RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT AHKAM
KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH SHOBUNI
Daftar Isi : Jilid 2
1. Had dalam Syari'at Islam
2. Menuduh Zina Wanita yang Baik-Baik itu Dosa besar
3. Li'an Antara Suami dan Istri
4. Dibalik Peristiwa Fitnah
5. Tata Krama Masuk Rumah Orang Lain
6. Ayat-Ayat tentang Hijab dan Melihat Lain Jenis
7. Anjuran Kawin dan Menghindari Melacur
8. Minta Izin Masuk Kamar Orang Tua Pada Waktu-Waktu Tertentu
9. Makan Di Rumah Keluarga
10. Taat Kepada Kedua Orang Tua
11. Pengangkatan Anak (Adopsi) di Zaman Jahiliyah dan Islam
12. Warisan Untuk Dzawil Arham
13. Talak Sebelum Disentuh
14. Beberapa Hukum tentang Perkawinan Nabi saw.
15. Di Antara Tata Krama dalam Walimah
19. Kedudukan Hilah dalam Syari'at
20. Perang Dalam Islam
21. Membatalkan Amal yang Sedang dalam Pelaksanaan
23. Hukum Menyentuh Mushhaf Al Qur-an
24. Dhihar dan Kaffaratnya Dalam Islam
25. Berbicara dengan Rasulullah saw
26. Perkawinan Antar Agama
27. Shalat Jum'at dan Hukum-Hukumnya
28. Hukum-Hukum Talak
29. Hukum-Hukum Iddah
30. Membaca Al Qur-an
RANGKUMAN RAWAI’UL BAYAN TAFSIR AYAT AHKAM
KARYA SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH SHOBUNY (Jilid 2 nomor 14)
ISTRI-ISTRI NABI SAW (Surah Al-Ahzab Ayat 50-52)
Surah
Al Ahzab ayat 50-52
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ إِنَّآ أَحْلَلْنَا لَكَ
أَزْوَٰجَكَ ٱلَّٰتِىٓ ءَاتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّآ
أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّٰتِكَ وَبَنَاتِ
خَالِكَ وَبَنَاتِ خَٰلَٰتِكَ ٱلَّٰتِى هَاجَرْنَ مَعَكَ وَٱمْرَأَةً مُّؤْمِنَةً
إِن وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِىِّ إِنْ أَرَادَ ٱلنَّبِىُّ أَن يَسْتَنكِحَهَا
خَالِصَةً لَّكَ مِن دُونِ ٱلْمُؤْمِنِينَ ۗ قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا
عَلَيْهِمْ فِىٓ أَزْوَٰجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُمْ لِكَيْلَا يَكُونَ
عَلَيْكَ حَرَجٌ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Hai
Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah
kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa
yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan
(demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak
perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara
laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut
hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi
kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua
orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada
mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya
tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS: Al Ahzab ayat 50)
تُرْجِى مَن تَشَآءُ مِنْهُنَّ وَتُـْٔوِىٓ إِلَيْكَ
مَن تَشَآءُ ۖ وَمَنِ ٱبْتَغَيْتَ مِمَّنْ عَزَلْتَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكَ ۚ
ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن تَقَرَّ أَعْيُنُهُنَّ وَلَا يَحْزَنَّ وَيَرْضَيْنَ بِمَآ
ءَاتَيْتَهُنَّ كُلُّهُنَّ ۚ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِى قُلُوبِكُمْ ۚ وَكَانَ
ٱللَّهُ عَلِيمًا حَلِيمًا
Kamu
boleh menangguhkan menggauli siapa yang kamu kehendaki di antara mereka
(isteri-isterimu) dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki. Dan
siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang
telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu. Yang demikian itu adalah lebih
dekat untuk ketenangan hati mereka, dan mereka tidak merasa sedih, dan semuanya
rela dengan apa yang telah kamu berikan kepada mereka. Dan Allah mengetahui apa
yang (tersimpan) dalam hatimu. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun. (QS: Al Ahzab ayat 51)
لَّا يَحِلُّ لَكَ ٱلنِّسَآءُ مِنۢ بَعْدُ وَلَآ أَن
تَبَدَّلَ بِهِنَّ مِنْ أَزْوَٰجٍ وَلَوْ أَعْجَبَكَ حُسْنُهُنَّ إِلَّا مَا
مَلَكَتْ يَمِينُكَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ رَّقِيبًا
Tidak
halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula)
mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya
menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan
adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu. (QS: Al Ahzab ayat 52)
Ayat ini sebagai bentuk legitimasi
syariat yang dikhususkan kepada nabi Muhammad SAW. Dan tidak bisa dilakukan
oleh selain Nabi. Hal ini sebagai bentuk penyebarluasan dan mempermudah ajaran
risalah Kenabian, serta penyampaian dakwah.
Nabi Muhammad hidup bersama Khadijah dalam
suka dan duka selama tujuh belas tahun sebelum kenabian dan sebelas tahun
setelahnya. Tidak terlintas dibenak beliau untuk menikahi wanita lain. Barulah
setelah Khadijah wafat nabi berpoligami. Terlepas dari tuduhan barat yang
menyatakan bahwa Nabi melakukan poligami hanya sebagai dorongan syahwat semata.
Allah swt. menghalalkan Nabi berpoligami
bukan tanpa maksud dan tujuan. Salah satunya terdapat beberapa hikmah poligami
Nabi. Syekh Muhammad Ali as-Shabuni menuturkan dalam karyanya Rawai’ul Bayan,
diantara hikmah poligami nabi SAW:
Pertama,
Hikmah Pendidikan. Tujuan pokok Nabi
adalah menjadikan para istri sebagai pengajar dan pendidik masalah keagamaan
khususnya bagi para penanya wanita. Mereka bertugas mengajarkan syari’at Allah
SWT karena wanita juga dibebankan kewajiban hukum sebagaimana laki-laki.
Sebagian wanita diantara mereka malu
untuk bertanya kepada nabi SAW perihal hukum syari’at berkaitan dengan
kewanitaan semisal haid, nifas, junub, perkawinan, dan hal lainnya. Bukan tanpa
alasan para wanita malu untuk bertanya kepada nabi, karena terkadang jawabannya
berkenaan dengan hal intim.
Demikian pula Nabi SAW memiliki sifat
pemalu, -Sebagaimana keterangan di beberapa literatur- bahwa beliau sangat
pemalu melebihi diamnya perawan. Ketika ditanya permasalahan hukum wanita, Nabi
tidak langsung menjawab pertanyaan dengan terang dan lugas. Terkadang Nabi
menjawabnya dengan sindiran, yang kebanyakan tidak banyak dipahami oleh
penanya. Salah satu contoh kejadian, Aisyah menceritakan suatu ketika ada
seorang wanita dari kaum Ansor bertanya kepada Nabi SAW tentang tata cara
bersuci dari haid, nabi menjelaskan bagaimana tatacaranya dengan menjawab
“Ambillah sepotong kapas, dan gunakan untuk menyucikannya”. Karena masih
bingung sang wanita tadi bertanya kepada nabi “ Bagaimana cara aku menggunakannya?”.
Nabi hanya menjawab “Ya, Bersucilah menggunakan sepotong kapas”. Belum puas dengan jawaban nabi, sang wanita
bertanya kembali “Ya Rasulallah, bagaimana cara aku menggunakannya? Kesekian
kalinya nabi menjawab “Masya Allah, Gunakan kapas itu untuk menyucikannya.”
Aisyah melihat kejadian tersebut menarik tangan sang wanita tadi dan
mengajarkan tata cara yang dimaksud nabi. Maka baru mengertilah sang wanita
tadi.
Di beberapa kesempatan, istri nabi
seperti Aisyah menjadi salah satu tempat bertanya tentang hukum agama semisal
haid, nifas, junub, dan hukum lainnya. Para istri nabi menjadi pendidik sejati.
Dari merekalah para wanita arab waktu itu bisa mengerti dan memahami agama.
Kemudian telah diketahui bersama bahwa
sunnah nabi bukannya hanya perkataan nabi saja, melainkan perkataan, perbuatan,
dan ketetapan nabi. Maka siapa lagi selain Ummahatul Mukminin yang memiliki
peran besar terhadap informan kehidupan dan keseharian Rasulullah terutama
ketika beliau berada di kediaman?
Kedua,
Hikmah ketetapan Syariat. Salah satu kebiasaan arab Jahiliyah
pada masanya adalah mengadopsi anak. Menurut ajaran nenek moyang mereka,
pengadopsian tersebut mengakibatkan hak-hak anak angkat sama dengan anak
kandung, seperti harta warisan, talak, perkawinan, kemahraman. Salah satu
hikmah poligami nabi adalah membatalkan hal yang menjadi kebiasaan arab
Jahiliyah tadi.
Suatu ketika Nabi Muhammad sebelum
diangkat menjadi utusan, beliau mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak.
Sehingga masyarakat Jahiliyah waktu itu menyebutnya Zaid bin Muhammad. Akan
tetapi nabi menegaskan dalam riwayat bukhari muslim “Engkau Zaid bin Haritsah
bin Syarahil”.
Kemudian Allah memerintahkan kepada nabi
untuk mengawinkan Zaid kepada Zainab yang tidak lain putri pamannya. Akan
tetapi durasi perkawinan mereka tidak lama. Setelah mereka talak, nabi
diperintahkan oleh Allah mengawini Zainab. Kejadian tersebut menjadi buah
pembicaraan masyarakat Jahiliyah dikarenakan mengawini istri anaknya.
Perkawinan Nabi tersebut sebagai bantahan terhadap ajaran agama nenek moyang
masyarakat Jahiliyah yang menyamakan konsekuensi hukum anak angkat dengan anak
kandung.
Ketiga,
Hikmah Sosial. Nabi SAW Memperistri dua
putri sahabatnya: Aisyah binti abu Bakar dan Hafsah binti Umar. Selain itu juga
Nabi menikahi beberapa keturunan Quraisy agar mempererat ikatan kekabilahan dan
memperkuatnya.
Nabi Muhammad tidak pernah memberikan
penghargaan selama hidupnya yang lebih besar dari menjadikan putri abu Bakar
dan Umar sebagai istrinya. Tentunya hubungan kemertuaan dan kekerabatan ini
memiliki implikasi besar bagi perjuangan Islam.
Senada dengan membangun relasi
kekerabatan terhadap Abu Bakar dan Umar,
nabi juga memuliakan Utsman dan Ali dengan cara menikahkan keduanya
dengan putri Nabi.
Keempat,
Hikmah Politik. Pernikahan nabi dengan
sebagian istrinya adalah upaya pelunakan hati mereka untuk masuk Islam, dan
menyatukan kabilah di kawasan. Karena jika dari satu kabilah menikahi perempuan
kabilah lain maka akan membangun relasi kekerabatan yang membuatnya berada di
bawah pengawasan dan perlindungan dua kabilah sekaligus.
Juwairiyah adalah putri Haris bin Abi
Dhirar kepala suku Musthaliq yang kebetulan menjadi tahanan perang bersama
kabilah dan keluarganya. Maka, semua tawanan perang bersama suku Musthaliq
berada di bawah kendali Rasulullah. Nabi memerintahkan sahabat untuk berbuat
baik dan lemah lembut kepada para tawanan perang.
Kemudian Juawairiyah berkeinginan
membebaskan diri dengan menyerahkan tebusan uang. Akan tetapi nabi menawarkan
pengembalian uang tebusan tersebut dan berkehendak untuk mengawininya. Dan
Juawairyah menerima tawaran nabi untuk menjadikan dirinya sebagai Istri. Maka
semua tawanan perang dari suku Mushtaliq dibebaskan dengan cuma-cuma karena
secara otomatis menjadi keluarga nabi. Melihat peristiwa tersebut semua suku
Mushthaliq masuk Islam dan mereka menjadi orang yang beriman.
Perkawinan nabi menjadi keberkahan bagi
suku Musthaliq dan keluarga Juawairiyah, karena menjadi penyebab mereka bebas
dari tahanan dan memeluk Islam.
Akhirnya, pernikahan nabi bukanlah
semata-mata hasrat nafsu birahi, akan tetapi adalah titah Allah SWT sebagai
sarana dakwah yang menjunjung tinggi agama-Nya dan gerakan humanisme yang
memperjuangkan martabat serta hak-hak wanita saat itu.