RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT AHKAM
KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH SHOBUNI
Daftar Isi : Jilid 1
Muqaddimah
2. Pandangan Syari'at tentang sihir
3. Nasakh dalam Al Qur-an
4. Menghadap ke ka'bah dalam shalat
6. Hukum Menyembunyikan Ilmu Agama
7. Makanan yang Halal dan yang Haram
8. Hukum Qishash mengandung Kehidupan
9. Kewajiban Puasa bagi Kaum Muslimin
10. Perang dalam Islam
11. Menyempurnakan Haji dan Umrah
12. Perang di Bulan-bulan Haram
14. Mengawini wanita musyrikin
15. Menjauhi Istri pada Waktu Haidh
17. Syari'at Talak dalam Islam
18. Penyusuan
19. 'Iddatul Wafat
21. Bahaya Riba bagi Kehidupan Sosial
22. Larangan Mengangkat Pemimpin Orang Kafir
23. Wajib Haji
26. Perempuan-perempuan yang Haram Dikawini
27. cara-cara Mengatasi Syiqaq
28. Larangan Shalat Bagi Orang yang Sedang Mabuk dan Junub
29. Tindak Kriminal Pembunuhan dan Hukumnya Menurut Islam
30. Shalat Khauf (Shalat dalam Suasana Bahaya)
32. Beberapa Hukum tentang Wudhu' dan Tayamum
33. Hukuman Pencuri dan Penyamun
34. Denda Pembatalan Sumpah dan Haramnya Arak dan Judi
35. Kemakmuran Masjid
36. Orang Musyrik Dilarang Masuk Masjidil Haram
37. Hukum Pembagian Ghanimah Dalam islam
38. Lari dari Peperangan
39. Teknis Pembagian Ghanimah
40. Menyembelih Qurban Untuk Taqarrub kepada Allah
RANGKUMAN RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT
AHKAM
KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH
SHOBUNY (Jilid 1 nomor 20)
MEMINANG WANITA DAN MAHAR (Surah
Al-Baqarah ayat 235-237)
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِۦ مِنْ
خِطْبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوْ أَكْنَنتُمْ فِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ ٱللَّهُ
أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن
تَقُولُوا۟ قَوْلًا مَّعْرُوفًا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا۟ عُقْدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ
يَبْلُغَ ٱلْكِتَٰبُ أَجَلَهُۥ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِىٓ
أَنفُسِكُمْ فَٱحْذَرُوهُ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Dan
tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu berazam
(bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS.
Al Baqarah 235)
لَّا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ
مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا۟ لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ
عَلَى ٱلْمُوسِعِ قَدَرُهُۥ وَعَلَى ٱلْمُقْتِرِ قَدَرُهُۥ مَتَٰعًۢا
بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُحْسِنِينَ
Tidak
ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri
kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.
Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang
mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula),
yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Al Baqarah 236)
وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ
وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّآ أَن
يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا۟ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ عُقْدَةُ ٱلنِّكَاحِ ۚ وَأَن
تَعْفُوٓا۟ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنسَوُا۟ ٱلْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ
ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Jika
kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya
kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah
kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan
oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada
takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Baqarah 237)
Tahlilul Lafdzi
ﻋﺮﺿﺘﻢ
: Melakukan sindiran, sindiran untuk mengkhitbah
perempuan yaitu dengan mengucapkan perkataan yang menyerupai khitbah dan tidak
terus terang tapi memberikan perumpamaan sebagai isyarat.
ﺨﻄﺒﺔ ﺍﻠﻨﺴﺎﺀ : Meminta perempuan untuk menikah, meminang
perempuan.
ﺃﻜﻨﻨﺘﻢ : Menutupi dan menyamarkan.
ﻻﺘﻮﺍﻋﺪﻮﻫﻦ ﺴﺮﺍ :
Yang dimaksud sirrun di sini adalah
nikah, jangan menjanjikan mereka yang sedang dalam masa iddah untuk menikah.
ﻋﻘﺪﺓ ﺍﻠﻨﻜﺎﺡ : Pengikatan, ikatan/akad nikah.
ﺃﺠﻟﻪ : Penghabisan, akhir masa iddah.
ﻓﺎﺤﺬﺮﻮﻩ : Takutlah akan hukumannya dan jangan
melanggar.
ﺤﻟﻴﻢ : Melambatkan hukuman dan tidak mempercepatnya,
Allah melambatkan hukuman tapi tidak membiarkan.
ﺍﻟﻤﻮﺴﻊ : Orang yang dalam keadaan lapang karena
kekayaannya, banyak hartanya.
ﺍﻟﻤﻘﺘﺮ : Orang yang dalam kesempitan karena
kemiskinannya.
ﺘﻤﺴﻮﻫﻦﱠ : Memegang sesuatu dengan tangan, menyentuh
perempuan.
ﻓﺮﻴﻀﺔ : Apa yang telah ditetapkan Allah atas
hamba-Nya, maksudnya di sini adalah mahar karena telah ditetapkan dengan
perintah Allah.
ﻴﻌﻔﻮﻦ : Meninggalkan dan memaafkan, maksudnya
adalah perempuan menjatuhkan haknya atas mahar.
Makna Ijmali
Allah swt telah menjelaskan hukum
meminang perempuan yang sedang dalam masa iddah setelah kematian suaminya dalam
firman-Nya yang berarti: Tidak ada kesempitan dan tidak ada dosa atas kalian
wahai para laki-laki, dalam memulai keinginan menikah dengan perempuan yang
sedang dalam masa iddah, dengan cara memberi isyarat tidak terang-terangan,
sesungguhnya Allah ta’ala mengetahui apa yang kalian sembunyikan dalam diri
kalian dari kecondongan terhadap mereka, dan keinginan untuk menikah dengan
mereka, dan tidak akan menghukum kalian atas tindakan itu, akan tetapi kalian
tidak boleh terang-terangan dengan keinginan ini ketika mereka dalam keadaan
iddah, kecuali dengan cara isyarat yang diketahui, dengan syarat tidak akan
terjadi hal yang buruk atau melewati batas dalam perkataan, dan jangan ber’azam
niat untuk melakukan akad nikah sampai selesai masa iddahnya, dan ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah mengetahui atas rahasia-rahasiamu dan isi hatimu dan
apa yang kamu cari atasnya.
Kemudian Allah menyebutkan hukum perempuan
yang ditalak sebelum ditentukan maharnya dan belum disentuh, maka diangkatlah
dosa dari talak sebelum “dukhul”, agar orang tidak
berprasangka bahwa talak dalam keadaan ini dilarang, dan diperintahkan membayar
mut’ah untuk mereka sebagai perbaikan bagi kehormatan mereka, sesuai dengan
kadar kemampuan si laki-laki baik kaya maupun miskin, dan menjadikannya salah
satu dari perbuatan baik untuk menghilangkan kesedihan karena talak, dan adapun
talak yang terjadi sebelum adanya persentuhan dan telah disebutkan maharnya,
maka perempuan yang ditalak berhak atas setengah dari mahar yang telah
ditentukan, kecuali jika telah dijatuhkan haknya, atau suaminya telah
membayarkan mahar seluruhnya, atau walinya yang telah menjatuhkan haknya jika
dia masih kecil.
Dan Allah mengakhiri ayat itu dengan
peringatan: tanpa melupakan kasih sayang, kemurahan hati, dan kebaikan di
antara suami istri, maka jika talak telah terjadi karena sebab-sebab penting yang memaksa, maka tidak seyogyanya
talak ini menjadi pemutus ikatan kekeluargaan dan memutuskan kekerabatan.
Sababun Nuzul
Al Khazin berkata dalam tafsirnya : Ayat
kedua diturunkan tentang seorang laki- laki Anshar yang menikahi seorang
perempuan Bani Hanifah dengan tidak menyebutkan maharnya, lalu diceraikannya
sebelum dicampuri. Begitulah, lalu turun ayat ketiga. Sesudah itu lalu
Rasulullah SAW bersabda kepada laki- laki tersebut : “Berilah dia mut’ah sekalipun
dengan kopiahmu itu.”
Tafsir
1. Al Qur’an membolehkan meminang
perempuan yang dalam iddah dengan cara sindiran, misalnya dengan ucapan :
Engkau ini seorang perempuan yang cantik, engkau seorang perempuan sholehah,
engkau ini seorang perempuan yang dermawan dan lain sebagainya.
Ibnul Mubarak meriwayatkan dari Abdur
Rahman bin Sulaiman dari bibinya (Sukainah binti Hadlalah), ia berkata :
دخل علي أبو جعفر محمد بن علي وأنا فى عدتى , فقال : أنا من علمت
قرابتى من رسول الله ص م و حق جدى على وقدمى فى الاسلام. فقلت : غفر الله لك يا
أبا جعفر, أتخطبنى فى عدتى وانت يؤجذ عنك ؟ فقا ل : أوقد فعلت ؟ أنا أخبرتك بقرا
بتى من رسول الله ص م وموضعى , دخل رسول الله ص م على أم سلامة حين توفى عنها
زوجها (أبو سلامة) فلم يزل رسول الله ص م يذكر لها منزلته من الله , وهو متحامل
على يده حتى أثر الحصير فى يده فما كانت تلك خطبة.
“Abu
Ja’far, Muhammad bin Ali pernah masuk ke rumahku, disaat aku masih dalam
‘iddah, lalu ia berkata : Aku ingin orang yang engkau tahu betul akan
kekerabatanku dengan Rasulullah SAW dan hak nenekku Ali serta jejakku dalam
Islam, lalu aku berkata : Semoga Allah mengampuni, hai Abu Ja’far, apakah
engkau hendak meminangku padahal aku masih dalam iddah dan apakah engkau mau
disiksa ? Abu Ja’far menjawab : Apa aku sudah berbuat ? aku kan hanya
memberitahumu akan kekerabatanku dengan Rasulullah SAW serta kedudukanku (dalam
keluarga ). Bukankah Rasulullah juga pernah masuk ke rumah Ummu Salamah ketika
Abu Salamah meninggal dunia, dan Rasulullah SAW sendiri terus menerus menyebut-
nyebutkan kepadanya akan kedudukannya di sisi Allah, sedangkan dia bertanggung
jawab atas dirinya, sehingga bekas tikar melekat pada dirinya, namun yang
demikian itu tidak dinamakan meminang.”
2. Zamakhsyari berkata : “rahasia” yang
dimaksud dalam ayat diatas, adalah kinayah dari nikah yang nikah itu sendiri
asal artinya ialah: bercampur. Dan dia itulah yang dirahasiakan (dalam
perkawinan) itu. Seperti kata al A-‘sya:
ولا تقربن من جارة أن سرها
عليك حرام فانكحوا أو تاء بدا
“Janganlah
engkau mendekat seorang gadis
Sesungguhnya rahasianya itu haram atasmu
Kawinlah dia atau engkau sama sekali menjauh”
Kemudian
kata ini dipergunakan untuk arti “kawin” yang berarti ‘aqad, karena ‘aqad itu
suatu “sebab” terjadinya perkawinan.
3. Penyebab kata “azam” dalam ayat itu
adalah lilmubalaghah larangan yang sangat keras untuk mengadakan perkawinan
dalam ‘iddah, karena azam untuk perbuatan tersebut adalah merupakan
muqaddimahnya. Kalau azam saja sudah dilarang, maka mengerjakan lebih dilarang.
4. Allah mempergunakan kata “menyentuh”
untuk arti bercampur, adalah suatu kinayah yang halus yang biasa digunakan
dalam Al Qur’an. Abu Muslim berkata : Kinayah yang dipergunakan Allah SWT untuk
bercampur dengan menyentuh itu, sebagai didikan buat manusia agar dalam
percakapannya sehari- hari selalu memilih kata- kata yang baik.
5. Khitbah dalam firman Allah:”Bahwa
memaafkan itu jalan terdekat kepada taqwa” dan “jangan kamu lupakan kelebihan
antara kamu” itu tertuju untuk pria dan wanita, yang disampaikan dengan
mengambil cara “pada umumnya”. Ar Razi berkata: Apabila pria dan wanita itu
hendak disebut secara bersamaan, maka pada umumnya cukup dengan menyebutkan
yang pria. Sebab, pria itulah yang pokok, sedang wanita adalah cabang. Misalnya
anda mengatakan فائم (laki- laki berdiri), kemudian anda hendak menyebut juga wanita,
maka anda mengatakan قائمة
(wanita berdiri).
6. Hikmah wajibnya mut’ah kepada istri
yang ditalak untuk menghiangkan perasaan keganasan talak dan mengurangi kejahatan
harta terhadap dirinya. Ibnu Abbas
berkata : Apabila si laki- laki (suami) itu orang yang kaya, maka mut’ahnya
berupa khadam (pelayan) dan apabila miskin, mut’ahnya berupa tiga helai baju.
7. Diriwayatkan, bahwa Al Hasan bin Ali
pernah memberikan mut’ah sebanyak 10.000, lalu perempuan itu berkata : “Mut’ah
ini terlalu kecil, dari seorang habib (kekasih) yang menceraikan”. Adapun sebab
dicerainya istrinya ‘Aisyah al Khats’amiyah itu ialah: bahwa ketika Ali
terbunuh dan Al Hasan dibaiat sebagai Khalifah, Aisyah mengatakan : Rupanya
kekuasaan Khalifah itu menyenangkan engkau, Ya Amiral Mukminin ! Maka Jawab al
Hasan: Ali terbunuh, sedang engkau senang dengan kedudukan ini ? Pergi, engkau
kutalak tiga ! begitulah, lalu Aisyah berselimut dengan jilbabnya, dan ia tetap
menanti hingga habis masa iddahnya. Lalu oleh al Hasan dikirimnya mut’ah
sebanyak 10.000, serta sisa mahar (Yang belum terbayar). Maka komentar Aisyah :
Suatu pemberian (mut’ah) yang terlalu kecil dari seorang habib yang
menceraikan. “setelah utusan itu menyampaikan hal itu kepada Hasan, maka hasan
menangis, seraya berkata : Seandainya aku tidak menjatuhkan talak bain, niscaya
kurujuk dia.
Kandungan Hukum
1. Hukum Meminang
Perempuan. Dalam kedudukan hukum pinangan
ini, ada 3 macam :
a) Perempuan yang boleh dipinang dengan
terang- terangan dan dengan sindiran, yaitu perempuan yang masih single dan
bukan dalam ‘iddah. Sebab bila ia itu boleh dikawin sudah barang tentu boleh
juga dipinang.
b) Perempuan yang tidak boleh dipinang,
baik dengan terang- terangan maupun dengan sindiran. Yaitu: perempuan yang
masih mempunyai suami, sebab meminang perempuan dalam keadaan demikian itu,
berarti merusak hubungan suami istri dan hukumnya haram. Begitu pula perempuan
yang ditalak raj’i yang masih dalam ‘iddah. Dia itu dihukumi sebagai perempuan
yang masih dalam perkawinan.
c) Perempuan yang boleh dipinang secara
sindiran, tidak boleh dengan terang- terangan. Yaitu, perempuan yang ditinggal
mati suami yang masih dalam ‘iddah, seperti yang diisyaratkan al Qur’an:”Dan
tidak ada dosa atas kamu meminang perempuan itu dengan sindiran”. Termasuk
perempuan yang ditalak tiga. Dalil bagi terlarangnya peminangan ini ialah
seperti yang dikatakan Imam Syafi’i:”Dikhususkannya dengan tidak berdosa
peminangan secara sindiran itu, menunjukkan bahwa peminangan dengan
terang-terangan adalah sebaliknya.” Ini disebut mafhum mukholafah.
2. Perkawinan dalam Iddah
Allah mengharamkan pernikahan dalam
‘iddah dan mewajibkan perempuan agar menanti, baik dalam iddah talak ataupun
iddatul wafat. Ini berdasarkan firman Allah:”Dan jangan kamu berazam untuk
mengadakan ‘aqad nikah, sehingga habis masa ‘iddahnya”. Ayat ini menunjukkan
haramnya mengadakan aqad perkawinan dalam ‘iddah. Ulama sepakat bahwa aqadnya
itu fasid dan wajib difasakh karena larangan Allah tersebut. Dan apabila aqad
itu dilangsungkan lalu hidup berumah tangga, pernikahannya itu harus difasakh,
dan perempuan itu haram lagi suaminya untuk selama- lamanya. Demikian menurut
Imam Malik dan Ahmad. Alasannya adalah keputusan Umar. Karena laki- laki itu
menganggap halal sesuatu yang tidak halal, karena itu dia harus dihukum dengan
diharamkannya kawin dengan perempuan tersebut. Tak ubahnya pembunuh yang harus
dihukum dengan diharamkannya mendapatkan warisan (dari harta si terbunuh).
Tetapi Abu hanifah dan Syafi’i berkata:
perkawinannya itu difasakh, tetapi kalau perempuan itu sudah keluar dari
iddahnya, maka laki- laki yang mengawininya tadi dinilai sebagai peminang dan
tidak diharamkan untuk kawin dengan perempuan tersebut selamanya.
3. Hukumnya perempuan yang ditalak
sebelum dicampuri
a) Perempuan yang sudah dicampuri dan
sudah ditentukan maharnya. Iddahnya tiga quru’ dan maharnya tidak boleh diambil
sedikitpun oleh suaminya. (Al Baqarah: 228-229).
b) Perempuan yang belum dicampuri dan
belum ditentukan maharnya. Tidak ada iddah baginya dan tidak berhak menerima
mahar, tetapi berhak mendapatkan mut’ah. (Al Baqarah: 236 dan Al Ahzab: 49).
c) Perempuan yang belum dicampuri tetapi
sudah ditentukan maharnya. Tidak ada iddah baginya tetapi mendapatkan separuh
mahar. (Al Baqarah:237)
d) Perempuan yang sudah dicampuri tetapi
belum ditentukan maharnya. Berhak mendapatkan mahar mitsli. (an Nisa’: 24). Hal
ini juga diqiaskan dengan ijma’ para ulama yang menyatakan bahwa perempuan yang
sudah dicampuri karena suatu syubhat, tetap berhak mendapatkan mahar mitsl.
Sedang perempuan yang telah dicampuri dengan pernikahan yang sah, adalah lebih
berhak, berdasarkan hukum ini.
4. Hukum mut’ah untuk perempuan yang
ditalak
Bagi perempuan yang belum dicampuri dan
belum ditentukan maharnya, jelas wajib mendapatkan mut’ah. Selanjutnya
berkaitan dengan apakah mut’ah itu wajib untuk setiap perempuan yang tertalak
apa tidak, ada 2 pendapat ulama sebagai berikut :
a. Hasan Basri berpendapat wajib,
berdasarkan keumuman. ( Al Baqarah: 241)
b. Jumhur (Hanafiyah, Syafi’iyah dan
Hanabilah) berpendapat: mut’ah itu wajib bagi perempuan yang belum dicampuri
dan belum ditentukan maharnya. Adapun bagi perempuan yang sudah ditentukan
maharnya, mut’ah itu hukumnya sunat.
5. Arti mut’ah dan ukurannya
Mut’ah adalah pemberian seorang suami
kepada isterinya yang diceraikan, baik berupa uang, pakaian atau perbekalan apa
saja, sebagai bantuan dan penghormatan kepada isterinya itu, serta menghindari
dari kekejaman talak yang dijatuhkan itu. Ukuran mut’ah sebagai berikut :
a)
Imam Malik: Mut’ah tidak ada batasnya, baik minimal dan maksimal.
b) Syafi’i : bagi yang mampu disunatkan
mut’ah itu berupa seorang khadam, sedang orang pertengahan 30 dirham, dan buat
yang tidak mampu sekedarnya saja.
c) Abu hanifah: sedikitnya berupa baju
kurung, kerudung dan tusuk konde dan tidak lebih dari setengah mahar.
d) Ahmad : mut’ah itu berupa baju kurung
dan kerudung yang sekedar cukup dipakai buat sholat dan ini sesuai kemampuan
suami.