RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT AHKAM
KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH SHOBUNI
Daftar Isi : Jilid 1
Muqaddimah
2. Pandangan Syari'at tentang sihir
3. Nasakh dalam Al Qur-an
4. Menghadap ke ka'bah dalam shalat
6. Hukum Menyembunyikan Ilmu Agama
7. Makanan yang Halal dan yang Haram
8. Hukum Qishash mengandung Kehidupan
9. Kewajiban Puasa bagi Kaum Muslimin
10. Perang dalam Islam
11. Menyempurnakan Haji dan Umrah
12. Perang di Bulan-bulan Haram
14. Mengawini wanita musyrikin
15. Menjauhi Istri pada Waktu Haidh
17. Syari'at Talak dalam Islam
18. Penyusuan
19. 'Iddatul Wafat
21. Bahaya Riba bagi Kehidupan Sosial
22. Larangan Mengangkat Pemimpin Orang Kafir
23. Wajib Haji
26. Perempuan-perempuan yang Haram Dikawini
27. cara-cara Mengatasi Syiqaq
28. Larangan Shalat Bagi Orang yang Sedang Mabuk dan Junub
29. Tindak Kriminal Pembunuhan dan Hukumnya Menurut Islam
30. Shalat Khauf (Shalat dalam Suasana Bahaya)
32. Beberapa Hukum tentang Wudhu' dan Tayamum
33. Hukuman Pencuri dan Penyamun
34. Denda Pembatalan Sumpah dan Haramnya Arak dan Judi
35. Kemakmuran Masjid
36. Orang Musyrik Dilarang Masuk Masjidil Haram
37. Hukum Pembagian Ghanimah Dalam islam
38. Lari dari Peperangan
39. Teknis Pembagian Ghanimah
40. Menyembelih Qurban Untuk Taqarrub kepada Allah
RANGKUMAN RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT
AHKAM
KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH
SHOBUNY (Jilid 1 nomor 18)
KETENTUAN TENTANG SEPERSUSUAN (Surah Al
Baqarah Ayat 233)
Ayat dan Terjemah
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ
لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا
وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ
ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ
مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ
تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ
مَاآتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusukan
anak-anaknya selama dua tahun penuuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna.
Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang
ma’ruf. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang
ibu menderita karena anaknya dan juga seorang ayah (menderita) karena anaknya.
Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih
dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa
atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak
ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut (ma’ruf).
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.” (Al-Baqarah:233)
Terjemah Kosakata
وَالْوَالِدَاتُ : Para Ibu, baik ibu kandung maupun bukan.
الْحَوْل :
Setahun. Adapun hitungannya adalah dimulai dari tanggal, bulan yang
sekarang sampai pada tanggal dan bulan
yang sama pada tahun berikautnya.
حَوْلَيْنِ : Dua
tahun penuh.
فِصَلًا :
Penyapihan. Disebut demikian karena sang anak dipisahkan dari susu ibunya, lalu
digantikan dengan berbagai asupan lainnya.
تَشَاوُرٍ :
mengeluarkan pikiran dan semacamnya atau bermusyawarah.
Qiraat
(لَاتُضَارَّ)
dibaca:
1)
Dengan merofa’kan huruf ra yang
bertasydid. Ini adalah bacaan Ibnu Katsir dan Abu Amr
2)
Dengan memfathahkan huruf ra’, sebagai bentuk nahi (larangan) huruf ra’
terakhir disukun karena jazm dan ra yang pertama disukun karena idgham sehingga
bertemulah dua sukun, maka sukun yang terakhir diubah menjadi harakat fathah
agar sessuai dengan huruf alif yang ada sebelum ra sebab alif dan fathah adalah
sejenis. Ini adalah bacaan para imam yang lain.
(مَاآتَيْتُمْ) dibaca (مَاأَتَيْتُمْ)
oleh Ibnu Katsir.
I’raab
(وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ)
ini adalah kalimat berita tapi bermakna perintah: “hendaknya mereka
menyusukan”. Maknanya sama seperti ayat (وَالمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ)
“hendaknya wanita yang ditalak menunggu”. Kalimat berita yang bermakna perintah
sering dijumpai dalam Bahasa Arab. (لِمَنْ أَرَادَ) huruf lam berkaitan dengan (يُرْضِعْنَ)
dan dengan begitu berarti ia manshuub, atau ia berkaitan dengan kata yang
dihapus yang berfungsi sebagai marfuu’, khabar mubtada’, taqdiirnya: (هذَ الَّذِيْ ذَكَرْنَا لِمَنْ أَرَادَ
أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَة).
(وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ)
taqdiirnya begini: (وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ الْوَلَدُ),
dan kata al-walad adalah naa’ibul fa’il dari kata al-mauluud. (لَا تُضَارَّ)
kalau huruf ra dibaca fathah, berarti laa berfungsi sebagai nahi (larangan) dan
kata tudhaarra dijazmkan olehnya, ia diberi harakat fathah sebab fathah adalah
harakat yang paling ringan. Adapun kalau huruf ra’ dibaca dhammah, berarti laa
berfungsi sebagai nafi (penyangkalan), tapi maksudnya adalah larangan, serupa
dengan firman-Nya, (فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ).
Fi’il (تَضَارَّ)
ini sendiri bias dikatakan mabni lil ma’luum atau mabni lil majhuul. (وَالِدَةٌ)
adalah faa’il bagi (تَضَارَّ),
yang mana bentuk aslinya adalah (تضارر)
huruf ra yang pertama berharakat kasrah dan disini di taqdiirkan adanya maf’uul
yang dihapus, taqdiirnya: (لاتضارر والدة بولدها أباه, ولا يضارر مولود له
بولده أمة).
(أَوْلَادَكُمْ)
yakni (لأولادكم):
harful jar dihapus sehingga fiil bergandengan dengan isim, maka isim menjadi manshuub.
(مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِ)
kata (آتى) menashaabkan dua maf’ul
sebab ia sebanding dengan kata (أعطى),
dan taqdiirnya begini: (آتيتموه المرأة),
yakni (أعطيتموه المرأة).
Balaghah
(وَلْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ)
susunan ini berbentuk berita tapi bermakna perintah, ia berfungsi untuk memberi
penekanan agar hal itu diwujudkan. Maka kalimat ini: “Hendaknya mereka
menyusukan”, sebagaimana telah kami terangkan diatas.
(أَنْ تَسْتَرْضِعُوْا أَوْلَادَكُمْ)
dalam susunan ini terdapat peringkasan kalimat dengan menghapus sebagian kata,
susunan aslinya begini: (تَسْتَرْضِعُوْا الْمَرَاضِعِ لِأَوْلَادَكُمْ).
Disini juga terdapat pengalihan dari pembicaraan tentang orang ketiga ke
pembicaraan dengan orang kedua, pembicaraan tentang orang ketiga terdapat dalam
firman-Nya (فَإِنْ أَرَادَ فِصَالًا).
Pengalihan pembicaraan ini bertujuan untuk menggugah perasaan para orang tua
terhadap anak-anak mereka.
Mufradat Lughawiyyah
(يُرْضِعْنَ)
yakni hendaknya mereka menyusukan (حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ)
haul artinya tahun, sedang kaamilaini adalah shifah mu’akkidah (sifat penegas).
(الْمَوْلُوْدِ لَهُ)
bapak (رِزْقُهُنَّ)
harus memberi makan (وَكِسْوَتُهُنَّ)
dan pakaian kepada ibu atas imbalan penyusuan jika si ibu itu sudah ditalak. (بِالْمَعْرُوْفِ)
sebatas kemampuannya. (وُسْعَهَا)
kemampuannya, yaitu batas maksimal kemampuan seseorang: bagian selanjutnya dari
batas ini disebut “ketidakmampuan”, Taklif artinya pembebanan. ( لَاتُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا)
janganlah seseorang ibu menderita kesengsaraan gara-gara anaknya, misalnya si
ibu dipaksa menyusuinya apabila ia tidak mau. (وَلَامَوْلُوْدٌ لَهُ بِوَلَدِهِ)
dan juga seorang ayah jangan sampai menderita kesengsaraan gara-gara anaknya,
misalnya ia dibebani sesuatu diluar batas kemampuannya. Idhaafah (penyandaran)
kata walad (anak) kepada ibu dan bapak di kedua tempat tersebut berfungsi untuk
membangkitkan rasa kasih mereka kepadanya. Kata al-mudhaarrah (saling memberi
kesengsaraan) menuntut adanya tindakan dari kedua pihak, dengan kata lain,
kedua orang tua saling menyengsarakan. Ini menunjukkan bahwa menyengsarakan
pasangan hidup berarti menyengsarakan diri sendiri, dan dampak penyengsaraan
ini akan menimpa anak. (وَعَلَى الْوَارِثِ)
pewaris ayah, yaitu si anak, (مِثْلُ ذَلِكَ)
yakni anak pun berkewajiban memberi nafkah dan pakaian dari hartanya jika ia
punya harta, kepada ibunya, serta tidak menyenegsarakannya, sama seperti
kewajiban ayahnya kepada ibunya. Artinya, biaya penyusuan si anak ditanggung
oleh harta anak ini kalau ia punya harta, kalau tidak biayanya ditanggung oleh
ashabahnya. Sebagian ulama berkata “maksud al-waarits disini adalah pewaris
anak itu (yang akan mewarisinya jika ia mati)”. Jadi, apabila anak itu tidak
punya harta, biaya penyusuan itu diambilkan dari orang yang akan mewarisinya
seandainya ia mati. Lafal ayat ini bisa diartikan untuk keedua makna diatas.
Makna yang pertama adalah pilihan Thabari, Zamakhsyari, dan lain-lain. Kalimat
(وَعَلَى الْوَارِثِ)
di’athafkan kepada firman-Nya (وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ)
sedang kalimat yang berada diantara dua penggal kalimat ini merupakan
penjelasan mengenai al-ma’ruuf ini, yang terhitung sebagai jumlah mu’taridhah
(kalimat selipan) yang disisipkan diantara ma’thuuf dan ma’thuuf ‘alaih. Dengan
demikian, makna firman ini begini: “pewaris ayah punya kewajiban yang sama
dengannya, yaitu memberi nafkah dan pakaian”. Artinya, jika ayah meninggal,
orang yang mewarisinya harus menggantikan tugasnya dalam memberi nafkah dan
pakaian kepada ibu anak itu dengan cara yang baik dan tidak memberi
kesengsaraan.
(فَإِنْ أَرَادَا)
jika kedua orang tua ingin. (فِصَالًا)
menyapih anaknya sebelum genap dua tahun. “Menyapih”, dalam Bahasa Arab,
disebut fishaal karena proses ini memisahkan anak dari ibunya sehingga anak
bisa makan sendiri tanpa bantuan ibu. (عَنْ تَرَاضٍ)
kesepakatan diantara mereka berdua. (وَتَشَاوُرٍ)
musyawarah diantara mereka tentang hal yang mewujudkan maslahat si anak.
Tasyawur, musyawarah, dan masyuurah artinya upaya untuk mendapatkan pendapat
dari orang-orang yang sedang bermusyawarah. (وَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا) tiada dosa atas mereka.
(أَنْ
تَسْتَرْضِعَوْا أَوْلَادَكُمْ)
menyusukan anak kepada wanita lain selain ibu. (مَا آتَيْتُمْ) kalian serahkan upah yang ingin kalian
berikan kepada mereka. (بِالْمَعْرُوْفِ)
dengan cara yang baik dan dengan kelapangan hati.
Tafsir Ayat
Kata (الْوَالِدَات)
al-wâlidât dalam penggunaan al-Qur`an berbeda dengan ((أمهات
ummahât yang merupakan bentuk jamak dari kata (أمّ)
umm. Kata ummahât digunakan untuk menunjuk kepada para ibu kandung, sedang kata
al-wâlidât memiliki makna para ibu, baik ibu kandung maupun bukan. Ayat ini
menunjukkan jika Al-Qur`an sejak dini telah menggariskan bahwa air susu ibu
(ASI), baik ibu kandung maupun bukan adalah makanan terbaik buat bayi hingga
usia dua tahun. Namun demikian air susu Ibu kandung lebih baik dari pada
selainnya. Dengan menyusu pada Ibu kandung, anak akan merasa lebih tentram,
sebab menurut penelitian ilmuan, ketika itu bayi mendengar suara detak jantung
ibu yang telah dikenalnya secara khusuk sejak dalam perut.
Sejak kelahiran hingga dua tahun, para
ibu diperintahkan untuk menyusukan anak-anaknya. Dua tahun merupakan batas
maksimal dari kesempurnaan penyusuan. Di sisi lain, bilangan itu juga
mengisyaratkan bahwa yang menyusu setelah usia tersebut bukanlah penyusuan yang
mempunyai dampak hukum yang mengakibatkan anak yang disusui berstatus sama
dalam sejumlah hal dengan anak kandung yang menyusunya. Adapun penyusuan selama
dua tahun itu sendiri walaupun diperintahkan bukanlah kewajiban. Ini dipahami
dari penggalan ayat yang menyatakan bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.
Namun demikian, ia adalah anjuran yang sangat ditekankan, seakan akan ia adalah
perintah yang wajib.
Menurut riwayat Ali bin Abi Thalhah dari
Ibnu Abbas seperti yang dikutip oleh Ath-Thabari bahwa ayat ini sebagai dalil
tentang batas masa penyapihan anak jika kedua orang tuanya berselisih, dan
tidak diharamkan penyapihan setelah dua tahun, dan batas penyusuan selama dua tahun penuh
tersebut diperuntukkan bagi semua anak baik yang terlahir dengan usia kandungan
enam bulan, tujuh bulan atau sembilan bulan.
Imam Al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya
bahwa menyusui dalam jangka waktu dua tahun itu bukanlah sesuatu yang fiks.
Namun boleh saja menyapih kurang dari jangka waktu dua tahun itu. Hanya saja,
ini sebagai batas alternatif untuk mencegah terjadinya perselisihan antara
suami dan istri dalam hal menyusui.
Selanjutnya terkait ayat merupakan
kewajiban atas yang dilahirkan untuknya memberi makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara yang makruf dijelaskan sebagai kewajiban para ayah untuk
memberikan nafkah kepada para ibu yang diceraikan secara ba’in, bukan raj’iy
yaitu berupa sesuatu yang mengenyangkan dan pakaian dengan cara yang makruf
yakni sesuai dengan tradisi yang berkembang di tempat dimana perempuan itu
tinggal, tanpa berlebih-lebihan (pemborosan) dan tidak pula dengan cara yang
bakhil serta memberi dengan kadar kemampuannya.
Adapun terkait diungkapkannya kata al
wâlid (ayah) sebagai orang yang wajib memberikan nafkah dan imbalan penyusuan
anaknya (jika istri menuntut)
menunjukkan jika anak itu membawa nama ayah, yang mana seakan-akan anak
lahir untuknya, karena nama ayah akan disandang oleh sang anak, yakni dinisbahkan
kepada ayahnya. Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya melarang adanya kemudharatan baik yang
dialami oleh seorang ibu maupun ayahnya karena hadirnya seorang anak yakni
jangan sampai ayah mengurangi hak yang wajar bagi seorang ibu dalam pemberian
nafkah dan penyediaan pakaian karena mengandalkan kasih sayang ibu kepada
anaknya dan juga ayah tidak diperkenankan menyusukan anak kepada orang lain,
sementara ibunya sendiri bersedia menyusui anaknya.
Sebagimana juga tidak boleh anak itu
ditarik dari ibunya hanya semata-mata karena alasan ingin menyengsarakan
ibunya, maka hadirnya anak tidak diperbolehkan untuk dijadikan sebagai alat
untuk menyusahkan suaminya. Dan juga seorang ayah menderita karena ibu menuntut
sesuatu di atas kemampuan sang ayah dengan dalih kebutuhan anak yang
disusuinya. Adapun tuntutan lainnya bisa berupa larangan ibu kepada ayahnya
untuk melihat anaknya dan bermain dengannya. Dengan tuntunan ini, maka anak
yang dilahirkan mendapat jaminan pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa dengan
baik.
Ayat selanjutnya berbicara tentang waris,
yaitu Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula, yakni jika si ayah tidak
ada, baik karena hilang ataupun telah meninggal dunia, maka yang berkewajiban
melakukan tugas si ayah adalah ahli warisnya untuk memenuhi kebutuhan ibu sang
anak agar ia dapat melaksanakan penyusuan dan pemeliharaan anak itu dengan
baik. Adapun yang dimaksud dengan para waris adalah yang mewarisi sang ayah,
yakni anak yang disusukan. Dalam artian warisan yang menjadi hak untuk anak
dari ayahnya yang meninggal digunakan antara lain untuk biaya penyusuan bahkan
makan dan minum ibu yang menyusuinya. Ada juga yang berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan para waris ialah para ibu yang menyusuinya itu.
Pembatasan menyusui selama dua tahun
sepenuhnya dimaksudkan untuk menjaga kemaslahatan anak dan mencegah bahayanya.
Jika kedua orang tuanya telah bermusyawarah dan bersepakat untuk menghentikan
penyusuan (menyapihnya) sebelum usia dua tahun maka hal tersebut tidaklah
mengapa, karena kedua orang tuanyalah yang bertanggung jawab untuk mengasuh dan
mendidiknya, sehingga mereka berhak menentukan yang terbaik bagi anaknya. Pada
prinsipnya adalah bahwa tindakan menyapih ini diambil setelah ,elihat ada
manfaatnya bagi anak dan tidak berbahaya baginya.
Terdapat tiga tingkat penyusuan yang
dapat dipahami, pertama, tingkat
sempurna yakni dua tahun atau tiga puluh bulan kurang masa kandungan; kedua,
masa cukup, yaitu yang kurang dari masa sempurna; ketiga masa yang tidak cukup
atau kurang dan ini yang dapat mengakibatkan dosa, yaitu yang enggan menyusui
anaknya. Karena itu, bagi yang tidak mencapai tingkat cukup, baik dengan alasan
yang dapat dibenarkan, misalnya karena sakit maupun alasan yang dapat
menimbulkan kecaman, misalnya karena ibu meminta bayaran yang tidak wajar maka
ayah harus mencari seseorang yang dapat menyusu anaknya. Inilah yang dipesankan
oleh lanjutan ayat di atas.
Apabila sang ayah menghendaki agar anak
disusukan oleh orang selain ibunya disebabkan ketidaktersediaan ibu untuk menyusui
atau keadaan lemahnya sang ibu maka tidak ada dosa, akan tetapi dengan syarat
membayarkan upah kepada wanita yang menyusuinya dengan bayaran yang disepakati
agar mereka dapat menjaga kesehatan dan gizinya demi kepentingan si bayi agar
tetap mendapatkan ASI yang bergizi dan bermutu sehingga pada akhirnya hal ini
juga akan memberikan maslahat kepada si ayah karena anaknya tetap sehat dan
mendapat gizi yang baik.
Firman-Nya tidak ada dosa bagi kamu yakni
bagi ayah memberi kesan bahwa boleh jadi ibu yang enggan menyusukan memikul
dosa karena ketika itu air susu yang dimilikinya akan mubadzir dan kasih sayang
kepada anak yang tidak dimiliki sepenuhnya, kecuali oleh ibu tidak
difungsikannya.
Takutlah kepada Allah dan jangan
mengabaikan hukum-hukumNya, sebab di dalamnya terkandung hikmah yang besar
terutama untuk kemaslahatan anak-anak. Jika hak-haka anak telah ditunaikan
dengan baik dan hal-hal yang akan mendatangkan bahaya telah dijauhi, maka anak
akan tumbuh dengan sehat dan menyenangkan hati, tetapi jika hanya mengikuti
hawa nafsu dan saling mencelakakan maka akibatnya si anaklah yang akan menjadi
korban dan kelak mereka akan menjadi penyebab malapetaka bagi orang tuanya. Dan
sesungguhnya Allah maha mengetahui segala perbuatan kita.
Sebab Turunnya Ayat
Pada ayat ini menjelaskan tentang hukum
radha'ah, yang mana mempunyai hubungan sangat erat dengan ayat sebelumnya,
karena ayat sebelumnya menjelaskan tentang nikah, thalaq serta hal lain yang
berkaitan dengan hukum keluarga (pernikahan).
Sebagai akibat dari perilaku thalaq, maka
tidak sedikit seorang istri merasa sakit hati dan ingin melampiaskan dendam.
Pelampiasan ini mereka lakukan dengan cara bersikap acuh kepada anak mereka
yang masih kecil bahkan sampai tidak mau untuk memberikan air susu ibu yang sangat
dibutuhkan oleh anak bayinya.
Oleh sebab itulah ayat ini diturunkan
sebagai peringatan untuk perempuan-perempuan yang ditalak untuk tetap
memberikan perhatian dan kasih sayang dengan sepenuh hati dan kerelaan kepada
anaknya.
Kesimpulan Hukum
Ayat ini menunjukkan bahwa wanita yang
ditalak, yang punya anak dari suaminya,
lebih berhak untuk menyusui anak
itu daripada wanita lain karena si ibu pasti lebih sayang kepada anaknya
sendiri dan perampasan anak kecil dari asuhan ibnya berdampak negatif bagi
keduanya. Ini menunjukkan bahwa meskipun anak sudah disapih, ibunya lebih
berhak untuk mengasuhnya karena ia tentu lebih menyayanginya dibandingkan
dengan orang lain, asalkan ia belum menikah dengan laki-laki lain. Para ulama
sepakat dalam hal ini. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW. Kepada seorang
perempuan, yang diriwayatkan Abu Daud dari Abdullah bin Amr:
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِيْ
“Kamu lebih berhak mengasuh anakmu selama
kamu belum menikah lagi“
Wanita yang sudah ditalak memang lebih berhak
menyusui dan mengasuh anaknya, dan istri (yang tidak dialak) juga lebih berhak
atas dua hal itu. Kandungan hukum yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah: 233
bahwa perintah menyusukan anak ditujukan kepada para walidat. Lafaz الولدات (al-walidat) memiliki dua maksud:
1. Allah telah mewajibkan kepada para
suami untuk menanggung rizki dan pakaian istrinya, dan seandainya yang dimaksud
disini adalah para istri yang tidak dithalaq maka dirasa tidak berguna perintah
wajib dalam ayat ini karena memang sudah seharusnya bagi suami menanggung rizki
dan pakaian istrinya.
2. Ditunjukkan kepada ibu yang masih
berstatus istri bai’ suaminya (tidak dithalaq), dengan alasan bahwa ibu yang
telah dithalaq itu tidak berhak memperoleh tanggungan pakaian, tetapi ia hanya
berhak memperoleh upah atas jasa menyusuinya. Pendapat ini dikemukakan oleh
Al-Wahidy dan Al-Qurthubi. Menurut Al-Qadhi Abu Ya’la dab Abu Sulaiman
ad-Dimasyqi lafaz tersebut bersifat umum yang ditunjukkan kepada semua ibu-ibu
baik yang masih berstatus istri ataupun yang sudah dithalaq. Hal ini karena
lafaz tersebut sifatnya umum dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Terdapat beberapa pendapat terkait hukum
penyusuan sebagai berikut:
1. Mazhab Maliki berpendapat bahwa
menyusui adalah kewajiban bagi seorang ibu dalam kondisi: Pertama Jika si ibu
masih berstatus Istri atau tidak bercerai, kedua jika si bayi tidak mau menyusu
pada payudara lain selain milik ibu kandungnya, dan ketiga jika ayah si bayi
tidak ada baik karena hilang ataupun telah meninggal dunia.
2. Jumhur ulama berpendapat bahwa
penyusuan itu disunnahkan, kecuali jika dalam kondisi: pertama si bayi tidak
mau menyusu pada payudara lain selain milik ibu kandungnya, kedua si bapak
tidak mampu membayar jasa perempuan lain untuk menyusui anaknya, dan ketiga si
bapak mampu membayar jasa penyusuan tetapi tidak menemukan perempuan lain untuk
menyusui anaknya. Artinya, jika terdapat salah satu dari ketiga kondisi ini
maka si ibu berkewajiban menyusui anaknya dengan berdalil pada QS. Ath-Thalaq
ayat 6 “.. dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya”. Seandainya menyusui itu diwajibkan, maka
pastilah Allah akan membebankan kepada si ibu. Lebih jauh lagi jumhur ulama
mengatakan bahwa kewajiban menyusui itu bagi seorang ibu lebih merupakan
kewajiban secara moral kemanusiaan dan bukan kewajiban secara muthlak. Dengan
demikian, jika ketiga kondisi di atas tidak terpenuhi maka penyusuan itu
merupakan hak bagi seorang ibu, dimana diberikan kebebasan kepadanya untuk memilih
apakah mau melakukan atau tidak. Sedangkan bagi ibu yang di thalaq bain maka
tidak ada kewajiban baginya untuk menyusui anaknya, dan kewajiban tersebut
beralih kepada suaminya, kecuali jika si ibu bersedia menyusui anaknya dan
karena itulah ia berhak memperoleh upah yang pantas.
Kesimpulan
Ayat ini menunjukkan jika Al-Qur`an sejak
dini telah menggariskan bahwa air susu ibu (ASI), baik ibu kandung maupun bukan
adalah makanan terbaik buat bayi hingga usia dua tahun. Namun demikian air susu
Ibu kandung lebih baik dari pada selainnya. Sejak kelahiran hingga dua tahun,
para ibu diperintahkan untuk menyusukan anak-anaknya. Adapun penyusuan selama
dua tahun itu sendiri walaupun diperintahkan bukanlah kewajiban. Ini dipahami
dari penggalan ayat yang menyatakan “Bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”.
Namun demikian, ia adalah anjuran yang sangat ditekankan, seakan akan ia adalah
perintah yang wajib. Ayah sebagai orang yang wajib memberikan nafkah dan
imbalan penyusuan anaknya (jika istri menuntut)
menunjukkan jika anak itu membawa nama ayah, yang mana seakan-akan anak
lahir untuknya, karena nama ayah akan disandang oleh sang anak, yakni
dinisbahkan kepada ayahnya. Sebagimana juga tidak boleh anak itu ditarik dari
ibunya hanya semata-mata karena alasan ingin menyengsarakan ibunya, maka
hadirnya anak tidak diperbolehkan untuk dijadikan sebagai alat untuk
menyusahkan suaminya. Ayat selanjutnya berbicara tentang waris, yaitu Ahli
waris pun (berkewajiban) seperti itu pula, yakni jika si ayah tidak ada, baik
karena hilang ataupun telah meninggal dunia, maka yang berkewajiban melakukan
tugas si ayah adalah ahli warisnya. Pembatasan menyusui selama dua tahun
sepenuhnya dimaksudkan untuk menjaga kemaslahatan anak dan mencegah bahayanya.
Jika kedua orang tuanya telah bermusyawarah dan bersepakat untuk menghentikan
penyusuan (menyapihnya) sebelum usia dua tahun maka hal tersebut tidaklah
mengapa. Takutlah kepada Allah dan jangan mengabaikan hukum-hukumNya, sebab di
dalamnya terkandung hikmah yang besar terutama untuk kemaslahatan anak-anak.
Sebagai akibat dari perilaku thalaq, maka
tidak sedikit seorang istri merasa sakit hati dan ingin melampiaskan dendam.
Pelampiasan ini mereka lakukan dengan cara bersikap acuh kepada anak mereka
yang masih kecil bahkan sampai tidak mau untuk memberikan Air Susu Ibu yang
sangat dibutuhkan oleh anak bayinya. Oleh sebab itulah ayat ini diturunkan
sebagai peringatan untuk perempuan-perempuan yang ditalak untuk tetap
memberikan perhatian dan kasih sayang dengan sepenuh hati dan kerelaan kepada
anaknya.
Kandungan hukum yang terkandung dalam Qs.
Al-Baqarah: 233 bahwa perintah menyusukan anak ditujukan kepada para walidat.
Lafaz الولدات (al-walidat) memiliki dua maksud yaitu Allah
telah mewajibkan kepada para suami untuk menanggung rizki dan pakaian istrinya,
dan ditunjukkan kepada ibu yang masih berstatus istri bai’ suaminya (tidak
dithalaq), dengan alasan bahwa ibu yang telah dithalaq itu tidak berhak
memperoleh tanggungan pakaian, tetapi ia hanya berhak memperoleh upah atas jasa
menyusuinya. Terdapat beberapa pendapat terkait hukum penyusuan yaitu Mazhab
Maliki berpendapat bahwa menyusui adalah kewajiban bagi seorang ibu dalam
kondisi: Pertama Jika si ibu masih berstatus Istri atau tidak bercerai, kedua
jika si bayi tidak mau menyusu pada payudara lain selain milik ibu kandungnya,
dan ketiga jika ayah si bayi tidak ada baik karena hilang ataupun telah
meninggal dunia. Dan jumhur ulama berpendapat bahwa penyusuan itu disunnahkan,
kecuali jika dalam kondisi: pertama si bayi tidak mau menyusu pada payudara
lain selain milik ibu kandungnya, kedua si bapak tidak mampu membayar jasa
perempuan lain untuk menyusui anaknya, dan ketiga si bapak mampu membayar jasa
penyusuan tetapi tidak menemukan perempuan lain untuk menyusui anaknya.