Utsman.

Kemudian Utsman mengutus seseorang kepada Hafshah dengan pesan:

“Kirimkanlah mushaf kepada kami, agar kami menyalinnya. Kemudian nantinya akan kami kembalikan”. Hafshah pun menyerahkan mushaf itu.

 

Utsman bin Affan kemudian memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin az-Zubair, Said bin al-Ash, dan Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam untuk menyalin menjadi beberapa mushaf.

Zaid bin Tsabit adalah seorang Anshar, sedangkan tiga orang yang lain adalah Quraisy. Utsman berkata kepada ketiga orang Quraisy itu:

“Jika kalian dan Zaid bin Tsabit berselisih tentang suatu bacaan al-Al Quran, tulislah dengan lisan bangsa Quraisy karena alAl Quran turun dengan lisan mereka.”

Mereka pun mengerjakannya hingga menjadi beberapa mushaf. Utsman pun mengembalikan mushaf kepada Hafshah.

Utsman mengirimkan mushaf-mushaf salinan kepada beberapa negeri. Beliau juga memerintahkan untuk membakar lembaran atau mushaf selainnya. (riwayat Imam Al Bukhari).

 

Perbedaan Kodifikasi Al Quran Pada Masa Abu Bakar dan Utsman bin Affan

Pengumpulan Mushaf pada masa Abu Bakar ra adalah bentuk pemindahan dan penulisannya al-Al Quran ke dalam satu Mushaf yang ayat-ayatnya sudah tersusun, berasal dari tulisan yang terkumpul dari kepingan-kepingan  batu, pelepah kurma dan  kulit-kulit binatang. Adapun latar belakangnya karena banyak Huffaz yang gugur.

Pengumpulan Mushaf pada masa Usman bin Affan adalah menyalin kembali Mushaf yang telah tersusun pada masa Abu Bakar ra, dengan tujuan untuk di kirimkan ke seluruh Negara islam. Latar belakangnya adalah perbedaan dalam hal membaca al-Al Quran.

 


Komentar atau pertanyaan, silakan tulis di sini

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama