Terjemah dan Rangkuman Kitab At Tibyan Fi Ulumil Quran
Karya Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuny
Pengajar di
Fakultas Syariah Wa Dirasat Al Islamiyah di Makkah al Mukarromah
BAB 2 HIKMAH TURUNNYA AL QURAN BERANGSUR-ANGSUR
BAB 7 TAFSIR DAN PARA AHLI TAFSIR
Mengapa kita menafsirkan al Quran?
Perbedaan antara tafsir dan takwil:
Macam-macam tafsir:
Tafsir bir riwayah
Tafsir dengan dirayah atau ra’yi
Landasan tafsir yang utama:
Ilmu yang harus dimiliki para mufassir
Tingkatan tafsir
Tingkatan tafsir menurut Syaikh Muhammad Abduh:
Perkataan ulama tentang dibolehkannya tafsir bir ra’yi:
Tafsir Isyari
BAB 7
TAFSIR DAN PARA AHLI TAFSIR
Mengapa kita menafsirkan al Quran?
Pertanyaan-pertanyaan yang sering terlintas di benak setiap
manusia, mengapa ita menafsirkan Al Quran? Apakah kita tidak memuliakan dan
meyakini bacaannya?
Al Quran al Karim adalah pedoman hidup ummat, petunjuk dari Sang
Khaliq, syariat Allah untuk penduduk bumi, cahaya Ilahi, petunjuk dari langit,
aturan komprehensif yang abadi yang mengatur seluruh kebutuhan manusia dalam
perkara agama dan dunia mereka.
Perbedaan antara tafsir dan takwil:
Arti Tafsir:
Tafsir menurut bahasa artinya: menjelaskan dan menerangkan.
Firman Allah Ta’ala:
وَلَا يَأْتُوْنَكَ بِمَثَلٍ اِلَّا جِئْنٰكَ
بِالْحَقِّ وَاَحْسَنَ تَفْسِيْرًا ۗ ﴿الفرقان : ۳۳﴾
Dan mereka
(orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh,
melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik.
(QS. Al-Furqan: 33)
Jika kita
mengatakan: “Tafsirkan!”, maka bermakna jelaskan dan terangkan.
Tafsir menurut istilah artinya: ilmu yang
mempelajari pemahaman kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW, penjelasan
makna-maknanya dan pengambilan hukum-huum dan hikmah-hikmah dari dalamnya.
Keterangan yang lain adalah ilmu yang membahas di dalamnya Al Quran Al Karim
dari sisi dalil-dalilnya sesuai kemampuan manusia.
Arti Takwil:
Sedangkan takwil secara bahasa bermakna kembali atau meninjau
kembali sebuah permasalahan. Ada kalanya takwil juga bermakna tempat kembali
sebagaimana dalam sebuah ayat Al Qur’an.
Menurut istilah, takwil menurut orang-orang terdahulu berarti
tafsir, sehingga tafisr dan takwil memiliki arti yang sama. Sedangkan menurut
sebagian ulama bahwa tafsir dan takwil memiliki perbedaan yang sangat jelas.
Simpulan
Tafsir adalah makna-makna yang tersurat dari Al Quran Al Karim
yang menjadi dalil yang jelas atas makna yang dimaksud Allah Azza wa Jalla.
Sedangkan takwil adalah makna-makna yang tersembunyi yang disimpulkan dari
ayat-ayat yang mulia, yang masih memerlukan pemikiran dan perenungan.
Macam-macam tafsir:
Tafsir dengan riwayat, disebut juga tafsir dengan menukil atau
menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya, terus
sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Tafsir dengan
dirayah,
disebut juga tafisr bir ra’yi
Tafsir dengan isyarah, disebut juga oleh para ulama sebagai tafsir
dengan isyarat.
BAGIAN PERTAMA
Tafsir bir riwayah
Tafsir bi al-riwayah merupakan metode tafsir yang pada
pengaplikasiannya mentafsirkan ayat dengan ayat, ayat dengan hadits dan ayat
dengan perkataan para sahabat.
Sebagai contoh :
Penafsiran ayat Al-Al Quran dengan ayat Al-Al Quran
Artinya : telah dihalalkan bagi kamu binatang ternak kecuali apa
yang akan dibacakan kepadamu…. ( QS. Al-Haj: 30)
Ayat tersebut ditafsirkan oleh surat Al-maidah ayat 3
Artinya : telah diharamkan bagi kamu bangaki, darah, daging babi
dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah (QS. Al-maidah: 3)
Contoh lain adalah:
Artinya: ... keduanya berkata, ya Tuhan kami, kami telah
menganiaya diri kami sendiri. Dan apabila Engkau tidak mengampuni kami dan
memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.
(Q.S. Al-A’raf: 23)
Ayat tersebut merupakan penjelasan bagi lafadz kalimat yang
terdapat dalam surat al-baqarah ayat 37:
Artinya: ... kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari
Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah maha penerima
taubat lagi maha penyayang.
Penafsiran ayat dengan hadits Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam
Artinya: Orang-orang yang beriman dan
tidak mencampur adukkan keimanan mereka dengan kedzaliman (syirik) mereka itu
orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk. (Q.S. Al-An’am : 82)
Rasulullah menafsirkan kata Dzalim dalam ayat ini dengan syirik.
Penafsiran ini selaras dengan penegasan Allah dalam surat al-Lukman ayat 13:
Artinya: ... sesungguhnya menyekutukan Allah benar-benar
kedzaliman yang besar.
Penafsiran sahabat
Penafsiran ini juga merupaan penafsiran yang
berdasar dan bisa diterima, karena para sahabat bertemu langsung dengan Nabi
SAW, menyaksikan turunnya Al Quran, mengetahui asbabun nuzul, mereka termasuk
orang-orang yang jernih dirinya. Tafsir dari para sahabat bersifat marfu’
hingga Nabi SAW.
Adapun Tab’in, para ulama berbeda pendapat
tentang hal ini, sebagan mengatakan termasuk yang ma’tsur karena kebanyakan
mereka bertemu dengan para sahabat.
Note:
Tafisr bil ma’tsur
merupakan sebaik-baik tafsir jika sanadnya bersambung kepada Rasulullah SAW
atau kepada para sahabat radhiallah ‘anhum.
Penyebab lemahnya riwayah bil ma’tsur:
Pertama: Bercampurnya riwayat yang shahih dengan riwayat yang
tidak shahih.
Kedua: adanya “israiliyyat”, banyaknya khurafat yang bertentangan
dengan dengan akidah Islam.
Ketiga: Adanya sebagian orang yang memutarbalikkan perkataan,
menyusupkan kepentingan yang dilakukan oleh aliran-aliran yang dianggap
menyimpang seperti kaum Syi’ah
Keempat: adanya sebagian orang-orang zindiq, orang-orang yang
antiagama, menghilangkan peran sahabat dan tabi’in sebagai mereka ingin menghilangkan peran
Rasulullah SAW dengan tujuan menghancurkan agama Islam dengan cara menghapus
dan menyimpangkan nash-nash (teks) agama.
BAGIAN KEDUA
Tafsir dengan dirayah atau ra’yi:
Apa makna tafsir bir ra’yi?
Tafsir dirayah disebut juga tafsir bi
ra'yi. Tafsir dirayah adalah dengan cara ijtihad yang didasarkan pada
dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat. Tafsir dirayah bukanlah
menafsirkan al-Al Quran berdasarkan kata hati atau kehendak semata.
Imam al-Qurthubi berkata “barangsiapa yang
berkata tentang Al-Al Quran hanya dengan dugaan atau gagasan yang terlintas
dalam fikirannya, tanpa ada dasar-dasarnya, maka dia telah salah dan tercela,
dan dia termasuk dalam kategori hadits Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam yang
artinya: barangsiapa dengan sengaja berbohong atas namaku, maka ambilah
tempat duduknya di neraka.”. Nabi SAW juga bersabda:”Barangsiapa yang berkata
tentang Al Quran dengan pendapatnya dan benar, maka sebenarnya dia telah
salah.”
Macam-macam tafsir bil ra'yi
Ada dua macam tafsir bir-ra’yi, yakni tafsir bir-ra’yi
al-mahmud dan tafsir bir-ra’yi
al-mazmum
Tafsir bir-ra’yi al-mahmud, yakni tafsir yang sesuai
dengan syariat, berdasar nalar yang terpuji, jauh dari kebodohan dan kesesatan,
sejalan dengan kaidah Bahasa Arab, bersandarkan kepada nas-nash al Quran al
Karim, maa barangsiapa yang menafsiran Al Quran dengan pendapatnya haruslah
sesuai dengan syarat-syarat tersebut.
Sedangkan tafsir bir-ra’yi al-madzmum, yakni
menafsirkan Al Quran tanpa ilmu, berdasarkan hawa nafsu dan kebodohan terhadap
aturan dan syariat, mengarahan ayat-ayat Allah kepada aliran yang sesat dan
rusak serta menggunakan nalar yang tercela.
Contoh dari tafsir bir-ra’yi al-madzmum adalah perkataan sebagan
orang bodoh tentang ayat: “(Ingatlah), pada hari (ketika) Kami panggil setiap
umat dengan pemimpinnya”, (al Isra:71), mereka mengatakan bahwa pada hari
kiamat Allah akan memanggil mereka dengan nama ibu mereka, orang bodoh tersebut
menafsirkan kata “imam” dengan “para ibu” karena menganggap bahwa “imam” adalah jamak dari “Umm” (ibu). Karena
jamak “umm” adalah “ummahaat” sebagaimana firman Allah: “ibu-ibumu yang
menyusui kamu” (an Nisa: 23).
Landasan tafsir yang utama:
Pertama: Yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dengan menjauhkannya dari
kepalsuan
Kedua: Perkataan para sahabat tentang tafsir
Ketiga: Menggunakan unsur kebahasaan yang baku
Keempat: Menggunakan hal-hal yang sesuai dengan perkataan orang arab
Ilmu yang harus dimiliki para mufassir
1. Memahami
bahasa arab dan kaedah-kaedahnya: ilmu nahwu, ilmu sharaf dan ilmu isytiqaq
2. Memahami
ilmu Balaghah: Ma’ani, Bayan dan Badi’
3. Mamahami
Ushul Fiqh; Khas, ‘aam, mumal, mufasshal, dll.
4. Mamahami
asbabun nuzul
5. Memahami
naskh dan mansukh
6. Memahami
ilmu qiraat
7. Ilmu mauhibah
Tingkatan tafsir
Tingkatan tafsir menurut Syaikh Muhammad Abduh:
Pertama, Tingkat Tinggi
Kedua, Tingat Rendah
Adapun tingkatan yang tertinggi hanya akan tercapai setelah
memenuhi beberapa syarat berikut ini:
1.
Memahami hakikat makna per kata
yang terkandung dalam al Qur’an, dengan syarat seorang mufassir harus
mendengarnya langsung dari ahli bahasa, bukan hanya mendengarnya dari perkataan
dan pemahaman seseorang (yang belum jelas.)
2.
Memahami berbagai macam gaya bahasa.
Dengan kemampuan ilmunya, seorang mufassir diharapkan mampu memahami gaya
bahasa dalam ungkapan-ungkapan al Qur’an yang tinggi.
3.
Mengetahui ilmu sosiologi. Di
dalam al Qur’an ada ayat yang berbicara tentang kondisi sosial masyarakat,
kisah-kisah sejarah umat manusia, keuatan dan kelemahan manusia serta keimanan
dan kekafiran mereka.
4.
Mengetahui konteks dimana dan
bagaimana al Qur’an diturunkan, sehingga dapat mengetahui sisi-sisi al Qur’an
sebagai petunjuk pada masa kenabian dimana al Qur’an diwahyukan. Umar ra.
Berata: “Tidak akan mengetahui keutamaan Islam merea yang tidak membaca
kehidupan jahiliyyah.”
5.
Mengetahui sejarah perjalanan
Nabi SAW dan para sahabatnya, serta keilmuan mereka dan perbuatan mereka dalam
ibadah dan mu’amalah.
Adapun tingkatan terendah, adalah model tafsir yang hanya
menjelaskan secara global apa yang bisa dicerna oleh hati tentang kebesaran
Allah dan penyucian-Nya. Lalu dapat menhindarkan nafsu dari perbuatan jelek,
dan menariknya untuk berbuat kebaikan. “Dan sungguh, telah Kami mudahkan
Al-Qur'an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?”
(QS al-Qamar: 17).
Perkataan ulama tentang dibolehkannya tafsir bir ra’yi:
Ulama berbeda pendapat tentang dibolehkannya tafsir bir ra’yi:
Kelompok pertama: tidak membolehkan tafsir bir ra’yi, karena
tafsir harus bersandarkan kepada pendengaran.
Kelompok kedua: membolehkan tafsir bir ra’yi dengan syarat-syarat yang telah
disebutkan, menurut jumhur ulama.
Penolakan sebagian ulama pada Tafsir bi al-Ra’yi didasarkan pada
alasan tertentu yang disandarkan pada berbagai argumen yang terdapat dalam al
Quran dan Hadits, antara lain:
Firman Allah Swt. dalam Surat Al-Baqarah ayat 169 “…dan
mereka mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui”
Sabda Nabi Muhammad Saw: Siapa yang berkata terhadap al-Al Quran
berdasarkan pendapatnya, maka hendaklah dia menyiapkan tempatnya di neraka.”
(HR At Turmudzi dari Ibnu Abbas)
“Siapa yang berkata terhadap al-Al Quran berdasarkan pendapatnya,
lalu fa benar, maka di dianggap telah bersalah.” (HR At Turmudzi dari Jundub)
Pendapat para sahabat dan tabi’in yang menyatakan bahwa
sesungguhnya menafsirkan ayat al-Al Quran sesuai dengan pendapat pribadi
semata-mata adalah perbuatan yang tercela.
Alasan mereka yang membolehkan tafsir bir ra’yi
Ulama’ yang membolehkan tafsir bir ra’yi adalah golongan jumhur
yang menyebutkan beberapa alasan yang dapat kami simpulkan sebagai berikut:
Pertama: Allah telah manganjurkan kita untuk memperhatikan dan
mengikuti Al Qur’an, seperti dalam
firman-Nya:
Artinya : “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu
penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya
mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran” (QS. Shaad:29).
Proses tadabbur dan tadzakkur tidak akan bisa dilakukan tanpa
mendalami rahasia-rahasia Al Qur’an dan berusaha untuk memahami artinya.
Kedua: Allah Ta’ala membagi manusia dalam dua klasifikasi;
kelompok awam dan kelompok ulama (cerdik cendikiawan). Allah memrintahkan
mengembalikan segala persoalan kepada ulama yang bisa mengambil dasar hokum,
firman Allah:
Artinya :
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[322]
di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).” (QS. An-Nisa’:83)
Ketiga: Mereka berpendapat, “seandainya tafsir bi al-ra’yi tidak
diperbolehkan, lalu mengapa ijtihad dibolehkan ? seorang mujtahid dalam hukum
syara’ di beri pahala dua jika benar dan diberi satu pahala jika salah.”
Keempat: Para sahabat Nabi membaca Al Quran dan dalam menafsirkan Al
Qur’an ada sedikit perbedaan. Karena mereka belum mendapatkan penjelasan
seluruh makna Al Qur’an dari Nabi SAW, mereka baru mendapatkan penjelasan dari
Nabi SAW sebagian Al Qur’an, maka mereka menggunakan akal dan ijtihadnya.
Kelima: Nabi Muhammad SAW berdo’a untuk Ibnu Abbas, yang berbunyi:
“Ya Allah berilah pemahaman pada Ibnu Abbas dalam masalah agama,
dan ajarkanlah Ibnu Abbas dalam menafsirkan Al Qur’an.
Menurut mereka seandainya penafsiran Al Qur’an terbatas pada apa
yang di dengar dan di jelaskan dari Nabi SAW, tentu disini tidak ada artinya
do’a Nabi SAW yang di khususkan kepada Ibnu Abbas tersebut.
BAGIAN KETIGA
Tafsir Isyari
Tafsir al-isyari adalah menakwilkan (menafsirkan)
ayat Al Qur’an al-Karim tidak seperti zahirnya, tapi berdasarkan isyarat yang
samar yang bisa diketahui oleh orang yang berilmu dan hatinya diberi cahaya
oleh Allah Ta’ala, sehingga mereka mengetahui rahasia-rahasia Al Quran yang
agung. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam kisah Nabi Khidhir bersama Nabi
Musa as. “Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba
Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah
Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami.” (Al Kahfi: 65).
Ilmu semacam ini bukanlah ilmu yang didapatkan melalui usaha
tetapi didapat secara “ladunni” atau “wahbi” sebagai efek dari ketawaan dan
keistiqomahan, sebagaimana firman Allah: “Dan bertakwalah kepada Allah, Allah
memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al
Baqarah: 282).