Menghadap Ka’bah dalam Shalat; TAFSIR AYAT AHKAM KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH SHOBUNY

 RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT AHKAM

KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH SHOBUNI


Daftar Isi : Jilid 1

Muqaddimah

1. Fatihatul Kitab

2. Pandangan Syari'at tentang sihir

3. Nasakh dalam Al Qur-an

4. Menghadap ke ka'bah dalam shalat

5. Sa'i antara safa dan marwa

6. Hukum Menyembunyikan Ilmu Agama

7. Makanan yang Halal dan yang Haram

8. Hukum Qishash mengandung Kehidupan

9. Kewajiban Puasa bagi Kaum Muslimin

10. Perang dalam Islam

11. Menyempurnakan Haji dan Umrah

12. Perang di Bulan-bulan Haram

13. Haramnya Khamr dan Judi

14. Mengawini wanita musyrikin

15. Menjauhi Istri pada Waktu Haidh

16. Jangan Banyak Bersumpah

17. Syari'at Talak dalam Islam

18. Penyusuan

19. 'Iddatul Wafat

20. Meminang dan Hak Mahar

21. Bahaya Riba bagi Kehidupan Sosial

22. Larangan Mengangkat Pemimpin Orang Kafir

23. Wajib Haji

24. Poligami dan Hikmahnya

25. Memelihara Anak yatim

26. Perempuan-perempuan yang Haram Dikawini

27. cara-cara Mengatasi Syiqaq

28. Larangan Shalat Bagi Orang yang Sedang Mabuk dan Junub

29. Tindak Kriminal Pembunuhan dan Hukumnya Menurut Islam

30. Shalat Khauf (Shalat dalam Suasana Bahaya)

31. Makanan yang Haram

32. Beberapa Hukum tentang Wudhu' dan Tayamum

33. Hukuman Pencuri dan Penyamun

34. Denda Pembatalan Sumpah dan Haramnya Arak dan Judi

35. Kemakmuran Masjid

36. Orang Musyrik Dilarang Masuk Masjidil Haram

37. Hukum Pembagian Ghanimah Dalam islam

38. Lari dari Peperangan

39. Teknis Pembagian Ghanimah

40. Menyembelih Qurban Untuk Taqarrub kepada Allah


RANGKUMAN RAWAI’UL BAYAN

TAFSIR AYAT AHKAM KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH SHOBUNY

Menghadap Ka’bah dalam Shalat

سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (١٤٢)

 وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (١٤٣)

 قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ (١٤٤)

وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ (١٤٥)

 

142. Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus".

 

143. Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.

 

144. Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit[96], Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.

 

145. Dan Sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, Sesungguhnya kamu -kalau begitu- Termasuk golongan orang-orang yang zalim.

 

 

Makna Mufradat

 

  السُّفَهَاءُ : makna asal dari kata tersebut adalah ringan, tidak berbobot, tipis, tidak bernilai, dan dapat pula diartikan dengan bodoh dan lemah serta kurang akal pikirannya. Mengenai orang-orang bodoh yang dikhitab dalam ayat di atas, sebagaimana dinyatakan Imam Ibn Katsir bahwa terdapat beberapa pendapat para ahli tafsir yang menafsiri kata السُّفَهَاءُ  dengan orang-orang musyrik Arab, para pendeta Yahudi, dan orang-orang munafik. Namun Sayyid Quthb secara tegas menafsiri kata السُّفَهَاءُ dengan orang-orang Yahudi.

 

  وَلاهُمْ : yaitu memalingkan mereka. Ungkapan ini merupakan pertanyaan yang mengandung arti ejekan/celaan ang mengandung keheranaan dan ketakjuban.

القِبْلَة : berasal dari kata “المقابلة” yang berarti bertatap muka, berhadap-hadapan,kemudian kata ini di khususkan untuk menyebut arah yang dihadapi/dituju oleh manusia dalam melakukan shalat.

 

وَسَطًا : Adil lagi pilihan atau orang yang paling baik di antara mereka. Karena orang yang berlebih-lebihan dan yang mengurangi sama-sama tercelanya. Zamakhsyari (1:148) menyatakan bahwa yang baik itu yang tengah-tengah karena ujung-ujungnya cepat rusak, sedang tengah-tengahnya terpelihara.

 

عَقِبَيهِ : merupakan bentuk mutsanna/ganda dari kata “عقب” yang artinya ujung kaki. Namun dapat pula diartikan dengan berbalik atau kembali. Dengan demikian, maka pengertiannya adalah :supaya kami mengetahui siapa yang imannya tetap/teguh dan orang yang murtada dari agama Allah

 

الشَّطْرُ : menurut bahasa, ia berarti arah atau bagian dan dapat pula diartikan dengan bagian. Sedangkan yang dimaksud dengan ayat ini adalah arah atau bagian dari Masjidil Haram.

 

تَقَلُّبُ الوَجْهِ : berulang kali menengadah ke langit. Al-Zajjaj, mengartikan ungkapan ayat ini dengan berulang kali matanya memandang/menengadah kelangit (fath Al-Bayan 1:243)

 

وَجْهَكَ : yaitu arah, dapat juga diartikan dengan separuh atau sebagian daripada sesuatu.

 

 

 

Sababun  Nuzul

 

1. Hadits Nabi dari Barra’ bin  Azib berkata: Bahwa sesungguhnya Nabi saw, pertama kali tinggal di Madinah, ia tinggal di (rumah) paman – pamannya (Barra’) dari sahabat Anshar, dan bahwasanya ia shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas bulan, sedang ia sangat menginginkan kiblatnya (menghadap) ke Baitullah dan bahwasanya ia shalat pertama kali menghadap ke Baitullah adalah shalat Anshar bersama orang banyak, kemudian keluar seorang laki – laki yang baru saja shalat bersamanya lalu ia lewat di hadapan jemaah masjid yang sedang ruku’ (shalat), lalu laki-laki itu berkata: Aku bersaksi kepada Allah, sungguh aku baru saja selesai shalat bersama Nabi saw menghadap ke arah Mekah, lalu mereka berputar menghadap ke arah Baitullah, sedang orang yang telah meninggal sebelum dialihkannya kiblat ke Baitullah, yaitu orang – orang yang terbunuh (dalam pertempuran), kami tidak tahu apa yang kami katakan terhadap mereka itu. Kemudian turunlah ayat “dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu”. (QS. Albaqarah : 143).

 

2. Dari Barra’ bin Azib: Bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. pernah shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis dan ia sering menengadah ke langit menanti keputusan dari Allah SWT, kemudian turunlah ayat : “sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit: (QS Albaqarah : 144).

Lalu berkatalah beberapa orang dari kaum Muslimin: alangkah senangnya kalau seandainya kita mengetahui tanda orang yang akan meninggal di antara kita sebelum dipindahkannya kiblat, dan bagaimana gerangan shalat kami yang menghadap ke Baitul Maqdis ? kemudian turunlah ayat “ Dan tidaklah Allah akan menyia-nyiakan imanmu”

 

 

Hubungan Antar Ayat

 

Yaitu Nabi saw. pada waktu di Mekah menghadap Baitul Maqdis dalam shalatnya, sebagaimana Nabi–nabi Bani Israil, tetapi sebenarnya ia menyukai menghadap ke Ka’bah, karena Ka’bah adalah kiblat ayahandanya, Ibrahim a.s, sedang ia (Muhammad) datang untuk menghidupkan agamanya (ibrahim) dan memperbaharui da’wahnya dan karena Ka’bah adalah kiblat yang tertua dibandingkan dengan baitul Maqdis. Di samping itu orang-orang Yahudi mengatakan: Muhammad itu menyalahi agama kita tapi ia mengikuti Kiblat kita, maka kalu seandainya tidak ada agama kita tentu dia tidak tahu ke arah mana ia harus menghadap dalam shalatnya. Maka Nabi saw tidak menyukai menghadap ke Baitul Maqdis sehingga diriwayatkan bahwa ia pernah berkata kepada Jibril: Aku senang jika seandainya Allah mengalihkan kiblat kami dari kiblatnya kaum Yahudi ke kiblat yang lain dan ia selalu saja menengadahkan ke langit dengan mengharap-harap turunnya wahyu tentang dialihkannya Kiblat ke Ka’bah.

Dan Allah memberitakan kepada Nabi saw tentang apa yang diucapkan oleh orang-orang yang jahil dari kalangan kaum Yahudi dan Munafiqin sebelum dialihkannya kiblat dan memberikan tuntunan alasan yang bagus untuk membantah mereka serta menggembleng jiwanya agar tabah dalam menanggung penderitaan karena gangguan yang selalu mereka lancarkan, sebagaimana peribahasa mengatakan “sebelum menembakkan panah, busurpun diisi terlebih dahulu dengan anak panah” dan suatu penderitaan sebelum kasusnya terjadi adalah merupakan suatu mukjizat baginya saw.

 

 

Tafsir

 

·         Allah swt memberitahukan apa yang dikatakan orang-orang yang kurang akalnya dari kaum Yahudi sebelum pindah kiblat, pemberitahuan ini adalah mu’jizat Nabi saw. yang menujukkan kebenaran apa yang ia bawa. Sebab yang beliau bawa ini merupakan perkara ghaib, sebagaimana ayat di atas mengandung jawaban yang tepat atas hujjahnya lawan yang keras kepala.

 

Az Zamakhsyari berkata di dalam al Kasysyaf: jika engkau bertanya, apakah faedahnya pemberitahuan tentang ucapan mereka (kaum yahudi) sebelum hal itu terjadi? Jawab: faedahnya adalah bahwa terjadinya sesuatu yang tidak disukai secara mendadak adalah lebih berat, dan dengan mengetahuinya sebelum terjadi, tentu akan mengurangi kegoncangan dalam jiwa mana kala hal itu benar–benar terjadi lantaran adanya kesiapan mental, dan sebuah jawaban sebelum saatnya adalah lebih mematikan.

 

·         Sanggahan Alquran terhadap orang yang kurang akal (yahudi, musyrikun dan munafiqun) dalam firman Allah : “Kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Ia kehendaki ke jalan yang lurus” (Albaqarah:142). Bahwa sesungguhnya segala arah merupakan milik Allah, tidak ada kelebihan suatu arah dan tidak ada hak bagi sesuatu untuk menjadi kiblat kecuali karena Allah yang menentukan. Maka tidaklah perlu sanggahan dalam masalah perpindahan dari satu arah ke arah yang lain karena itu yang dinilai dalam hal menghadap Allah SWT serta mengikuti perintah-Nya untuk menghadap ke arah mana saja.

 

·         Ungkapan dalam firman Allah أمةً وسطًا  (umat yang adil) mengandung kelembutan yang mendalam, karena sebaik-baik perkara itu yang adalah tengah-tengahnya, melampaui dari yang diperlukan itu berlebihan, sedangkan mengurangi dari yang diperlukan itu suatu kelemahan, yang berlebihan ataupun kekurangan adalah tidak baik. Maka yang dipilih ditengah-tengah dari keduanya.

 

Ibnu Jarir menceritakan keadaan tengah-tengahnya kaum Muslimin dalam beragama, tidak lemah seperti kaum Yahudi yang membunuh nabi-nabi dan mengubah kitab Allah serta tidak sesat seperti kaum Nasrani yang menganggap Isa bin Maryam anak Allah. Kaum Muslimin dalam kesederhanaan dan keadilan, karena Allah mensifati mereka “ummatan wasatan”.

 

·         Kesaksian umat Muhammad terhadap umat-umat lain pada hari kiamat adalah menjadi dalil yang nyata atas keutamaan umat nabi Muhammad.

 

·         mengenai firman Allah yang artinya: “melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul”, Ali bin Abi Thalib berkata : makna  لِنعلَمَ  adalah  لِنَرَي  ( agar kami mengetahui).

 

Ibnu Abbas berkata : makna “lina’lama”  yaitu  “agar Kami dapat membedakan di antara mereka yang ragu – ragu dan yang Yakin” maka ia menafsirkan “ilm” dengan “tamyiz” karena dengan ilmu lah pembedaan terhadap sesuatu dapat dilakukan.

 

·         Firman Allah “dan siapa yang membelot ke belakang” (Al Baqarah:143), ini adalah kiasan, yaitu orang yang murtad dari agamanya dimisalkan dengan orang yang membelot ke belakang.

 

·         Allah SWT menyebutkan shalat dengan iman dalam firman-Nya “ Dan tidaklah Allah akan menyia-nyiakan imanmu” (Al Baqarah:143), maksudnya adalah iman adalah dengan shalat,  karena iman itu tidak akan menjadi sempurna tanpa shalat dan karena shalat itu mencakup niat, ucapan dan perbuatan.

 

Al Qurthubi berkata : Ulama sepakat bahwa ayat Al Baqarah ayat 143 ini diturunkan berkenaan dengan orang yang meninggal padahal orang tersebut masih berkiblat ke Baitul Maqdis. Karena ada riwayat dari Ibnu Abbas ia berkata: “tatkala Nabi saw. telah menghadap ke arah Ka’bah, mereka bertanya, Ya Rasulullah, bagaimana gerangan kawan – kawan kami yang telah meninggal dunia padahal mereka (dahulu) shalat menghadap ke Baitul Maqdis? Kemudian turun ayat “Dan tidaklah Allah  menyia-nyiakan imanmu”.

 

Imam Malik berpendapat bahwa ia membantah pendapat yang mengatakan shalat itu tidak termasuk (kesempurnaan) iman.

 

Az-Zamakhsyari berkata: Sesungguhnya  قد  dalam   نري قد   bermakna رُبَّما  (sering-sering) yang artinya sering melihat.

 

Abu Hayyan juga berpendapat dari kata tadi dalam arti  رأينا قد  karena Qad menjadikan fi’il mudhari’ dalam arti madhi sebagaimana pendapat Ahli Nahwu.

 

Menurut Ahli Tafsir dari firman Allah yang artinya: Sungguh Kami sering melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai” (Al Baqarah:144), dalam ayat ini ada suatu kelembutan dari dalam akhlak Nabi dimana ia menanti wahyu dari Allah SWT, dan tidak meminta kepada-Nya, dan sungguh Allah telah menghormati karena adabnya ini dengan kiblat yang ia sukai, maka Allah berfirman “Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukainya” .

 

 

Adapun sebab Rasulullah menghadap ke Masjidil Haram, diantaranya:

 

a. Supaya berbeda dengan kaum Yahudi yang mengatakan Muhammad menyalahi kami tapi ia mengikuti kiblat kami, seandainya kami tidak ada tentu ia tidak tahu ke arah mana ia berkiblat.

b. Bahwa sesungguhnya Ka’bah dahulu adalah kiblat datuknya Rasulullah SAW yaitu Nabi Ibrahim as.

c. Nabi saw menyukai dialihkannya kiblat karena ada harapan kecendrungan Bangsa Arab untuk masuk Islam

d. Kedudukan Rasul saw di bumi aman (Mekah) yang disiu terdapat Masjdil haram yang menjadi pusat bagi semua mesjid, maka ia menyukai kemuliaan kedudukan masjid ini yang berada di negerinya dan tempat kedudukannya.

 

 

 

Kandungan Hukum dan Perbedaan Ulama

 

1. Yang dimaksud dengan sebutan Masjidil Haram dalam Alquranul Karim adalah Ka’bah sebagaimana dalam firman Allah “maka palingkanlah mukamu ke arah Masjdil Haram” (Al Baqarah:144), yang dimaksud yaitu ke arah Ka’bah

 

2.  Apakah harus menghadap ke fisiknya Ka’bah atau cukup menghadap ke arahnya saja?

Mengahadap kiblat merupakan syarat sahnya shalat, tidak sah shalatnya apabila tidak menghadap kiblat, kecuali shalat dalam perjalanan yang diperkenankan untuk menghadap kemana kendaraan itu berjalan,

 

Tetapi ulama berbeda pendapat dalam masalah apakah harus menghadap ke tubuh Ka’bah atau cukup ke arahnya saja?

 

Golongan Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat wajib menghadap ke tubuh Ka’bah itu sendiri (ainul Ka’bah). Dengan dasar dalil firman Allah “ Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram” (Al Baqarah:144), hal tersebut adalah karena yang dimaksud dengan “syathru” yaitu arah yang tepat bagi orang yang sedang shalat dan mengenai dalam menghadapnya, maka dengan demikian, menghadap ainul Ka’bah adalah wajib.

 

Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat tentang wajibnya menghadap ke arah ka’bah (jihatul Ka’bah). Ketentuan ini berlaku bagi orang yang sedang shalat yang tidak melihat ‘ainul ka’bah, tetapi bagi yang melihatnya maka wajib menghadap ke ‘ainul Ka’bah itu secara tepat, demikian menurut kesepakatan Ulama.

 

Firman Allah “Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram” di situ Allah tidak berfirman “ke arah Ka’bah”, maka barang siapa yang telah menghadap sebuah sisi dari Masjidil Haram berarti ia telah melaksanakan apa yang diperintahkan, baik tepat ke arah ainul ka’bah atau tidak.

 

 

Hikmah

 

Al Imam Fakhrurrazi menyebutkan hikmah dialihkannya kiblat ke Masjidil Haram:

1.   Bahwa seorang hamba apabila menghadap kepada tuannya yang agung, tentu ia akan menghadap kepadanya dengan menghadapkan mukanya dan tidak akan berpaling darinya, dengan menyampaikan kata-kata pujian kepadanya dengan merendahkan diri di hadapannya dan berkhidmat untuknya. Maka hakekat menghadap kiblat adalah sebagaimana halnya menghadap kepada raja, tidak berpaling dari padanya dengan bacaan-bacaan dan tasbih-tasbih sebagai kata-kata pujian, sedang ruku’ dan sujud adalah sebagai pencerminan berkhidmat kepadanya.

2.   Bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan shalat adalah hadirnya hati (ke hadapan Allah Ta’ala), sedang kehadiran ini tak akan berhasil tanpa sikap tenang, tidak bergerak-gerak, dan menoleh kemana-mana dan hal ini tidak akan dapat terlaksana dengan baik kalau tidak menghadap ke satu arah saja, maka apabila ditentukan satu arah sebagai hadapan, tentu menambah kemuliaan dan menghadap arah tersebut lebih utama.

3.   Bahwa sesungguhnya Allah SWT menyukai kelembutan hti di antara sesama mukmin. Maka kalau seandainya masing-masing orang menghadap ke arah yang berbeda-beda, tentu hal itu akan nampak sekali perbedaan mereka, sehingga Allah menentukan satu arah dan menyuruh kaum muslimin seluruhnya menghadap ke arah ini agar terwujud kesatuan di antara mereka.

4.   Bahwa sesungguhnya Allah SWT mengistimewakan Ka’bah dengan menyandarkannya pada-Nya, sebagaimana firman-Nya “dan sucikanlah rumah-Ku”(al-hajj:26) dan mengistimewakan orang-orang mukmin dengan mengidhafahkan mereka kepada diri-Nya, seperti panggilan “ibadi/hamba-hamba-Ku” (yang ditujukan kepada orang – orang Mukmin) maka kedua macam idhafah ini adalah untuk mengistimewakan dan menghormati, seolah-olah Allah berfirman “hai orang mukmin, engkau adalah hamba-Ku, Ka’bah adalah rumah-Ku, shalat adalah berkhidmat kepada-Ku, maka arahkanlah wajahmu dalam berkhidmat itu kepada-Ku ke rumah-Ku, dan segenap hatimu kepada-Ku”.

Komentar atau pertanyaan, silakan tulis di sini

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama