RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT AHKAM
KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH SHOBUNI
Daftar Isi : Jilid 1
Muqaddimah
2. Pandangan Syari'at tentang sihir
3. Nasakh dalam Al Qur-an
4. Menghadap ke ka'bah dalam shalat
6. Hukum Menyembunyikan Ilmu Agama
7. Makanan yang Halal dan yang Haram
8. Hukum Qishash mengandung Kehidupan
9. Kewajiban Puasa bagi Kaum Muslimin
10. Perang dalam Islam
11. Menyempurnakan Haji dan Umrah
12. Perang di Bulan-bulan Haram
14. Mengawini wanita musyrikin
15. Menjauhi Istri pada Waktu Haidh
17. Syari'at Talak dalam Islam
18. Penyusuan
19. 'Iddatul Wafat
21. Bahaya Riba bagi Kehidupan Sosial
22. Larangan Mengangkat Pemimpin Orang Kafir
23. Wajib Haji
26. Perempuan-perempuan yang Haram Dikawini
27. cara-cara Mengatasi Syiqaq
28. Larangan Shalat Bagi Orang yang Sedang Mabuk dan Junub
29. Tindak Kriminal Pembunuhan dan Hukumnya Menurut Islam
30. Shalat Khauf (Shalat dalam Suasana Bahaya)
32. Beberapa Hukum tentang Wudhu' dan Tayamum
33. Hukuman Pencuri dan Penyamun
34. Denda Pembatalan Sumpah dan Haramnya Arak dan Judi
35. Kemakmuran Masjid
36. Orang Musyrik Dilarang Masuk Masjidil Haram
37. Hukum Pembagian Ghanimah Dalam islam
38. Lari dari Peperangan
39. Teknis Pembagian Ghanimah
40. Menyembelih Qurban Untuk Taqarrub kepada Allah
RANGKUMAN RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT
AHKAM
KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH
SHOBUNY (Jilid 1 nomor 21)
KEJAHATAN SOSIAL RIBA YANG MEMBAHAYAKAN
(Surah Al Baqarah Ayat 275-281)
الَّذِينَ يَأْكُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ
الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةُ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ
إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
{275} يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ
كَفَّارٍ أَثِيمٍ {276} إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ
وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ {277} يَآأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم
مُّؤْمِنِينَ {278} فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ
وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ
تُظْلَمُونَ {279} وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ
تَصَدَّقُوا خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ {280} وَاتَّقُوا يَوْمًا
تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّاكَسَبَتْ وَهُمْ
لاَيُظْلَمُونَ {281}
Artinya:
275.Orang-orang yang makan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang
kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.
276.Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam
kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
277. Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka
mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.
278. Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan
rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
280. Dan jika (orang yang berhutang
itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
Mengetahui.
281. Dan peliharalah dirimu dari
(azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan
kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang Sempurna terhadap
apa yang Telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
(dirugikan). (QS. Al-Baqarah 275-281)
Syaikh Ali Ash Shabuni telah menjelaskan
secara rinci akan penafsiran surat al-Baqarah 275-281. Yang mana sebelumnya
telah disebutkan bahwa pada surat inilah riba diharamkan secara keseluruhan
(kulliy). Maka dari itu tidak perlu menafsirkan semua ayat riba diatas cukup
ayat terakhir saja yang perlu kita tafsirkan sedang ayat lainnya sebagai
penguat akan diharamkannya riba.
1. Maksud “ya’kuluna” pada surat
Al-Baqarah ayat 275 diatas adalah mengambil dan membelanjakannya. Tetapi disini
dipakai dengan kata makan karena maksud utama harta adalah untuk dimakan.
Kata makan ini sering pula dipakai dengan arti mempergunakan harta orang lain
denagn cara yang tidak benar.
2. Pemakan riba disamakan dengan
orang orang yang kesurupan adalah suatu ungkapan yang halus sekali, yaitu Allah
memasukan riba ke dalam perut mereka itu, lalu barang itu memberatkan
mereka.hingga mereka sempoyongan bangun jatuh. Itu menjadi tanda dihari kiamat
sehingga semua orang mengenalnya. Begitulah seperti yang dikatakan sa’id bin
jubair.
3. Perkataan “innama l bai’u mitslu
riba” itu disebut tasybih maqlub (persamaan terbalik. Sebab musyabah bih-nya
memiliki nilai lebih tinggi. Sedang yang dimaksud disini ialah: riba itu sama
dengan jual beli. Sama sama halalnya. Tetapi mereka berlebihan dalam
kenyakinannya, bahwa riba itu dijadikan sebagai pokok dan hukumnya halal,
sehingga dipersamakan dengan jual beli. Disinilah letak kehalusannya.
4. Yang menjadi titik tinjauan dalam ayat
276 bahwa periba mencari keuntungan harta dengan cara riba dan pembangkang
sedekah mencari keuntungan dengan tidak mengeluarkan sedekah. Untuk itulah
Allah menjelaskan bahwa riba menyebabkan kurangnya harta dan tidak
berkembangnya harta, sedang sedekah menyebabkan berkembangnya harta bukan
pengurang harta.
5. Kata “harb” dalam bentuk
nakirah.adalah untuk menunjukan besarnya persoalan ini. Lebih lebih ini di
nisbatkan kepada Allah dan rasul-Nya. Seolah olah Allah mengatakan; Percayalah
akan ada suatu peperangan dasyat dari Allah dan Rasul-Nya yang tidak dapat
dikalahkan.
6. Perkataan “kaffar” dan “atsiem”
kedua kata ini termasuk sighat mubalaghah yang artinya; banyak kekufuran dan
banyak dosa. Ini menunjukan bahwa perbuatan haramnya riba ini sangatlah keras
sekali. Dan termasuk perbuatan orang orang kafir bukan perbuatan orang orang
muslim.
7. Perkataan “wa inkana dzuu
‘usratin fa nadhiratun ila maysarah” itu memberikan semangat kepada pihak
yang menghutangi supaya benar benar memberikan tempo kepada pihak yang
berhutang sampai ia benar benar mampu.
8. Sebagian ulama berkata;
barang siapa yang merenungkan ayat-ayat diatas dengan segala kandungannya
seperti tentang siksaaan pemakan riba orang yang menghalalkan riba serta
besarnya dosanya, maka ia akan tahu akan keadaan mereka nanti di Akherat.
Asbabun Nuzul
Ayat ini turun setelah terbukanya kota
mekkah. Sebab turunnya adalah sehubungan dengan pengaduan Bani Mughirah kepada
gubernur kota mekkah Atab Bin Usaid terhadap bani Tsaqif tentang utang utang
yang dilakukan dengan riba sebelum turun ayat pengharaman riba. Kemudian
gubernur mengirimkan surat kepada Rasulullah SAW melaporkan kejadian tersebut.
Surat tersebut dijawab setelah turunnya ayat 278-279 (HR. Abu Ya’la dalam kitab
musnadnya dan Ibnu Madah Dari Kalabi Dari Abi Salih Dan Ibnu Abbas). Dalam
literatur lainnya menurut Muhammad Ali Ash Shabuni ayat ini turun berkaitan
dengan perkongsian dua orang yaitu al-Abbas dan Khalid Bin Walid secara riba
kepada suku tsaqif sampai Islam datang, kedua orang ini masih mempunyai sisa
Riba dalam jumlah besar. Kemudian turunlah ayat: Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut).
Kemudian Rasulullah SAW bersabda: ”Ketahuilah! Sesungguhnya tiap-tiap riba dari
riba jahiliyah harus sudah dihentikan dan pertama kali riba yang aku hentikan
ialah riba Al-abbas dan setiap penuntutan darah dari darah jahiliyah harus
dihentikan dan pertama darah yang kuhentikan ialah darah Rabi’ah bin al-harits”
Tahapan Pengaharaman Riba
Ummat Islam dilarang mengambil riba
apapun jenisnya. Larangan supaya ummat Islam tidak melibatkan diri dengan riba
bersumber dari berbagai surat dalam Al Qur’an dan hadits Rasulullah. Larangan
riba yang terdapat dalam Al Quran tidak diturunkan sekaligus, melainkan
diturunkan dalam empat tahap.
1. Tahap pertama,
Menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang
pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu
perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah. Allah berfirman : (Q.S.
Ar Rum: 39)
وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن رِّبًۭا لِّيَرْبُوَا۟ فِىٓ
أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرْبُوا۟ عِندَ ٱللَّهِ ۖ وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن زَكَوٰةٍۢ
تُرِيدُونَ وَجْهَ ٱللَّهِ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُضْعِفُونَ
39. Dan sesuatu riba
(tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba
itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian)
Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
2. Tahap kedua,
Riba digambarkan sebagai suatu yang
buruk. Allah mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang
memakan riba. Allah berfirman: (Q.S. An Nisa: 160-161)
فَبِظُلْمٍۢ مِّنَ ٱلَّذِينَ هَادُوا۟ حَرَّمْنَا
عَلَيْهِمْ طَيِّبَـٰتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ كَثِيرًۭا
١٦٠ وَأَخْذِهِمُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَقَدْ نُهُوا۟ عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَٰلَ ٱلنَّاسِ
بِٱلْبَـٰطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَـٰفِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًۭا ١٦١
160. Maka disebabkan kezaliman
orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah,
161. Dan disebabkan mereka memakan
riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
3. Tahap ketiga,
Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada
suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa
pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang
banyak dipraktekkan pada masa tersebut.
Allah berfirman : (Q.S. Ali Imran:
130).
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوا۟
ٱلرِّبَوٰٓا۟ أَضْعَـٰفًۭا مُّضَـٰعَفَةًۭ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.
Yang dimaksud riba di sini ialah riba
nasi’ah. menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi’ah itu selamanya Haram,
walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. riba
nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan.
riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi
lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian,
seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. riba yang
dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam
masyarakat Arab zaman Jahiliyah.
Ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriyah.
Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah
merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba,
tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktek
pembungaan uang pada saat itu.
4. Tahap terakhir,
Allah dengan jelas dan tegas mengharamkan
apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir
yang menyangkut riba, diturunkan pada tahun 9 Hijriyah.
Allah berfirman : (Q.S. Al Baqarah:
278-279)
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ
وَذَرُوا۟ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ ٢٧٨ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا۟
فَأْذَنُوا۟ بِحَرْبٍۢ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ
أَمْوَٰلِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ ٢٧٩
278. Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka
Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya.
Asbabun Nuzul
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabary
meriwayatkan bahwa:
Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan
Rasulullah bahwa semua hutang mereka, demikian juga piutang (tagihan) mereka
yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja.
Setelah Fathu Makkah, Rasulullah menunjuk
Itab bin Usaid sebagai Gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif sebagai
daerah administrasinya. Adalah Bani Amr bin Umair bin Auf yang senantiasa
meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak zaman jahiliyah
Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedatangan
Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan asset yang banyak. Maka datanglah
Bani Amr untuk menagih hutang dengan tambahan (riba) dari Bani Mughirah –
seperti sediakala – tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam menolak untuk
memberikan tambahan (riba) tersebut. Maka dilaporkanlah masalah tersebut kepada
Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini Gubernur Itab langsung menulis
surat kepada Rasulullah dan turunlah ayat di atas.
Rasulullah lantas menulis surat balasan
kepada Gubernur Itaba’ jikalau mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas maka
itu baik, tetapi jikalau mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum
perang kepada mereka.
Definisi Dan Macam-Macam Riba
Secara garis besar Riba yang diharamkan
oleh Islam itu ada dua macam
a. Riba Nasiah; riba yang sudah ma’ruf dikalangan
jahiliyah. Yaitu, seseorang mengutangi uang dalam jumlah tertentu kepada
seseorang dengan batas tertentu, misalnya dalam sebulan, sebagai imbalan limit
waktu yang diberikan. Masjfuk Zuhdi mengutip pengertian Sayyid Sabiq, riba
nasiah adalah tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh orang yang mengutangi
dari orang yang berutang, sebagai imbangan atas penundaan pembayaraan utang.
Menurut Ibnu Qoyyim yang dikutip oleh Abdurahman Isa riba ini adalah riba yang
jelas. Diharamkan karena keadaannya sendiri. Sebagaimana yang telah di jelaskan
pada asbabun nuzul riba ini telah biasa dilakukan pada masa jahiliyah sampai
sekarang. Dan Riba itulah yang kini sedang dipraktekan di bank-bank
konvensional. Mereka mengambil keuntungan dengan prosentase tertentu dari pokok
pinjaman yang ada.
b. Riba fadhal; menurut Sayyid Sabiq sebagaimana yang
dikutip oleh Masjfuk Zuhdi adalah jual beli emas/perak atau jual beli bahan
makanan dengan bahan makanan yang sejenis dengan adanya tambahan. Kalau riba
nasiah diharamkan berdasarkan Al-Quran secara jelas sedang riba fadhl secara
jelas ditegaskan dalam hadits Nabi SAW seperti dibawah ini; menurut Ibnu Qoyyim
riba ini termasuk riba samar, yang diharamkan karena sebab lainnya.Emas dengan
emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, beras (sya’ir) dengan beras
(sya’ir) kurma dengan kurma, garam dengan garam harus ditukar dengan sama dan
kontan. Barang siapa menambah atau meminta tambah, maka berarti dia berbuat
riba, yang menerima dan memberi adalah sama(HR. muslim). Dalam hadits lainnya
dikatakan
Emas dengan emas, perak dengan perak, beras gandum dengn beras gandum, pad
gandum dengan padi gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama
dan tunai. Tetapi kalau jenis-jenis itu berbeda, maka juallah/tukarlah
sesukamu, asal secara kontan (HR. Muslim, Ahmad, abu daud, dan ibnu majah dari
‘ubadah bin ash-shamit) Riba fadhl tidak terbatas pada enam macam barang yang
tersebut dalam hadits diatas saja, tetapi mencakup semau mata uang dan semua
bahan makanan yang mempunyai persamaan illat-nya. Halalkah riba yang sedikit?
Banyak kalangan berpendapat bahwa riba
yang diharamkan adalah riba yang keji yang berlipat ganda, sebagaimana yang
telah dijelaskan diatas. Mereka berpendapat bahwa riba yang sedikit adalah
boleh. Mereka berpedoman pada surat Ali Imran ayat 130 “Janganlah kamu makan
riba yang berlipat ganda”. Larangan diatas adalah bersyarat dan terikat yaitu
berlipat ganda. Jadi kalau tidak berlipat ganda atau dalam kata lainnya jikalau
bunganya itu kecil maka tidak jalan menuju pengharamannya. Pendapat diatas
telah dijawab oleh Syaikh Ali Ash-Shabuni sebagai berikut:
a. Kata “berlipat ganda
(adh’afam Mudha’afan)” itu tidak dapat dikatakan sebagai syarat atau pengikat.
Ini hanyalah waqi’atul ain (peristiwa yang pernah terjadi pada masa jahiliyah).
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya pada sebab sebab turunnya
ayat. Menurut didin hafiduddin kata diatas menunjukan adanya kebiasaan yang
terjadai pada masyarakat waktu itu. Bukan menunjukan sifat dari riba. Jadi pada
ayat diatas tidak ada yang namanya mafhum mukhalafah. Penulis kira kalau
dilihat dari nasikh dan mansukh surat ali imran 130 ini telah disempurnakan
dengan surat albaqarah 278-279. karena surat ali imran 130 turun lebih dahulu
setelah itu surat albaqarah 278-279
b. Jumhur ulama sepakat bahwa riba
adalah haram hukumnya baik sedikit atau banyak. Alasan untuk membenarkan riba
sedikit adalah untuk mencari keuntungan sendiri saja. Jadi jika membenarkan
riba sedikit maka ia telah keluar dari ijma’ yang berarti menunjukan atas
kebodohannya terhadap pokok-pokok syariah. Sebab riba sedikit akan membawa atau
menyeret pada riba yang banyak. Islam mengharamkan sesuatu yang diharamkan secara
keseluruhan. Berdasarkan kaidah ”syaddud dzari’ah”). Sekarang kalau ditanya
Apakah minum arak itu jika sedikit saja hukumnya juga halal?
c. Syaikh Ali Ash-Shabuni
melontarkan pertanyaan yang ditujukan kepada orang yang belum mengerti juga
akan keharaman riba ini. Apakah kalian mengaku beriman kepada sebagian kitab
dan kufur pada sebagian kitab yang lainnya? Mengapa anda memakai ayat (Ali Imran
130) sebagai dalil. Bukannya berdalil dengan surat albaqarah ayat “Dan Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”,“takutlah kepada Allah dan
tinggalkan apa yang tersisa dari riba”, “Allah menghapus riba dan menyuburkan
sedekah” juga hadits Nabi Rosulullah SAW melaknat orang yang makan riba,
yang memberi makan dengan harta riba, penulis riba dan dua saksi riba, semua
itu adalah sama saja. mari kita reka ulang cara berpikir kita.
Definisi Riba Menurut Para Ulama
a. Menurut Madzhab Maliki “Setiap
nama yang diberikan bagi setiap jual beli yang diharamkan.”
b. Menurut Madzhab Hanafi
Penjelasannya tidak menyeluruh hanya membahas jual beli. “Jual beli yang ada
tambahan (barang sejenis).” Contohnya, 2 kilogram gandum ditukar dengan 2,5
kilogram gandum.
c. Menurut Madzhab Syafi’I
Penjelasan dari madzhab ini terlalu berbelit-belit, didalamnya membahas tentang
riba fadhl dan riba nasi’ah. “Transaksi terhadap suatu benda dengan ganti yang
khusus yang tidak memiliki kesamaan menurut syara’saat transaksi atau
disertai pengakhiran dua objek transaksi atau salah satu diantara keduanya. ”
d. Menurut Madzhab Hambali
Penjelasan dari madzhab ini sudah mencakup semua tetapi dibatasi. “Riba adalah
ketidaksamaan pada sesuatu atau dengan cara mengakhirkan sesuatu
yang tertentu pada sesuatu
Dari penjelasan dari madzhab-madzhab di
atas dapat disimpulkan definisi yang mencakup semuanya, yaitu “ tambahan atas
modal yang tidak sesuai syari’at”. Tambahan itu pada benda sejenis yang
diharamkan sedang pada benda yang tidak sejenis apabila dipertukarkan tidak
haram atau tidak riba.
Hikmah Pengharaman Riba
Syariat Islam memandang riba adalah salah
satu dosa yang sangat besar dan berbahaya. Maka dari itu Islam memerangi dan
memberantasnya tanpa ampun. Praktek riba ini sangat merugikan masyarakat. Maka
dari itu Islam menganggap perbuatan riba sebagai perbuatan dosa besar-bahkan termasuk
7 dosa besar yang dilaknat oleh Allah SWT. Sedangkan sedekah kebalikan dari
riba, makanya Allah sangat mengajurkan perbuatan ini. Karena dengan berlakunya
sedekah akan menghidupkan roda kehidupan masyarakat.
Berikut ini beberapa dampak akan
bahayanya riba bagi masyarakat;
a. Bagi jiwa manusia hal ini akan
menimbulkan perasaan egois pada diri, sehingga tidak mengenal melainkan diri
sendiri. Riba ini menghilangkan jiwa kasih sayang, dan rasa kemanusiaan dan
sosial. Lebih mementingkan diri sendiri daripada orang lain.
b. Bagi masyarakat dalam
kehidupan masyarakat hal ini akan menimbulkan kasta-kasta yang saling
bermusuhan. Sehingga membuat keadaan tidak aman dan tentram. Bukannya kasih
sayang dan cinta persaudaraan yang timbul akan tetapi permusuhan dan pertengkaran
yang akan tercipta dimasyarakat.