RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT AHKAM
KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH SHOBUNI
Daftar Isi : Jilid 2
1. Had dalam Syari'at Islam
2. Menuduh Zina Wanita yang Baik-Baik itu Dosa besar
3. Li'an Antara Suami dan Istri
4. Dibalik Peristiwa Fitnah
5. Tata Krama Masuk Rumah Orang Lain
6. Ayat-Ayat tentang Hijab dan Melihat Lain Jenis
7. Anjuran Kawin dan Menghindari Melacur
8. Minta Izin Masuk Kamar Orang Tua Pada Waktu-Waktu Tertentu
9. Makan Di Rumah Keluarga
10. Taat Kepada Kedua Orang Tua
11. Pengangkatan Anak (Adopsi) di Zaman Jahiliyah dan Islam
12. Warisan Untuk Dzawil Arham
13. Talak Sebelum Disentuh
14. Beberapa Hukum tentang Perkawinan Nabi saw.
15. Di Antara Tata Krama dalam Walimah
19. Kedudukan Hilah dalam Syari'at
20. Perang Dalam Islam
21. Membatalkan Amal yang Sedang dalam Pelaksanaan
23. Hukum Menyentuh Mushhaf Al Qur-an
24. Dhihar dan Kaffaratnya Dalam Islam
25. Berbicara dengan Rasulullah saw
26. Perkawinan Antar Agama
27. Shalat Jum'at dan Hukum-Hukumnya
28. Hukum-Hukum Talak
29. Hukum-Hukum Iddah
30. Membaca Al Qur-an
RANGKUMAN RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT
AHKAM
KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH
SHOBUNY
KAJIAN TENTANG AURAT PEREMPUAN QS. An-Nûr [24]: 30-31
(Jilid 2 nomor 6)
Teks Ayat
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟
فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا
يَصْنَعُونَ
Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat" (QS. An Nur: 30).
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ
أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ
مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوْ
نِسَآئِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيْرِ
أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفْلِ ٱلَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا۟
عَلَىٰ عَوْرَٰتِ ٱلنِّسَآءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا
يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ
ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah
mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung. (QS. An Nur:
31).
Tafsir Ayat
QS. An-Nûr [24]: 30
Setelah ayat sebelumnya berbicara mengenai
kunjungan ke rumah-rumah yang intinya adalah melarang melihat apa yang
dirahasiakan atau enggan dipertunjukkan oleh penghuni rumah, ayat ini kemudian
dilanjutkan dengan perintah memelihara pandangan dan kemaluan. Selanjutnya Thâhir Ibn „Asyûr menghubungkan ayat ini dengan ayat
sebelumnya yakni mengenai ketentuan memasuki
rumah, di sini
diuraikan etika yang
harus diperhatikan bila seseorang telah berada di dalam rumah, yakni
tidak mengarahkan seluruh pandangan
kepadanya dan membatasi
diri dalam pembicaraan
serta tidak mengarahkan
pandangan kepadanya kecuali pandangan yang sukar dihindari.
Ayat
ini merupakan perintah
kepada pria mukmin
untuk menahan sebagian pandangan
mereka, yakni tidak membukanya lebar-lebar untuk melihat segala sesuatu yang
terlarang, seperti aurat wanita, hal yang kurang baik untuk dilihat seperti
tempat-tempat yang memungkinkan dapat melengahkan. Di samping memelihara
pandangan, agar mereka juga memelihara secara utuh dan
sempurna kemaluannya sehingga sama sekali tidak menggunakannya kecuali
pada yang halal, tidak juga membiarkan kelihatan kecuali kepada siapa yang
boleh melihatnya, bahkan jika bisa agar tidak memperlihatkannya sama sekali
walaupun terhadap istri-istri mereka. Dengan demikian, mereka akan lebih suci
dan terhormat karena telah menutup rapat-rapat
salah satu pintu kedurhakaan yang besar yakni perzinaan.
QS. An-Nûr [24]: 31
Setelah perintah kepada lelaki mukmin,
selanjutnya perintah serupa ditujukan kepada wanita-wanita mukminah untuk
menahan pandangan dan memelihara kemaluannya. Di samping hal tersebut, wanita mukminah
juga dilarang untuk menampakkan perhiasannya, yakni bagian tubuh mereka yang
dapat merangsang laki-laki, kecuali yang biasa nampak atau kecuali yang terlihat tanpa maksud untuk ditampakkan,
seperti wajah dan talapak tangan. Menurut Ibn
„Athiyyah, pengecualian ini juga
termasuk karena adanya
darurat yang pasti
terjadi saat melakukan
gerakan, memperbaiki sesuatu, atau lainnya. Dengan demikian, jika
berdasarkan pada pandangan ini, maka
yang biasa nampak
pada perempuan akibat
darurat adalah sesuatu yang dimaafkan.
Al-Qurthubi kemudian mendukung pendapat Ibn
„Athiyyah dengan mengatakan bahwa pendapatnya adalah baik. Hanya saja ia
kembali menjelaskan bahwa karena wajah dan kedua telapak tangan itu biasa
terbuka saat menjalankan aktifitas biasa dan saat menunaikan ibadah, misalnya
saat salat dan haji, maka sepatutnya pengecualiaan ini kembali kepada keduanya.
Hal ini ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari „Âisyah
bahwa Asma‟ binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah dengan mengenakan pakaian
tipis. Melihat itu, Rasulullah berpaling darinya dan bersabda kepadanya, “Wahai
Asma‟, apabila seorang sudah haid, maka dia tidak pantas terlihat kecuali ini.”
Beliau lantas memberi isyarat ke wajah dan kedua telapak tangannya. Meskipun
hadis ini dhaif, namun lebih kuat daripada pendapatnya Ibn „Athiyyah di atas dalam hal kehati-hatian dan mencegah kerusakan
manusia.
Selain
perintah berkerudung, diperintahkan
juga untuk tidak menampakkan perhiasan, yakni keindahan
tubuh mereka kecuali kepada beberapa orang berikut ini:
1. Suami, karena
memang salah satu
tujuan perkawinan adalah menikmati hiasan itu.
2. Ayah, karena ayah sedemikian cinta
kepada anak-anaknya sehingga tidak
mungkin timbul berahi
kepada mereka bahkan
ayah selalu menjaga
kehormatan anak-anaknya.
3. Ayah suami, karena kasih sayangnya
kepada anaknya menghalangi mereka melakukan yang tidak senonoh kepada
menantu-menantunya.
4. Putra-putra mereka, karena anak
tidak memiliki berahi kepada ibunya. e.
Putra-putra suami, yakni
anak tiri, karena
mereka bagaikan anak apalagi rasa takutnya kepada ayah mereka
menghalangi mereka usil.
5. Saudara-saudara laki-laki,
putra-putra saudara laki-laki,
atau putra- putra saudara
perempuan, karena mereka itu bagaikan anak kandung sendiri.
6. Wanita-wanita, yakni mereka
yang beragama Islam. karena mereka wanita dan keislamannya menghalangi
mereka menceritakan rahasia tubuh wanita yang
dilihatnya kepada orang
lain. berbeda dengan wanita non muslim yang boleh jadi
mengungkap rahasia keindahan tubuh mereka.
7. Budak-budak yang dimiliki baik
lelaki maupun perempuan, atau yang perempuan
saja karena wibawa
tuannya akan menghalangi
mereka usil.
8. Pelayan-pelayan laki-laki
yang tidak mempunyai
keinginan, yakni berahi kepada
wanita, seperti orang tua atau anak-anak yang belum dewasa karena belum
mengerti tentang aurat-aurat wanita sehingga belum memahaminya.
Penggalan sebelumnya dalam ayat ini melarang
penampakan yang jelas, kini dilarangnya pula penampakan tersembunyi dengan
melakukan sesuatu yang dapat menarik perhatian kaum lelaki, misalnya dengan
menghentakkan kaki bagi yang memakai gelang kaki atau hiasan lainnya agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan yakni anggota tubuh mereka akibat
suara yang lahir dari cara berjalan mereka, yang pada akhirnya dapat
merangsang.
Demikian
juga janganlah mereka
memakai wewangian yang
dapat merangsang siapa saja yang ada di sekitarnya.
Simpulan Hukum
Hukum Menutup Aurat
Pada ayat-ayat yang telah disebutkan,
ditemukan bahwa semuanya berbentuk amr (perintah) dan nahi (larangan) yang
menurut ilmu ushûl al-fiqh akan dapat menghasilkan hukum wâjib „ain ta‟abbudi, yakni
suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim tanpa harus bertanya
alasannya. Meski demikian, apabila diteliti
lebih lanjut, kewajiban menutup aurat ini ada hubungannya dengan kewajiban lain
yang Allah perintahkan demi kemaslahatan manusia, berikut penjelasannya:
a. Menutup aurat
itu merupakan faktor
penunjang dari kewajiban menahan pandangan sebagaimana
diperintahkan Allah dalam QS. An- Nûr [24]: 30-31.
b.
Menutup aurat sebagai faktor penunjang dari larangan berzina sebagaimana
QS. Al-Isrâ‟ [17]: 32
c.
Menutup aurat hukumnya
menjadi wajib karena
alasan sad adz-dzarâ‟i, yaitu menutup pintu kepada dosa
yang lebih besar.
Oleh karena alasan-alasan tersebut, para ulama
telah sepakat mengatakan bahwa menutup aurat merupakan kewajiban bagi perempuan
dan laki-laki dalam ajaran Islam. Khusus untuk perempuan, kewajiban ini
diwujudkan dengan mengenakan jilbab atau yang dikenal dengan busana muslimah.
Batas Aurat
Batas
aurat wanita berbeda-beda, perbedaannya tergantung dengan siapa seorang wanita
berhadapan. Secara umum
dapat diringkas sebagaimana berikut ini:
a. Aurat
wanita berhadapan dengan
Allah (salat), seluruh
tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.
b.
Aurat wanita berhadapan
dengan mahramnya, dalam
hal ini ulama berbeda pendapat:
1)
Asy-Syâfi‟iyyah berpendapat bahwa
aurat wanita
berhadapan dengan mahramnya adalah
antara pusar dan
lutut, sama dengan aurat kaum pria atau aurat wanita
berhadapan dengan wanita.
2)
Al-Mâlikiyyah dan Al-Hanâbilah berpendapat bahwa aurat wanita berhadapan
dengan mahramnya yang laki-laki adalah seluruh badannya kecuali muka,
kepala, leher, kedua tangan,
dan kedua kakinya.
3) Aurat
wanita berhadapan dengan bukan mahramnya. Dalam hal ini, ulama telah sepakat
bahwa selain wajah, kedua telapak tangan, dan kedua telapak kaki dari seluruh
badan wanita adalah aurat, tidak halal
dibuka jika berhadapan
dengan lelalki asing
berdasarkan firman Allah pada QS. Al-Ahzâb [33]: 59 dan QS. An-Nûr [24]: 31.33
Kriteria Busana Muslimah
Islam tidak menentukan model pakaian untuk
wanita. Islam sebagai agama yang sesuai untuk setiap masa dan berkembang di
setiap tempat, memberikan sebuah kebebasan seluas-luasnya untuk merancang mode
pakaian yang sesuai dengan selera masing-masing, asalkan saja tidak keluar dari
kriteria berikut ini:
a. Busana dapat menutup seluruh aurat
yang wajib ditutup.
b. Busana tidak merupakan pakaian untuk
dibanggakan atau busana yang menyolok mata.
c.
Busana yang tidak
transparan, hal ini
dimaksudkan agar kulit pemakainya tidak tampak dari luar.
d. Busana yang dipakai agar longgar dan
tidak ketat, hal ini agar tidak menampakkan bentuk tubuh.
e. Berbeda dengan pakaian khas pemeluk
agama lain.
f.
Busana muslimah tidak sama seperti pakaian lelaki, karena
Rasulullah melaknat laki-laki yang memakai pakaian perempuan dan perempuan yang
memakai pakaian laki-laki, begitu pula halnya dengan laki-laki yang meniru-niru
perempuan dan sebaliknya.
g.
Busana tidak merupakan
bentuk perhiasan kecantikan
sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nûr [24]: 31.34
Hikmah Menutup Aurat
Seorang mukmin wajib baginya untuk percaya
bahwa apa yang Allah perintahkan dan larang terhadap suatu perbuatan pasti
memiliki hikmah, termasuk perintah menutup aurat ini. Antara lain hikmah yang
dikandungnya adalah sebagai berikut:
a. Perempuan
yang menutup aurat
memiliki ganjaran yang
berlipat ganda karena dengan
menutup aurat, ia
telah menyelamatkan orang
lain dari berzina mata.
b. Busana muslimah adalah identitas seorang
muslimah. Dalam artian bahwa dengan memakainya, berarti ia telah menampakkan
identitas lahirnya yang sekaligus membedakan secara tegas dengan perempuan
lainnya. di samping hal itu, perempuan yang berbusana muslimah akan terlihat
sederhana dan penuh wibawa hingga membuat orang menaruh hormat padanya, segan
dan mengambil jarak antara perempuan dan laki-laki, sehingga godaan bisa
dicegah secara maksimal sebagaimana maksud firman Allah pada Qs. Al- Ahzâb
[33]: 59.
c. Busana
muslimah merupakan refleksi
dari psikologi berpakaian,
sebab menurut kaidah pokok ilmu jiwa, pakaian adalah cermin diri
seseorang. Maksudnya adalah, kepribadian seseorang dapat dibaca dari cara
berpakaiannya, seseorang yang
sederhana, yang bersikap
ekstrim, dan lainnya akan
dapat terbaca dari
cara ia berpakaian.
Perempuan yang terhormat jelas
tidak mau diganggu
dengan oleh orang
lain, biasanya perempuan
yang berbusana kurang sopanlah yang sering mengundang kerawanan dari terjadinya
hal-hal yang tidak diinginkan.
d. Busana
muslimah memiliki kaitan
dengan ilmu kesehatan
dan kimia. Menurut penelitian salah seorang dokter ahli kandungan kimia rambut, ia
berkesimpulan bahwa meskipun rambut memerlukan sedikit oksigen (O2), namun pada
dasarnya rambut itu memiliki phospor, kalsium, magnesium, pigmen, dan
kholestryl dengan palmitate yang membentuk kholestryl palmitate yang sangat
labil akibat radiasi,
sehingga rambut memerlukan
perlindungan yang dapat memberikan rasa
nyaman terhadap rambut dan kulit kepala. Dalam hal
inilah kerudung sebagai
bagian dari busana muslimah memberi andil yang besar.
e. Memakai
busana muslimah, ekonomis
dan dapat menghemat
anggaran belanja.
f.
Memakai busana muslimah dapat menghemat waktu.