RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT AHKAM
KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH SHOBUNI
Daftar Isi : Jilid 1
Muqaddimah
2. Pandangan Syari'at tentang sihir
3. Nasakh dalam Al Qur-an
4. Menghadap ke ka'bah dalam shalat
6. Hukum Menyembunyikan Ilmu Agama
7. Makanan yang Halal dan yang Haram
8. Hukum Qishash mengandung Kehidupan
9. Kewajiban Puasa bagi Kaum Muslimin
10. Perang dalam Islam
11. Menyempurnakan Haji dan Umrah
12. Perang di Bulan-bulan Haram
14. Mengawini wanita musyrikin
15. Menjauhi Istri pada Waktu Haidh
17. Syari'at Talak dalam Islam
18. Penyusuan
19. 'Iddatul Wafat
21. Bahaya Riba bagi Kehidupan Sosial
22. Larangan Mengangkat Pemimpin Orang Kafir
23. Wajib Haji
26. Perempuan-perempuan yang Haram Dikawini
27. cara-cara Mengatasi Syiqaq
28. Larangan Shalat Bagi Orang yang Sedang Mabuk dan Junub
29. Tindak Kriminal Pembunuhan dan Hukumnya Menurut Islam
30. Shalat Khauf (Shalat dalam Suasana Bahaya)
32. Beberapa Hukum tentang Wudhu' dan Tayamum
33. Hukuman Pencuri dan Penyamun
34. Denda Pembatalan Sumpah dan Haramnya Arak dan Judi
35. Kemakmuran Masjid
36. Orang Musyrik Dilarang Masuk Masjidil Haram
37. Hukum Pembagian Ghanimah Dalam islam
38. Lari dari Peperangan
39. Teknis Pembagian Ghanimah
40. Menyembelih Qurban Untuk Taqarrub kepada Allah
RANGKUMAN RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT
AHKAM
KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH
SHOBUNY (Jilid 1 nomor 22)
LARANGAN MEMBERIKAN LOYALITAS KEPADA
ORANG-ORANG KAFIR (Surah Ali Imran
28-29)
لاَ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُوْنَ الْكاَفِرِيْنَ أَوْلِيَاءَ مِنْ
دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَ. وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ الله فِي شَيْءٍ
إِلاَّ أَنْ تَتَّقُوْا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ الله نَفْسَهُ. وَإِلَى
الله الْمَصِيْرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengangkat
orang-orang kafir sebagai wali (teman setia, pemimpin) dengan meninggalkan
orang-orang mukmin; dan barangsiapa berbuat demikian, berarti lepaslah dia dari
(pertolongan )Alloh, kecuali kamu (bersiasat) memelihara diri (terhadap)
sesuatu yang ditakuti dari mereka; dan Alloh memperingatkan kamu (dengan siksaan)
dan dari diri-Nya; dan kepada Alloh-lah tempat kembali.” (QS Ali Imran :28)
Analisis Ayat:
Lafadz أولياء ,
adalah bentuk jamak dari lafadz وَلِيٌّ
menurut bahasa berarti an-Naashir ( penolong) dan al-Mu’iin ( yang menolong).
(Lihat Ayatul Ahkam I:397). Juga berarti al-muhibb (yang mencintai), atau
ash-shadiiq ( teman karib atau sahabat setia), atau al-jaar ( tetangga dekat),
atau al-haliif ( sekutu), atau at-taabi’ ( pengikut setia).
Lafadz تقاة bentuk jamak dari تُقًى yang berarti bertakwa atau takut.
Sedangkan maksudnya di sini adalah at-Taqiyyah yang berarti pura-pura bersikap
luwes/supel kepada manusia karena takut dari kejahatannya. Menurut Ibnu Abbas,
at-Taqiyyah adalah bersikap luwes/supel (al-mudaarah) secara dhahiriyyah tanpa
meninggalkan prinsip. Kadang-kadang umat Islam yang berada di tengah-tengah
orang-orang kafir, mereka menjaga dirinya dari kejahatan orang-orang kafir
dengan lisannya, sementara dalam hatinya tidak ada kasih-sayang atau cenderung
kepada mereka.
Berkaitan dengan firman Alloh Ta’ala:إلا أن تتقوا منهم تقاة “Kecuali karena siasat
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka”, maksudnya, kecuali
bagi orang-orang yang berada di suatu negeri dan pada waktu tertentu, merasa
takut terhadap kejahatan orang-orang kafir, maka baginya diperbolehkan bersiasat
kepada mereka secara lahirnya saja, bukan secara batin dan niatnya. Sebagaimana
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Darda’ ra, ia berkata:”sesungguhnya kami
menampakkan wajah cerah kepada beberapa orang kafir, sedang hati kami melaknat
mereka.” (Ibnu Katsir). Sedangkan menurut Ats-Tsauri dari Ibnu Abbas
berkata:”Taqiyyah (bersiasat dalam usaha melindungi diri) itu bukan dengan
amal, melainkan dengan lisan.” Demikian juga menurut al-Aufi dari Ibnu Abbas ra
bahwa taqiyyah itu dengan lisan. Hal yang sama juga dikatakan oleh Abul
‘Aliyah, Abu Sya’tsa’, Ad-Dhahhak dan Ar-Rabi’ bin Anas.
Pendapat mereka diperkuat dengan
firman-Nya:
من كفر بالله من بعد إيمانه إلاّ من أكْرِهَ وقلبه مطمئنّ بالايمان
“Barangsiapa kafir kepada Alloh Ta’ala
sesudah ia beriman (ia mendapat kemurkaan Alloh), kecuali orang yang dipaksa
kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa).” (QS
An-Nisa’:106)
Imam Bukhari berkata dari al-Hasan
berkata:”Taqiyyah itu berlaku sampai Hari Kiamat kelak.” Jadi taqiyyah
dilakukan semata-mata untuk menyelamatkan gangguan fisik dan jiwa dari
orang-orang kafir, sementara hati tetap beriman kepada Alloh Ta’ala. Hal ini
juga pernah dilakukan oleh sahabat Amr bin Yasir ra ketika disiksa oleh
orang-orang musyrik Mekkah untuk mengakui tuhan-tuhan mereka dan keluar dari
agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Akibat keras dan beratnya siksaan
orang-orang musyrik Mekkah, terpaksa Amr bin Yasir ra mengucapkan kata-kata
kufur, sementara hatinya tetap beriman kepada Alloh Ta’ala dan Rasul-Nya.
Asbabun Nuzul
Ayat ini diturunkan berkaitan dengan
orang-orang beriman yang mempunyai sahabat/teman dekat dari kalangan
orang-orang Yahudi, maka berkata sebagian sahabat Nabi saw kepada
mereka:”Jauhilah mereka orang-orang Yahudi dan berhati-hatilah menjalin
persahabatan dengan mereka agar mereka tidak menimpakan fitnah terhadap agama
kamu dan tidak menyesatkan kamu setelah kamu beriman kepada Alloh Ta’ala.”
Tetapi mereka (beberapa kaum muslimin) menolak nasehat tersebut dan mereka
tetap bersahabat dengan orang-orang Yahudi. Maka turunlah ayat tersebut di
atas.(Jaami’ul Bayan Li-Thabary III:228).
Menurut Al-Qurthubi di dalam kitab
tafsirnya dari Ibnu Abbas ra bahwa ayat ini turun berkaitan dengan sahabat
Ubadah bin Shamit ra-shahabat Anshar yang ikut perang Badar-yang kebetulan
mempunyai beberapa sahabat dari kalangan orang-orang Yahudi. Pada saat perang
al-Ahzab, Nabi saw keluar dan Ubadah berkata kepada beliau saw: ”Ya Nabi Alloh!
Sesungguhnya beserta saya lima ratus orang Yahudi. Dan aku menganggap perlu kalau
mereka itu keluar bersamaku untuk menghadapi musuh.” Maka Alloh Ta’ala menurunkan
ayat tersebut di atas.
Sedangkan menurut Ibnu Jarir dari Sa’ad
atau Ikrimah yang bersumber dari Ibnu Abbas dikatakan bahwa al-Hajjaj bin ‘Amr
yang mewakili Ka’ab bin al-Asyraf dan Ibnu Abil Haqiq serta Qais bin Zaid
(tokoh-tokoh Yahudi) telah memikat segolongan kaum muslimin dari kalangan
Anshar untuk memalingkan mereka dari agama Islam. Rifa’ah bin al-Mundzir,
Abdullah bin Jubair serta Sa’ad bin Hatsamah memperingatkan orang-orang Anshar
tersebut dengan berkata:”Berhati-hatilah kalian dari pikatan mereka, dan
janganlah terpalingkan dari agama kalian”. Mereka menolak peringatan itu. Maka
Alloh menurunkan ayat tersebut di atas sebagai peringatan untuk tidak
menjadikan orang-orang kafir sebagai pelindung orang-orang beriman.
Penjelasan Ayat
Berkaitan dengan ayat tersebut di atas,
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berkata:” Alloh Ta’ala melarang
hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengangkat orang-orang kafir sebagai wali
(penolong, teman setia, pemimpin) dengan mengabaikan orang-orang yang beriman.
Selanjutnya Alloh Ta’ala mengancam perbuatan seperti itu, yaitu barangsiapa
yang melanggar larangan tersebut, maka ia benar-benar terlepas dari
(pertolongan) Alloh Ta’ala.” (Ibnu Katsir I:365).
Sedangkan Sayyid Qutub dalam kitab
tafsirnya berkata:”Sesungguhnya tidak akan berkumpul dalam hati seorang manusia
suatu iman yang sebenar-benarnya kepada Alloh Ta’ala apabila mereka menjadikan
musuh-musuh Alloh sebagai wali (pemimpin, teman setia). Padahal musuh-musuh
Alloh itu telah berpaling dari atau membelakangi seruan untuk berhukum kepada
kitab Alloh Ta’ala. Oleh karena itu, datanglah ancaman keras ini sekaligus
sebagai ketetapan yang pasti bahwa seorang muslim telah keluar dari Islam jika
dia menjadikan orang yang tidak ridha menjadikan kitab Alloh sebagai pengatur
dalam kehidupan sebagai wali, baik kewalian itu dengan kecintaan hati dan
dengan membantunya, ataupun meminta pertolongan kepadanya.” Lebih lanjut Sayyid
Qutub berkata:”Ia lepas dari pertolongan Alloh, tidak ada dalam perhitungan
Alloh sedikitpun, tidak ada hubungan dan penisbatan, baik agama maupun akidah,
tidak ada ikatan dan kewalian. Ia telah jauh dari Alloh dan terputus
hubungannya secara total dalam segala sesuatu.”
Berdasarkan ayat tersebut di atas, Allah
hanya memberikan kemurahan jika mereka melakukan itu karena siasat memelihara
diri terhadap orang yang ditakutinya dalam suatu negeri atau waktu tertentu.
Akan tetapi, itu hanya pemeliharaan diri dalam bentuk ucapan lisan, bukan
perwalian dalam hati dan amal perbuatan. Sebagaimana Ibnu Abbas ra pernah
berkata:
لَيْسَ التَّقِيَّةُ بِالْعَمَلِ, إِنَّمَا التَّقِيَّةَ بِاللِّسَانِ
“Tidak ada taqiyyah (siasat pemeliharaan
diri) dengan amal, sesungguhnya taqiyyah itu adalah dengan lisan.”
Taqiyyah yang diperkenankan itu bukan
dengan menjalin kasih sayang antara orang-orang mukmin dengan orang kafir.
Karena orang kafir itu tidak ridha kalau kitab Alloh dijadikan pemutus perkara
atau pedoman dalam kehidupan. Taqiyyah, yang diperbolehkan juga bukan dengan
membantu orang kafir dengan amalan nyata dalam suatu bentuk tertentu atas nama
taqiyyah. Jadi taqiyyah hanya diperbolehkan, ketika kondisi sangat memaksa
hingga mengancam keselamatan jiwa. Dan itupun dilakukan dengan ucapan lisan,
sementara hati tetap mengimani Alloh Ta’ala dan Rasul-Nya serta mengingkari
ajaran orang-orang kafir.
Yang perlu diketahui bahwa taqiyyah itu
hanya merupakan rukhshah (keringanan/kemurahan/dispensasi) dari Alloh Ta’ala,
bukan kewajiban. Bahkan orang mukmin yang meninggalkan cara seperti itu lebih
afdhal. Dan taqiyyah itupun boleh dilakukan oleh seorang muslim jika kondisinya
benar-benar mengancam keselamatan jiwa dan raga. Sementara jika kondisinya
dalam keadaan normal, tidak ada tekanan dari orang-orang kafir secara fisik,
maka melakukan taqiyyah diharamkan oleh agama.
Adapun orang-orang kafir menurut
pandangan Islam adalah setiap orang yang tidak memeluk agama Islam, tidak
mengimani Alloh Ta’ala sebagai satu-satunya Dzat yang disembah, ditaati dan
ditunduki segala aturan dan hukum-hukum-Nya, membuat sekutu bagi-Nya,
mengingkari adanya berita-berita ghaib yang telah dikabarkan oleh Alloh Ta’ala
dalam Al-Qur’an, tidak mengakui Muhammad saw sebagai hamba dan utusan-Nya yang
terakhir, tidak mengimani ayat-ayat Al-Qur’an secara menyeluruh dan menolak
Sunnah Rasul. Dan menurut pandangan Islam, kafir meliputi dua golongan, yaitu
Ahlul-Kitab (Yahudi dan Nashara) serta orang-orang musyrik (agama yang konsep
tauhidnya mengandung kesyirikan), Alloh Ta’ala berfirman:
إن الذين كفروا من أهل الكتاب والمشركين في نار جهنم خالدين فيها.
أولئك هم شر البرية
“Sesungguhnya orang-orang kafir yaitu
dari kalangan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka
Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk.” (QS
Al-Bayyinah: 6)
Sedangkan kalangan Ahli Kitab menurut
Ibnu Katsir dalam mengomentari Surat Ali Imran ayat 64 adalah orang-orang
Yahudi dan Nashara serta orang-orang yang mengikuti jalan mereka.(Ibnu Katsir
I:379). Hal ini juga berdasarkan Surat Nabi saw yang dikirimkan kepada Raja
Heraqlius, Romawi dengan panggilan “ Yaa Ahlal-Kitab” yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dari Ibnu Abbas , dari Abu Sufyan. Begitu juga ketika beliau saw
mengirim surat dakwah kepada Gubernur Mesir, Muqauqis dengan panggilan “Yaa
Ahlal-Kitab”. Begitu juga ketika Ibnu Katsir mengomentari Surat Ali Imran ayat
65, bahwa lafadz “ Ahlul Kitab” adalah orang-orang Yahudi dan Nashara.
Sedangkan kekufuran dalam bentuk ideologi, misalnya Kapitalis-Liberalisme dan
Sosialis-Komunis. Orang-orang yang berpegang teguh kepada prinsip-prinsip
tersebut termasuk dalam kategori kafir.
Berkaitan dengan haramnya mengangkat
orang-orang Yahudi dan Nashara sebagai pemimpin, teman setia dan penolong bagi
umat Islam ditegaskan oleh Alloh Ta’ala dalam ayat yang lain:
يا أيها الذين أمنوا لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء بعضهم أولياء
بعض. ومن يتولهم منكم فإنه منهم
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashara sebagai pemimpin. Sebagian mereka
adalah pemimpin bagi sebagian yang lainnya. Barangsiapa di antara kamu
menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka.”(QS Al-Maidah:51)
Menurut As-Suddi berkata:”Bahwa ayat itu turun berkenaan dengan dua orang yang
salah satunya berkata kepada yang lain, yaitu setelah Perang Uhud:’Adapun aku,
sesungguhnya akan pergi kepada orang-orang Yahudi dan berlindung kepadanya
serta memeluk agama Yahudi bersamanya, mudah-mudahan akan bermanfaat bagiku
jika terjadi sesuatu. Sedangkan yang lain berkata: ’Adapun aku, akan pergi
kepada si Fulan yang beragama Nashara di Syam, lalu aku berlindung kepadanya
dan memeluk agama Nasrani bersamanya’. Lalu turunlah ayat tersebut. Sedangkan
menurut Muhammad bin Ishaq bahwa ayat tersebut berkaitan dengan Ubadah bin
Shamit ketika terjadi peperangan dengan Yahudi Bani Qainuqa, sementara Abdullah
bin Ubay berpihak kepada orang-orang Yahudi. Sedangkan Ubadah bin Shamit ketika
masih terikat perjanjian dengan orang-orang Yahudi. Lalu Ubadah bin Shamit
menyuruh Bani Auf menghadap Rasulullah saw dan melepaskan diri dari sumpah
orang-orang Yahudi dan Nasrani untuk selanjutnya menuju kepada Alloh Ta’ala dan
Rasul-Nya.(Ibnu Katsir II:71)
Berkaitan dengan ayat tersebut, Ibnu
Katsir berkata:”Alloh Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengangkat
orang-orang Yahudi dan Nashara sebagai pemimpin mereka, karena mereka itu
adalah musuh-musuh Islam dan musuh para pemeluknya.” (Ibnu Katsir II:70). Dan
Alloh Ta’ala menjanjikan bagi mereka yang melakukan perbuatan itu dengan
ancaman siksaan yang pedih, akan terjadinya fitnah bagi agama dan umatnya serta
kerusakan di muka bumi.
بشر المنافقين بأنّ لهم عذابا أليما. الذين يتخذون الكافرين أولياء من
دون المؤمنين. أيبتغون عندهم العزة فإن العزة لله جميعا
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik
bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. Yaitu orang-orang yang mengambil
orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi orang kafir itu? Maka
sesungguhnya semua kemuliaan kepunyaan Alloh Ta’ala.”(QS An-Nisa’:138-139)
والذين كفروا بعضهم أولياء بعض إلا تفعلوه تكن فتنة في الارض وفساد
كبير
“Adapun orang-orang kafir, sebagian
mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu ( kaum muslimin)
tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Alloh Ta’ala itu, niscaya akan
terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS Al-Anfal:73)
يا أيها الذين أمنوا
لا تتخذوا عدوى وعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة وقد كفروا بماجاء كم من الحق
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah
kamu mengambil wali (pemimpin) dari musuh-Ku dan musuhmu, yang kamu menjatuhkan
rasa kasih sayang kepada mereka itu; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar
kepada kebenaran yang datang kepadamu” (QS Al-Mumtahanah:1)
يا أيها الذين أمنوا لا تتخذوا بطانة من دونكم لا يألونكم خبالا ودّزا
ما عنتّم قد بدت البغضاء من أفواههم وما تخفى صدورهم أكبر
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah
kamu mengambil teman kepercayaan orang-orang yang di luar kalanganmu, karena
mereka itu tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemadharatan bagi kamu.Mereka
menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka,
dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi” (QS Ali
Imran:118).
Lafadz بطانة berarti orang dekat yang dapat mengetahui urusan dalam, atau
pembantu terdekat atau tangan kanan. Dalam ayat ini, Alloh Ta’ala melarang
orang-orang mukmin menjadikan orang-orang munafik, orang-orang kafir sebagai
pembantu dekat/tangan kanan atau orang kepercayaan. Hal itu disebabkan karena
mereka lebih banyak menimbulkan madharat dan menjerumuskan orang-orang Islam
dalam bahaya dan kehancuran. Imam Bukhari dan An-Nasaiy meriwayatkan dari Abu
Sa’id bahwa Rasulullah saw bersabda:
مَا بَعَثَ الله مِنْ نَبِيٍّ وَلاَ اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيْفَةٍ
إِلاَّ كَانَتْ لَهُ بِطَانَتَانِ: بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْخَيْرِ وَتَحُضُّهُ
عَلَيْهِ , وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالسُّوْءِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ,
وَالْمَعْصُوْمُ مَنْ عَصَمَهُ الله
“Alloh tidak mengutus seorang Nabi dan
tidak juga mengangkat seorang khalifah pun melainkan ia memiliki dua orang
pembantu kepercayaan (orang terdekat/tangan kanan); yang pertama menyuruh dan
menekankan untuk berbuat baik. Dan yang kedua menyuruh untuk berbuat kejahatan.
Hanya orang yang dipelihara oleh Alloh sajalah yang selalu terhindar dari
kesalahan dan dosa” (HR Bukhari dan An-Nasaiy).
Dalam mengomentari ayat tersebut, Ibnu Katsir berkata:”Alloh Ta’ala melarang
hamba-hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan orang-orang munafik sebagai teman
kepercayaan. Yakni karena mereka akan membuka rahasia dan segala yang
tersembunyi untuk memusuhi orang-orang Islam. Dan orang-orang munafik itu
dengan segenap daya dan kekuatannya tidak henti-hentinya menimbulkan
kemudharatan bagi orang-orang yang beriman. Yakni selalu berusaha keras untuk
menjerumuskan umat Islam ke dalam bahaya dengan segala cara, serta melakukan
berbagai tipu muslihat yang dapat dilakukan.”
لا تجدوا قوما يؤمنون بالله واليوم الاخر يوادّون من حادّ الله ورسوله
“Engkau tidak akan mendapati suatu kaum
yang beriman kepada Alloh dan Hari Kiamat, saling berkasih-sayang dengan
orang-orang yang menentang Alloh dan Rasul-Nya.” (QS Al-Mujadalah:22)
يا أيها الذين أمنوا لا تتخذوا الذين اتخذوا دينكم هزوا ولعبا من
الذين أوتوا الكتاب من قبلكم والكفار أولياء. واتقوا الله إن كنتم مؤمنين
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil jadi pemimpin kamu, orang-orang yang membuat agamamu menjadi
buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi
Al-Kitab sebelum kamu, dan orang-orang kafir .Dan bertakwalah kepada Alloh jika
kamu benar-benar beriman.”(QS Al-Maidah :57)
Yang demikian itu merupakan peringatan agar kaum muslimin tidak berlindung
kepada musuh-musuh Islam dan sekutunya dari kalangan Ahlul Kitab (Yahudi dan
Nasrani) dan kaum musyrikin yang menjadikan syariat Islam yang suci sebagai
bahan ejekan dan permainan menurut keyakinan dan pandangan mereka yang rusak
dan fikiran mereka yang beku.
Adapun meminta bantuan kepada orang kafir
dalam peperangan, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para
ulama. Madzhab Maliki berpendapat bahwa minta bantuan orang kafir dalam
peperangan tidak boleh, dengan mengambil dhahirnya ayat.Beliau beristidlal dari
hadits Aisyah ra :Bahwa ada seorang pria dari kaum musyrikin yang cukup berani,
datang kepada Nabi saw pada Perang Badar untuk minta idzin berperang bersama
beliau, lalu Nabi saw bersabda:Kembalilah, aku tidak akan minta bantuan kepada
orang musyrik. Sedangkan menurut Jumhur Ulama (Syafi’iyyah, Hanabilah dan
Hanafiyah) berpendapat bahwa minta bantuan kepada orang kafir dalam peperangan
itu dibolehkan dengan du syarat, yaitu (1).Jika sangat dibutuhkan, (2) Orang
tersebut harus dapat dipercaya. Mereka mengambil dalil dari perbuatan Nabi saw
yang pernah meminta bantuan kepada Yahudi Bani Qainuqa dan memberi bagian
ghanimah kepada mereka. Nabi saw juga pernah minta bantuan kepada Shafwan bin
Umayah dalam peperangan Hawazin.
Sedangkan meminta bantuan kepada
orang-orang kafir untuk menjadi tenaga administrasi bagi kepentingan umat
islam, sebagian ulama membolehkan selama tidak membahayakan umat Islam. Syekh
Ali Ash-Shabuni berkata:”Jika mengangkat orang kafir untuk urusan yang tidak
membawa madharat bagi kaum muslimin, sebagaimana tidak menyalahi
prinsip-prinsip agama, maka yang demikian itu dibolehkan. Tetapi jika membawa
madharat, maka sama sekali tidak diperbolehkan”.
لَنَبُشُّ فِي وُجُوْهِ قَوْمٍ وَقُلُوْبُنَا تَلْعَنُهُمْ
“Sungguh kami akan senyum di hadapan
wajah suatu kaum, sedangkan hati kami melaknatnya.”
Berdasarkan beberapa ayat di atas, diharamkannya orang-orang yang beriman
mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang kafir, baik dari kalangan Ahlul
Kitab atau orang-orang musyrik, disebabkan oleh beberapa alasan;(1). Mereka (
orang-orang kafir itu) menjadikan syariat Islam sebagai bahan ejekan dan
permainan. (2). Mereka adalah orang-orang yang menentang Alloh Ta’ala dan
Rasul-Nya. (3).Mereka tidak henti-hentinya menimbulkan mudharat dan kerusakan
bagi umat Islam, kebencian yang ada dalam hati mereka, yang menyebabkan mereka
senantiasa menjerumuskan umat Islam dalam kehancuran. Mereka senang jika umat
Islam menemui bahaya dan kehancuran, sebaliknya sedih jika umat Islam menemukan
kejayaan. (4). Mereka ingkar terhadap kebenaran yang datangnya dari Alloh Ta’ala
mengenai akan datangnya Nabi dan Rasul akhir zaman yang diterangkan melalui
kitab-kitab-Nya. (5). Agar umat Islam tidak berada dibawah kendali kekuasaan
orang-orang kafir yang menentang dan tidak mengimani Alloh Ta’ala dan
Rasul-Nya.
ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا
“Dan sekali-kali Alloh tidak menjadikan
jalan orang-orang kafir menguasai orang-orang yang beriman." (QS
An-Nisa’:140)