RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT AHKAM
KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH SHOBUNI
Daftar Isi : Jilid 2
1. Had dalam Syari'at Islam
2. Menuduh Zina Wanita yang Baik-Baik itu Dosa besar
3. Li'an Antara Suami dan Istri
4. Dibalik Peristiwa Fitnah
5. Tata Krama Masuk Rumah Orang Lain
6. Ayat-Ayat tentang Hijab dan Melihat Lain Jenis
7. Anjuran Kawin dan Menghindari Melacur
8. Minta Izin Masuk Kamar Orang Tua Pada Waktu-Waktu Tertentu
9. Makan Di Rumah Keluarga
10. Taat Kepada Kedua Orang Tua
11. Pengangkatan Anak (Adopsi) di Zaman Jahiliyah dan Islam
12. Warisan Untuk Dzawil Arham
13. Talak Sebelum Disentuh
14. Beberapa Hukum tentang Perkawinan Nabi saw.
15. Di Antara Tata Krama dalam Walimah
19. Kedudukan Hilah dalam Syari'at
20. Perang Dalam Islam
21. Membatalkan Amal yang Sedang dalam Pelaksanaan
23. Hukum Menyentuh Mushhaf Al Qur-an
24. Dhihar dan Kaffaratnya Dalam Islam
25. Berbicara dengan Rasulullah saw
26. Perkawinan Antar Agama
27. Shalat Jum'at dan Hukum-Hukumnya
28. Hukum-Hukum Talak
29. Hukum-Hukum Iddah
30. Membaca Al Qur-an
RANGKUMAN RAWAI’UL
BAYAN TAFSIR AYAT AHKAM
KARYA SYAIKH
MUHAMMAD ALI ASH SHOBUNY (Jilid 2 nomor 28)
LARANGAN SHOLAT BAGI ORANG YANG MABUK DAN
JUNUB (Surah An Nisa ayat 43)
Surah Anisa’ ayat
43
يا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ
تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُباً إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ
تَغْتَسِلُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مِّنكُم
مِّن الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ
صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ
عَفُوّاً غَفُوراً
Wahai orang yang beriman!, jangan lah kamu mendekati sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapan, dan jangan pula (kamu
hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan
saja, sebelum kamu mandi (mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang
baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Sungguh, Allah
Maha Pemaaf, Maha Pengampun.
Mufradat
سُكَارَى : mabuk
جُنُباً : junub/ keluar mani
عَابِرِي سَبِيلٍ :Orang yang berpergian/pengembara, pelancong
Asbabun Nuzul
Abu Daud dan at-Tarmizi meriwayatkan dari Ali karramahu ‘I-Lahu wajhah.
“Abdurrahman bin Auf membut makanan untuk kami, lalu mengundang kami dan
menuangkan khamar untuk kami. Khamar itu mulai bereaksi pada diri kami, dan
datanglah waktu shalat, lalu mereka mengajukan diriku (untuk menjadi Imam).
Maka saya membaca : katakanlah, Hai orng-orang kafir! Aku tidak menyembah apa
yang kalian sembah, sedangkan kami menyembah apa yang kalian sembah; maka
turunlah ayat ini”.
Dari hadist
tersebut telah dijelaskan bahwa sebab turunnya surah An-nisa 43 ini, karena
setelah meminum khamar sahabat Ali Ibn Abi Thalib salah membaca bacaan
ayat Al-Qur’an sehingga membuat makna Al-Qur’an melenceng jauh dari arti yang
sebenarnya.
Dalam riwayat
lain dikemukakan bahwa turunnya ayat “
(janganlah pula hampiri mesjid) berkenaan dengan seseorang yang junub di
dalam perjalanannya, lalu ia bertayammum dan terus shalat. Ayat ini turun sebagai petunjuk bagi orang yang behadas dalam perjalanannya. (diriwayatkan oleh
al-Faryabi, in Munndzir yang bersumber dari Ali.
Ada perbedaan
makna antara kedua uslub : la taqrabu ‘sh-shalata wa antum sukaro dengan la taqrabu ‘sh-shalata sukaro. Yang pertama mengandung larangan untuk mabuk
yang ditakuti akan berketerusan hingga waktu shalat, sehingga melakukannya
dalam keadaan mabuk itu.
Tafsir
Janganlah kalian
melakukan shalat dalam keadaan mabuk, sehingga sebelum melakukannya kalian
benar-benar mengetahui apa yang akan dibaca dan dilakukan. Yang demikian itu disebabkan keadaan mabuk tidak mungkin mendatangkan
kekhusyu’an ketundukan dan keberadaan bersama Allah dengan bermunajat dengn
kita-Nya, berzikir dan berdoa kepada-Nya.
Khithab ini di arahkan kepada kaum muslimin sebelum mabuk agar mereka
menghindarkannya, apabila mereka bermaksud hendak melakukan shalat sehingga
mereka selalu berhati-hati lalu menghindarkannya di setiap waktu. Larangan ini
merupakan pendahuluan pengharaman mabuk secara tegas dan keras, sebab orang
yang takut bila datang waktu shalat, sedangkan dia dalam keadaan mabuk akan
meninggalkan “minum” sepenuh siang dan permulaan malam karena terpisah-pisahnya
waktu shalat yang lima waktu dan dalam tenggang waktu ini.[1][3]
Adapun larangan
shalat dalam keadaan junub tidak mengandung larangan berjunub sebelum shalat
karena ia termasuk sunnah-sunnah fitrah. Itu hanya melarang shalat dlam keadaan
berjunub sampai mereka bersuci dengan mandi. Oleh karena itulah hanya dikatakan
junuban dan tidak dikatakan wa antum junuban.
Jangan kalian
menghampiri mesjid dalam keadaan berjunub dalam keadaan apapun, kecuali sekedar
berlalu saja. Di riwayatkan bahwa bapak beberapa lelaki Anshar berada dimasjid,
sedangkan mereka dalam keadaan junub dan tidak mempunyai tempat berlalu kecuali
dalam masjid itu. Maka, mereka diberi rukhshah dalam hal itu. Nabi SAW tidak melarang supaya
menutup pintu-pintu dan lubang-lubang angin, kecuali pada akhir usianya; dan
beliau hanya mengecualikan pintu kecil yang biasa dilalui oleh Abu Bakar ra.
Janganlah kalian
melakukan shalat dalam keadaan berjunub hingga kalian mandi, kecuali rukhshah yang diberikan kepada kalian, yakni sekedar melalui mesjid saja.
Hikmah mandi
setelah berjunub adalah, bahwa berjunub adalah, bahwa jinabah menimbulkan ketegangan terhadap seluruh tubuh dan menimbulkan
kelemahan yang bisa dihilangkan oleh mandi degan air. Oleh karena itu didalam
hadits disebutkan :
“Sesungguhnya air itu tidak lain dari air”.(HR.Muslim)
Ad-Din menyuruh
manusia melaksakan shalat dalam keadaan mengetahui, memahami, merenungkan
Al-Qur’an dan ingat. Hal itu tergantung pada keadaan sadar dan
meninggalkan mabu-mabukan. Sebagaimana juga menuntut agar badan bersih dan
bersemangat, yang itu dilakukan dengan jalan menghilangkan kotoran setelah
berjunub.
Oleh karena itu
shalat merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan dengan tegas lantaran
ia mengingatkan sesseorang akan rabb-Nya dan mempersiapkannya untuk takwa, dan
oleh karena mandi sesudah jinabah dalam beberapa keadaaan sulit dilakukan dan
dalam beberapa keadaan lain berhalangan dilakukan, Allah swt. Memberikan rukhshah
kepada kita untuk tidak menggunakan air dan menggantikannya dengan tayammum.
Dengan penyakit,
maksud adalah penyakit yang dikhawatirkan akan bertambah dengan menggunakan
air, seperti beberapa penyakit kulit dan luka, seperti cacar, campak atau lain
sebagainya. Safar (perjalanan) mencakup perjalanan jauh dan dekat. Yang
dimaksud ‘datang dari tempat buang air’ adalah berhadast kecil yang disebabkan
oleh keluarnya sesuatu dari salah satu diantara dua jalan, qubul dan dubur.
Mula-masatunisa’ : bercampur dengan istri.
Dalam keadaan-keadaan seperti ini
(sakit, safar dan tidak mendapatkan air sesudah mendapatkan air sesudah
mempunyai hadast kecil yang mewajibkan wudhu dan hadast besar yang mewajibkan
mandi) hendaknya kalian berniat dan mencari permukaan tanah yang suci dan
bersih dari padanya, kemudian lakukanlah shalat.
Ringkasnya, hukum orang yang sakit
dan musafir, apabila hendak melakukan shalat, sama seperti orang yang berhadast
kecil atau bercampur dengan isrti, sedangkan dia tidak mendapatkan air. Maka,
masing-masing di antara mereka hendaknya bertayamum saja.
Akan tetapi,
yang diketahui di dalam empat madzhab, bahwa syarat bertayammum di dalam safar
adalah tidak adanya air.