RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT AHKAM
KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH SHOBUNI
Daftar Isi : Jilid 1
Muqaddimah
2. Pandangan Syari'at tentang sihir
3. Nasakh dalam Al Qur-an
4. Menghadap ke ka'bah dalam shalat
6. Hukum Menyembunyikan Ilmu Agama
7. Makanan yang Halal dan yang Haram
8. Hukum Qishash mengandung Kehidupan
9. Kewajiban Puasa bagi Kaum Muslimin
10. Perang dalam Islam
11. Menyempurnakan Haji dan Umrah
12. Perang di Bulan-bulan Haram
14. Mengawini wanita musyrikin
15. Menjauhi Istri pada Waktu Haidh
17. Syari'at Talak dalam Islam
18. Penyusuan
19. 'Iddatul Wafat
21. Bahaya Riba bagi Kehidupan Sosial
22. Larangan Mengangkat Pemimpin Orang Kafir
23. Wajib Haji
26. Perempuan-perempuan yang Haram Dikawini
27. cara-cara Mengatasi Syiqaq
28. Larangan Shalat Bagi Orang yang Sedang Mabuk dan Junub
29. Tindak Kriminal Pembunuhan dan Hukumnya Menurut Islam
30. Shalat Khauf (Shalat dalam Suasana Bahaya)
32. Beberapa Hukum tentang Wudhu' dan Tayamum
33. Hukuman Pencuri dan Penyamun
34. Denda Pembatalan Sumpah dan Haramnya Arak dan Judi
35. Kemakmuran Masjid
36. Orang Musyrik Dilarang Masuk Masjidil Haram
37. Hukum Pembagian Ghanimah Dalam islam
38. Lari dari Peperangan
39. Teknis Pembagian Ghanimah
40. Menyembelih Qurban Untuk Taqarrub kepada Allah
RANGKUMAN RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT
AHKAM
KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH
SHOBUNY (Jilid 1 nomor 24)
POLIGAMI DAN HIKMAHNYA (Surah An Nisa
ayat 1-4)
Surah An Nisa ayat 1-4
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ
مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟
ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An
Nisa: 1)
وَءَاتُوا۟ ٱلْيَتَٰمَىٰٓ أَمْوَٰلَهُمْ ۖ وَلَا تَتَبَدَّلُوا۟
ٱلْخَبِيثَ بِٱلطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَهُمْ إِلَىٰٓ أَمْوَٰلِكُمْ
ۚ إِنَّهُۥ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta
mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan
harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan
memakan) itu, adalah dosa yang besar. (QS. An Nisa: 2)
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟
مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تَعْدِلُوا۟ فَوَٰحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ
أَلَّا تَعُولُوا۟
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya. (QS. An Nisa: 3)
وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن
طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيٓـًٔا مَّرِيٓـًٔا
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS.
An Nisa: 4)
Mufrodat :
وَبَثَّ مِنْهُمَا
: Menyebar
dan memisah-misah dengan cara berketurunan dan beranak pinak.
تَسَاءَلُونَ : Saling bertanya
الْيَتَامَى : Jamak dari lafadz يَتِيْمٌ yaitu anak yang ayahnya telah tiada, dalam
kamus lisan al ‘arab اليَتِيْمُ
: anak yang ditinggal mati ayahnya, dan
الْعَجِيُّ
: anak yang ditinggal mati ibunya, dan اللَّطِيْمُ
: anak yang ditinggal mati ayah dan ibunya. Mereka bersetatus yatim sampai
baligh, setelah itu hukum keyatimannya hilang.
حُوبًا : Dosa
تَعُولُوا : Kamu semua berbuat aniaya, عال
– berkeinginan berbuat aniaya.
صَدُقَاتِهِنّ : Asalnya صُدُقَةٌ (Mufrod), bahasa lain صَدْقَةٌ : mahar.
نِحْلَةً : Pemberian dengan sukarela hati.
هَنِيئًا مَرِيئًا : Sedap dan enak rasa (ditasybihkan
dengan makanan), yang tidak ada dampak negatif sama sekali.
Asbab an-Nuzul
An Nisa’[04]: 02
Menurut Imam Muqotil : ayat ini turun
karena seorang bernama Ghotfan yang memelihara keponakannya yang yatim, ketika
ia telah dewasa, ia meminta kekayaannya kepada Ghotfan, dan Ghotfan tidak
langsung memberikannya, lalu keduanya memaparkan hal tersebut kepada Baginda
Nabi S.A.W, dan turunlah ayat ini, ketika Ghotfan mendengarnya dari Nabi, ia
berkata : “Aku taat kepada Allah dan Rosul-Nya, aku berlindung dari dosa
besar”. Nabi S.A.W pun bersabda :
“مَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ وَرَجَعَ بِهِ هٰكَذَا، فَإِنَّهُ
يَحُلُّ دَارَهُ، يَعْنِيْ جَنَّتَهُ “ Insya Allah Artinya : Siapapun yang
menjaga kebakhilan dirinya dan menghilangkannya seperti ini, niscaya ia
menempati rumahnya yaitu surga”.
An Nisa’[04]: 03
Ulama’ berbeda pendapat dalam asbab an
nuzul ayat ini :
1. Diriwayatkan dari Siti Aisyah, bahwa
dia berkata : ayat ini turun karena kasus anak yatim yang ada dalam asuhan
walinya lalu walinya tertarik pada kekayaan dan kecantikannya dan menginginkan
untuk menikahinya dengan mahar yang kurang dari wantia sepadannya, maka hal itu
dilarang kecuali ia memberi mahar sesuai
umumnya wanita yang sepadan dia. Dan diperintahkan untuk menikahi wanita lain
boleh sampai bilangan 4 wanita namun apabila hawatir tidak akan bisa berbuat
adil maka menikahilah satu wanita saja selain yatim tadi.
2. Ibnu Abbas dan Ikrimah berkata :
sesungguhnya para lelaki pada saat itu menikahi empat, lima, enam sampai
sepuluh wanita, lelaki tadi berkata : “apa yang melarangku untuk menikah
sebagaimana fulan menikah?. dan apabila kekayaan laki-laki tadi habis untuk
menafkahi para istrinya maka dia berpindah kepada kekayaan anak yatim untuk
menafkahi para istrinya.
3. Imam Sa’id bin Jabir, as Sudiy,
Qotadah, Rubayi’, Dhohak dari salah satu riwayat berkata : para lelaki saat itu
sangat serius dalam mengurus anak yatim namun tidak demikian halnya dengan para
wanita, salah satu dari mereka menikahi
banyak wanita dan tidak bisa berbuat adil, maka Allah berfirman : “
sebagaimana kamu semua hawatir terhadap anak yatim, maka hawatirlah pada para
wanita, maka nikahilah (wanita) satu sampai empat saja. Dan apabila takut tidak
bisa berbuat adil maka nikahilah satu wanita saja.
Hukum Syariat
1. An Nisa’[04]: 01
Hukum saling meminta dengan menggunakan
hubungan silaturrahim
Firman Allah وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ
menunjukkan kebolehan saling meminta menggunakan hubungan silaturrahim,
terlebih bila mengikuti bacaan imam Hamzah yang membacanya dengan jar (وَالْأَرْحَامِ),
berdasarkan pendapat ini sebagian ulama berkata : karena hal itu bukanlah
sumpah akan tetapi hal itu hanya mengharap simpati, semisal seorang berkata : “
Demi hubungan silaturrahim kita, aku memintamu untuk berbuat begini, hal ini
tidak bisa diartikan sebagai sumpah yang terlarang, akan tetapi sebagai
permintaan demi kehormatan silaturrahim yang mana Allah memerintahkah untuk
menyambungnya, mereka berhujjah pada hadis…
اللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ
السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ, وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هٰذَا....... الحديث.
Sebagian ulama yang lain memakruhkan
sumpah demi hubungan silaturrahim, dan berkata : sesungguhnya ada hadis shohih
yang menolak pendapat di atas, yaitu:
“ مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللهِ
أَوْ لِيَصْمُتْ“
dan contoh tersebut di atas adalah salah
satu dari beberapa macamnya sumpah, hal ini adalah pendapat Ibnu ‘Athiyah.
Imam Az Zujaj berkata : qira’ah Hamzah
yang lemah dan buruk dalam bahasa arab itu adalah kesalahan yang besar menurut
disiplin ilmu ushul fiqh, karena Nabi Muhammad S.A.W. telah bersabda :لَا تَحْلِفُوْا بِآبَائَكُمْ
, bilasaja tidak boleh bersumpah dengan selain Allah bagaiman bisa
diperbolehkan bersumpah dengan hubungan silaturrahim.
Imam Qurthubi memindah pendapat Imam
Mubarrod berkata : andaikan aku bermakmum pada imam yang membaca وَاتَّقُوْا اللهَ الَّذِيْ تَسَاءَلُونَ بِهِ
وَالْأَرْحَامِ
niscaya aku langsung pergi (membubarkan sholat saya).
Imam Qusyairi berkata : ucapan semacam
ini (memojokkan pendapat Imam Hamzah) adalah ucapan yang di tolak oleh para
imam, karena Qira’at al Qur’an yang dipakai oleh Imam Qurro’ adalah berasal
dari Nabi secara mutawatir yang hal ini diketahui oleh para ulama, dan apabila
telah nyata dari Nabi tentang sesuatu, maka bagi yang menolak berarti telah menolak
Nabi dan menjelekkan apa yang telah dibaca oleh Nabi, dan hal ini adalah posisi
yang sangat menghawatirkan dan tidak bisa dikuti oleh ulama lughah dan nahwu,
karena bahasa arab bersumber secara langsung dari Nabi, dan tidak satupun orang
yang meragukan kefasihan Beliau; kemudian hal dilarang adalah terkait sumpah
dengan selain Allah, dan hal ini merambah sampai pembahasan bersumpah dengan
selain Allah yaitu hubungan silaturrahim, maka dalam hal ini tidak ada
keharaman.
2. An Nisa’[04]:02
Apakah anak yatim diberi harta kekayaannya
sebelum ia baligh?
Firman Allah “وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ
“ menunjukkan atas hukum wajib untuk memberi harta anak yatim, dan para ulama’
sepakat bahwa anak yatim sebelum baligh tidak diberi harta kekayaannya. Sebagaimana
firman Allah
“وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا
بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ
أَمْوَالَهُمْ .
Yang dalam ayat ini disyaratkan baligh
dan pandainya anak yatim. Hikmahnya bahwa anak kecil belum baik dalam mengelola
kekayaannya yang terkadang menggunakannya dalam hal yang tidak bermanfaat.
Dalam ayat 6 inipun ulama’ ada yang
berbeda pendapat :
1. Yang dimaksud yatim di sini adalah
yatim yang sudah baligh yang pandai. Penggunaan kata yatim dalam ayat ini
adalah majaz dengan segi mengakomodir keadaan sebelumnya.
2. Yang dimaksud yatim di sini adalah
anak kecil, yang belum baligh, dan yang dimaksud memberikan adalah
mengalokasikan kekayaan untuk dia dalam segi makanan dan pakaian, atau yang
dimaksud memberikan adalah tidak mengelola kekayaanya dan menjaganya sambil
tidak berniat jelek. Pendapat ini adalah pendapat yang kuat. Yang mana sebagian
orang yang mengelola kekayaan yatim bersegera dalam mengalokasikan kekayaannya
dan menghambur-hamburkannya, sehingga diperintahlah untuk menjaga terlebih
dahulu dan mengembangkannya yang kemanfaatnya kembali untuk anak yatim, bila ia
mencapai umur pandai maka diserahkanlah secara sempurna.
Menurut Syaikh Ali as Shobuni terkait dua
pendapat di atas adalah pendapat yang pertama lebih unggul.
3. An Nisa’[04]: 03
Apakah perintah dalam فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ
berfaidah wajib ?
mayoritas ulama berpendapat bahwa
perintah dalam فَانْكِحُوا menunjukkan kemubahan sebagaimana perintah
dalam firman Allah (وكلوا واشربوا (البقرة 187
dan ( كلوا من طيبات ما رزقناكم ( البقرة 57
Ahlu Dzohir berpendapat: hal itu
menunjukkan hukum wajib, berhujjah pada dzahirnya ayat, karena perintah pada
dasarnya adalah berfaidah wajib, dan mereka melalaikan ayat :
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ
الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ
فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ..... وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ )النساء/25(
“Dan barangsiapa diantara kamu (orang
merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk menikahi wanita merdeka lagi
beriman, ia boleh menikahi wanita yang beriman,
dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu;
sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain [Maksudnya: orang merdeka dan budak yang
dinikahinya itu adalah sama-sama keturunan Adam dan hawa dan sama-sama
beriman], Karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah
mahar mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara
diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain
sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan nikah,
Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo
hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan menikahi
budak) itu adalah bagi orang-orang yang takut berzina di antara kamu, dan
kesabaran itu lebih baik bagimu”.
Imam Fakhru ar Razi berpendapat : dalam
keadaan demikian (an Nisa’[04]:25) tidak menikah itu lebih baik daripada
menikah, maka ayat (an Nisa’[04]:25) ini menunjukkan hukum (menikah) bukan
sunnah terlebih wajib.
4. An Nisa’[04]: 03
Apa yang dimaksud dari مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
Ulama sepakat bahwa kalimat tersebut
menunjukkan bilangan, dan menunjukkan atas satu dari setiap kalimat tersebut
disebutkan sesuai dengan sebutan dalam jenisnya, maka مثنى
menunjukkan إثنين إثنين
(dua dua), ثلاث
menunjukkan ثلاثة ثلاثة (tiga tiga), dan رباع
menunjukkan أربعة أربعة
empat-empat. Dan artinya adalah nikahilah
wanita yang kamu sukai dua dua, tiga tiga dan empat empat sesuai dengan
keinginan kamu.
Imam Zamakhsyari berpendapat : karena
khitabnya adalah kolektif, maka mestilah pengulangan kalimat tersebut, supaya
setiap orang yang menikah yang menginginkan poligami bisa mendapatkan khitab
sesuai dengan bilangan yang tersebut dalam ayat. Hal ini sama dengan ucapan
kamu : “ bagilah oleh mu sekalian uang 100 dirham ini dua dua, tiga tiga dan
empat empat, apabila hal ini di mufrodkan, maka ucapan ini tidaklah sesuai yang
dimaksud. Jelasnya adalah apabila kamu berkata kepada sekelompok orang “
bagilah harta yang banyak ini dua dirham” maka ucapan ini tidaklah jelas.
Andaikan kamu bilang dua dirham dua dirham, maka yang dimaksud adalah
sesunggunya setiap satu orang mengambil dua dirham saja. Ayat tersebut
menunjukkan keharaman beristri melebihi dari empat wanita; Dan ulama serta ahli
fiqih telah sepakat terkait hal tersebut, serta
kesepakatan ini tidaklah cacat dengan adanya pendapat dari ahli bid’ah
yang mengatakan boleh menikahi sembilan wanita dengan memfungsikan huruf wawu
pada ayat tersebut sebagi penambahan (2+3+4=9). Dan yang dimaksud dalam ayat
tersebut adalah setiap manusia boleh menikahi dua wanita atau tiga wanita atau
empat wanita.
Imam Qurthubi berpendapat: ketahuilah
bahwa bilangan ini (مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ)
tidak menunjukkan kebolehan beristri 9 wanita seperti ucapan mereka yang jauh
dari kebenaran al Qur’an dan as Sunnah dan perpaling dari yang telah ditetapkan
oleh ulama salaf, serta mengira huruf wawu di ayat ini berfungsi penambahan,
yang menginspirasi hal tersebut bahwa nabi menikahi 9 orang wanita dan
mengumpulkannya dalam masa yang sama, sehingga menyebabkan kelompok ini menjadi
salah penafsiran. Dan yang mengatakan kebolehan mengikahi 9 wanita ini adalah
kelompok Rafidhoh dan sebagian pengikut Imam Dawud Ad Dzhohiri, serta yang
lebih parah dari pendapat sebagian pengikut Dawud ad Dzhohiri adalah yang
memperbolehkan menikahi 18 wanita (2+2+3+3+4+4=18), semua ini adalah kebodohan
dalam mengetahui bahasa dan Sunnah, dan tidak sesuai dengan ijma’ Ulama’ karena
tidak pernah didengar dari seorang sahabat dan tabi’in pun yang mengumpulkan
lebih dari empat orang istri, diceritkan bahwa Ghoilan baru masuk islam dan
memiliki 10 orang istri, maka nabi memerintahkannya untuk memilih empat wanita
dari mereka dan menceraikan yang lainnya.
Dan Allah telah mengkhitabi orang arab
dengan bahasa yang paling fashih, dan orang arab pun tidak pernah membiarkan
dalam pengucapan 9 dengan ucapan 2 dan 3 dan 4, begitu juga mereka menganggap
jelek terhadap orang yang berkata “ berilah fulan 4, 6 dan 8, yang mana orang
tadi tidak mengucapkan 18.
Komentar Ali as Shobuni : sesungguhnya
ijma’ telah memutuskan keharaman menikahi lebih dari 4 wanita (dalam satu masa)
dan masa ulama’ yang menyepakatinya telah usai sebelum keanehan-keanehan yang
menyimpang ini muncul. Maka ucapan nyleneh itu tidaklah bisa diakomodir karena
hal itu murni karena kebodohan atau ketololan sebagaimana ungkapan sya’ir :
Siapapun yang mencari ilmu tanpa guru #
niscaya akan tersesat dari jalan kebenaran
Banyak sekali orang yang mencela ucapan
yang benar # hal ini berasal dari akal yang tidak sehat.
Mudah-muadahan Allah melindungi kita dari
kejelekan kebodohan dan pengaruh dari orang-orang yang bodoh.
5. An Nisa’[04]: 03
Firman Allah (فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً24 )
Menurut Imam ad Dhohak dan yang lain,
yaitu tidak bisa berbuat adil dalam urusan kecondongan, cinta, mensetubuhi,
berbaur/gaul, membagi giliran pada istri empat atau tiga atau dua. فواحدة
: hal ini adalah larangan dari menambah istri yang bisa menyebabkan tidak bisa
adil, dan larangan ini berarti dalil sebagai kewajiban[25] beristri satu.
Selanjutnya Imam Qurthubi pada an
Nisa[04]:129 : berkata :
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ
حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ
تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا )النساء/129(
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dengan ayat ini Allah memberi tahu bahwa
ketidak mampuan laki-laki untuk berbuat adil pada para istrinya dari segi
kecondongan watak dalam cinta, menyetubuhi dan perhatian. Dengan ayat ini Allah
menerangkan sifat manusia bahwa mereka pada dasarnya tidak mempunyai kemampuan untuk menyamakan kecondongan hati
kepada dua hal. Karena itu Nabi Muhammad S.A.W. berdo’a :
«اللهم
إِنَّ هٰذِهِ قِسْمَتِيْ فِيْمَا أَمْلِكُ فَلَا تَلُمْنِيْ فِيْمَا تَمْلِكُ
وَلَا أَمْلِكُ».
Artinya : Ya Allah, inilah usahaku
membagi terhadap apa yang aku mampu, maka janganlah Engkau cela aku terhadap
apa yang Engkau mampu sedangkan aku tidak mampu. (keadilan dalam cinta).
Kemudian Allah Ta’ala. melarang Nabi
dengan firman-Nya : [فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ].
Imam Mujahid berkata : arti dari sepenggal ayat ini adalah janganlah kamu
menyengaja untuk berebuat jelek akan tetapi konsistenlah pada kesamaan dalam
jatah gilir dan nafkah; karena hal inilah yang bisa dilakukan manusia. Dan hal
ini akan dibahas dalam al Ahzab[33]: 51, (Tafsir al Qurthubi Juz IV hal 214,)
secara panjang lebar. Diriwayatkan dari Imam Qotadah dari an Nadlr bin Anas
dari Basyir bin Nahik dari Abi Huroiroh : Nabi bersabda yang isnya Allah
artinya : “Laki-laki yang mempunyai dua istri dan tidak berbuat adil terhadap
dua istrinya di hari qiyamat nanti dia akan dibangkitkan dalam keadaan tubuh
miring ke salah satu sisi”.
Menurut Ibnu ‘Arabiy: menurut para ulama’
makna dari adil adalah dalam hal jatah gilir dan kesamaan dalam hak-hak
pernikahan, dan hal ini adalah wajib. Nabi S.A.W. menyengaja untuk berbuat adil
dalam hal itu, dan memang mampu, ketika Nabi melakukan kewajibian Dzahir dari
hal di atas dan menemukan hati beliau condong kepada Aisyah, Nabi S.A.W. pun
berdo’a :
«اللهم
إِنَّ هٰذِهِ قِسْمَتِيْ فِيْمَا أَمْلِكُ فَلَا تَلُمْنِيْ فِيْمَا تَمْلِكُ
وَلَا أَمْلِكُ».
Yang dimaksud adalah ketidak punyaan
untuk bisa berbuat adil dari segi hati beliau, karena Allah tidak memerintahkan
makhluk untuk memalingkan hatinya dalam urusan kecondongan, karena hal itu
sangat sulit dilakukan, bahkan tidak bisa dilakukan. Dan memerintahkan makhluk
sesuai dengan kemampuan Dzahir supaya mudah dilakukan oleh orang-orang yang
berakal.
6. An
Nisa’[04]: 03
Firman Allah أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
Yang dimaksud adalah wanita yang tidak
bersuami. Sebagai athaf dari فواحدةً
maksudnya apabila hawatir tidak bisa berbuat adil maka nikahilah satu wanita
atau budakmu. Hal ni menunjukkan bahwa budak wanita (yang dinikahi) tidak punya
hak untuk di setubuhi dan mendapatkan jatah gilir, karena yang dimaksud dari إِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
dalam urusan giliran فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ,
hal ini perbudakan diposisikan dalam satu tempat, yang kemudian bagi budak
(yang dinikahi) tidak punya hal untuk disetubuhi dan mendapatkan giliran. Hanya
saja budak (yang dinikahi mendapatkan keadilan berdasar pada kewajiban berbudi
baik dan berbelas kasihan terhadap budak. Allah dalam perbudakan menggunakan
kata ملك اليمين
karena tangan kanan adalah simbul terpuji, dan tangan kanan di khususkan untuk
hal yang baik-baik saja. Hal ini bisa kita lihat dari bahwa tangan kanan
dipakai untuk pengalokasian harta (Nafkah) sebagaimana sabda Nabi : حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه
, dan tangan kanan adalah untuk penepatan janji dan untuk janji setia, sehingga
perbudakan dikatakan dengan kepemilikan tangan kanan.
7. An Nisa’[04]: 03
Firman Allah ذٰلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
maksudnya bagaimana?
Ayat tersebut mengisyaratkan hanya
memilih satu wanita saja yang pilihan dan lafadz أدنى
mempunyai arti paling dekat, dan lafadz العول
arti asalnya adalah kecondongan yang bisa diindra , seperti ucapan عال الميزان عولا apabila timbangan itu condong ke salah satu
sisi, kemudian dipindah kepada condong/cenderung (yang tidak bisa diindra) yang
mempunyai arti menyeleweng, yang dimaksud dalam ayat ini adalah kecenderungan
yang dilarang sebagai sisi lain dari keadilan. Dan maksud dari ayat terkait
adalah memilih satu wanita itu lebih dekat supaya tidak berbuat berat sebelah
yang diharamkan ketika dibandingkan lebih dari satu wanita. Maka sesungguhnya
laki-laki yang memilih satu wanita saja maka telah hilanglah darinya rasa berat
sebelah yang melenceng dari kebenaran. Dan siapapun yang memilih satu wanita
saja berarti telah hilanglah darinya kemauan untuk berat sebelah. Sedangkan
lelaki yang memilih lebih dari satu maka berat sebelah yang haram lebih nyata
baginya.
Dan diriwayatkan dari Imam Syafi’i
RA. Bahwa Ia menafsirkan lafadz ألا تعولوا
dengan supaya keluarganya tidak menjadi banyak dan hal ini disalahkan oleh imam
al Jasshosh sepertihalnya Imam Al Mubarrod dan mereka berdua menyangka bahwa
lafadz عال tidak boleh diartikan keluarganya menjadi
banyak yang semestinya dengan عال يعيل,
akan tetapi Imam Zamakhsyari berkata : di nuqil dari Imam al Kisa’iy dari orang
arab yang fasih-fasih dengan kata عال يعول apabila keluarganya menjadi banyak dan ulama
yang menuqil semacam ini antara lain Imam Ashmu’i dan Imam al Azhuriy,
penafsiran semacam ini dinuqil dari Ibnu Abi Hatim dari Zaid bin Aslam, dia
adalah salah satu dari pembesar Tabi’in, sedangkan bacaan imam Thowus adalah ألا تعيلوا
sebagai penguat pendapat Imam Syafi’i dan yang lain. Maka jelaslah tidak ada
jalan untuk mengatakan bahwa para Imam itu jelek dalam Ilmu bahasa dan Hadis.
8. An
Nisa’[04]: 04
Firman Allah وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Hal ini mengandung beberapa pengertian :
1.
Kewajiban memberi mahar terhadap Istri.
Sesungguhnya kemaluan itu tidak halal
kecuali dengan mahar yang pasti, entah mahar tersebut disebutkan dalam akad
atau tidak. Dan sesungguhnya mahar bukanlah sebagai bandingan dari kemanfaatan
kemaluan wanita. Karena Allah juga menjadikan nikah sebagai kemanfaatan untuk
menuntaskan syahwat dan beranak pinak yang hal itu adalah kerjasama antar suami
istri. Lalu Allah memerintahkan suami untuk memberi mahar kepada istrinya, yang
hal itu adalah pemberian murni yang diwajibkan oleh Allah. Dan hal ini adalah ijma’
ulama dan tidak ada selisih pendapat sama sekali. Ayat yang serupa dengan ini
adalah:
فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ )النساء/25 (
yang dimaksud adalah berilah mereka
mahar-mahar mereka.
Selanjutnya ulama sepakat bahwa dalam
maksimalnya mahar tidak ada batasan, sedang dalam sedikitnya mahar ada beda
pendapat yang bisa dilihat dalam pembahasan ayat….
وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا النساء/20
2. Melepaskan tuntutan atas mahar.
Diperbolehkan bagi istri untuk memberikan
maharnya pada suami baik keseluruhan atau sebagian, sama saja hal itu telah
diterima istri atau masih dalam tanggungan suami, yang hal ini juga bisa
berarti hibah dan pembebasan. Tetapi bagi suami hendaknya berhati-hati dalam
segala hal yang telah diberikan oleh sang istri kepadanya, karena dalam al
Qur’an hal ini menggunakan kata “ فإن طِبْنَ “ tidak menggunakan kata “فإن وَهِبْنَ”
yang hal ini juga memberikan kefahaman bahwa yang perlu dijaga adalah pemberian
dengan hati yang tulus tanpa ada unsur paksaan baik materi atau moral atau
kurang harmonisnya hubungan atau tipuan.
firman Allah “ فإن طِبْنَ “ bisa difaham bahwa pemberian mahar dari
istri kepada suami adalah boleh, baik dari istri yang tadinya janda atau perawan,
dalam hal ini ahli fiqih berkomentar : Imam Malik melarang pemberian mahar dari
istri yang tadinya perawan kepada suaminya.
Ibnu Abdul Hakam berpendapat : apabila
syarat pemberian tadi tidak terpenuhi, maka mahar tadi wajib diambil paksa dari
suami, karena mahar adalah syarat yang deberikan kepada sang istri atas nama
syarat dan dia mengambilnya dari istri atas nama ‘iwadl, maka bagi istri wajib
mengambil mahar tersebut dari suami dan bagi suami wajib memberinya dengan
sempurna. Karena nabi telah bersabda : المسلمون عند شروطهم
(riwayat Imam Hakim dari sahabat Anas dari Aisyah RA.)
3.
Kebolehan bagi suami untuk mengambil mahar.
Bagi suami boleh mengambil mahar dari
istrinya sesuai syarat yang telah lewat, dan baginya tidak ada tuntutan di
dunia maupun di akhirat. Dan firman Allah “فَكُلُوهُ
“ adalah gambaran memakan, yang dimaksud adalah kebolehan mengkonsumsi dengan
cara apapun, hal ini selaras dengan firman Allah
“إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا [النساء/10[
yang dimaksud bukan hanya memakan saja,
hanya saja karena makan adalah salah satu cara konsumsi yang paling efektif
dalam pengalokasian harta maka dalam ayat digunakanlah bahasa makan.
4.
Kewajiban memberi mahar karana bersepi-sepiannya suami istri.
Imam al Jasshos berhujjah pada ayat ini
untuk wajibnya memberi mahar penuh atas suami kepada suami istri yang
bersepi-sepian bersama dengan benar (خلوة الصحيحة
). Walaupun istrinya ditalak sebelum bersetubuh. Ayat ini masih umum dalam
mengakomodir suami istri yang bersepi-sepian dan yang tidak, sehingga perlu
mempertimbangkan ayat
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ
فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ [البقرة/237[
yang menunjukkan bahwa yang wajib
diberikan oleh suami ketia suami istri yang hanya bersepi-sepian (tidak dan
atau belum pernah bersetubuh) hanyalah separo mahar, ayat al Baqarah 237 ini
adalah ayat khusus, dan ayat khusus itu didahulukan dibanding ayat umum.
Hikmah Poligami
Keadaan yang bisa diterima saat ini
adalah apabila tidak ada hajat yang diterima syara’ atau keterpaksaan hendaknya
suami untuk menikahi satu wanita. Karena kecemburuan itu selalu menyelimuti
antar suami istri, sebagaimana suami cemburu terhadap istrinya, begitu pula
istri cemburu kepada suaminya:
Akan tetapi Islam memperbolehkan bagi
laki-laki berpoligami karana terpaksa, atau kebutuhan. Dan hal ini mempunyai
batasan yaitu mampu menafkahi, bisa berbuat adil, kemarmonisan hubungan
keluarga. Kebolehan ini pun mempunyai sisi lain yaitu:
1. Istri mandul. Secara naluri seorang
suami mendambakan adanya anak dan bisa mengalokasikan kekayaannya dan jerih
payahnya kepada sang anak. Ketika istri mandul, mana yang lebih utama antara
menceraikannya dan berpoligami? tidak diragukan lagi bahwa beristri lagi itu
lebih ringan bahayanya untuk istri pertama dengan syarat tetap terjaga
kehormatannya (istri pertama) dan bisa terpenuhi hak-haknya secara sempurna
tidak kurang sedikitpun.
2. Banyaknya kaum wanita. Sesunggunya di
sebagian negara angka kelahiran perempuan lebih banyak dibanding jumlah
laki-laki, dan terkadang berkurangnya jumlah laki-laki bisa sedikit karena
peperangan, bila demikian yang lebih utama adalah berpoligami sebagai aplikasi
atas penghormatan perempuan dan menjaga mereka dari berbuat yang tidak sesuai
syara’ serta membersihkan masyarakat dari perzinaan yang bisa menimbulkan
berbagai jenis penyakit, anak-anak terlantar dan aborsi.
3. Seksualitas. Terkadang wanita menjadi
dingin dalam hubungan biologis terlebih ketika mereka mencapai usia menopouse
atau pengangkatan rahim sebab penyakit. Dan terkadang kebutuhan hubungan
biologis lelaki bisa meningkat atau
tidak meningkat tapi terus berkesinambungan tidak ada masa hentinya, bila
demikian maka tidaklah cukup baginya hanya satu wanita saja, karena si istri
tadi sudah tidak berselera melakukan hubungan biologis, atau wanita mengalami
menstruasi seminggu dalam satu bulan. Maka keadaan menuntut untuk berpoligami
karena bisa membatasi suami dari berbuat zina yang berarti telah menyia-nyiakan
agama, harta benda dan kesehatan serta memperjelek reputasi.
Adapun perilaku jelek sebagian orang
islam yang memperbolehkan berpoligami karena demdam terhadap istri lamanya atau
hanya menuruti syahwat saja, tidak karena tujuan yang telah lewat, hal itu
adalah kasuistik yang tidak akan bisa memperjelek pada pondasi dan pokok-pokok
agama serta prinsip-prinsip keislaman yang memperbolehkan berpoligami yang
dibatasi dengan batas-batas yang sangat jelas.
Dan dalam setiap masa, para pemikir barat
mengajak beristri lebih dari satu, dan mereka tidak ragu dalam keutamaan banyak
istri dibanding banyak pacar dan teman wanita, adapun talak sering terjadi di
negara barat karena banyak hal, dan hal itu gampang mencuat kepada kaum
muslimin karena mengidolakan mereka.