Terjemah dan Rangkuman Kitab At Tibyan Fi Ulumil Quran
Karya Syaikh
Muhammad Ali Ash Shobuny
Pengajar di
Fakultas Syariah Wa Dirasat Al Islamiyah di Makkah al Mukarromah
BAB 2 HIKMAH TURUNNYA AL QURAN BERANGSUR-ANGSUR
BAB 7 TAFSIR DAN PARA AHLI TAFSIR
Hikmah
turunnya Al Quran berangsur-angsur
Bagaimana Al Quran Al Karim turun?
Hikmah diturunkannya Al Quran secara bertahap
Bagaimana Nabi SAW menerima Al Quran?
Apakah Sunnah Nabi berdasarkan wahyu dari Allah Ta’ala?
BAB 2
Hikmah turunnya Al Quran berangsur-angsur
Allah memuliakan umat Nabi Muhammad, sehingga
menurunkan kepadanya kitabnya sebagai mukjizat -penutup kitab samawi- sebagai
pedoman hidup, solusi berbagai permasalahan, obat berbagai penyakit, ayat-ayat
mulia, sebagai kebanggaan bagi umat ini, terpilihnya umat ini untuk mengemban
risalahlangt yang paling suci, Allah
Ta’ala muliakan umat ini dengan menurunkan kitab yang paling mulia dan
menjadikannya spesial dengan diturunkan kepada manusia paling mulia, Muhammad
SAW.
Dengan turunnya risalah ini, sempurnalah
risalah samawi, menjadi cahaya seluruh alam, sampailah petunjuk Allah kepada
ciptaanNya, ditrunkan risalah ini melalui perantara penjaga langit, Jibril alaihissalam dengan
firmannya:
نَزَلَ بِهِ
الرُّوحُ الْأَمِينُ (193) عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (194)
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
“Dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke
dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang
yang memberi peringatan. dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy Syua’ara :
192-195)
Bagaimana Al Quran Al Karim turun?
Al Qur’an diturunkan pada dua fase:
Pertama, dari Lauh Mahfuzh ke langit dunia (Baitul Izzah) sekaligus pada
malam Lailatul Qadar;
Kedua, dari langit dunia ke bumi secara bertahap selama 23 tahun.
Adapun fase pertama yaitu pada malam penuh berkah sepanjang masa
yaitu malam lailatul qadr, Al Quran diturunkan pada malam ini secara lengkpa ke
Baitul Izzah di langit bumi, dalil yang menyatakan hal tersebut antara lain:
Firman Allah Ta’ala:
حمٓ وَٱلۡكِتَٰبِ ٱلۡمُبِينِ إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةٖ مُّبَٰرَكَةٍۚ
إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ
Haa miim., Demi Kitab (Al Al Quran) yang menjelaskan, sesungguhnya
Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah
yang memberi peringatan.
Firman Allah Ta’ala:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Al Quran) pada Lailatul
Qadr. Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadr itu? (QS. Al Qadr [97] : 1-5).
Firman Allah Ta’ala:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ
الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan
Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). (Al Baqarah:
185)
Tiga ayat ini menjadi dalil bahwa Al Quran diturunkan dalam satu
malam, malam yang diberkahi, disebut dengan malam lailatul qadr, satu malam
diantara malam-malam ramadhan, inilah fase pertama diturunannya Al Quran ke
Baitul Izzah di langit. Yang dimaksud dengan fase pertama turunnya Al Quran sebagaimana
hadits-hadits berikut:
وعن ابن عباس قال: فصل القرآن من الذكر
فوضع في بيت العزة من السماء الدنيا، فجعل جبريل ينزل به على النبي صلى الله عليه وسلم؛
Dari Ibnu Abbas ra. berkata: Al-Qur'an dipisahkan dari Adz Dzikir
lalu Al-Qur'an itu diletakkan di Baitul Izzah dari langit dunia, lalu Jibril
mulai menurunkannya kepada Nabi SAW. (HR. Al-Hakim).
أنزل القرآن في ليلة القدر جملة واحدة إلى
سماء الدنيا كان بموقع النجوم وكان الله ينزله على رسوله صلى الله عليه وسلم بعضه
في إثر بعض
Riwayat dari
Ibnu Abbas berkata :
Al-Qur'an diturunkan sekaligus langit bumi (Bait Al-Izzah) berada di Mawaqi’a
Al-Nujum (tempat bintang-bintang) dan kemudian Allah menurukan kepada Rasul-Nya
dengan berangsur-angsur.”
وروى عن ابن عباس رضى الله عنهما أنه قال: انزل القران فى ليلة القدر فى شهر رمضان
الى سماء الدنيا جملة واحدة ثم انزل نجوما
Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Rasulullah SAW bersabda: Al
Quran diturunkan pada malam Lailatul Qadr di Bulan Ramadhan ke langit bumi
secara keseluruhan, kemudian diturunkan berangsur-angsur.
Ketiga riwayat ini diriwayatkan oleh Imam
Suyuthi di dalam kitabnya Al Itqan fi Ulumil Al Quran dan menjelaskan bahwa
ketiganya adalah shahih, sebagaimana riwayat Imam Suyuthi juga dari Ibnu Abbas
ra. Ketika ditanya oleh Athiyyah bin Aswad “Dalam hatiku ada keraguan tentang
firman Allah, (yang artinya): ‘Sesungguhnya Kami menurunkannya (al Qur’an) pada
(malam) lailatul qadr’ Padahal al Qur’an itu ada yang diturunkan pada bulan
Syawwal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, Shafar dan Rabi’ul Awwal.” Ibnu
‘Abbas radhiyallahu'anhuma menjawab:”Al Qur’an itu diturunkan pada
lailatul qadr sekaligus, kemudian diturunkan secara berangsur, sedikit demi
sedikit dan terpisah-pisah serta perlahan-lahan di sepanjang bulan dan
hari.” (hadits diriwayatkan Ibnu Mardawaih dan al-Baihaqi).
Yang dimaksud dengan nujum (bertahap) adalah
diturunkan sedikit demi sedikit dan terpisah-pisah, sebagiannya menjelaskan
bagian yang lain sesuai dengan fungsi dan kedudukannya.
Al-Suyuthy mengemukakan bahwa Al-Qurthuby
telah menukilkan hikayat Ijma’ bahwa turunnya Al Qur’an secara sekaligus adalah
dari Lauh Al-Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di langit pertama.
Barangkali hikmah dari penurunan ini adalah
untuk menyatakan keagungan Al Qur’an dan kebesaran bagi orang yang
diturunkannya dengan cara memberitahukan kepada penghuni langit yang tujuh
bahwa kitab yang paling terakhir yang disampaikan kepada Rasul penutup dari
umat pilihan sungguh telah diambang pintu dan niscaya akan segera diturunkan
kepadanya.
Imam Suyuthi berkata: Seandainya tidak ada
hikmah Ilahi yang menghendaki disampaikan al Qur’an kepada mereka secara
bertahap sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi, tentulah ia diturunkan
ke bumi sekaligus seperti halnya kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Tetapi
Allah Subhanahu wa Ta'ala membedakannya dari kitab-kitab yang sebelumnya,
maka dijadikannyalah dua ciri tersendiri, diturunkan secara sekaligus, kemudian
diturunkan secara bertahap, untuk menghormati orang yang menerimanya.”
Fase kedua:
Adapun fase kedua diturunkannya Al Quran adalah dari langit dunia
kepada Rasulullah Muhammad SAW secara bertahap (berangsur-angsur) selama 23
tahun sejak diutus menjadi rasul hingga meninggalnya Rasulullah SAW. Diantara
dalilnya adalah firman Allah Ta’ala di dalam Al Quran surah Al Isra’:
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى
النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar
kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian
demi bagian. (QS Al Isra: 106)
Firman Allah di dalam surah Al Furqan:
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ
عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ ۖ
وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا
Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu
tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami
perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).
(QS Al Furqan: 32)
Diriwayatkan bahwa orang-orang yahudi dan musyrikin sering
menanyakan kepada Rasulullah mengapa al-Al Quran tidak diturunkan sekaligus
saja seperti halnya Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, kemudian Allah
turunkan 2 ayat ini sebagai bantahan atas mereka. Dan bantahan ini sebagaimana
dikatakan oleh Zarqoni berdasarkan 2 hal:
Yang pertama: bahwa Al Quran diturunkan secara bertahap kepada Nabi SAW.
Yang kedua: bahwa kitab-kitab samawi sebelumnya diturunkan dalam satu kali
secara keseluruhan, sebagaimana dikatakan mayoritas ulama secara ijma’.
Hikmah diturunkannya Al Quran secara bertahap
1. Menetapkan
atau meneguhkan hati Nabi Muhammad SAW. dihadapan orang-orang musyrik
2. Melembutkan
Nabi SAW tetang turunnya wahyu
3. Penetapan
hukum dilakukan secara bertahap
4. Memudahkan
umat Islam dalam menghafal dan memahami Al Al Quran
5. Menyesuaikan
dengan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian serta peringatan atasnya
6. Petunjuk
bahwa Al Quran diturunkan dari Sang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji
Selanjutnya kita rincikan hikmah-hikmah ini:
Pertama:
Adapun hikmah pertama yaitu meneguhkan hati
Nabi Muhammad SAW; Beberapa ayat Al Quran menyebutkan bahwa diantara fungsinya
adalah sebagai bantahan atas orang-orang musyrik ketika mereka menginginkan
diturunkannya Al Quran sacara keseluruhan sebagaimana kitab-kitab samawi
terdahulu yang kemudian dibantah oleh Allah dengan firmanNya: “Demikianlah
supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil
(teratur dan benar).” (QS Al-Furqan: 32).
Penetapan hati Nabi SAW adalah sebagai bentuk
penjagaan dari Allah Ta’ala dihadapan kebohongan dan perilaku aniaya mereka
kepada Nabi SAW dan pengikutnya, dan ayat-ayat yang diturunkan kepada
Rasulullah adalah sebagai penghibur Nabi dalam berdakwah. Penghiburan ini
terkadang dalam bentu cerita-cerita para nabi terdahulu agar irany bisa meniru
kesabaran dan keteguhan mereka, sebagiaman firman Allah:
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّنْ قَبْلِكَ
فَصَبَرُوْا عَلٰى مَا كُذِّبُوْا وَاُوْذُوْا حَتّٰٓى اَتٰىهُمْ نَصْرُنَا
Dan
sesungguhnya rasul-rasul sebelum engkau pun telah didustakan, tetapi mereka
sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka,
sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. (QS. Al-An'am: 34)
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ اُولُوا الْعَزْمِ
مِنَ الرُّسُلِ
Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran
rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati (QS. Al-Ahqaf: 35)
وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَاِنَّكَ بِاَعْيُنِنَا
Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu ketetapan Tuhanmu, karena
sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami (QS. At Thur: 48)
Kedua:
Adapun hikmah kedua yaitu: pelembut bagi Nabi SAW ketika turun
wahyu, hal ini adalah karena ketinggian derajat dan kewibawaan Al Al Quran,
sebagaimana firman Allah:
اِنَّا سَنُلْقِيْ عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا
Sesungguhnya
Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu. (QS. Al-Muzzammil: 5)
Dan Al Quran
-secara pasti- adalah kalam yang melemahkan bagi manusia yang akan menandinginya,
yang memiliki keagungan dan kewibawaan sebagaimana firman Allah Ta’ala:
لَوْ اَنْزَلْنَا هٰذَا الْقُرْاٰنَ عَلٰى
جَبَلٍ لَّرَاَيْتَهٗ خَاشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللّٰهِ ۗوَتِلْكَ الْاَمْثَالُ
نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Sekiranya Kami turunkan Al-Qur'an ini kepada
sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan
takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia
agar mereka berpikir.” (QS. Al
Hasyr: 21)
Sayyidah Aisyah memperjelas keadaan Nabi SAW
ketika diturunkan kepada Al Al Quran, apa yang dialami dan dirasakan atas
dampak dari diturunkannya wahyu, kemudian berkata sebagaimana riwayat al Imam
Al Bukhari: Aku pernah melihat Nabi ketika turunnya wahyu kepadanya pada suatu
hari yang amat dingin. Setelah wahyu itu berhenti turun, kelihatan dahi Nabi
bersimpah peluh.".
Ketiga:
Hikmah ketiga adalah bertahapnya suatu penetapan hukum.
Sebagaimana diketahui, untuk mengubah
keyakinan dan tatanan kehidupan masyarakat Arab yang saat itu berada dalam
kehidupan jahiliyah, Rasulullah melakukan dakwah Islam secara perlahan. Salah
satu contohnya dalam hal minuman keras (khamr), Rasulullah tidak melarang
sekaligus melainkan secara bertahap sesuai dengan turunnya wahyu. Hal ini
sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an Surat An-Nahl ayat 67:
وَمِنْ ثَمَرٰتِ النَّخِيْلِ وَالْاَعْنَابِ
تَتَّخِذُوْنَ مِنْهُ سَكَرًا وَّرِزْقًا حَسَنًاۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّقَوْمٍ
يَّعْقِلُوْنَ
Artinya: “Dari buah kurma dan anggur, kamu membuat minuman yang
memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti.” Beberapa
saat kemudian turun wahyu berikutnya yang menjelaskan bahwa dalam khamr lebih
banyak madlaratnya daripada manfaatnya, Allah berfirman dalam Surat Al-Baqarah
ayat 219:
يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِۗ قُلْ فِيْهِمَآ اِثْمٌ
كَبِيْرٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِۖ وَاِثْمُهُمَآ اَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَاۗ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ
مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ەۗ قُلِ الْعَفْوَۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ
لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَۙ
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang khamar
dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat
bagi manusia. (Akan tetapi,) dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.’
Mereka (juga) bertanya kepadamu (tentang) apa yang mereka infakkan. Katakanlah,
‘(Yang diinfakkan adalah) kelebihan (dari apa yang diperlukan).’ Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu berpikir.” Tahap berikutnya
turun wahyu yang melarang khamr, namun larangan itu hanya ketika melaksanakan
shalat, sebagaimana tercantum dalam Surat An-Nisa ayat 43:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا
الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati
shalat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu
ucapkan.” Pada tahap berikutnya baru ada ketegasan tentang larangan khamr,
sebagaimana termaktub dalam Surat Al-Ma'idah ayat 90-91:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُوْنَ، اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ
وَالْبَغْضَاۤءَ فِى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَعَنِ
الصَّلٰوةِ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ.
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman
keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah
adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah
(perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung (90). Sesungguhnya setan hanya
bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu melalui minuman
keras dan judi serta (bermaksud) menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
(melaksanakan) salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?” (QS. Al Maidah: 91)
Hikmah keempat:
Yaitu memudahkan hafalan Al Quran bagi orang-orang Islam.
Sebagaimana diketahui, saat itu masyarakat Arab adalah ummyy
(tidak membaca dan menulis, lebih banyak mengarahkan perhatiannya pada hafalan.
Allah berfirman dalam Surat Al-Jumu'ah ayat 2:
هُوَ الَّذِيْ بَعَثَ فِى الْاُمِّيّٖنَ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا
عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاِنْ
كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍۙ
Artinya: “Dialah yang mengutus seorang Rasul (Nabi Muhammad)
kepada kaum yang buta huruf dari (kalangan) mereka sendiri, yang membacakan
kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, serta mengajarkan kepada
mereka Kitab (Al Qur’an) dan Hikmah (Sunah), meskipun sebelumnya mereka
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Hikmah kelima adalah:
Menyesuaikan dengan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian,
serta peringatan atas kesalahan yang ada saat itu.
Ketika terjadi kesalahan yang dilakukan oleh umat Islam atau
menemukan kasus baru yang belum ditemukan jalan keluarnya, Allah langsung
menurunkan firman-Nya untuk meluruskan sesuai konteks peristiwa tersebut
sehingga umat Islam dapat mengambil pelajaran secara praktis. Misalnya saat
terjadi perang Hunain, umat Islam saat itu merasa sombong dan merasa akan
menang mengingat pasukannya lebih banyak dari musuh. Tapi kenyataan berbicara
lain, pasukan muslim kalah di awal pertempuran, seolah jumlah yang banyak sama
sekali tidak berguna. Dalam kondisi ini Allah langsung menurunkan firman-Nya:
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللّٰهُ فِيْ مَوَاطِنَ
كَثِيْرَةٍۙ وَّيَوْمَ حُنَيْنٍۙ اِذْ اَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ
شَيْـًٔا وَّضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْاَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُّدْبِرِيْنَۚ
Artinya: “Sungguh, Allah benar-benar telah menolong kamu
(orang-orang mukmin) di medan peperangan yang banyak dan pada hari (perang)
Hunain ketika banyaknya jumlahmu menakjubkanmu (sehingga membuatmu lengah).
Maka, jumlah kamu yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun
dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu kemudian kamu lari berbalik ke
belakang (bercerai-berai).” (At-Taubah ayat 25).
Kasus lain
adalah teguran Allah soal harta rampasan pada perang Badar sebagaimana
tercantum pada Surat Al-Anfal ayat 67:
مَاكَانَ لِنَبِيٍّ اَنْ يَّكُوْنَ لَهٗٓ اَسْرٰى حَتّٰى يُثْخِنَ فِى
الْاَرْضِۗ تُرِيْدُوْنَ عَرَضَ الدُّنْيَاۖ وَاللّٰهُ يُرِيْدُ الْاٰخِرَةَۗ وَاللّٰهُ
عَزِيْزٌحَكِيْمٌ
Artinya
Artinya:
“Tidaklah (sepatutnya) bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat
melumpuhkan musuhnya di bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi, sedangkan
Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Allah maha perkasa lagi maha
bijaksana.”
Adapun
hikmah keenam adalah:
Petunjuk bahwa Al-Qur`an adalah kalam Ilahi Al-Qur`an diturunkan
secara bertahap menjadi salah satu petunjuk bahwa kitab suci tersebut merupakan
wahyu Allah.
Syekh Abdul Azhim Az-Zarqani dalam Kitab
Manahilul Irfan mengungkapkan bahwa Al Quran adalah kalam Allah Yang Esa, tidak
mungiin dari perkataan Muhammad SAW, atau perkataan makhluk lainnya.
Menurutnya, rangkaian kata-kata Al-Qur`an
begitu teratur, susunan bahasanya begitu kuat, saling berhubungan satu sama
lain baik surat, ayat dan juga seluruh isinya, huruf dan kalimatnya tersusun
secara sistematis. Mulai dari huruf alif hingga ya mengandung “darah mu`jizat”
yang menjadi satu gumpalan tak terpisahkan.
Bagaimana Nabi SAW menerima Al Al Quran?
Nabi SAW menerima wahyu Al Quran melalui perantara sang pembawa
wahyu, ibril as. Dan Jibril menerimanya dari Allah Ta’ala, bukanlah tugas
Jibril kecuali menyampaikan kalam Allah Ta’ala kepada Rasulullah Muhammad
SAW. Allah Ta’ala mensifati Jibril sebagai
sang pembawa wahyu sebagaimana firman Allah Ta’ala:
اِنَّهٗ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍۙ
ذِيْ قُوَّةٍ عِنْدَ ذِى الْعَرْشِ مَكِيْنٍۙ
مُّطَاعٍ ثَمَّ اَمِيْنٍۗ
Sesungguhnya (Al-Qur'an) itu benar-benar firman (Allah yang dibawa
oleh) utusan yang mulia (Jibril),
Yang memiliki kekuatan, memiliki kedudukan tinggi di sisi (Allah)
yang memiliki ‘Arsy,
Yang di sana (di alam malaikat) ditaati dan dipercaya. (QS. At
Takwir; 19-21)
Firman Allah Ta’ala juga:
نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ (193)
عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ
dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan. (QS. Asy Syua’ara : 193-194). Kebenaran perkataan dan kebenaran
yang menurunkan adalah kalamullah yang diturunkan oleh Rabb semesta alam,
sebagamana firman Allah Ta’ala:
وَاِنَّكَ لَتُلَقَّى الْقُرْاٰنَ مِنْ
لَّدُنْ حَكِيْمٍ عَلِيْمٍ
Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar telah diberi
Al-Qur'an dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana, Maha Mengetahui. (QS. An Naml:
6).
Nabi SAW merasakan sesuatu yang berat ketika
menerima wahyu, beliau berusaha untuk bisa menghafal ayat-ayat yang diturunkan,
mengulang bacaan bersama Jibril ketika wahyu diturunkan, takut jika lupa atau
hilang sebagian dari wahyu tersebut. Maka Allah Ta’ala menyuruh beliau untuk
diam sesaat ketika Jibril membacakannya dan menenangkan dan meyakinkan
Rasulullah bahwa Al Quran akan tertanam di dadanya, sehingga Nabi SAW tida
perlu tergesa-gesa ketika membacanya:
وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْاٰنِ مِنْ قَبْلِ
اَنْ يُّقْضٰٓى اِلَيْكَ وَحْيُهٗ ۖوَقُلْ رَّبِّ زِدْنِيْ عِلْمًا
Dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Al-Qur'an
sebelum selesai diwahyukan kepadamu, dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah
ilmu kepadaku. ”(QS. Thaha: 114).
Adapun Allah Ta’ala akan menanamkan hafalan di dada Nabi SAW:
لَا تُحَرِّكْ بِهٖ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ
بِهٖۗ
اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهٗ وَقُرْاٰنَهٗ
ۚ
فَاِذَا قَرَأْنٰهُ فَاتَّبِعْ قُرْاٰنَهٗ
ۚ
ثُمَّ اِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهٗ ۗ
Jangan engkau (Muhammad)
gerakkan lidahmu (untuk membaca Al-Qur'an) karena hendak cepat-cepat
(menguasai)nya.
Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan
membacakannya.
Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya
itu.
Kemudian sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannya. (QS. Al
Qiyamah: 16-19).
Malaikat Jibril mempelajari Al Quran bersama
Nabi SAW pada Ramadhan, Jibril turun menemui Rasulullah SAW dan mengajari
bacaan Al Al Quran, Rasulullah SAW membaca dihadapan Jibril dan Jibrilpun
mendengarkan, demikian juga ketika Jibril membaca, Nabi SAW mendengarkan.
Demikianlah Jibril mengajari Nabi SAW setiap Ramadhan satu kali dan sebelum
wafat Nabi SAW Jibril mendatangi beliau dua kali selama Ramadhan hingga
Rasulullah SAW merasa ajalnya semakin dekat. Nabi SAW berkata kepada Aisyah
ra.: “Sesungguhnya Jibril turun menemui aku dan mengajariku Al Quran sekali
selama Ramadhan, dan telah turun menumiku tahun ini dua kali, aku tidak melihat
kecuali suda dekat ajalku.” Hingga pada tahun itu dipanggillah Nabi SAW
kehadapan Allah Ta’ala dan selesailah wahyu dengan wafatnya beliau.
Tentang bagaimana Jibril menyampaikan
menyampaikan wahyu dari Allah Ta’al adalah bahwa Jibril mendengar ayat-ayat
dari Allah Ta’ala kemudian menurunkannya kepada Rasulullah SAW. Al Baihaqi
mengatakan bahwa maksud ayat: “Sesungguhnya kami telah menurunkannya pada malam
lailatul qadr” adalah bahwa “Kami telah memperdengarkan kepada malaikat dan
memahamkannya dan menurunkannya sesuai dengan yang didengar…”. Artinya adalah
bahwa Jibril menukil Al Quran dari Allah Ta’ala secara pendengaran, hal ini
diperkuat dengan hadits: “Apabila Allah hendak mewahyukan perintah-Nya, maka
Dia firmankan wahyu tersebut. Langit-langit bergetar dengan kerasnya karena
takut kepada Allah. Dan ketika para malaikat mendengar firman tersebut, mereka
pingsan dan bersujud. Di antara mereka yang pertama kali bangun adalah Jibril.
Maka Allah sampaikan wahyu yang Ia kehendaki kepada Jibril. Kemudian Jibril
melewati para malaikat, setiap ia melewati langit, maka para penghuninya
bertanya kepadanya, “Apa yang telah Allah firmankan kepadamu?” Jibril menjawab,
“Dia firmankan yang benar, dan Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Dan
seluruh malaikat yang ia lewati bertanya kepadanya seperti pertanyaan pertama.
Demikianlah sehingga Jibril menyampaikan wahyu tersebut sesuai dengan yang
telah diperintahkan oleh Allah kepadanya.” (HR. Thabrani).
Apakah Sunnah Nabi berdasarkan wahyu dari Allah Ta’ala?
Al Quran Al Karim (Kalamullah), lafadz dan maknanya dari Allah
Ta’ala, Jibril as. dan Muhammad SAW adalah Sang Penyampai dari sisi Allah
Ta’ala, adapun sunnah nabi adalah dengan wahyu dari Allah Ta’ala, lafadz nya
dari Rasulullah SAW dan maknanya dar sisi Allah Ta’ala, arena Allah berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (٣) إِنْ
هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tidaklah yang diucapkan Muhammad itu karena menurut
keinginannya. Akan tetapi ia adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS An
Najm : 3-4).
Dinukil dari Imam Suyuthi dari Syekh Juwaini, beliau berkata:
Kalam Allah Ta’ala yang diturunkan ada dua bagian; satu bagian Allah berfirman
kepada Jibril: Katakanlah kepada nabi yang engkau diutus kepadanya bahwa Allah
berfirman: lakukan ini dan ini..., perintahkan ini dan ini.., maka mengertilah
Jibril apa yang dikatakan Rabbnya kemudian turunlah kepada Nabi SAW dan
menyampaikan apa yang diperintahkan, akan tetapi redaksinya tidak sama. Satu
bagian lagi adalah Allah Ta’ala berfirman kepada Jibril; Bacakanlah atas Nabi
kitab ini, kemudan turunlah Jibril dan menyampaikannya kepada Nabi tanpa
perubahan sama sekali baik pada redaksi maupun makna.