SYARIAT ISLAM TENTANG THALAQ; RANGKUMAN RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT AHKAM

 RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT AHKAM

KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH SHOBUNI


Daftar Isi : Jilid 1

Muqaddimah

1. Fatihatul Kitab

2. Pandangan Syari'at tentang sihir

3. Nasakh dalam Al Qur-an

4. Menghadap ke ka'bah dalam shalat

5. Sa'i antara safa dan marwa

6. Hukum Menyembunyikan Ilmu Agama

7. Makanan yang Halal dan yang Haram

8. Hukum Qishash mengandung Kehidupan

9. Kewajiban Puasa bagi Kaum Muslimin

10. Perang dalam Islam

11. Menyempurnakan Haji dan Umrah

12. Perang di Bulan-bulan Haram

13. Haramnya Khamr dan Judi

14. Mengawini wanita musyrikin

15. Menjauhi Istri pada Waktu Haidh

16. Jangan Banyak Bersumpah

17. Syari'at Talak dalam Islam

18. Penyusuan

19. 'Iddatul Wafat

20. Meminang dan Hak Mahar

21. Bahaya Riba bagi Kehidupan Sosial

22. Larangan Mengangkat Pemimpin Orang Kafir

23. Wajib Haji

24. Poligami dan Hikmahnya

25. Memelihara Anak yatim

26. Perempuan-perempuan yang Haram Dikawini

27. cara-cara Mengatasi Syiqaq

28. Larangan Shalat Bagi Orang yang Sedang Mabuk dan Junub

29. Tindak Kriminal Pembunuhan dan Hukumnya Menurut Islam

30. Shalat Khauf (Shalat dalam Suasana Bahaya)

31. Makanan yang Haram

32. Beberapa Hukum tentang Wudhu' dan Tayamum

33. Hukuman Pencuri dan Penyamun

34. Denda Pembatalan Sumpah dan Haramnya Arak dan Judi

35. Kemakmuran Masjid

36. Orang Musyrik Dilarang Masuk Masjidil Haram

37. Hukum Pembagian Ghanimah Dalam islam

38. Lari dari Peperangan

39. Teknis Pembagian Ghanimah

40. Menyembelih Qurban Untuk Taqarrub kepada Allah


 

RANGKUMAN RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT AHKAM

KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH SHOBUNY  (Jilid 1 nomor 17)

SYARIAT ISLAM TENTANG THALAQ (Surah Al-Baqarah 229- 231)

 

 

Surat Al-Baqarah 229- 231

ٱلطَّلَٰقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌۢ بِإِحْسَٰنٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُوا۟ مِمَّآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْـًٔا إِلَّآ أَن يَخَافَآ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا ٱفْتَدَتْ بِهِۦ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al Baqarah: 229)

 

فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُۥ ۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّآ أَن يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (QS. Al Baqarah: 230)

 

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ۚ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوا۟ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُۥ ۚ وَلَا تَتَّخِذُوٓا۟ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ هُزُوًا ۚ وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَآ أَنزَلَ عَلَيْكُم مِّنَ ٱلْكِتَٰبِ وَٱلْحِكْمَةِ يَعِظُكُم بِهِۦ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al Baqarah: 231)

 

Mufrodat

الطلاق     : Melepaskan dengan harapan dapat mengembalikannya

تسريح     : Melepaskan sesuatu bukan untuk mengembalikannya

احسان    : Memberi lebih banyak dari pada yang harus diberikan

بلغن اجلهن     : Telah mencapai masa akhir waktunya

معروف     : Batas Minimal dari perlakuan yang wajib

عضل   : Menghalangi, Menahan

 

Analisis Lafadz

 وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Maksudnya perempuan yang dicerai disini adalah perempuan yang telah dijima’dan tidak sedang dalam keadaan hamil atau wanita yang putus rutinitas haidhnya, karena wanita yang belum disetubuhi tidak ada ‘iddah baginya. Sebagaimana disinggung dalam firman Allah swt:

ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا (49(

Artinya:”lalu kamu menthalak perempuan sebelum kamu menyetubuhinya (bersetubuh dengan dia), maka tidak ada lagi mereka’iddah.(QS. Al-Ahzab:49)

Dalam firman Allah terkandung Bi Anfusihinna terkandung isyarat yang menyatakan bahwa wanita yang berada dalam masa ‘iddah wajib mengekang keinginanya untuk kawin lagi dan menahan nafsu syahwatnya sampai berakhir masa tersebut.

Para ulama madzab berbeda pendapat mengenai pengertian quru’. Imam malik dan Syafi’i menggartikan quru’dengan masa suci, yang apabila seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya pada masa suci maka ‘iddahnya dihitung sejak masa itu yang kemudian disempurnakan dengan dua kali masa suci sesudahnya.

Sedangkan Imam Hanafi dan Hambali mengartikan quru’ itu  dengan masa haidh, yang apabila seorang wanita dicerai suaminya dalam keadaan suci, maka ‘iddahnya dihitung sejak pertama kali ia haidh setelah berakhir masa sucinya ketika ia diceraikan. Dengan kata lain ia harus menjalani ‘iddahnya tiga kali haidh secara penuh.

Kemudian Allah SWT, menjelaskan hikmah yang terkandung dalam masalah masa menunggu yang terkait erat dengan hukum lain melalui firman-Nya:

 وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ

Tidak diperbolehkan bagi kaum wanita menyembunyikan apa yang telah diciptakan oleh Allah dalam rahim mereka, jika mereka telah merasakan adanya bayi-bayi dalam perut mereka. Dan jangan pula memperpanjang masa haidh dengan sengaja. Kasus semacam ini telah banyak terjadi di Mesir pada masa sekarang ini, dimana kaum wanita yang ditalak telah memperpanjang masa haidh dengan berbagai cara apabila mereka sulit mendapatkan jodoh kembali. Hal ini mereka lakukan karena pada Qodhi telah mewajibkan bekas suami-suami mereka menafkahi mereka selama masa ‘iddah. Oleh karena itu, Departemen Kehakiman di Mesir telah menetapkan batas maksimal masa ‘iddah selama satu tahun Qomariah sebagaimana pendapat yang dianut oleh Imam Malik ra.

Pada masa jahiliyah, ada seorang wanita yang melakukan perkawinan beberapa saat berselang setelah ia ditalak oleh suaminya (masih dalam masa ‘iddah). Tidak beberapa lama, wanita tersebut mengandung sebagai hasil hubunganya dengan suami pertama, tetapi anak yang lahir dari wanita tersebut telah dinasabkan kepada suami yang kedua. Setelah agama islam datang, kebiasaan ini telah dilarang karena mengandung unsur penipuan dan pemalsuan dengan lahirnya seorang anak yang tidak berasal dari suami yang baru. Oleh karena itu, islam memerintahkan mereka agar melakukan ‘iddah setelah berpisah dengan suami mereka supaya diketahui bahwa rahim mereka telah bersih (tidak mengandung).

إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

     Jika mereka benar-benar beriman kepada Allah yang telah menetapkan halal dan haram untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya, dan jika mereka benar-benar beriman kepada hari akhir, dimana setiap orang akan dibalas sesuai dengan amal perbuatanya- maka janganlah sekali-kali mereka menyembunyikan apa yang ada pada rahim mereka. Sebab, jika mereka percaya bahwa dengan mengikuti petunjuk ini akan mendapat pahala dan keridhaan – dan jika mengabaikanya  menyebabkan celaka – maka hal ini membutuhkan ketaatan dan keikhlasan dalam melaksanakan perintah ini. Dan dalam ayat ini jelas terkandung nada ancaman yang keras.

 وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا

       Suami dari wanita yang ditalak lebih berhak mengembalikan dirinya kepadanya pada masa ‘iddah, jika suami tersebut bermaksud memperbaiki dan menggaulinya kembali dengan baik. Bahwasanya memperbaiki hubungan suami istri – dengan mengembalikan bekas istri kepangkuan suaminya – dan hal ini tidak akan bisa terwujud kecuali apabila masing-masing pihak memenuhi hak-hak yang harus dilaksanakannya – maka Allah menjelaskan secara ringkas suatu undang-undang yang mengatur hubungan timbal balik antara suami dengan istri, yaitu adanya persamaan hak antara keduanya dalam segala hal kecuali satu hal yang akan dijelaskan dalam ayat berikut:

 وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَة

Sesungguhnya pada seorang lelaki (suami) ada hak-hak dan kewajiban atas istrinya, demikian pula sebaliknya.

Maksudnya ialah, bahwa hak dan kewajiban atas kedua belah pihak, pengaturanya diserahkan kepada norma-norma, tata cara dan kebiasaan yang berlaku pada suatu masyarakat dalam bermu’amalah. Yang dimaksud dengan persamaan hak disini ialah bahwa antara keduanya hendaknya saling memberi dan saling mencukupi.[1] Disebutkan  dalam shahih Muslim, dari Jabir, bahwa Rosulullah bersabda dalam khutbah beliau ketika haji wada’:

“bertaqwalah kepada Allah dalam urusan wanita. Karena sesungguhnya kalian telah menikahi mereka dengan amanat Allah dan menghalalkan kemaluanya dengan kalimat Allah. Kalian memiliki hak atas mereka agar mereka tidak mengizinkan seorang pun yang kalian benci menginjak tikar (rumah) kalian. Jika mereka melakukan hal itu, maka pukulah dengan pukulan yang tidak melukai. Dan diwajibkan atas kalian (suami) untuk memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan baik”.

عن معاوية القشيري, قال:قلت:يارسول الله,ماحق زوجة أحدنا عليه, قال: (أن تطعمها إذاطعمت, وتكسوها إذااكتسيت, ولاتضرب الوجه, ولاتقبح, ولاتهجر إلافي البيت) رواهأبوداودوابن ماجه وأحمد والنسائي

     “Dari Muawiyah al-Qusyairiy berkata: aku pernah bertanya kepada Rasulullah, “wahai Rasulullah, apakah hak istri kami?” Beliau menjawab, “memberinya makan jika kamu makan, memberinya pakaian jika kamu berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak mencaci maki, dan tidak mendiamkannya kecuali di dalam rumah“.( H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Nasa’i)

Waqi’ meriwayatkan dari Basyir bin Sulaiman dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia mengatakan:” aku suka berhias untuk istri sebagaimana aku suka istriku berhias untukku”

Demikianlah pembagian kerja yang sesuai dengan fitrah masing- masing sebagai suami istri. Dalam hal ini, tidak ada larangan untuk mempekerjakan seorang pembantu rumah tangga yang bisa membantu meringankan pekerjaan keduanya, jika hal ini memang dibutuhkan. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh firman Allah dalam ayat ini:

  وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ

   “ dan tolong menolonhlah kamu dalam (mengerjakan)kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolonh menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah..” (QS. Al-Maidah:2)

وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Kalimat penutup ayat tersebut menunjukan pada suatu fakta bahwa kebijaksanaan Allah mengharuskan setiap orang dimasyarakat melaksanakan tugas-tugas yang telah dipersiapkan oleh hukum penciptaan dan semuanya itu disesuaikan dengan struktur tubuh dan ruhnya.

 

 

Asbabun Nuzul

Mengenai sebab turunnya QS. Al-Baqarah 229 terdapat riwayat yang menerangkan bahwa pada permulaan Islam, talak itu tidak dibatasi jumlahnya. Seorang lelaki boleh saja merujuk seorang istri yang telah ditalaknya itu pada masa iddahnya, kemudian menalaknya dan merujuknya kembali sesuka hati. Kemudian terjadilah perselisihan antara seorang lelaki Anshar dan istrinya. Lalu dia berkata kepada istrrinya “Aku tidak melindungimu dan tidak juga berpisah darimu” Si istri bertanya, “Bagaimana itu?” Dia menjawab “ Saya ceraikan engkau, kemudian apabila telah dekat habisnya iddahmu, maka saya rrujuk kembali engkau” kemudian wanita itu melaporkan hal itu kepda Rasulullah saw. Kemudian turunlah ayat "Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali”

Ditakhrij oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas r.a, berkata: ada seorang laki-laki yang menceraikan istrinya kemudian merujuknya sebelum habis masa iddahnya kemudian menalaknya lagi. Dia melakukan hal tersebut dengan maksud menyakiti dan mempersulit istrinya sehingga turunlah ayat 231 dari QS. Al Baqarah.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Tirmidzi, dari Ma’qil bin Yasar ra. Seesungguhnya saudaranya dilamar oleh seorang laki-laki dari kaum muslim dihadapan Rosulullah SAW, kemudian dinikahkannya dengan saudarnya. Selang beberapa waktu ia menceraikannya dan tidak merujuknya sampai masa iddahnya habis. Tetapi ia masih mencintai mantan istrinya begitupun istrinya masih mencintainya. Kemudian ia melamar kembali mantan istrinya. Ma’qil berkata kepadanya: hai laknat! Aku muliakan engkau karenanya, aku kawinkan kau dengannya dan kamu menceraikannya. Demi Allah dia tidak akan kembali kepadamu selamanya. Rosul berkata: sesungguhnya Allah mengetahui keinginannya kepada istrinya dan keinginan istri kepada suaminya. Kemudian turun QS. A Baqarah ayat 232. Setelah itu Ma’qil mengawinkannya karena ta’at kepada Tuhannya.

Diriwayatkan, bahwa orang – orang jahiliyah tidak mempunyai bilanagan talak. Mereka mentalak istrinya dengan sesuka hati. Jika masa iddah wanita itu sudah hampir habis, dirujuknya. Dizaman Nabi SAW.sendiri sudah pernah terjadi seorang suami yang sengaja hendak mentalak istrinya dengan mengatakan pada istrinya itu: akau tidak akan tidur bersamamutetapai aku juga tidak akan membiarkan kamu lepas. Wanita itu kemudian bertanya? Apa maksudmu? Ia menjawab, engkau ku talak, tetapi kalau masa iddah hampir habis, engakau kurujuk. Begitulah, kemudian wanita itu melaporkan kepada Nabi SAW. Maka turunlah surat al-baqarah ayat 229.

Ibnu jarir meriwayatkan dari jalan Ibnu Abbas r.a., ia berkata: pernah terjadi seorang suami mentalak istrinya, kemudian merujuk sebelum masa iddahnya habis, kemudian ditalak lagi. Ia berbuat demikian dengan maksud hendak menyusahkan istrinya dan menghalang halangi istri itu. Begitulah lalu Allah menurunkan ayat 231 ini.

Imam Bukhari dan Tirmidzi meriwayatkan dari jalan Ma’qil bin Yasar r.a., bahwa dia pernah mengawinkan saudara perempuannya dengan seorang laki – laki,  padahal perempuan itu sebagaimana layaknya perempuan – perempuan lainnya. Lalu dia ditalak sekali, dan tidak dirujukinya sampai hampir habis masa iddahnya. Dia masih suka pada istrinya itu dan begitu juga dengan istrinya. Kemudian dia dipinang lagi. Maka ketika itu Ma’qil berkata kepadanya: kurang ajar! Sudah kuhormat engkau, dan kukawinkan saudaraku denganmu, tetapi kemudian engkau cerai dia. Demi Allah dia tidak akan kembali kepadamu untuk selama-lamanya.  Begitulah, oleh karena Allah mengetahui hajat suami kepada istrinya dan hajat istri kepada suaminya, maka Allah menurunkan ayat 232. Setelah Ma’qil mendengar ayat tersebut dai Nabi SAW., sontak ia mengatakan: sungguh kudengarkan kalam tuhanku itu dan kuta’ati. Lalu laki – laki itu dipanggilnya, seraya mengatakan: kukawinkan engkau dan kuhormati engkau.

 

Kajian Hukum Surat Al-Baqarah ayat 229-232

Surat Al-Baqarah Ayat 299

     Firman Allah “Talak yang dapat dirujuk itu dua kali” . dalam hal ini muncul satu ketetapan talak itu ada tiga kali. Ketika talak ke tiga jatuh, istri sudah tidak halal lagi bagi suami. . “Maka rujuklah dengan cara yang makruf atau ceraikanlah dengan cara yang baik” apabila suami menceraikan istrinya untuk kali pertama atau kedua, maka dia diberi pilihan selama istri masih mempunyai masa iddah untuk merujuk kembali atau menceraikan dengan cara yang baik.

     Apabila terjadi perselisihan antara suami-istri , istri tidak memenuhi hak suami, istri membencinya, dan tidak mampu menggaulinya, maka si istri bisa menebus dirinya dari suaminya dengan maskawin yang dulu diberikan oleh suaminya, dan penyerahan itu boleh dilakukan si istri, dan suami pun tidak salah mengambil tebusandari mantan istrinya.

 

Surat Al-Baqarah Ayat 230

     Setelah jatuhnya talak tiga, maka seorang suami haram untuk merujuk mantan istrinnya kembali kecuali telah dinikahi lelaki lain atau mantan istri telah melewati lima proses: Habis iddah atas perceraian suami yang pertama; Menikah dengan llelaki lain; Bersetubuh dengan suami kedua; Cerai dengan suami yang kedua; Habis masa iddah atas perceraian suami yang kedua.

 

Surat Al-Baqarah Ayat 231

     Kajian hukum yang dapat diambil dari ayat 231 adalah kewajiban memperlakukan wanita yang dicerai dengan baik. Allah juga melarang  kita melakukan perbuatan yang menyusahkan mereka.

 

Surat Al-Baqarah Ayat 232

     Apabila telah selesai masa iddah istri, tapi suami belum merujuknya kembali, maka dalam ayat ini Allah mengharamkan perbuatan suami yang menghalang-halangi isterinya menikah dengan laki-laki lain, dan perbuatan wali yang menikahkan para wanita tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu.

 

Kontekstualisasi

Dengan turunnya ayat mengenai talak dan mengenai hukum-hukumnya yang telah dijelaskan diatas, seharusnya angka perceraian di masyarakat menjadi kecil. Karena sangat mudah menjatuhkan talak kepada istri tapi konsekuensinya sangat pahit apabila telah terjadi talak tiga.

Dalam ayat 230 Allah mengisyaratkan lewat firmannya menggunakan kata إن in. apabila diterjemahkan berarti seandainya. Kata ini biasa digunakan untuk sesuatu yang  jarang terjadi. Dengan demikian, ayat ini mengisyaratkan bahwa sebenarnya perceraian itu jarang terjadi di kalangan mereka yang memperhatikan tuntunan-tuntunan Ilahi, atau dengan kata lain perceraian adalah suatu yang diragukan terjadi dikalangan orang-orang beriman.

Selain itu, sering kita jumpai, orang yang cerai, bisa dikatakan benar benar cerai bila sudah ada keputusan dari pengadilan. Permasalahannya, lembaga peradilan di Indonesia mempersulit terjadinya perceraian. Artinya, untuk menuju ke perceraian diupayakan terlebih dahulu upaya perdamaian yang dilakukan sekuat-kuatnya. 

Permasalahan selanjutnya, apabila ada suami yang telah mentalak istrinya lebih dari dua kali ketika di pengadilan di upayakan perdamaian maka apabila terjadi perdamain dianta keduanya, maka menurut hukum Islam walaupun dalam pengadilan keduanya dinyatakan bisa rujuk kembali tetapi menurut QS. Al-Baqarah 229 keduanya tidak halal lagi untuk membangun hubungan rumah tangga  kecuali istri telah dinikahi lelaki lain. Permasalahan inilah yang harus disosialisasikan kepada masyarakat.

 

Pelajaran dari Ayat

1. Merupakan hikmah dan rahmat Allah Ta’ala yang membatasi jumlah thalaq dengan tiga kali saja, tidak ada ruju’ lagi setelah jatuh thalaq tiga kecuali istrinya dinikahi oleh orang lain terlebih dahulu; karena pada masa Jahiliyah dulu seseorang menthalaq istrinya dengan berkali-kali, apabila masa iddah hampir selesai ia meruju’nya kemudian ia thalaq lagi, maka berulanglah masa iddah dari awal lagi lalu jika masa iddah hampir selesai ia pun meruju’nya kembali demikian seterusnya… sehingga wanita menjadi sangat tersiksa, dia bukan seorang istri sebagaimana pada umumnya, bukan pula ia seorang yang diceraikan karena masih dalam ikatan masa iddah. Menjadilah wanita tersebut seorang yang terkatung-katung. Maka Allah Ta’ala membatasi thalaq menjadi hanya tiga kali saja.

2. Pengulangan yang dianggap (terbanyak) terhadap suatu ucapan atau perbuatan adalah dengan tiga kali. Hal ini banyak sekali contohnya, diantaranya : pengucapan salam terbanyak adalah tiga kali, meminta izin (untuk masuk rumah misalnya) terbanyak adalah tiga kali, pengulangan suatu pembicaraan apabila belum dipahami adalah tiga kali, pengulangan dalam berwudhu terbanyak adalah tiga kali dan lain sebagainya. Maka dapat disimpulkan bahwa pengulangan yang dianggap cukup (terbanyak) adalah dengan bilangan ‘tiga kali’.

3. Jumlah thalaq yang dibolehkan bagi suami untuk ruju’ adalah dua kali, thalaq satu dan thalaq dua, lalu bagi siapa yang menthalaq istrinya dengan thalaq yang kedua kemudian ruju’ lagi maka ada dua pilihan baginya setelah itu : mempertahankan tali pernikahannya dengan baik selama hidupnya atau ia menceraikannya lagi (dengan thalaq ketiga) dengan cara yang baik, jika ia menthalaqnya maka tidak halal lagi baginya kecuali istrinya telah menikah lagi dengan laki-laki lain.

4. Haramnya thalaq tiga dalam sekali ucapan (seperti ucapan ‘Kamu saya talaq tiga sekaligus’ pen.), karena Allah Ta’ala berfirman, “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.” Maksudnya, seseorang mengucapkan kata talaq kepada istrinya langsung talaq tiga, ucapan seperti ini adalah termasuk talaq bid’iy (talaq yang bid’ah) dan jumhur ulama berpendapat bahwa walaupun demikian ia tetap jatuh talaq tiga secara langsung. Dan selain jumhur berpendapat bahwa hal itu adalah talaq bid’iy akan tetapi hanya jatuh talaq satu saja, dalil mereka adalah ayat tersebut diatas (“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.”) dan (“Wanita-wanita yang di talaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’), thalaq dengan lafadz thalaq tiga sekaligus maka didalamnya tidak ada 2x thalaq raj’i seperti dalam ayat, tidak pula masa quru’ sehingga ini termasuk bid’ah. Dan tidaklah lafadz tersebut menjadi thalaq ba’in (jatuh thalaq tiga), akan tetapi hanya jatuh thalaq satu saja.

5. Wanita yang dithalaq tiga tidaklah halal bagi suami yang menceraikannya sehingga wanita tersebut menikah dengan laki-laki lain (dan iapun mencampurinya) lalu laki-laki yang menikahinya tadi menceraikannya atau meninggal. Maka setelah itu baru suami pertama tadi boleh menikahinya lagi.

6. Disyari’atkannya khulu’, yaitu seorang wanita yang tidak suka untuk meneruskan rumah tangganya bersama suaminya, lalu ia meminta untuk diceraikan dari suaminya dengan memberikan sejumlah harta kepada suaminya sebagai ganti dari mahar yang telah diberikan kepadanya ketika dia menikah. Hal itu jika keduanya atau salah satu dari keduanya khawatir tidak dapat melaksanakan hukum-hukum Allah. Adapun jika kondisi keduanya tidak ada masalah maka tidak diperbolehkan bagi seorang istri meminta cerai (khulu’), sebagaimana hadits rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan apapun maka haram baginya baunya surga”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan lainnya, dan dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)

7. Boleh khulu’ dengan meminta lebih dari mahar atau apa yang telah ia berikan kepada isrtinya, sesuai keumuman ayat, “tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya", bayaran berjumlah banyak atau sedikit. Ada pula yang mengatakan bahwa umumnya ayat tersebut dikembalikan ke ayat, "Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,” sehingga maknanya : bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya dari aapa-apa yang telah kamu berikan kepada mereka. Maka dari sini dapat disimpulkan (sebagaimana yang diungkapkan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah), “Maka jika istri tersebut yang berbuat buruk lalu meminta cerai (khulu’) maka tidak apa-apa suaminya mengambil darinya lebih banyak dari apa yang telah ia berikan, dan jika tidak demikian maka suami tidak boleh mengambil melebihi pemberiannya.”

8. Wanita yang meminta khulu’ bukanlah raj’iyah, maksudnya : bahwa perpisahan sebuah hubungan pernikahan yang disebabkan karena khulu’ maka itu adalah perpisahan selamanya yang tidak ada jalan untuk ruju’ kepadanya kecuali dengan aqad nikah baru.

9. Bolehnya seorang wanita menggunakan hartanya sendiri tanpa izin suaminya, sesuai ayat, “tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”.

 

Hukum-hukum yang terkandung

Penjelasan mengenai masa ‘iddah untuk wanita yang ditalak jika ia sedang haidh ialah menunggu selama tiga kali haidh atau tiga kali suci, maksudnya perempuan yang dicerai disini adalah perempuan yang telah dijima’dan tidak sedang hamil atau wanita yang telah putus rutinitas haidnya. Karena wanita yang belum disetubuhi tidak ada ‘iddah baginya. Sebagaimana disinggung dalam firman Allah SWT:

ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا

Artinya:”lalu kamu menthalaq perempuan sebelum kamu menyentuhnya(bersetubuh dengan dia), maka tidak ada bagi mereka ‘iddah.(Al-Ahzab:49)

Sedangkan ‘iddah wanita hamil adalah melahirkan kandunganya. Sebagaimana firman Allah swt:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Artinya:”perempuan-perempuan yang hamil, ‘iddahnya adalah sampai mereka melahirkan kandunganya”.(At Thalaq: 4).

Adapun wanita yang tidak haidh ataupun wanita yang telah putus haidhnya, mempunyai ‘iddah tiga bulan. Sebagaimana Allah swt telah berfirman:

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ

Artinya: “perempuan-perempuan yang telah putus asa daripada haidh, jika kamu ragu-ragu(tentang  ‘iddahnya), maka ‘iddahnya tiga bulan”.(At Thalaq: 4)

Dari sini maka jelas bahwa ayat tersebut mempunyai maksud khusus, yakni bahwa ‘iddah yang dimaksudkan dalam ayat tersebut yaitu ‘iddahnya wanita yang dicerai yang telah dijima’, manakala dia bukan anak kecil atau telah putus rutinitas haidhnya.

Apakah ayat itu umum untuk tiap perempuan yang diceraikan? Firman Allah: وَالمُطَلَّقَاتُ (perempuan-perempuan yang diceraikan suaminya…/al-Baqarah:228) adalah bersifat umum mencakup thalaq ba’in dan thalaq raj’i. Sedangkan firman Allah swt: وَبُعُوْلَتُهُنَّ آّحَقُّ بِرَدِّهِنَّ (suami mereka lebih patut kembali kepadanya../al-Baqarah:228), adalah khusus bagi”thalaq raj’I” bukan “thalaq ba’in”. Karena bagi wanita yang berthalaq ba’in adalah berhak menentukan dirinya sendiri. Ibnu khatsir berkata:” ayat ini adalah khusus pada thalaq raj’i. Adapun ketika turun ayat ini belum ada perempuan berthalaq ba’in. “thalaq ba’in” itu hanya ada setelah mereka dibatasi dengan thalaq tiga. Kondisi turunya ayat ini adalah, bahwa suami berhak kembali kepada istrinya, walaupun dia telah menthalaqnya seratus kali. Namun setelah mereka dibatasi dengan thalaq tiga, maka ada orang yang  terthalaq ba’in dan ada pula bukan ba’in.

Seorang wanita yang ditalak haram hukumnya menyembunyikan haidh atau kehamilan yang telah diciptakan Allah di dalam rahimnya dengan maksud apapun,

Seorang suami lebih berhak untuk merujuk istrinya yang ditalaknya, jika belum habis masa ‘iddahnya, bahkan dikatakan ia adalah tetap menjadi istrinya berdasarkan dalil jika ia meninggal, suaminya tetap mewarisinya dan sebaliknya jika suaminya yang meninggal maka ia pun mewarisinya. Dan wanita ini tidak halal untuk dilamar atau dinikahi selama ia dalam masa ‘iddah,

Penetapan   hak-hak bagi masing-masing suami-istri atas pasanganya,

Penetapan kepemimpinan seorang laki-laki terhadap wanita, karena Allah telah memberikan kepadanya berbagai keistemewaan yang tidak  ditemukan pada wanita,

Tujuan dari adanya ‘iddah adalah untuk menghilangkan rasa keraguan mengenai kosongnya rahim mantan istri, serta utuk memudahkan terjadinya  rujuk kembali. Dengan adanya limit waktu tunggu wanita yang dicerai, serta keberadaannya yang masih tinggal serumah dengan suami, sangat memungkinkan bagi suami akan muncul kesadaran untuk merujuk kembali.

 

 

Komentar atau pertanyaan, silakan tulis di sini

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama