Terjemah Kitab Minhajul Abidin
B. Takwa, Senjata Melawan Godaan Setan
dan Nafsu
Jika Anda berkata: “Kalau begitu sekarang
terangkan arti ketakwaan agar kami bisa mengetahuinya.”
Mula-mula sebaiknya Anda mengetahui bahwa
takwa adalah tempat menyimpan harta-harta yang sangat indah. Dan bila Anda
mendapatkanya maka pasti akan menemukan berbagai permata yang amat mulia dan
barang-barang yang sangat elok, banyak kebaikan, rezeki yang mulia, keuntungan
yang sangat besar, keberuntungan yang mulia, dan istana yang megah. Seolah-olah
semua kebaikan dunia dan akhirat dijadikan satu dan kesemuanya itu digantungkan
kepada satu hal, yakni takwa.
Renungkan juga firman Allah di dalam
Al-Qur’an yang membicarakan tentang takwa. Berapa banyak kebaikan yang Ia
gantungkan padanya. Berapa banyak janji pahala dan ancaman siksa yang
digantungkan padanya. Berapa banyak keberuntungan yang Dia sandarkan padanya.
Di sini kami akan menyebutkan dua
belas hal tentang itu.
Pertama, pujian dan sanjungan.
Allah berfirman:
Artinya: “Apabila kamu sekalian bersabar
dan bertakwa, maka sesungguhnya hal itu termasuk bagian dari urusan yang
diutamakan.” (Q.S. Ali Imran: 186)
Kedua, terpelihara dari musuh.
Firman Allah:
Artinya: “Dan jika kamu sekalian sabar
serta bertakwa maka tipudaya mereka sedikitpun tidak membahayakan mereka.”
(Q.S. Ali Imran: 120)
Ketiga, kekuatan dan pertolongan.
Firman Allah:
Artinya: “Sesungguhnya Allah nenyertai
orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. An-Nahl:
128)
Dan firman Allah:
Artinya: “Dan Allah Dzat yang mengasihi
orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Jaatsiyah: 19)
Keempat, selamat dari bahaya dan mendapat rezeki
halal.
Allah berfirman:
Artinya: “Barangsiapa bertakwa kepada
Allah, maka Allah akan menjadikan untuknya jalan keluar (dari kesulitan) dan
memberinya rezeki secara tidak disangka-sangka.” (Q.S. Ath-Thalaaq: 2-3)
Kelima, kebaikan dalam amal.
Allah berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman!
Bertakwalah kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar, niscaya
Allah akan memperbaiki amal-amal kalian.” (Q.S. Al-Ahzaab: 70-71)
Keenam, ampunan dari dosa-dosa.
Allah berfirman:
Artinya: “Dan dia akan mengampuni
dosa-dosa kalian. (Q.S. Al-Ahzab:71)
Ketujuh, kecintaan Allah.
Allah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang bertakwa. “(Q.S. At-Taubah: 4)
Kedelapan Diterima amalnya.
Allah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya
menerima (kurban) dari: orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Maidah: 27)
Kesembilan, kemuliaan.
Allah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang paling
mulia di antara kamu sekalian adalah orang yang paling bertakwa di antara
kalian. (Q.S. Al-Hujuraat: 13)
Kesepuluh, kabar gembira menjelang kematian.
Firman Allah:
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan
bertakwa, Mereka mendapat kabar gembira di dunia dan ahirat.”(Q.S. Yunus:
63-64)
Kesebelas, bebas dari api (neraka).
Firman Allah:
Artinya: “Kemudian kami selamatkan
orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Maryam: 72)
Dan firman Allah:
Artinya: “Dan ia (neraka) dijauhkan dari
orang-orang yang bertakwa.” (Q.S.Al-Lail: 17)
Kedua belas, abadi di dalam surga.
Artinya: “Surga itu disediakan bagi
orang-orang yang bertakwa.” (Q.S.Ali Imran: 133)
Inilah keterangan kebaikan dan
keberuntungan di dunia dan ahkirat yang digantungkan pada ketakwaan.
Karena itu, jangan lupa bagian Anda, hai
orang-orang yang jantan.
Dari semua ini yang khusus diberikan
kepada orang-orang yang bertakwa dalam kaitannya dengan ibadah ada tiga macam.
Taufik dan pertolongan yang pertama kali
khusus diberikan orang-orang yang bertakwa. Firman Allah:
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyertai
orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. At-Taubah: 76)Perbaikan amal dan
penyempurnaan kekurangan. Allah berfirman:
Artinya: “Niscaya Allah akan memperbaiki
amal-amal kalian.” (Q.S. Al-Ahzaab: 71)Diterima amalnya. Firman Allah:
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya
menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Maidah: 27)
Jadi, poros perputaran ibadah itu ada
tiga. Pertama taufik yang membuat Anda bisa mengerjakan amal. Kedua
memperbaiki kekurangan sampai betul-betul sempurna. Dan ketiga diterima
oleh Allah setelah amal itu menjadi sempurna.
Inilah tiga hal yang digunakan sebagai
sarana untuk merendahkan diri kepada Allah oleh para hamba. Mereka meminta
sebagai berikut: “Ya Tuhan kami! Berilah petunjuk agar kami taat kepada-Mu.
Sempurnakanlah kekurangan kami dan terimalah ketaatan ini dari kami.”
Tetapi sebenarnya Allah menjanjikan semua
itu bagi orang yang bertakwa, ia meminta ataupun tidak, pasti diberi. Karena
itu hendaknya Anda selalu bertakwa bila ingin bisa beribadah kepada Allah Swt.
Atau bahkan untuk meraih keuntungan dunia dan akhirat sekalipun.
Benar sekali ungkapan seorang penyair:
Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka
akan didatangkkan baginya sesuatu yang menguntungkan, Seorang ulama menggubah
syair sebagai berikut:
Tidak ada satupun yang mengikuti
seseorang ke dalam kuburnya selain ketakwaan dan amal saleh.” Ulama yang lain
bersyair:
Barangsiapa mengenal Allah dan tidak
merasa cukup dengan Mengenal-Nya,
berarti itulah orang uang celaka.
Seseorang tidak menjadi mulia karena
harta,
karena segala kemuliaan hanya dimiliki
oleh orang yang bertakwa. Kesulitan yang dirasakan seseorang saat menjalani
ketaatannya tidak akan mencelakakannya. Begitu juga apa yang ditemuinya.”
Seorang ulama menulis sebuah syair di atas kubur (nisan):
Tiada bekal selain ketakwaan, karena itu
ambillah ia sebagai bekal atau tinggalkanlah. hai nafsu!
Kemudian renungkanlah satu hal pokok,
yaitu seandainya Anda telah mengalami kepayahan sepanjang hidup untuk
beribadah, berjuang memerangi hawa nafsu dan bersusah payah hinpga berhasil
mendapatkan apa yang Anda idam-idamkan. Bukankah yang terpenting dalam hal ini
adalah “penerimaan?” Sementara Anda juga tahu bahwa Allah telah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya
menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Maaidah: 27)
Dengan begitu segala sesuatunya kembali
pada ketakwaan.
Karena hal itu pula Aisyah r.a. berkata:
“Rasulullah Saw. tidak pernah merasa kagum dengan sesuatu atau seorangpun di
dunia ini selain pada orang yang bertakwa.”
Diceritakan Qatadah. Beliau berkata: “Di
dalam kitab Taurat tertulis:
Artinya: “Wahai anak cucu Adam!
Bertakwalah kepada Allah dan tidurlah sesukamu.”
Aku pernah mendengar tentang “Amir bin
abdi Qais. Saat menjelang kematiannya, beliau menangis. Padahal sehari semalam
beliau melakukan salat seribu rakaat. Kemudian beliau mendatangi tempat tidur
seraya berkata: “Hai tempat kembali segala keburukan! Demi Allah aku sama
sekali tidak merasa rela kepadamu karena Allah, walaupun hanya sekejap.”
Suatu hari beliau menangis. Lalu ditanya:
“Apa yang membuat Anda menangis?”
Beliau berkata: “(Yang membuatku menangis
adalah) Firman Allah Swt.:
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya
menerima (kurban) dari – orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Maaidah: 27)
Setelah mengetahui semua itu, renungkan
pula satu hal penting lain yang menjdi inti dari beberapa pokok masalah, yaitu
apa yang pernah disebutkan bahwa salah seorang ulama berkata kepada gurunya:
“Berilah aku wasiat!” Gurunya menjawab: “Aku berpesan kepadamu dengan sesuatu
yang dipesankan oleh Allah kepada orang-orang terdahulu dan orang-orang yang
hidup kemudian. Allah berfirman:
Artinya: “Dan sungguh Kami telah
memerintahkan kepada orangorang yang telah diberi Al-Kitab sebelum kamu dan
juga kepadamu: ‘Bertakwalah kepada Allah”! (Q.S. An-Nisa’: 131)
Menurutku, bukankah Allah mengetahui
kebaikan seorang hamba lebih dari siapapun? Bukankah Dia juga Dzat yang memberi
nasehat, lebih pengasih dan lebih lembut kepadanya dibanding siapapun? Jika di
dunia ini ada suatu perbuatan yang lebih baik bagi seorang hamba, lebih banyak
mengumpulkan kebaikan, lebih besar pahalanya, lebih besar penghambaannya, lebih
mulia kedudukannya, lebih baik keadaannya dan lebih bermanfaat di akhirat
daripada ketakwaan ini, tentu Allah akan memerintahkan hamba-Nya dan berwasiat
kepada orang-orang pilihan-Nya dengan hal itu karena kesempurnaan
kebijaksanaanNya dan juga karena keluasan rahmat-Nya.
Ketika Allah berwasiat dengan satu
pekerjaan ini dan juga menyatukan orang-orang terdahulu dan orang-orang
kemudian dalam mengerjakannya dan Dia mencukupkan wasiat tersebut, maka Anda
pun menjadi tahu bahwa ketakwaan itulah puncak yang tidak boleh dilewatkan dan
juga tidak ada tujuan lain selain itu.
Sesungguhnya Allah benar-benar telah
mengumpulkan segala nasehat, tanda-tanda, petunjuk, peringatan, pendidikan,
pengajaran dan pembersihan dalam satu wasiat sesuai dengan kebijaksanaan dan
keluasan rahmat-Nya.
Anda juga tahu bahwa ketakwaan inilah
yang menyatukan dua kebaikan dunia dan akhirat, yang bisa memenuhi berbagai hal
penting dan mengantarkan seseorang ke puncak derajat kehambaan.
Alangkah indah syair berikut ini:
Ingatlah bahwa ketakwaan berarti
keagungan dan kemuliaan.
Dan kecintaanmu terhadap dunia itulah
kehinaan serta kemiskinan.
Tiada kekurangan pada seorang hamba yang
bertakwa
saat ia bersungguh-sungguh dengan
ketakwaannya walaupun ia menjadi tukang tenun atau tukang candhuk.”
Inilah pokok yang tidak perlu ditambah
lagi. Di dalamnya tercakup keterangan yang mencukupi bagi orang yang melihat
cahaya dan mendapat petunjuk. Juga orang yang mau mengamalkan dan menganggapnya
sudah cukup.
Hanya Allah yang menguasai taufik dengan
karunia-Nya. Jika Anda berkata: “Sungguh besar kedudukan takwa dan begitu besar
kebutuhan untuk mengetahui semua itu teramat mendesak. Oleh karena itu, mau
tidak mau sekarang ketakwaan itu harus diterangkan secara rinci.”
Ketahuilah bahwa hal itu memang pantas
dianggap besar kedudukannya, harus diusahakan dan perlu diketahui. Tapi Anda
juga harus tahu bahwa setiap hal yang penting dan besar, untuk menariknya harus
menggunakan banyak cara. Kesulitan yang harus dihadapi juga besar. Harus
bertekad kuat dan bersungguh-sungguh. Dengan begitu, seperti halnya ketinggian
derajat takwa dan juga kebesarannya, maka perjuangan untuk mencarinya, untuk
bisa memenuhi haknya, dan pertolongan untuk bisa mendapatkannya merupakan hal
besar. Sebab berbagai macam kemuliaan itu diukur dengan tingkat kesulitan. Dan
semua kelezatan diukur dengan ongkos yang dikeluarkan.
Allah berfirman:
Artinya: “Dan orang-orang yang berjuang
untuk mencari (keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
Jalan-jalan Kami.” (Q.S. Al-Ankabut: 69)
Dia-lah Dzat yang lemah lembut. Oleh
karenanya, dengar, ingat, dan patuhi keterangan tentang takwa ini dengan baik
sampai Anda mengetahuinya dan bersiap-siap untuk menjalaninya. Mohonlah
pertolongan kepada Allah Swt. sampai Anda bisa beramal dengan apa yang telah
Anda ketahui, karena segala sesuatunya berhubungan dengan pertolongan tersebut.
Hanya Allah yang menguasai taufik dan
hidayah dengan anugerah-Nya.
Mula-mula ketahuilah bahwa ketakwaan itu
menurut guru kami adalah membersihkan hati dari dosa yang belum pernah Anda
lakukan sebelumnya sampai Anda benar-benar berkeinginan kuat meninggalkannya
untuk menjaga antara Anda dengan kemaksiatan. Begitulah yang dikatakan guru
kami.
Pendapat ini keluar karena sesungguhnya
kata “taqwa” bila dilihat dari segi bahasa berasal dari kata dasar “waqwa”
dengan huruf depan berupa wawu, dan keluar dari kata “wiqaayah”. Perubahan
tasrifnya sebagai berikut: “waqa – yaqi – wiqaayatan – waqwan”. Kemudian huruf
wawu diganti menjadi ta’ seperti penggantian yang terjadi dalam kata “wuklaan”
menjadi “tuklaan” dan sebagainya, maka jadilah kata “taqwan”.
Jika seorang hamba telah berhasil menjaga
dirinya dari maksiat dengan adanya keinginan kuat dan ketetapan hati untuk
penar-benar meninggalkannya, maka hamba tersebut berhak disebut sebagai
“muttaqiy.”
Dengan begitu kata “taqwa” juga bisa
berarti membersihkan hati, keinginan kuat dan ketetapan di dalam hati.
Sedangkan di dalam Al-Qur’an kata “taqwa”
digunakan dengan tiga macam arti:
Pertama, digunakan dengan arti takut. Allah berfirman:
Artinya: “Dan hanya kepada-Ku (Allah)
hendaknya kamu bertakwa (merasa takut).” (Q.S. al-Baqarah: 41)
Firman Allah:
Artinya: “Dan peliharalah dirimu dari
(azab yang terjadi pada) hari yang pada saat itu kamu sekalian dikembalikan
kepada Allah.” (Q.S. al-Baqarah: 281)
Kedua, digunakan dengan arti patuh dan tunduk.
Allah berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman!
Bertakwalah kepada Allah dengan ketakwaan yang sebenar-benarnya.” (Q.S. Ali
Imran: 102)
Ibnu Abbas berkata: “Taatlah kepada allah
dengan taat yang sebenar-benarnya.”
Mujahid berkata: “Ayat-ayat ini menyimpan
arti bahwa sesungguhnya Allah harus selalu ditaati dan tidak didurhakai:
diingat dan tidak dilupakan, serta disyukuri dan tidak dikufuri.”
Ketiga, digunakan dengan arti membersihkan hati dari
dosa. Dan inilah arti takwa yang sebenarnya, bukan yang pertama dan kedua.
Tidakkah Anda melihat bahwa Allah berfirman:
Artinya: “Barangsiapa tant kepada Allah
dan Rasul-Nya, dan takut kepada Allah serta bertakwa kepada-Nya, maka mereka
itulah orangorang yang beruntung.” (Q.S. An-Nuur: 52)
Allah menyebutkan kata “taat”, “takut”,
dan baru menyebutkan kata “takwa”. Dengan begitu Anda menjadi tahu bahwa pada
hakekatnya arti “takwa” bukanlah ““taat” dan “takut’ melainkan “membersihkan
hati dari maksiat”.
Kemudian para ulama berkata bahwa
tingkatan takwa terbagi menjadi tiga:
1.Membersihkan diri dari syirik.
2.Membersihkan diri dari bid’ah.
3.Membersihkan diri dari cabang-cabang
maksiat.
Allah telah menyebutkan ketiganya di
dalam satu ayat, yakni firman:
Artinya: “Tiada dosa bagi orang-orang
yang beriman dan beramal saleh karena memakan makanan yang dahulu mereka makan
apabila mereka bertakwa, beriman dan mengerjakan amal saleh. Kemudian mereka
tetap bertakwa dan beriman. Lalu mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat
kebajikan.” (Q.S. Al-Maaidah: 93)
1. Membersihkan diri dari syirik. Yang menjadi bandingannya adalah
keimanan (pengesaan) kepada Allah.
Membersihkan diri dari bid’ah. Keimanan
yang disebut bersamanya adalah mengikuti langkah sunat dan langkah para ulama.
Membersihkan diri dari cabang-cabang
maksiat. Dalam tingkatan yang ketiga ini tidak ada pengakuan yang menjadi
bandingannya. Karena itu, ketakwaan ini harus diimbangi dengan ihsan, yaitu
taat dan istiqamah. Dengan begitu takwa yang ketiga ini menjadi tingkatan
orang-orang yang istiqamah dalam ketaatan mereka.
Ayat di atas mengumpulkan tiga tingkatan
takwa, yaitu tingkatan iman, sunat, dan istiqamah dalam ketaatan.
Inilah yang dikatakan oleh para ulama
mengenai arti kata takwa.
Aku juga menemukan takwa yang berarti
menjauhi kelebihan perkara halal.
Arti semacam ini terdapat dalam sebuah
hadis masyhur dari Nabi Saw. bahwasanya beliau bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang
bertakwa itu dikatakan sebagai ‘muttaqiin’ karena mereka meninggalkan hal-hal
yang tidak bermanfaat untuk menjaga diri dari hal-hal yang membahayakan.”
Kemudian aku lebih cenderung
menggabungkan antara pendapat-pendapat para ulama tadi dengan hadis di atas.
Maka terciptalah sebuah batasan yang lebih menyeluruh dan artian yang sempurna,
yaitu: “Ketakwaan adalah menjauhi segala yang dikhawatirkan bisa membahayakan
agama Anda.”
Bukankah orang yang sedang sakit dan
menghindari suatu pantangan disebut sebagai orang yang “berpantangan’” jika
sudah menjauhi semua yang membahayakan tubuhnya baik berupa makanan, minuman,
buah-buahan dan sebagainya?
Kemudian hal yang dikhawatirkan bisa
membahayakan agama ada dua macam:
Kemaksiatan dan sesuatu yang benar-benar
haram.
Kelebihan perkara halal.
Sibuk dengan kelebihan perkara halal dan
membiasakan diri dengannya bisa menarik pelakunya kepada sesuatu yang haram dan
kemaksiatan yang murni. Hal itu terjadi karena keburukan (kenakalan) nafsu dan
keinginannya yang sangat keterlaluan.
Barangsiapa ingin selamat dari bahaya
yang menimpa agamanya, hendaknya ia menjauhi hal yang mengkhawatirkan dan
kelebihan sesuatu yang halal untuk menjaga dirinya agar tidak terseret pada
sesuatu yang benar-benar haram, sesuai dengan apa segala yang tidak berguna
agar tidak terjerumus ke dalam sesuatu yang membahayakan.” Artinya, karena
mereka meninggalkan kelebihan sesuatu yang halal sebab takut terjerumus ke
dalam keharaman.
Jadi, arti ketakwaan yang sempurna adalah
menjauhi semua yang bisa membahayakan agama berupa kemaksiatan dan kelebihan
sesuatu yang halal.
Inilah rincian takwa yang sebenarnya.
Kemudian jika kita ingin membuat batasan
takwa menurut ilmu sirri, batasannya adalah membersihkan hati dari keburukan
yang belum pernah Anda lakukan sebelumnya dengan keinginan kuat untuk
meninggalkannya sehingga keinginan tersebut bisa menjadi penghalang antara Anda
dan segala keburukan.
Kemudian keburukan itu terbagi menjadi
dua:
Keburukan asli. Yaitu sesuatu yang dilarang oleh Allah
secara haram seperti halnya maksiat-maksiat yang murni,
Keburukan yang tidak asli, Yaitu sesuatu yang dilarang oleh Allah
sebagai upaya mendidik berupa kelebihan sesuatu yang halal, seperti hal-hal
mubah yang dilakukan karena keinginan nafsu.
Menjauhi keburukan yang pertama termasuk
fardu. Danjika ditinggalkan mengakibatkan siksa di neraka.
Adapun menjauhi keburukan yang kedua
termasuk kebaikan. Dan jika ditinggalkan mengakibatkan penahanan, pemeriksaan,
pencelaan dan pencemoohan.
Barangsiapa menjalani ketakwaan yang
pertama berarti ia menduduki kedudukan terendah dari takwa, yaitu kedudukan
orang-orang yang istiqamah menjalani kataatan. Sedangkan orang yang menjalani
ketakwaan kedua berarti ia menduduki kedudukan tertinggi dari takwa, yaitu
kedudukan orang yang istiqamah meninggalkan hal-hal mubah.
Bila sesorang telah mengumpulkan
keduanya, yakni menjauhi kemaksiatan dan kelebihan sesuatu yang halal berarti
ia telah menyempurnakan arti takwa, menjalaninya dengan benar (sesuai haknya)
dan mengumpulkan segala kebaikan di dalamnya. Takwa semacam ini dinamakan wara’
(kehati-hatian) yang sempurna, yang menjadi hal terpenting dari urusan agama.
Hal ini juga dinamakan adab (tatakrama) di hadapan Allah Swt.
Inilah arti takwa dan keterangan
globalnya. Pahamilah! Insya Allah Anda mendapat taufik.
Bila Anda berkata: “Kalau begitu sekarang
tolong terangkan untuk kami arti takwa dan cara penggunaannya sehubungan dengan
nafsu, karena kebutuhan untuk itu sudah muncul. Agar kami bisa mengetahui
bagaimana caranya mengendalikan nafsu dengan ketakwaan seperti yang telah Anda
terangkan rinciannya, yakni ketakwaan yang sebenarnya.
Menurutku (Al-Ghazali) memang harus
begitu. Adapun rincian takwa tersebut sehubungan dengan ibadah adalah sebagai
berikut:
(Langkah pertama) Anda harus menjaganya
dengan keinginan yang kuat agar bisa mencegahnya dari segala perbuatan maksiat
dan memeliharanya dari kelebihan sesuatu yang halal.
Kalau sudah begitu, berarti Anda telah
bertakwa kepada Allah dalam urusan mata, telinga, mulut, hati, perut, kemaluan
dan seluruh anggota badan serta mengendalikannya dengan kendali “takwa”.
Persoalan ini membutuhkan banyak sekali
penjelasan dan kami telah menerangkannya di dalam kitab “Ihya Ulumiddin”.
Sedangkan keterangan yang harus dijelaskan di dalam kitab ini adalah:
Barangsiapa ingin bertakwa kepada Allah,
hendaknya ia melihat kembali pada lima inderanya. Sebab lima anggota badan
inilah yang menjadi pokok permasalahan, yaitu mata, telinga, mulut, hati dan
perut.
Ia harus menjaganya dari segala sesuatu
yang membahayakan urusan agamanya seperti kemaksiatan, sesuatu yang haram,
berlebihan dan boros dengan sesuatu yang halal.
Jika seseorang telah berhasil menjaga
lima anggota badan ini berarti ia memiliki harapan anggota badan tersebut, maka
yang lain bisa selamat.
Ia juga telah berhasil menjalani
ketakwaan secara menyeluruh dengan semua anggota tubuhnya.
Sehubungan dengan hal ini tentunya
diperlukan lima pasal tentang rincian lima anggota badan tersebut serta membuat
beberapa pasal tentang apa yang diharamkan untuk masingmasing anggota badan
sekedar yang sesuai dengan kapasitas kitab (yang dibuat ringkas) ini.
Pasal Pertama: Mata
Hendaknya Anda senantiasa memelihara
mata, karena mata ini sering menjadi penyebab segala fitnah dan kerusakan.
Dalam hal ini aku akan menerangkan tiga pokok yang sekira bisa mencukupi.
Firman Allah
Artinya: “Katakanlah kepada laki-laki
yang beriman! Hendaklah mereka menahan pandangan dan menjaga kemaluan mereka.
Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka perbuat.” (Q.S. An-Nuur: 30)
Meskipun ayat ini pendek, setelah
direnungkan ternyata menyimpan tiga arti yang mulia yaitu: Mendidik kesopanan
(tata krama), peringatan dan menakut-nakuti. Arti yang mendidik kesopanan
yaitu:
Artinya: “Katakanlah kepada laki-laki
yang beriman! Hendaklah mereka menahan pandangan mereka.” (Q.S. An-Nuur: 30)
Seorang hamba harus mengikuti perintah
majikan dan bersikap sopan seperti diajarkan majikannya. Jika tidak, maka ia
akan dianggap buruk budi pekertinya dan terhalang dari anugerah majikannya. Ia
juga tidak diperbolehkan menghadiri pertemuan dan bersenang-senang di hadapan
majikanya. Pahamilah keterangan ini dan renungkan apa yang tersirat darinya,
karena di dalamnya terdapat manfaat yang besar sekali. Yang berisi peringatan
adalah firman Allah:
Artinya: “Yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka.” (Q.S. . An-Nuur: 30)
Firman ini dipergunakan untuk dua arti.
Pertama, “yang demikian itu lebih
membersihkan hati mereka.”
Kata-kata “Az-zakat” berarti “bersih”.
Sedangkan “At-tazkiyat” berarti membersihkan.
Kedua, “yang demikian itu lebih
meningkatkan kebaikan mereka.”
Kata-kata Az-zakat pada dasarnya memiliki
arti “meningkat”.
Dengan begitu, di dalam ayat ini Allah
mengingatkan bahwa dalam menundukkan pandangan terdapat penyucian hati dan
memperbanyak (meningkatkan) ketaatan serta kebaikan. Hal itu terjadi karena
apabila Anda tidak menundukkan pandangan dan melepaskannya begitu saja, tentu
mata Anda akan memandang hal-hal yang tidak berguna. Kalau itu yang terjadi
bukan hal yang tidak mungkin pandangan Anda akan jatuh pada hal-hal haram. Bila
Anda dengan sengaja memandangnya maka hal itu merupakan dosa besar, dan kadang
hal yang terlihat itu melekat di hati Anda. Dengan begitu, Anda akan binasa
bila tidak diberi rahmat oleh Allah.
Telah diceritakan bahwa seorang hamba
memandang sesuatu hanya sekilas, akan tetapi hatinya menjadi rusak karena
sekilas pandangan tersebut seperti kulit yang dimasukkan ke dalam penyamakan,
dan tidak bisa di manfaatkan untuk selamanya.
Jika yang Anda lihat itu sesuatu yang
mubah, maka hati Anda akan menjadi sibuk. Lalu datanglah perasaan was-was dan
khawatir karenanya. Bisa jadi Anda tidak bisa menggapai apa yang Anda lihat
sehingga hati Anda tetap saja sibuk dan terputus dari kebaikan.
Seandainya Anda tidak melihat semua itu,
tentu Anda akan merasa nyaman dari semuanya.
Sehubungan dengan arti semacam ini,
dikisahkan bahwa Nabi Isa a.s. pernah berkata: “Hati-hatilah dengan
pandanganmu, karena pandangan tersebut menanamkan keinginan (syahwat) di
hatimu. Dan cukuplah hal itu sebagai fitnah bagimu.”
Dzun-Nuun Al-Mishri berkata: “Penghalang
terbaik untuk syahwat adalah memejamkan mata.”
Sungguh indah gubahan seorang penyair
berikut ini:
Bila suatu hari kau lepas pandanganmu
sebagai utusan hati, maka apa yang terlihat akan membuatmu payah.
Kau melihat sesuatu yang tidak semuanya
bisa kau raih. Dan engkaupun tidak sabar mendapatkan sebagian darinya.
Kalau begitu, sebaiknya Anda menahan
pandangan dan memelihara mata. Jangan melihat hal-hal yang tidak bermanfaat dan
sesuatu yang tidak penting, niscaya hati Anda akan bersih, lega dan nyaman dari
rasa was-was. Diri Anda juga selamat dari berbagai kerusakan. Dan kebaikan Anda
pun akan bertambah. Oleh karena itu, ingatlah keterangan yang menyeluruh ini.
Hanya Allah yang memberikan taufik dengan
anugerah dan kemuliaan-Nya.
Sedangkan yang memiliki arti
menakut-nakuti adalah firman Allah:
Artinya: “Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (Q.S. An-Nuur: 30)
Dia juga berfirman:
Artinya: “Dia Maha mengetahui (pandangan)
mata yang berkhianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (Q.S. Al-Mu’min:
19)
Ayat ini cukup sebagai teguran bagi orang
yang takut dengan kekuasaan Tuhannya. Dan ini merupakan dasar utama yang
berasal dari kitab Allah Swt.
Hadis Nabi Saw.:
Artinya: “Sesungguhnya memandang
keindahan seorang wanita bagaikan panah beracun dari Iblis. Barangsiapa
meninggalkannya akan dicicipkan rasa ibadah yang menyenangkannya.”
Temuan rasa manis beribadah dan lezatnya
bermunajat bagi para hamba merupakan suatu posisi tersendiri.
Hal ini telah diujicoba dan dibuktikan
oleh orang yang mengamalkannya. Sebab jika seseorang menahan pandangan dari
hal-hal yang tidak berguna, maka ia akan menemukan kelezatan beribadah dan
manisnya ketaatan. Hatinya juga merasakan kebeningan yang belum dia rasakan
sebelumnya.
Hendaknya Anda melihat setiap anggota
tubuh. Apa saja yang pantas dikerjakan, dan sebaiknya digunakan untuk apa.
Dengan begitu, Anda bisa menjaga dan memeliharanya.
Kaki digunakan untuk berjalan di taman
surga dan istanaistananya. Tangan digunakan untuk memegang gelas minuman dan
memetik buah-buahan (surga), dan seterusnya. Sedangkan mata hanya dipergunakan
untuk memandang Penguasa alam semesta. Maha Suci Allah. Tidak ada kemuliaan di
dunia dan akhirat yang lebih besar ketimbang memandang Penguasa alam semesta.
Jadi, sudah semestinya bila sesuatu yang
ditunggu-tunggu dan diharapkan seperti kemuliaan ini dijaga, dipelihara,
diagungkan dan dimuliakan.
Inilah tiga dalil pokok yang jika
benar-benar direnungkan dengan baik cukup sebagai bekal mengamalkan pasal ini.
Hanya Allah yang menguasai taufik. Dia-lah yang mencukupiku. Dan Dia-lah sebaik-baik
tempat berserah diri.
Pasal Kedua: Telinga
Hendaklah Anda memelihara pendengaran
dari omongan buruk dan tidak berguna. Hal itu harus dilakukan, karena adanya dua
hal:
Pertama, karena telah diceritakan bahwa orang yang
mendengarkan sama hukumnya dengan orang yang berbicara.
Dalam hal ini seorang penyair berkata:
Pilih jalan tengah di antara jalan yang
ada.
Hindari persimpangan yang meragukan.
Jagalah telingamu dari mendengarkan hal
buruk.
Seperti halnya menjaga mulut dari
mengucapkannya.
Sebab ingatlah! Jika kamu mendengarkan
hal buruk, maka kamu menjadi pasangan orang yang mengucapkannya.
Kedua, mendengarkan hal buruk bisa membangkitkan
berbagai gerak hati dan rasa was-was di dalamnya. Kemudian akan tampak
kesibukan pada diri Anda dan tak satupun anggota badan dibiarkan beribadah.
Kemudian ketahuilah bahwa ucapan yang
masuk ke dalam hati melalui pendengaran sama halnya dengan makanan yang masuk
ke dalam perut. Kadang berbahaya dan kadang juga bermanfaat. Ada yang menjadi
sumber energi dan ada yang menjadi racun. Bahkan ucapan yang telah menetap di
dalam hati pengaruhnya lebih kuat dibanding makanan. Sebab pengaruh makanan itu
bisa hilang dari perut dengan tidur dan sebagainya. Kadang pengaruhnya terasa
beberapa saat lalu menghilang. Ada juga penawar untuk menghilangkan pengaruhnya
dari tubuh seseorang. Akan tetapi kalau ucapan sudah masuk ke dalam hati,
terkadang bersemayam sepanjang hidupnya dan tidak dapat dilupakan. Jika ucapan
itu buruk maka tiada hentinya ia membuat payah dan tercela. Hal itu juga bisa
mendatangkan berbagai kekhawatiran dan rasa was-was di dalam hati sehingga ia
harus berpaling dan berusaha untuk tidak mengingatnya. Ia juga harus memohon
perlindungan kepada Allah dari keburukannya. Ia tidak akan terbebas dari
dorongan bebuat buruk sehingga yang terjadi adalah kerusakan besar-besaran
karenanya.
Jika Anda memelihara pendengaran dari
hal-hal yang tidak berguna, maka Anda akan merasa nyaman dari semua itu. Dan
hendaknya orang yang berakal merenungkan keterangan di atas.
Hanya Allah tempat memohon taufik.
Pasal Ketiga: Mulut
Hendaknya Anda memelihara mulut dan
mengendalikannya, karena ia adalah anggota tubuh yang paling sulit diatur,
durhaka, serta banyak menimbulkan kerusakan dan permusuhan.
Diceritakan dari Sufyan bin Abdullah.
Beliau berkata: “Aku bertanya (kepada Rasulullah), Wahai Rasulullah! Apa yang
paling banyak Anda khawatirkan padaku? Rasulullah memegang lisannya sendiri dan
berkata, “Ini.”
Diceitakan dari Yunus bin Abdullah.
Beliau berkata: “Sesungguhnya aku menemukan diriku sendiri mampu menahan derita
puasa saat panas yang teramat sangat di negeri Bashra dan tidak mampu menahan
satu ucapan yang tidak berguna.”
Karena itu, hendaklah Anda
bersungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kemampuan (untuk menjaganya).
Di sini kami akan menerangkan lima pokok
bahasan: 1. Apa yang diceritakan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa jika seorang
keturunan Adam memasuki waktu pagi, maka seluruh anggota tubuhnya bersegera
mendatangi mulut dan berkata kepadanya: “Kami memohon agar kamu bersumpah demi
Allah akan berbuat lurus. Sebab jika kamu lurus, maka kami pun akan berbuat
lurus. Tapi jika kamu bengkok (berbuat salah), maka kami pun akan bengkok.
Menurutku (Al-Ghazali) yang diinginkan
dari perkataan tersebut adalah (wallahu a’lamu): Ucapan mulut memberikan
pengaruh kepada seluruh anggota badan seseorang berupa taufik dan kehinaan.
Keterangan ini diperkuat dengan apa yang
diceritakan dari Malik bin Dinar bahwasanya beliau berkata: “Jika kamu melihat
kekerasan dalam hatimu, badanmu melemah dan rezekimu terhalang, maka ketahuilah
bahwa kamu telah mengucapkan sesuatu yang tiada berguna.”
Menjaga waktu. Kebanyakan hal yang
dibicarakan oleh seseorang bukanlah dzikir kepada Allah. Jadi, paling tidak hal
itu tidak berguna dan hanya membuang-buang waktu. loteng yang sedang dibangun
dan berkata: “Sejak kapan loteng ini mulai dibangun?” Beliau pun segera menegur
dirinya sendiri seraya berkata: “Hai nafsuku yang suka menipu! Kenapa kamu
menanyakan sesuatu yang tidak berguna untukmu?” Kemudian beliau menghukum dirinya
dengan puasa selama satu tahun. Beruntung sekali orang-orang yang memperhatikan
diri mereka. Alangkah celakanya orang-orang yang lalai, melepas kendali nafsu
dan mengumbarnya begitu saja.
Hanya Allah tempat memohon pertolongan.
Benar sekali ucapan seorang penyair di
bawah ini:
Abillah keuntungan dua rakaat di
kegelapan malam saat kamu santai dan beristirahat.
Bila kamu ingin berbicara yang tidak
berguna dalam hal-hal bathil, maka gunakanlah waktu itu untuk membaca tasbih.
Tetap diam lebih baik daripada berbicara
meskipun kamu orang yang pandai berbicara.
Menjaga amal saleh. Bila seseorang tidak
memelihara lisannya dan banyak berbicara, maka bukan tidak mungkin ia
terjerumus ke dalam pergunjingan mengenai orang lain, seperti ucapan seorang
ulama: “Barangsiapa banyak bicara, maka sering pula pembicaraannya
tergelincir.”
Menggunjing ibarat halilintar yang
merusak ketaatan, sebagaimana dikatakan: “Perumpamaan orang yang menggunjing
orang lain adalah memasang alat pelempar (sebangsa meriam). Ia melemparkan
kebaikan ke arah timur dan barat, ke kanan dan ke kiri.”
Aku telah mendengar bahwa Hasan Al-Bashri
pernah diberi tahu oleh seseorang: “Wahai Abu Said! Sungguh si fulan telah
menggunjing Anda.” Maka Hasan mengirimkan nampan berisi roti untuk orang (yeng
menggunjing) tersebut dan berkata: “Kudengar Anda menghadiahkan
kebaikan-kebaikan padaku. Karena itu, aku merasa senang bila bisa membalas
kebaikan Anda.”
Suatu saat ada gunjingan yang dikeluarkan
di hadapan Ibnul Mubarak. Maka beliau berkata: “Seandainya aku menggunjing
seseorang, tentu aku akan menggunjing ibuku, karena dialah yang lebih berhak
atas kebaikan-kebaikanku.”
Diceritakan bahwa suatu malam Hatim
Al-Asham tidak melakukan salat malam dan ditegur oleh isteri beliau. Beliau
menjawab: “Kemarin malam orang-orang melakukan salat malam. Paginya mereka
menggunjingku. Maka kelak di hari kiamat (pahala) salat-salat mereka akan
berpindah ke timbangan amalku.
Selamat dari bahaya dunia. Hal ini sesuai
dengan yang dikatakan oleh Sufyan Ats-Tsauri: “Jangan membicarakan sesuatu yang
bisa memecahkan gigimu.”
Ulama lain berkata: “Jangan mengumbar
mulut agar ibadahmu tidak hancur.”
Para ulama menggubah sebuah syair:
Pelihara mulutmu! Jangan sampai
mengucapkan sesuatu yang menimbulkan petaka bagimu,
karena sesungguhnya petaka itu berpangkal
dari ucapan.
Ibnul Mubarak menggubah sebuah syair:
Ingat! Jaga mulutmu.
Karena sesungguhnya mulut itu bisa
mempercepat kematian.
Sesungguhnya mulut merupakan cerminan
hati yang bisa menunjukkan ukuran rasio seseorang.
Ibnul Muthi juga bersyair:
Mulut seseorang bagaikan singa di dalam
kandang.
Jika dilepas pasti ia menerkam.
Jagalah mulut Anda dari bicara buruk
dengan pengendali “diam”.
Niscaya pengendali itu jadi penghalang
dari segala petaka.
Ada peribahasa yang mengatakan: “Banyak
ucapan yang berkata kepada pemiliknya “Tinggalkan daku.”
Kami memohon taufik kepada Allah dengan
rahmat-Nya.
Mengingat bahaya akhirat dan akibat yang
ditimbulkannya.
Dalam hal ini aku akan mengemukakan satu
pokok yang penting, yaitu bahwa pembicaraan Anda tidak akan pernah lepas dari
dua kemungkinan: Pembicaraan yang diharamkan dan yang diperbolehkan berupa
membicarakan sesuatu yang tidak bermanfaat secara berlebihan.
Bila pembicaraan tersebut diharamkan,
maka Anda berhak mendapat siksa dari Allah yang tidak mampu ditanggung.
Telah kami ceritakan dari Rasulullah
bahwa beliau bersabda:
Artinya: “Pada malam ketika aku
diisra’kan, aku melihat sekelompok orang di dalam neraka yang sedang memakan
bengkai. Kemudian aku bertanya, “Wahai Jibril! Siapakah mereka itu?” Jibril
menjawab,
‘Mereka adalah orang-orang yang memakan
daging manusia.’
Beliau juga pernah bersabda kepada
Mu’adz:
Artinya: “Hentikan menggunjing para ahli
Al-Qur’an, dan para penuntut ilmu. Jangan mencabik-cabik orang lain dengan
mulutmu agar dirimu tidak dicabik-cabik anjing neraka.” Diceritakan dari Abu
Qilabah. Beliau berkata: “Sesungguhnya gunjingan itu menyimpan kerusakan hati
dari petunjuk Allah.”
Kami memohon pemeliharaan kepada Allah
dengan anugerah-Nya.
Inilah akibat pembicaraan yang terlarang.
Sedangkan dalam pembicaraan yang mubah Anda harus memperhatikan empat hal:
Kesibukan malaikat pencatat amal karena
harus mencatat halhal yang tidak ada kebaikan dan manfaaatnya, sudah semestinya
seseorang merasa malu kepada keduanya dan tidak menyakiti mereka.
Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Tiada suatu ucapanpun yang
diucapkannya melainkan di dekatnya ada Ragib dan “Atid (malaikat yang mengawasi
dan menunggu). (Q.S. Oaf: 19)
Dengan melakukan itu berarti kita
mengirimkan buku catatan kepada Allah dalam keadaan kosong. Dan hendaknya
seorang hamba menjaga dirinya dari hal itu serta merasa takut kepada Allah Swt.
Telah diceritakan bahwa ada ulama yang
melihat seorang lakilaki sedang mengeluarkan kata-kata keji. Kemudian ulama
tersebut berkata: “Wahai saudara! Sungguh celaka. Kamu sedang mengirim tulisan
kepada Tuhanmu. Karena itu, perhatikan apa yang kau tulis untuk-Nya.”
Pembacaan buku catatan amal tersebut pada
hari kiamat di hadapan para raja yang Maha Perkasa, di depan para saksi, di
tengah suasana sulit dan bebagai goncangan dalam keadaan dahaga, telanjang,
lapar, jauh dari surga dan terhalang dari kenikmatan.
Cercaan dan cemoohan karena ucapan yang
Anda keluarkan, kehilangan hujjah dan rasa malu kepada Allah.
Ada ulama yang mengatakan:
Artinya: “Janganlah kamu berlebihan dalam
bicara karena perhitungannya akan panjang.”
Kiranya keterangan ini sudah cukup
sebagai nasehat bagi orang yang mau menerima nasehat.
Kami telah menerangkan hal ini secara
panjang lebar dan memuaskan di dalam kitab “Asraari Muaamalat Ad-Diin.”
Pelajarilah! Semoga Anda mendapatkan pengobatnya.
Pasal Keempat: Hati
Sebaiknya Anda senantiasa menjaga hati,
memperbagus dan mengawasinya dengan baik dan sekuat tenaga. Sebab hati adalah
anggota badan yang paling mengkhawatirkan, paling berpengaruh, paling rumit,
paling sulit diperbaiki dan susah perawatannya.
Dalam hal ini aku akan menerangkan lima
pokok bahasan yang sangat urgen.
Firman Allah Swt.:
Artinya: “Dia Maha mengetahui (pandangan)
mata yang berkhianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (Q.S. Al-Mu’min:
19)
Juga firman Allah:
Artinya: “Dan Allah mengetahui apa yang
tersimpan dalam hatimu.” (Q.S. Al-Ahzab: 51)
Firman Allah:
Artinya: “Sungguh Allah Maha mengetahui
segala isi hati.” (Q.S. Al-Anfal: 43)
Berapa kali Allah menyebut dan mengulang
masalah ini di dalam Al-Qur an. Cukuplah kiranya pengawasan Dzat yang Maha
Mengetahui sebagai peringatan bagi hamba-hamba pilihan. Sebab muamalah
(bergaul) dengan Dzat yang Maha Mengetahui segala urusan gaib adalah hal
penting yang berbahaya. Karena itu, perhatikanlah apa yang diketahui-Nya dari
hati Anda.
Hadis Nabi Saw.:
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak
memandang rupa dan kulitmu, melainkan Dia hanya memandang hatimu.”
Hadis ini menunjukkan bahwa hati adalah
pusat pandangan Tuhan semesta alam. Alangkah mengherankan bila seseorang hanya
mementingkan wajah yang hanya menjadi pusat pandangan makhluk. Orang tersebut
membasuhnya, membersihkannya dari kotoran dan menghiasinya semampu mungkin agar
orang lain tidak melihat kekurangan pada dirinya. Dia tidak mementingkan hati
yang menjadi tempat pandangan Tuhan semesta alam. Tidak mau membersihkan,
menghias dan mengharumkannya agar Allah tidak melihatnya dalam keadaan kotor,
jelek, rusak, dan cacat. Bahkan sebaliknya, ia justru memenuhinya dengan hal
memalukan, kotor dan keji, yang seandainya orang lain melihat salah satunya
saja tentu mereka akan menyingkir dan membiarkannya begitu saja, atau bahkan
mengusirnya.
Hanya Allah tempat memohon pertolongan.
Sesungguhnya hati bagaikan seorang raja
yang ditaati, Bagaikan pemimpin yang diikuti (anak buahnya). Adapun seluruh
anggota badan bagaikan pengikutnya. Bukankah jika pemimpinnya baik anak buahnya
juga baik? Jika rajanya berbuat lurus rakyatnya juga lurus?
Keterangan ini diambil dari hadis yang
diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwasanya beliau bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya di dalam jasad
(manusia) terdapat segumpal darah yang apabila baik, maka baik pula seluruh
jasad. Dan apabila rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ingatlah! Itulah hati.”
Jika kebaikan segala sesuatu tergantung
padanya (hati), maka sudah seharusnya kita mencurahkan seluruh perhatian
padanya.
Sesungguhnya hati adalah tempat
penyimpanan segala macam permata indah bagi seorang hamba dan juga menyimpan
berbagai hal penting.
Yang pertama akal dan puncaknya adalah
makrifat kepada Allah yang menjadi salah satu penyebab kebahagiaan dunia
akhirat.
Kemudian disusul oleh bermacam
pengetahuan dan hikmah yang menjadi kemuliaan seorang hamba, serta seluruh
akhlak mulia dan perbuatan-perbuatan terpuji yang digunakan untuk mendapatkan
jenjang kedudukan orang-orang mulia, seperti yang telah kami jelaskan secara
panjang lebar di dalam kitab ” Asraari Mu’aamalat Ad Diin.”
Sudah sepantasnya simpanan seperti ini
dipelihara dari bermacam kotoran dan kerusakan. Dijaga dari para pencuri atau
perampok. Dan juga dimuliakan dengan bermacam kemuliaan agar permata tesebut
tidak kotor dan diambil musuh.
Setelah kurenungkan keadaannya ternyata
aku menemukan lima hal yang tidak dialami oleh anggota tubuh lain:
Pertama, musuh yang selalu mengintai dan
berusaha mempengaruhinya. Sebab setan selalu bertengger di atas hati manusia,
tempat tinggal ilham dan was-wasah yang membisikkan dua ajakan berbeda untuk
selamanya, yakni bisikan malaikat Mulhim dan setan.
Kedua, kesibukan yang harus dijalani
karena akal dan nafsu tinggal bersama di dalamnya. Hati adalah medan tempur
antara dua pasukan, yakni pasukan hawa nafsu dan pasukan akal. Selamanya hati
tetap berada di tengah pertempuran dan luncuran panah mereka. Karena itu, sudah
seharusnya kalau tempat itu dijaga, dibentengi dan tidak dilupakan.
Ketiga, di dalam hati terdapat banyak
rintangan. Bermacam gerak hati seperti panah yang tiada hentinya menghunjam.
Bagaikan hujan yang tiada pernah reda, malam dan siang tiada henti. Sementara
itu Anda tidak mampu mencegahnya.
Hati tidaklah sama dengan mata yang
berada di tengah kedua kelopaknya. Bisa dipejamkan dan merasa nyaman. Atau
diletakkan di tempat sepi dan gelap sehingga pandangannya bisa terhambat.
Hati juga tidak sama dengan lidah yang
ada di belakang dua sekat, gigi dan bibir. Anda masih mampu menahannya dan
membuatnya diam.
Akan tetapi hati adalah obyek bermacam
gerak hati yang bagaimanapun juga Anda sendiri tidak mampu menahan dan menjaga
diri darinya. Gerak hati tersebut sedetikpun tak bisa lepas dari Anda.
Sementara itu hawa nafsu cepat sekali ingin mengikutinya.
Untuk mencegah hati dari semua itu dengan
sekuat tenaga merupakan hal berat dan ujian yang paling besar.
Keempat, pengobatannya yang sulit karena
tidak bisa Anda lihat, Hampir saja Anda tidak tahu sampai perlahan-lahan
merasakan adanya kerusakan di dalamnya dan juga terjadi halhal baru. Untuk itu,
Anda harus membicarakannya dengan sempurna, kekuatan penuh, perenungan mendalam
dan banyak riyadhah.
Kelima, kerusakan yang lebih cepat
menjalar ke dalamnya, karena pergolakan yang terjadi di dalamnya juga amat
cepat. Bahkan ada yang mengatakan bahwa pergolakan hati lebih cepat dibanding
air mendidih dalam kendil.
Karena itu dalam syair disebutkan:
Tidak dinamakan hati selain karena
pergolakannya.
Adapun pikiran bisa menciptakan berbagai
keadaan pada manusia.
Kemudian bila hati telah tergelincir —
semoga Allah melindungi kita semua — maka pasti gelincirannya lebih keras dan
jatuhnya juga lebih buruk, karena paling tidak hati menjadi keras dan cenderung
kepada selain Allah. Sedangkan puncaknya adalah diakhiri (mati) dengan membawa
kekufuran.
Tidakkah Anda pernah mendengar firman
Allah:
Artinya: “Dia (Iblis) membangkang dan
menyombongkan diri. Dia termasuk golongan orang-orang kafir.” (Q.S. al-Baqarah:
34)
Kesombongan yang bersemayam di hatinya
mendorong untuk berani membangkang dan secara lahir berbuat kufur.
Adakah Anda tidak mendengar firman Allah:
Artinya: “Akan tetapi (Bal’am) lebih
senang abadi di muka bumi dan mengikuti hawa nafsunya.” (Q.S. Al-A’raaf: 176)
Kecenderungan mengikuti hawa nafsu
bersemayam di hati Bal’am. Dan hal itu mendorongnya melakukan dosa buruk yang
tercela.
Adakah Anda tidak mendengar firman Allah:
Artinya: “Kami membolak-balikkan hati dan
mata mereka sebagaiamana pertama kali mereka tidak beriman kepada Al-Jur’an.
Dan Kami membiarkan mereka berada dalam kedurhakaan dalam keadaan bingung.”
(Q.S. Al-An’aam: 110)
Karena arti semacam inilah para hamba
Allah yang terpilih senantiasa mengkhawatirkan hati mereka, menangisinya dan
mencurahkan seluruh kekuatan untuk menjaganya.
Allah berfirman tentang gambaran mereka:
Artinya: “Mereka takut pada suatu hari
(yang ketika itu) hati dan penglihatan menjadi bergoncang.” (Q.S. An-Nuur: 37)
Semoga Allah berkenan menjadikan kita
semua bagian dari orang-orang yang bisa mengambil pelajaran dari contoh-contoh
yang ada dan mendapat petunjuk di tempat-tempat berbahaya dan mendapatkan
taufik untuk memperbagus hati mereka dengan pemikiran yang baik. Sungguh Dia
Maha Pengasih di antara para pengasih.
Jika ada yang berkata: “Urusan hati
seperti ini memang penting sekali. Karena itu, tolong jelaskan usaha apa saja
yang bisa memperbagaus dan kerusakan macam apa yang menghadang dan merusaknya.
Siapa tahu aku mendapat taufik untuk bersungguh-sungguh menjalaninya.
Ketahuilah bahwa rincian keterangan ini
sungguh teramat panjang dan tidak akan muat di dalam kitab ini. Akan tetapi
para ulama akhirat berupaya dengan sungguh-sungguh untuk bisa menerangkan hal itu
dan menyusun kitab yang tak lain hanya menerangkan urusan hati ini.
Dalam hal ini mereka menerangkan sekitar
90 hal terpuji dan 90 hal tercela sebagai bandingannya. Kemudian mereka
menerangkan sekitar 90 langkah yang wajib dan 90 langkah terlarang, lengkap
dengan perinciannya.
Sumpah demi hidupku. Sesungguhnya orang
yang memperhatikan urusan agama, bangkit dari tidur orang-orang lupa dan
melihat dirinya sendiri, jika mendapat taufik dari Allah, tentu tidak akan
keberatan mencari dan mengamalkan semua ini.
Kami telah menerangkan sedikit tentang
itu di dalam kitab “Keajaiban Hati” yang ada di dalam kitab Ihya Ulumiddin dan
menerangkan semuanya disertai berbagai rincian dan cara merawatnya di dalam
kitab Asraari Mu’aamalat Ad-Diini, yaitu sebuah kitab berbentuk kecil tapi
manfaatnya besar. Manfaat kitab tersebut tidak bisa diambil selain oleh
ulama-ulama besar yang berpengetahuan sangat dalam.
Sedangkan tujuan kitab ini adalah agar
bisa digunakan, baik oleh para pemula ataupun orang yang telah mencapai puncak,
orang yang kuat maupun yang lemah. Oleh karena itu, kami berpikir tentang
hal-hal pokok yang harus diterangkan dalam upaya merawat hati dan yang sangat
dibutuhkan dalam ibadah.
Kemudian di dalamnya kami menemukan empat
hal yang sering menyebabkan para ahli ibadah tergelincir dan menjadi penyakit
para mujtahid. Semua itu merupakan fitnah bagi hati dan bencana untuk nafsu,
yang akan menghalangi, memperburuk, merusak dan menghancurkan.
Kami juga menemukan empat hal sebagai
imbangannya, yaitu hal yang bisa menyebabkan para hamba mengatur peribadatan
dan memperbagus hati.
Keempat penyakit tersebut adalah:Khayalan
(ngelantur, panjang angan-angan)
Tergesa-gesa
Dengki
Takabbur
Sedangkan keempat kebaikan (sifat baik)
tersebut adalah:Pendek angan-angan
Tenang dalam mengerjakan berbagai hal
Memberi nasehat kepada (sesama) makhluk
Tawadhuk dan khusyuk (merendahkan diri)
Inilah pokok-pokok kebaikan hati dan
kerusakannya serta faedah yang samar dan menjadi sentral pembahasan. Oleh
karenanya, hedaklah kita mengerahkan kekuatan penuh untuk memelihara diri dari
penyakit-penyakit dan berhasil mendapatkan kemuliaan seperti ini, agar Anda
tidak perlu mengeluarkan biaya banyak dan memperoleh apa yang Anda inginkan.
Insya Allah.
Kami akan menerangkan penyakit-penyakit
tesebut dalam bahasa yang ringkas tapi penuh makna.
Khayalan (Panjang Angan-angan) | Khayalan
merupakan perintang seorang hamba dari segala macam kebaikan dan ketaatan. Ia
juga menjadi penarik untuk melakukan segala macam keburukan dan fitnah. Ia
adalah penyakit parah yang akan menjerumuskan seseorang ke dalam berbagai macam
bencana.
Ketahuilah bahwa jika angan-angan Anda
sudah melantur, maka dari diri Anda akan muncul empat hal.
Meninggalkan ketaatan dan perasaan malas.
Dalam hal ini Anda akan mengatakan: “Nanti
saja kukerjakan. hari masih panjang dan hal itu pasti takkan lepas dariku
(sempat kukerjakan).”
Benar sekali Dawud Ath-Thaai yang
berkata: “Barangsiapa takut ancaman, maka menurutnya sesuatu yang jauh menjadi
dekat. Dan barangsiapa panjang angan-angan (suka berkhayal) maka amalnya
menjadi buruk.
Yahya bin Muadz Ar-Raazi berkata:
“Angan-angan (khayalan) akan memutuskan segala kebaikan. Dan ketamakan akan
menghalangi perkara hag. Kesabaran membawa keberuntungan, dan nafsu mengajak
melakukan segala macam kejahatan.
Meninggalkan tobat dan menundanya. Anda
akan mengatakan: “Nanti saja aku bertobat. Hari-hari masih panjang, sementara
umurku masih muda. Umurku sedikit, sedangkan tobat berada di depan mata. Aku
bisa melakukannya kapanpun aku mau.”
Kadang orang semacam ini diterkam
kematian. Maka kematian pun menyambarnya sebelum ia sempat memperbaiki amal.
Rakus untuk mengumpulkan harta dan sibuk
dengan urusan dunia serta melupakan akhirat. Anda akan mengatakan: ” Aku
khawatir miskin di usia senja. Kadang aku tak mampu bekerja dan mau tidak mau
harus memiliki simpanan yang kupersiapkan bila sakit, sudah renta atau miskin.
Perasaan ini dan yang sejenisnya termasuk
hal yang menggerakkan Anda untuk mencitai dunia dan rakus terhadapnya. Anda
juga akan mementingkan rezeki. Anda akan mengatakan: “Apa yang akan kumakan?
Apa yang akan kuminum? Apa yang akan kupakai? Sekarang musim dingin. Sekarang
musim panas. Sementara aku tidak memiliki apa-apa. Siapa tahu umurku panjang
dan membutuhkan semua itu? Padahal memenuhi kebutuhan di waktu tua amatlah
sulit. Sementara itu, aku harus makan dan tidak meminta-minta pada orang lain.”
Perasaan seperti ini dan yang sejenisnya
akan menggerakkan Anda untuk mencari dunia, mencintai, menumpuk dan
menimbunnya. Hal ini paling tidak akan membuat hati Anda sibuk, menyia-nyiakan
umur, menambah keprihatinan dan kesedihan Anda yang tiada berguna. Seperti apa
yang diceritakan dari Abu Dzarr r.a. Beliau berkata: “Aku telah . terbunuh oleh
keprihatinan terhadap suatu hari yang tak pernah kutemui.”
Ada yang bertanya: “Bagaimana bisa
demikian wahai Abu Dzarr! Beliau menjawab: “Karena angan-anganku melebihi batas
umurku.”
Hati menjadi keras dan melupakan akhirat.
Sebab jika berkhayal akan berumur panjang, pasti Anda tak lagi mengingat
kematian dan alam kubur seperti yang dikatakan oleh Ali bin Abu Thalib r.a.:
“Sesungguhnya sesuatu yang paling kukhawatirkan menimpa kalian semua adalah dua
hal, yaitu panjang anganangan (berkhayal) dan mengikuti hawa nafsu. Ingatlah
bahwa sesungguhnya khayalan itu akan melupakan ahkirat dan mengikuti hawa nafsu
akan mencegah seseorang dari sesuatu yang haq.”
Kalau sudah begitu, tentu pikiran atau
yang Anda pentingkan adalah membicarakan dunia, hal yang menyebabkan bisa
hidup, bergaul dengan masyarakat dan sebagainya. Kemudian hati Anda akan
menjadi keras karenanya. Sedangkan yang membuat hati menjadi lunak danjernih
adalah mengingat kematian, alam kubur, pahala, siksaan dan hal ihwal urusan
akhirat. Jika dari ini semua tak satupun yang terdapat di hati Anda, maka
bagaimana mungkin hati menjadi lunak dan jernih?
Allah berfirman:
Artinya: ” Kemudian berlalulah masa
panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras.” (Q.S. Al-Hadid: 16)
Dengan begitu jika Anda melanturkan
angan-angan (berkhayal), maka sedikit sekali kataatan yang Anda kerjakan, tobat
Anda tertunda, maksiat menjadi banyak, kerakusan makin menjadi-jadi, hati
menjadi keras, dan Anda menjadi orang yang terlalu melupakan akibat yang akan
didapatkanya di ahkirat. Akhirnya hilanglah ahkirat Anda. Lalu apa kejadian yang
lebih buruk dari ini? Kerusakan apakah yang lebih besar dari ini? Semua ini
disebabkan oleh khayalan (angan-angan yang melantur).
Adapun jika Anda memendekkan angan-angan,
mendekatkan diri pada kematian (selalu mengingatnya), mengingat kawankawan dan
saudara-saudara Anda yang dikejutkan oleh kematian pada saat yang tidak mereka
perhitungkan, Anda akan sadar bahwasiapa tahu Anda sendiri mengalami hal yang
sama dengan mereka. Maka waspadalah hai nafsu! Ingatlah apa yang dikatakan oleh
Auf bin Abdullah: “Dan berapa banyak orang yang hidup di suatu hari dan tak
sempat menyempurnakannya. Berapa banyak orang yang menunggu pagi dan tidak
sempat menjumpainya.”
Jika Anda melihat batas umur dan
perjalanannya niscaya Anda akan membenci khayalan dan tipuan yang dibuatnya.
Tidakkah Anda mendengar perkataan Isa bin
Maryam a.s. bahwa dunia ini terbagi menjadi tiga:Hari kemarin yang telah
berlalu, dan Anda tidak mendapat apa-apa darinya.
Hari esok yang Anda sendiri tidak tahu
bisa menjumpainya atau tidak.
Hari yang sedang Anda jalani (hari ini).
Karena itu ambillah keuntungan darinya.
Kemudian ingatlah perkataan Abu Dzar
Al-Ghifari berikut ini: ” Dunia ini terbagi menjadi tiga kesempatan.Kesempatan
yang telah berlalu.
Kesempatan yang sedang Anda jalani saat
ini.
Kesempatan yang Anda sendiri tidak tahu
bisa menjumpainya atau tidak (kesempatan setelah ini).”
Jadi, pada hakekatnya Anda hanya memiliki
satu kesempatan. Kematian terus menunggu dari waktu ke waktu.
Selanjutnya ingat pula perkataan guru
kami Abu Bakar rahimahullah: “ Dunia ini bagaikan tiga tarikan nafas:Nafas yang
telah berlalu. Yaitu nafas yang Anda pergunakan untuk mengerjakan apa saja.
Nafas yang sedang Anda jalani.
Nafas yang Anda sendiri tidak tahu bisa
menjumpainya atau tidak. Sebab betapa banyak orang yang menarik nafas satu
kali, lalu ia dikejutkan oleh kematian sebelum sempat menarik nafas kedua
kalinya.
Pada hakekatnya Anda hanya memiliki satu
tarikan nafas, bukan sehari ataupun satu jam. Karena itu, dengan satu tarikan
nafas ini bersegeralah menjalankan ketaatan sebelum kesempatan itu hilang.
Segeralah bertobat. Siapa tahu pada tarikan nafas yang kedua Anda sudah mati.
Jangan terlalu mementingkan rezeki, karena bisa saja Anda tak lagi hidup dan
membutuhkannya. Kalau itu yang diutamakan, waktu Anda menjadi sia-sia dan
keprihatinan Anda juga tiada gunanya.
Untuk apa seseorang mementingkan rezeki
yang hanya dibutuhkan untuk sehari, satu jam, atau satu tarikan nafas? Tidakkah
ia mengingat sabda Nabi Saw. tentang Usamah? Beliau bersabda:
Artinya: “Tidakkah kalian merasa heran
kepada Usamah yang membeli dengan tempo sebulan? Sesungguhnya Usamah telah
berkhayal. Demi Allah aku tidak meletakkan satu telapak kaki dan berpikir bisa
mengangkatnya kembali. Aku tidak pernah menyuap satu suapan dan berpikir bisa
menelannya sampai kematian menyusulku. Demi Dzat yang nyawaku berada dalam
“genggaman” – Nya. Sesungguhnya apa yang telah dijanjikan pada kalian pasti
akan datang. Dan kalian takkan dapat melemahkan Allah.”
Jika Anda mengingat peringatan-peringatan
ini dan tekun menjalaninya dengan cara mengulang-ulang, maka angan-angan Anda
pasti menjadi pendek dengan izin Allah. Saat itu diri Anda akan terlihat
bersegera menjalankan ketaatan dan bertobat. Dengan begitu Anda gugur dari
kemaksiatan, berzuhud dari dunia dan usaha untuk mencarinya. Lalu perhitungan
(hisab) dan tanggung jawab Anda menjadi ringan. Hati Anda memasuki suasana
mengingat akhirat dan hal-hal menakutkan yang ada di dalamnya. Semua itu hanya
karena dari satu nafas ke nafas berikutnya, ia berjalan menuju ke sana dan
melihatnya satu persatu. Kemudian kekerasan hati akan hilang dan nampaklah
kelembutan serta kejernihan. Saat itulah Anda akan merasa takut kepada Allah,
istiqamah dalam beribadah, memiliki harapan kuat untuk mempersiapkan diri Anda
dari kematian dan meraih apa yang Anda inginkan di akhirat. Semua itu didapat
karena satu hal, yaitu angan-angan yang pendek setelah mendapatkan anugerah
dari Allah.
Diceritakan bahwa setelah Zararah bin
Aufa wafat, beliau ditanya seseorang di dalam mimpinya: ” Amal apa yang lebih
tepat menurut Anda?”
Beliau menjawab: “Rida dan pendek
angan-angan (tidak berkhayal).”
Wahai saudaraku! Lihatlah dirimu.
Kerahkan seluruh kemampuan untuk pokok agama yang penting ini. Sebab hal itu
memang sesuatu yang paling penting untuk mencapai kebaikan hati dan diri
seseorang.
Hanya Allah yang menguasai taufik dengan
anugerah dan rahmat-Nya.
Kedengkian
Dengki merupakan hal yang bisa merusak
ketaatan dan mendorong seseorang untuk melakukan berbagai kesalahan. Dengki
juga suatu penyakit menular yang banyak diujikan kepada para ahli Al-Qur’an dan
ulama, lebih-lebih orang awam dan orangorang bodoh. Sehingga kedengkian
tersebut akan merusak dan menjerumuskan mereka ke dalam neraka.
Tidakkah Anda mendengar sabda Nabi Saw.
berikut ini:
Artinya: “Enam golongan masuk ke dalam
neraka karena melakukan enam hal: 1) Bangsa Arab karena fanatik terhadap
sukunya. 2) Para penguasa karena kezalimannya. 3) Para pemimpin karena bersikap
sombong. 4) Para pedagang karena pengkhianatannya. 5) Penduduk kampung
(pedalaman) karena kebodohannya. 6) Para ulama karena kedengkiannya.”
Suatu kerusakan yang keburukannya saja
bisa menyeret para ulama ke dalam neraka. Maka sudah semestinya kita waspada
terhadapnya.
Ketahuilah bahwa kedengkian itu bisa
menimbulkan lima hal: 1. Rusaknya ketaatan. Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “Kedengkian akan memakan
kebaikan bagaikan api yang memakan kayu bakar.”
Perbuatan maksiat dan hal-hal buruk.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan
oleh Wahb bin Munabbih bahwa orang yang merasa dengki memiliki tiga
ciri-ciri:Saat berhadapan menampakkan rasa senang (menjilat)
Saat jauh akan menggunjing
Merasa gembira dengan musibah yang
menimpa orang lain (yang didengki)
Kiranya Anda sudah cukup tahu kalu Allah
memerintahkan agar kita berlindung dari orang yang dengki. Dia berfirman:
Artinya: “Dan dari kejahatan orang yang
dengki apabila ia dengki.” (Q.S. al-Falaq: 5)
Dia memerintahkan agar kita berlindung
dari orang yang dengki seperti Dia juga memerintahkan agar kita berlindung dari
kejahatan setan dan tukang sihir. Betapa banyak keburukan yang ditimbulkan rasa
dengki hingga pelakunya disejajarkan dengan setan dan tukang sihir. Bahkan
tidak ada penolong dan tempat berlindung darinya kecuali hanya Allah, Penguasa
alam semesta.
Kepayahan dan keprihatinan yang tak
berguna.
Bahkan keduanya merupakan dosa dan
kemaksiatan seperti yang dikatakan oleh Ibnu As-Samak rahimahullah: “ Aku tidak
pernah melihat orang zalim yang pelakunya lebih menyerupai orang yang dizalimi
selain orang yang dengki. Ia terus bernafas, pikirannya kosong dan susah
berkepanjangan.”
Kebutaan dalam hati. Sehingga orang yang
dengki nyaris tidak mengetahui satu hukum di antara hukum-hukum Allah.
Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata:
“Sebaiknya engkau selalu diam. Dengan begitu kau akan memiliki sikap wara’.
Jangan rakus pada dunia, maka dirimu akan terpelihara. Jangan suka mencela,
maka kau akan terhindar dari dibicarakan orang banyak. Danjangan merasa dengki,
maka kau akan memahami sesuatu dengan cepat.”
Halangan dan hinaan.
Orang yang dengki nyaris tidak dapat
meraih apa yang diinginkan dan bantuan untuk mengalahkan musuhnya. Seperti yang
dikatakan oleh Hatim Al-Asham: “Orang yang iri bukanlah orang yang beragama.
Orang yang mencela bukanlah ahli ibadah. Orang yang mengadudomba bukanlah orang
terpercaya. Dan orang yang dengki tidak akan mendapat pertolongan.”
Menurutku, bagaimana mungkin orang yang
dengki meraih keinginannya, sementara yang diinginkan adalah hilangnya
kenikmatan dari Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.
Bagaimana mungkin ia mendapat pertolongan untuk mengalahkan musuhnya jika yang
menjadi musuhnya adalah hamba-hamba Allah yang beriman.”
Alangkah indah apa yang dikatakan oleh
Abu Ya gub berikut ini: “Ya Allah! Berilah kesabaran atas kesempurnaan nikmat
yang ada pada hamba-Mu dan juga bersabar atas kebaikan mereka.”
Dengki adalah penyakit yang akan merusak
ketaatan Anda dan memperbanyak keburukan serta maksiat Anda. Ia juga akan
mencegah Anda dari rasa nyaman di dalam jiwa, kepahaman hati, pertolongan untuk
mengalahkan musuh dan mencapai keinginannya.
Sekarang penyakit apa lagi yang lebih
berbahaya dari ini? Untuk itu hendaklah Anda memelihara jiwa dari penyakit
tersebut.
Hanya Allah yang menguasai taufik dengan
anugerah dan kemuliaan-Nya.
Tergesa-gesa dalam beribadah
Sikap ini malah bisa menghilangkan apa
yang menjadi tujuannya dan menjerumuskannya dalam berbagai kemaksiatan, Sebab
dari sikap tersebut akan muncul empat macam afat.
Orang yang beribadah menginginkan sebuah
kedudukan dan terkadang ia tergesa-gesa untuk mendapatkannya, padahal hari itu
belum tiba saat yang telah ditentukan baginya. Lalu ia pun tidak bersemangat
dan berputus asa. Maka ia tak lagi bersungguh-sungguh dan terhalang dari
kedudukan tersebut. Kalau tidak begitu ia bertindak melampaui batas dan menyusahkan
dirinya. Maka ia pun tak dapat mencapai kedudukan tersebut. Dengan begitu ia
berada di antara keteledoran dan keterlaluan, yang keduanya merupakan buah dari
sikap tergesa-gesa.
Diceritakan dari Nabi Saw. beliau
bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya agama kami adalah
agama yang kokoh. Jalanilah dengan pelan-pelan, sebab orang yang berpatah
semangat itu tidak bisa melintasi bumi dan tidak pula terus berada di atas
punggung hewan tunggangan.”
Dalam sebuah peribahasa ada ungkapan lain
yaitu: “Jika kamu tidak tergesa-gesa pasti kamu akan sampai (ke tempat
tujuan).”
Dalam sebuah syair diungkapkan:
Orang-orang melakukan sesuatu dengan
pelan dapat mencapai sebagian kebutuhannya.
Dan orang yang tergesa-gesa kadang malah
meleset (tidak mendapatkannya).”
Seorang hamba memiliki suatu kebutuhan
dan memohon kepada Allah untuk mendapatkannya. Kemudian ia memperbanyak doa dan
bersungguh-sungguh. Kadang ia tergesa-gesa untuk segera dikabulkan sebelum tiba
waktunya. Lalu ia berputus asa dan tidak lagi berdoa. Akhirnya ia pun tidak
terpenuhi kebutuhannya dan tujuannya juga tidak tercapai.
Hamba tersebut dizalimi oleh seseorang.
Lalu ia segera berdoa agar orang yang menzaliminya ditimpa kerusakan. Maka ada
seorang muslim yang tertimpa kecelakaan karena (doa) hamba tersebut. Atau hamba
tadi bertindak melebihi batas sehingga ja terperosok ke dalam kemaksiatan dan
kerusakan.
Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Dan seseorang berdoa dengan
suatu keburukan seperti za berdoa meminta kebaikan. Dan manusia itu memang suka
tergesagesa.” (Q.S. Al-Israa’: 11)
Inti ibadah adalah wara’. Sedangkan wara’
berasal dari pandangan yang teliti dan penyelidikan secara matang terhadap
segala sesuatu yang dikerjakan seperti makan, minum, berbicara, dan melakukan
sesuatu.
Jika seseorang tergesa-gesa dalam
berbagai urusan, tidak melakukannya dengan pelan dan berhati-hati untuk mencari
titik terang dalam urusan tersebut, tentu ia tidak bisa berhenti pada satu
pokok permasalahan dan melihat segala sesuatu dengan benar sebagaimana
mestinya.
Dengan segera ia berbicara dan terpeleset
ke dalam kesalahan. la bersegera untuk makan lalu terjatuh ke dalam hal-hal
haram dan syubhat. Begitu pula dengan urusan-urusan yang lain. Ia pun
kehilangan sikap wara’. Lalu bagaimana mungkin kebaikan dalam Ibadah bisa
tercapai tanpa adanya sikap wara?
Jika hamba tersebut sudah terputus dari
kedudukan. kedudukan baik, terhalang dari kebutuhan-kebutuhan, merusak kaum
muslimin dan dirinya sendiri, dikhawatirkan akan kehilangan sikap wara’nya yang
menjadi modal utama. Untuk itu, sudah semestinya bila seluruh manusia
memperhatikan hal itu dan berusaha menghilangkannya. Dan setelah itu ia
memperbaiki dirinya.
Hanya Allah yang menguasai taufik dengan
karunia dan anugerah-Nya.
Takabur
Kesombongan adalah sebuah sikap yang bisa
merusak segalanya. Tidakkah Anda mendengar firman Allah:
Artinya: “Iblis membangkang serta
menyombongkan diri. Dan dia termasuk golongan orang-orang kafir.” (Q.S.
al-Baqarah: 34)
Sikap seperti ini tidak seperti
sikap-sikap lain yang hanya merusak amal dan membahayakan cabang-cabang agama.
Akan tetapi sikap ini juga membahayakan inti agama (keimanan) dan merusak agama
juga keyakinan.
Jika sikap seperti ini tertanam kuat dan
menguasai hati, maka tiada lagi yang bisa diharapkan. Na’udzubillah. Paling
tidak dari sikap tersebut akan muncul empat kerusakan:Terhalang dari kebenaran,
kebutaan hati dari pengetahuan tentang ayat-ayat Allah dan memahami
hukum-hukum-Nya
Allah berfirman:
Artinya: “Aku akan memalingkan
orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dari
tanda-tanda kekuasaan-Ku.” (Q.S. Al-A’raaf: 146)
Firman Allah:
Artinya: “Demikianlah Allah mengunci mati
hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (Q.S. A-Mu min: 35)
Kemurkaan dan kebencian Allah.
Firman Allah:
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong.” (Q.S. An-Nahl: 23)
Diceritakan bahwa Nabi Musa a.s.
bertanya: “Wahai Tuhanku! Siapakah makhluk yang paling membuat-Mu benci?” Allah
berfirman: “Orang yang hatinya sombong, mulutnya kasar, matanya sipit (tak pernah
menangis), tangannya pelit dan pekertinya buruk.
Siksaan serta hinaan di dunia dan
akhirat.
Hatim Al-Asham berkata: “Jangan sampai
kamu mati saat melakukan salah satu dari tiga hal, yaitu sombong, rakus dan
pamer kedudukan. Sebab orang yang sombong tidak akan dikeluarkan oleh Allah
dari dunia ini sebelum kehinaannya ditampakkan kepada keluarga dan para
pelayannya yang paling hina. Orang yang rakus tidak akan dikeluarkan oleh Allah
dari dunia ini sebelum ia dibuat sangat membutuhkan sekerat roti atau seteguk
air dan tidak bisa memperolehnya. Sedangkan orang yang pamer kedudukan tidak
akan dikeluarkan oleh Allah dari dunia ini sebelum disungkurkan ke dalam air
seni dan kotorannya.
Ada seorang ulama mengatakan:
“Barangsiapa bersikap sombong tidak pada tempatnya, maka Allah akan mewariskan
kehinaan yang nyata.”
Neraka dan siksaan di akhirat seperti
diceritakan bahwa Allah berfirman (dalam hadis qudsi):
Artinya: “ Kesombongan adalah selendang
(sifat)-Ku. Keagungan adalah kain (sifat)-Ku. Barangsiapa mencopot salah
satunya dariKu, maka Aku akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam.”
Artinya keagungan dan kesombongan
termasuk dari sifat-sifat yang khusus bagi-Ku. Karena itu tidak pantas kalau
sifat itu ditempatkan pada selain Aku, seperti selendang dan kain yang khusus
dipakai oleh seseorang tentu tidak pantas jika keduanya dipakai orang lain.
Jika ada sebuah sikap yang membuat Anda
luput dari pengetahuan tentang kebenaran dan memahami arti ayat-ayat Allah dan
hukum-hukumnya, segala hal yang menjadi inti agama dan membuahkan murka dari
Allah Swt., membuahkan hinaan di dunia dan siksa neraka di akhirat seperti ini,
maka tidak seharusnya orang yang memiliki akal lupa diri dan tidak
memperbaikinya dengan cara menghilangkan sikap tersebut, menjaga diri dan
memohon pertolongan kepada Allah dari hal itu. Dia Maha Agung yang menguasai
pemeliharaan dan taufik dengan anugerah-Nya.
Demikianlah sedikit keterangan tentang
apa yang bisa kami kemukakan tentang empat macam kerusakan (panjang
angan-angan, Tergesa-gesa, dengki, dan Takabbur).
Orang yang berakal cukup melihat salah
satunya, apa lagi jika melihat keempatnya, tentu ia akan lebih berhati-hati
mementingkan urusan hatinya dan menjauhkan hal tersebut dari urusan agamanya.
Jika Anda bertanya: “Kalau demikian
keadaannya maka hal itu harus diketahui hakekat dan batasannya. Oleh karena itu
tolong terangkan agar kami mengetahui cara menjaga diri darinya.”
Ketahuilah bahwa masing-masing
membutuhkan banyak keterangan. Hal itu sudah kami terangkan secara panjang
lebar di dalam kitab “Ihya Ulumiddin” dan kitab “Asraari Mu’aamalat Ad-Diin”.
Di dalam kitab ini kami hanya menerangkan secara garis besar dan apa yang
memang harus diketahui. Karena itu, kami akan menerangkannya satu persatu.
Angan-angan
Para ulama mengatakan bahwa yang
dinamakan angan-angan adalah keinginan untuk hidup dalam waktu yang cukup lama
dengan penuh keyakinan (memastikan hal itu akan terjadi pada dirinya —Pen.).
Adapun pendek angan-angan adalah tidak memastikan apa yang menjadi keinginannya
seperti dengan cara menyandarkan keinginan tersebut pada pengecualian, kehendak
Allah dan pengetahuan-Nya di dalam mengutarakan keinginan tersebut, atau dalam
menginginkannya disertai syarat adanya kebaikan.
Dengan begitu, jika Anda mengatakan bahwa
aku pasti hidup sampai tarikan nafas kedua, dua jam lagi, atau dua hari lagi,
itu berarti Anda termasuk orang yang mengkhayal (panjang anganangan).
Hal itu bagi Anda termasuk sebuah
kemaksiatan karena, memastikan sesuatu yang gaib.
Jika Anda menyandarkan ucapan tersebut
pada kehendak dan pengetahuan Allah serta mengatakan: “Jika Allah menghendaki
aku masih akan hidup” atau “Jika Allah mengetahui bahwa aku masih akan hidup”,
maka Anda pun telah keluar dari hukum berangan-angan dan berpredikat
meninggalkan angan-angan.
Begitu juga jika Anda secara pasti
menginginkan hidup untuk kedua kalinya, maka Anda termasuk oang yang
berangan-angan, Tapi jika Anda menyandarkan keinginan tersebut pada syarat
adanya kebaikan, maka Anda telah keluar dari hukum beranganangan dan
berpredikat pendek angan-angan, sebab tidak memasukkan kata pasti di dalamnya.
Oleh karena itu, sebaiknya Anda tidak
usah memastikan sebuah kekekalan dan menginginkannya.
Yang dimaksud dengan “mengatakan” di sini
adalah kata hati, yaitu memantapkan dan meneguhkan hati pada hal itu.
Pahamilah keterangan ini! Semoga Anda
mendapat petunjuk. Insya Allah.
Kemudian angan-angan ini ada dua macam,
yaitu anganangan yang bersifat umum dan angan-angan yang bersifat khusus.
Angan-angan yang bersifat umum yaitu bila
Anda menginginkan kehidupan yang abadi untuk mengumpulkan kekayaan dunia dan
bersenang-senang di dalamnya. Hal ini termasuk kemaksiatan murni dan yang
menjadi kebalikannya adalah pendek angan-angan.
Allah berfirman:
Artinya: “Biarkanlah mereka (di dunia
ini) makan dan bersenangsenang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka
kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (Q.S. Al-Hijr: 3)
Sedangkan angan-angan yang bersifat
khusus yaitu jika Anda menginginkan kehidupan yang kekal untuk mengumpulkan
amal baik yang masih menyimpan kekhawatiran. Hal itu berupa amal yang belum
diyakini kebaikannya, sebab terkadang amal itu baik dilakukan dengan sempurna
atau tidak, tidak mendatangkan kebaikan bagi seorang hamba. Bisa saja saat
melakukan amal tadi hamba tersebut terperosok ke dalam sifat ujub dan kerusakan
yang tidak seimbang dengannya.
Kalau begitu berarti seorang hamba yang
memulai ibadahnya tidak boleh memastikan bisa menyempurnakannya, karena
penyempurnaan tersebut termasuk hal gaib. Ia tidak boleh menginginkan ibadah tersebut
secara pasti, karena terkadang hal itu tidak membawa kebaikan. Akan tetapi
hamba tersebut hendaknya menyandarkan amal itu pada pengecualian atau syarat
adanya kebaikan agar ia selamat dari angan-angan yang tercela.
Allah berfirman:
Artinya: “Dan jangan sekali-kali kamu
mengatakan terhadap sesuatu, “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi.
Kecuali (dengan menyebut) Insya Allah.” (Q.S. Al-Kahfi: 23-24)
Menurut para ulama kebalikan dari
angan-angan semacam ini adalah niat terpuji. Mereka mengemukakan pendapat
seperti ini karena semacam kelonggaran, yaitu orang yang memiliki niat terpuji
biasanya tidak senang berangan-angan.
Inilah hukum angan-angan dan niat
terpuji, karena hal itu memang sudah dibutuhkan dan perlu diketahui. Sebab
masalah ini memang sangat penting
Para ulama menyebutkan yang lebih luas
lagi tentang hal ini. Mereka mengatakan bahwa niat yang benar dan terpuji
adalah memastikan keinginan untuk melakukan suatu amal dan menyempurnakannya
sebelum memulai amal yang baru disertai penyerahan diri dan pengecualian (Insya
Allah) dalam menyempurnaannya.
Jika ada yang bertanya: “Kenapa pada saat
memulai diperbolehkan memastikannya tapi untuk menyempurnakan harus disertai
penyerahan diri dan pengecualian?”
Alasannya, karena saat memulai tidak ada
sesuatu yang mengkhawatirkan dan hal itu belum terlambat. Juga karena adanya
kekhawatiran saat menyempurnakan amal tersebut. Sebah saat menyempurnakan suatu
amal ia sudah terlanjur melakukannya. Kemudian dari situ muncul dua
kekhawatiran: Pertama khawatir tidak bisa wushul (sampai ke tempat tujuan). Ia
tidak tahu entah bisa wushul atau tidak. Yang kedua adalah khawatir amal
tersebut menjadi rusak. Ia tidak tahu apakah amal tersebut baik atau tidak.
Jadi, ia harus mengecualikan (dengan
lafal Insya Allah) karena mengkhawatirkan sampai dan tidaknya amal tersebut. Ia
juga harus berserah diri karena mengkhawatirkan kerusakannya.
Bila keinginan Anda sudah memenuhi
syarat-syarat di atas berarti keinginan tersebut sudah masuk dalam kategori
niat terpuji yang bisa mengeluarkan seseorang dari batas panjang anganangan dan
kerusakannya.
Oleh karenanya, renungkanlah keterangan
ini dengan sungguh-sungguh.
Ketahuilah bahwa benteng pendek
angan-angan adalah mengingat kematian. Dan benteng yang menjadi penjaganya
adalah mengingat maut yang selalu datang tiba-tiba, tanpa disangka-sangka dan
datang di saat lengah.
Peliharalah semua keterangan ini. Semoga
Allah memberikan taufik. Sebab kebutuhan untuk itu sudah mendesak. Jangan
siasiakan waktu Anda untuk beromong kosong dan berselisih pendapat dengan orang
lain.
Hanya Allah yang memberikan taufik dengan
anugerah-Nya.
Kedengkian
Dengki adalah keinginan hilangnya
nikmat-nikmat yang yang diberikan kepada Allah dari saudara-saudara yang
beragama Islam berupa nikmat kebaikan.
Jika Anda tidak menginginkan hilangnya
kenikmatan tersebut tapi hanya ingin agar diri Anda mendapatkan yang seperti
itu, maka keinginan tersebut dinamakan ghibthah (bercita-cita ingin mendapat
seperti orang lain tanpa merasa iri).
Cita-cita seperti inilah yang dimaksudkan
oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya berikut ini:
Artinya: “Tidak diperbolehkan mendambakan
nikmat milik orang lain kecuali dalam dua hal…
Beliau mengungkapkan “ghibthah” dengan
kata “hasad” hanya untuk memberi kelonggaran, karena keduanya memiliki arti
yang hampir sama.
Bila nikmat yang diberikan oleh Allah
tidak mengandung kebaikan baginya, lalu Anda menginginkan hilangnya kenikmatan
tersebut, maka hal itu dinamakan “ghirah” (kecemburuan).
Kebalikan dari sikap dengki adalah
“nashihah”, yaitu keinginan agar nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada
saudara Anda mengandung kebaikan tetap melekat padanya.
Jika ada pertanyaan: “Bagaimana caranya
mengetahui bahwa nikmat itu mengandung kebaikan atau tidak, agar kami bisa
merasa nashih atau merasa dengki?”
Ketahuilah bahwa kita pasti memiliki
sebuah dugaan yang lebih kuat. Bagi kita dugaan kuat seperti itu bisa
disejajarkan dengan pengetahuan.
Kemudian jika hal itu terlihat sama,
artinya dugaan bahwa hal itu mengandung kebaikan dan tidak, sama-sama kuat,
maka jangan sekali-kali menginginkan hilangnya suatu kenikmatan atau tetap
melekatnya nikmat tersebut dari sesama muslim kecuali dengan menyandarkannya
pada Allah dan dengan syarat hal itu mengandung kebaikan, agar Anda terbebas
dari hukum kedengkian dan mendapatkan manfaat “nashihah”.
Benteng yang dapat melindungi pertahanan
di atas adalah mengingat keagungan yang diberikan oleh Allah, seperti hak
seorang mukmin dan kedudukan tinggi. Selain itu masih ada kemuliaan-kemuliaan
yang akan diberikan Allah kelak di akhirat dan manfaat-manfaat lain yang
diberikan-Nya di dunia seperti saling menolong, saling membantu, berjamaah, dan
salat Jum’at. Kemudian syafaat (pertolongan) yang Anda harapkan di akhirat
kelak.
Semua ini termasuk bagian dari hal-hal
yang membangkitkan “nashih” kepada setiap muslim dan menjauhkan Anda dari
perasaan dengki terhadap nikmat Allah yang diberikan kepada mereka.
Tergesa-gesa
Tergesa-gesa adalah sesuatu yang tersusun
rapi dalam hati seseorang dan mendorongnya untuk melakukan segala macam
keinginan dengan segera tanpa menyelidikinya terlebih dahulu.
Kebalikan dari sikap ini adalah al-anat,
yaitu sesuatu yang tersusun rapi di dalam hati dan membangkitkan kehati-hatian
dalam segala hal, berpikir tentang hal itu dan tidak tergesa untuk mengukuti
dan mengamalkannya.
Tawaquf (kebimbangan) adalah kebalikan
dari Ta’assuf (melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang, teledor — Pen).
Guru kami berkata: “Perbedaan antara
kebimbangan (tawaquf) dan perlahan-lahan (ta’anniy) adalah: Sesungguhnya kebimbangan
itu dilakukan sebelum memulai suatu pekerjaan sampai ia merasa yakin bahwa apa
yang akan dikerjakan itu memang benar. Sedangkan perlahan-lahan dilakukan
setelah memulainya sehingga ia bisa melakukan bagian-bagiannya dengan sempurna.
Permulaan “anat” (perlahan-lahan) adalah
mengingat kekhawatiran-kekhawatiran yang muncul dalam segala hal yang
dihadapkan kepadanya. Mengingat kerusakan yang ditakutinya, mengingat
keselamatan yang diperoleh dengan kehati-hatian dan mengingat apa yang
diperoleh dengan tawagguf dan isti’jal (tergesa-gesa) seperti penyesalan dan
cemoohan.
Semua ini dan yang sejenisnya merupakan
hal-hal yang membangkitkan seseorang untuk perlahan-lahan dan bimbang dalam
melakukan sesuatu serta mencegahnya dari ketergesagesaan dan keteledoran.
Hanya Allah yang menguasai pemeliharaan
dengan rahmatNya.
Kesombongan
Ketahuilah bahwa kesombongan adalah gerak
hati untuk menganggap agung diri sendiri, dan akibatnya bersikap sombong.
Adapun dhi’ah atau rendah diri adalah
merendahkan diri, dan akibatnya muncul sikap tawadhu’. Masing-masing bersifat
umum dan khusus.
Tawadhu’ yang bersifat umum adalah
mencukupkan diri pakaian, tempat tinggal dan kendaraan yang tidak mewah.
Kesombongan yang menjadi bandingannya
adalah bermewah-mewah dalam hal tersebut.
Tawadhu’ yang bersifat khusus adalah
melatih diri untuk menerima kebenaran dari siapapun datangnya, baik orang yang
hina ataupun mulia.
Kesombongan yang menjadi bandingannya
adalah hanya menerima kebenaran yang datang dari orang-orang yang mulia.
Kesombongan semacam ini merupakan dosa
besar dan kesalahan yang fatal.
Kemudian benteng tawadhu’ yang bersifat
umum adalah mengingat asal-muasal, kesudahan dan apa yang terjadi saat ini, –
Seperti kerusakan dan hal-hal yang kotor.
Sebagian ulama berkata: “Permulaanmu
adalah setetes air mani yang menjijikkan. Kesudahanmu adalah bangkai yang
berbau, dan kamu hidup di antara keduanya sambil membawa kotoran.
Benteng tawadhu’ yang bersifat khusus
adalah mengingat Siksaan bagi orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dan terus
menerus berada dalam kebathilan.
Inilah keterangan yang bisa dianggap
cukup oleh orang yang waspada.
Hanya Allah yang memberikan taufik dengan
anugerah-Nya,
Pasal Kelima: Perut dan Pemeliharaannya
Wahai orang yang berkehendak untuk
beribadah! Hendaklah Anda senantiasa memelihara perut dan meperbaikinya. Sebab
perut merupakan anggota tubuh yang paling sulit diperbaiki oleh orang yang
bersungguh-sungguh dalam ibadahnya. Perut juga banyak memerlukan biaya, banyak
menyita waktu, sangat berbahaya dan juga sangat berpengaruh. Semua itu
disebabkan karena perut merupakan sumber segala macam penyakit. Dari situ akan
muncul beberapa hal yang berhubungan dengan anggota badan lain seperti
kekuatan, ketidakmampuan, pemeliharaan diri (iffah) tak mau beribadah, dan
lain-lain.
Jadi pada awalnya Anda harus senantiasa
memeliharanya dari barang haram dan syubhat. Setelah itu baru memeliharanya
dari kelebihan barang halal kalau Anda memang memiliki keinginan kuat untuk
menjalankan ibadah.
Anda harus menjauhkannya dari barang
haram dan syubhat karena tiga hal:
Memelihara diri dari api neraka Jahannam.
Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim itu sebenarnya mereka memasukkan api ke
dalam perut mereka. Dan mereka akan masuk ke dalam neraka sa’iir.” (QS.
An-Nisaa’: 10)
Nabi Saw. juga bersabda:
Artinya: “Setiap daging yang tumbuh dari
barang haram, maka api neraka lebih berluk membakarnya.”
Orang yang memakan barang haram dan
syubhat ditolak menghadap Allah dan tidak akan mendapat taufik untuk
menjalankan ibadah, karena tidak ada yang pantas melayani Allah selain
orang-orang yang suci dan bersih. Menurut pendapatku, bukankah Allah telah
melarang orang yang sedang junub masuk ke dalam rumah-Nya (masjid)? Ia juga
melarang orang yang berhadas memegang kitab suci-Nya.
Allah berfirman:
Artinya: “Dan (jangan mendekat ke masjid)
ketika sedang junub kecuali hanya melewati jalan sampai kalian semua mandi.”
Allah juga berfirman:
Artinya: “Tidak diperbolehkan
menyentuhnya selain orang-orang yang suci.” (Q.S. al-Waqiah: 79)
Padahal junub dan hadas adalah sesuatu
yang timbul dari Sesuatu yang diperbolehkan. Lalu bagaimana jika yang
melakukannya adalah orang yang berlepotan lumpur haram dan barang syubhat yang
najis? Kapan hal itu akan mengajaknya untuk melayani Allah yang Maha Luhur dan
mengingat yang Maha Mulia?
Tak mungkin. Hal itu selamanya tak
mungkin akan terjadi.
Mu adz Ar-Raazi berkata: “Ketaatan itu
tersimpan di dalam gudang Alah. Kunci untuk membukanya adalah doa. Dan gigi
anak kuncinya adalah barang halal. Bila kunci itu tidak bergigi, maka pintunya
tidak akan terbuka. Dan bila pintu gudang tida terbuka, maka bagaimana mungkin
bisa sampai dan mengambil ketaatan yang ada di dalamnya?
Orang yang memakan makanan haram dan
syubhat akan terhalang dari malakukan kebaikan. Apabila secara kebetulan ja
melakukannya, maka kebaikan itu pun ditolak. Jadi, ia tidak menghasilkan apapun
selain kepayahan, kesukaran dan buangbuang waktu.
Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “Banyak sekali orang yang
beribadah di malam hari dan yang didapatkannya hanyalah begadang. Banyak orang
yang berpuasa dan yang didapatkan dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga.”
Diceritakan dari Ibnu Abbasr.a.: “Allah
tidak akan menerima salat dari orang yang di dalam perutnya terdapat barang
haram.”
Camkan hal ini baik-baik!
Adapun kelebihan barang halal, maka
ketahuilah bahwa itu adalah kerusakan bagi para ahli ibadah dan bencana bagi
orang yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya.
Kemudian aku merenung dan menemukan
sepuluh kerusakan yang sangat pokok dalam hal ini:
Banyak makan membuat seseorang berhati
keras.
Diceritakan dari Nabi Saw. beliau
bersabda:
Artinya: “Jangan membunuh hati kalian
dengan banyak makan dan minum, karena hati akan mati bagai tanaman yang
terendam air”
Orang-orang saleh menggambarkan bahwa
perut itu bagaikan periuk yang berada di bawah hati dan dididihkan. Uapnya naik
ke atasnya (hati). Uap yang banyak akan membuat hati menjadi keruh dan hitam.
Banyak makan menimbulkan fitnah bagi
seseorang, membangkitkannya untuk mencari kelebihan barang halal dan membuat
kerusakan. Sebab seseorang yang perutnya kenyang tentu akan melecehkan nikmat.
Matanya selalu ingin memandang hal-hal haram yang tidak ada gunanya atau
kelebihan barang halal. Telinganya ingin mendengarkan hal itu. Mulutnya ingin
membicarakan hal haram dan tak berguna. Kemaluannya ingin mendapatkan apa yang
disukainya. Dan kaki hendak melangkah ke arah itu.
Jika seseorang merasa lapar, maka seluruh
anggota badannya akan tenang, dia, tidak menginginkan sesuatu dan tidak ada
gairah untuk itu.
Al-Ustadz Abu Ja’far mengatakan bahwa
perut adalah satu anggota tubuh. Jika ia lapar, maka seluruh badan menjadi
kenyang (diam). Bila ia kenyang, maka seluruh badan menjadi lapar.
Intinya, semua perbuatan dan ucapan seseorang
disesuaikan dengan makanan dan minumannya. Jika ada barang haram yang masuk ke
dalamnya, maka yang keluar (muncul) adalah perbuatan dan ucapan haram. Jika
yang masuk adalah kelebihan barang halal, maka yang keluar juga kelebihan
barang halal (sesuatu yang tak berguna). Makanan bagaikan biji perbuatan dan
ucapan yang akan tumbuh dan muncul darinya (perut).
Banyak makan membuat seseorang berdaya
pikir rendah dan kurang pengetahuan. Sebab perut yang penuh akan menghilangkan
kecerdasan.
Benar sekali yang dikatakan oleh
Ad-Daarani berikut ini: “Jika kamu memiliki suatu kebutuhan dari bermacam
kebutuhan dunia dan akhirat, maka janganlah kamu makan sebelum mendapatkannya,
sebab makan itu dapat merubah pikiran.”
Ini semua adalah sesuatu yang jelas dan
diketahui oleh orang yang pernah mencobanya.
Banyak makan bisa mengurangi ibadah
seseorang. Sebab apabila seseorang terlalu banyak makan tentu badannya menjadi
berat, matanya mengantuk, anggota badan mengendor dan tidak bisa melakukan
ibadah sedikitpun. Ia tidak akan bersungguh-sungguh kecuali untuk tidur bagai
bangkai yang ditelentangkan.
Ada orang yang mengatakan: “Jika kamu
kenyang, maka anggaplah dirimu orang yang lumpuh.”
Telah diceritakan dari Nabi Yahya a.s.
bahwa Iblis menampakkan diri pada beliau dengan membawa beberapa jerat. Lalu
Nabi Yahya bertanya kepadanya: “Hai Iblis! Apa yang kau bawa itu?” Iblis
menjawab: “Ini adalah syahwat yang kupakai untuk memburu keturunan Adam.” Yahya
bertanya lagi: “Apakah kamu menemukan sesuatu pada diriku untuk kau jerat?”
Iblis menjawab: “Tidak. Hanya saja pada suatu malam engkau merasa kenyang dan
aku membuatmu merasa berat melakukan salat.” Yahya berkata: “Sungguh aku tidak
akan makan kenyang setelah kejadian itu untuk selamalamanya.” Iblis berkata: ”
Akujuga pasti tidak akan memberikan nasehat sebaik ini kepada siapapun untuk
selamanya.”
Beginilah keadaan orang yang seumur hidup
hanya satu malam merasa kekenyangan. Lalu bagaimana dengan orang yang seumur
hidupnya tidak merasa lapar kecuali hanya semalam dan ia berharap bisa
beribadah?
Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Ibadah
bagaikan perusahaan. Kedainya adalah menyepi dan alat yang digunakan adalah
lapar.”
Banyak makan menghilangkan rasa manis
dalam beribadah. Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. berkata: ” Aku tidak penah merasa
kenyang semenjak masuk Islam agar bisa merasakan manisnya beribadah kepada
Tuhanku. Aku tidak pernah merasakan puasnya minum semenjak masuk Islam karena
teramat rindu untuk segera bertemu dengan Tuhanku.”
Inilah ciri-ciri orang yang telah terbuka
hijabnya. Karena itu, Abu Bakar telah menjadi orang yang mukasyafah,
sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah Saw. dengan sabdanya:
Artinya: “ Kelebihan Abu Bakar atas
kalian bukanlah karena puasa dan salatnya tapi apa yang tertanam kuat di dalam
dirinya.” Ad-Daarani berkata: “Ibadah yang kurasakan paling manis adalah saat
perutku lengket dengan lambungku.”
Banyak makan menimbulkan kekhawatiran
terjerumus ke dalam barang syubhat dan haram. Sebab barang halal yang datang
kepada Anda tak lain hanya sebagai penguat.
Telah diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa
beliau bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya tidak ada barang
halal yang datang kepadamu selain hanya sebagai penguat, sedangkan barang yang
haram datang kepadamu secara berbondong-bondong.”
Banyak makan menimbulkan kesibukan pada
hati dan badan, Mula-mula seseorang sibuk untuk mendaptkannya. Yang kedua ia
akan sibuk menyiapkannya dan yang ketiga sibuk memakannya. Lalu yang keempat ia
akan sibuk mengeluarkannya. Setelah itu ia akan sibuk menyelamatkan diri dari
bahaya yang ditimbulkan seandainya makanan tersebut menimbulkan bahaya pada
tubuhnya atau bahkan makanan tersebut bisa merusak agamanya.
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Artinya: “Inti segala macam penyakit
adalah kekenyangan. Dan inti segala macam obat adalah mengurangi makan.”
Artinya, lapar dan menghindari pantangan.
Diceritakan dari Malik bin Dinar bahwa
beliau berkata: “Wahai sudara-sudaraku! Aku berulangkali masuk ke dalam jamban
karena banyak makan, sampai aku merasa malu kepada Tuhanku. Alangkah senangnya
bila rezekiku berada di dalam kerikil yang dapat kukulum sampai mati.”
Sehubungan dengan keterangan di atas,
sehingga menjadikan orang yang ingin beribadah mau tidak mau harus mencari
dunia, mengharap pemberian orang lain dan menyia-nyiakan waktu karena banyak makan
selama ia tidak merasa takut.
Kepayahan yang didapatkan di akhirat
sulitnya sakaratul maut.
Diceritakan dalam beberapa hadis bahwa
kesulitan sakaratul maut sesuai dengan kelezatan dunia. Barangsiapa yang
memperbanyak hal itu (merasa lezat) maka sakaratpun terasa lebih sulit.
Berkurangnya pahala di akhirat.
Artinya: ” Kalian telah menghilangkan
keenakan-keenakan dalam kehidupan dunia dan bersenang-senang dengannya. Maka
pada hari ini kalian akan dibalas dengan azab yang hina karena kesombongan yang
tidak sepantasnya di muka bumi dan juga karena kalian berbuat fasik.” (Q.S.
Al-Ahqaaf: 20)
Sesunggunya ukuran kelezatan yang Anda
rasakan di dunia akan mengurangi kelezatan yang ada di akhirat. Karena itulah,
saat Allah menampakkan dunia ini kepada Nabi Muhammad Saw. Dia berfirman: “Dan
aku tidak akan sedikitpun mengurangi kelezatanmu diakhirat.” Prioritas seperti
ini menunjukkan bahwa selain beliau akan mengalami pengurangan kecuali bila ia
diberi anugerah oleh Allah.
Diceritakan bahwa Khalid bin Walid menjamu
sahabat Umar bin Al-Khaththab. Beliau menyiapkan makanan tersebut. Maka sahabat
Umar bertanya: “Makanan ini untukku. Lalu bagaimana dengan kaum fakir, para
muhajirin, orang-orang yang mati kelaparan dan belum pernah merasakan
kenyangnya makan roti gandum?” Khalid menjawab: “Wahai amirul mukminin! Mereka
telah mendapatkan surga.” Umar berkata: “Jika mereka mendapatkan surga dan
makanan ini bagian kita, maka mereka jelas sangat berbeda dengan kita.”
Diceritakan bahwa pada suatu hari sahabat
Umar r.a. merasa haus dan beliau meminta air. Seseorang memberikan sebuah cawan
berisi air rendaman kurma kepada beliau. Saat mendekatkan cawan tersebut ke
mulut, beliau merasakan air yang amat dingin dan manis. Lalu beliau tidak jadi
meminumnya dan mendesah. Maka orang yang mengambilkan cawan tersebut berkata: ”
Wahai Amirul mukminin! Demi Allah, aku telah membuat minuman itu semanis
mungkin.” Maka sahabat Umar menjawab: “Itulah yang membuatku tidak jadi minum.
Seandainya tidak ada kehidupan akhirat tentu aku akan menyamai kehidupan
kalian.”
Banyak makan menimbulkan penahanan,
hisab, celaan dan cemoohan, karena mengambil kelebihan barang halal secara
tidak sopan dan mencari kesenangan syahwat. Padahal harta dunia yang halal
menimbulkan hisab, yang haram menimbulkan siksaan, dan perhiasannya membawa
kerusakan.
Inilah sepuluh kerusakan yang berkaitan
dengan kelebihan barang halal dan masing-masing kiranya sudah mencukupi bagi
orang yang mau melihat kepada dirinya sendiri.
Oleh karena itu, hai orang yang
bersungguh-sungguh, hendaklah Anda sangat berhati-hati dalam mencari makanan
agar tidak terjerumus ke dalam barang haram atau syubhat yang membuat Anda
berhak disiksa. Selain itu, hendaknya Anda mencukupkan diri dengan barang yang
halal sekedar untuk persiapan melakukan ibadah kepada Allah sehingga tidak
terjerumus ke dalam hal buruk yang membuat Anda tertahan.
Hanya Allah yang menguasai taufik.
Jika Anda mengatakan: “Sekarang tolong
jelaskan terlebih dahulu kepada kami, bagaimana hukumnya barang yang haram dan
syubhat beserta batasannya!”
Jawabanku begini: “Demi Allah aku telah
menerangkannya secara panjang lebar di dalam kitab “Asraari Mu’aamalat
Ad-Diin”. Aku juga menyebutkannya dalam bab tersendiri di dalam kitab “Ihya
Ulumiddin”. Akan tetapi kami akan menerangkan beberapa kalimat tersendiri
sekira bisa dicapai oleh orang yang daya pemahamannya rendah dan baru memulai
ibadahnya, karena memang yang menjadi tujuan utama kitab ini adalah agar bisa
dimanfaatkan oleh para pemula dan bisa menolong orang yang sedang belajar.
Sebagian ulama mengatakan bahwa segala
sesuatu yang Anda yakini bahwa itu milik orang lain dan dilarang oleh agama,
maka hal itu adalah murni haram. Sedangkan sesuatu yang belum diyakini milik
orang lain tapi menurut dugaan yang kuat hal itu milik orang lain, maka hal itu
adalah syubhat.
Ulama yang lain mengatakan bahwa barang
yang murni haram adalah sesuatu yang Anda yakini atau diduga kuat sebagai
sesuatu yang dilarang Allah. Sebab dugaan yang kuat bagi kami sama dengan yakin
dalam banyak hukum. Sedangkan jika tandatandanya seimbang dan tidak ada lagi
keraguan serta tidak ada yang lebih unggul, hal itu termasuk syubhat. Ia bisa
saja halal dan juga bisa haram. Jadi, bagi Anda hal itu belum jelas.
Kemudian mencegah diri dari sesuatu yang
murni haram adalah suatu kewajiban. Dan mencegah diri dari sesuatu yang syubhat
adalah suatu ketakwaan atau sikap wara’. Inilah pendapat yang lebih terpilih di
antara dua pendapat.
Jika ada yang bertanya: “Bagaimana
pendapat Anda tentang menerima bonus yang diberikan oleh para sultan (penguasa)
di zaman sekarang ini?”
Ketahuilah bahwa dalam hal ini para ulama
berselisih pendapat. Sebagian ulama mengatakan bahwa segala sesuatu yang belum
diyakini keharamannya itu boleh diterima.
Ulama yang lain berkata: “Seseorang tidak
diperbolehkan menerima (mengambil) sesuatu yang belum diyakini kehalalannya.
Sebab diduga kuat harta-harta yang dimiliki oleh para penguasa di zaman
sekarang ini adalah haram dan tidak ada sedikitpun atau jarang sekali barang
halal di tangan mereka.”
Ulama lain berkata: “Pemberian para
penguasa itu halal bagi orang kaya dan miskin, karena harta tersebut belum
nyata keharamannya, sedangkan tanggung jawabnya (bila harta itu haram —Pen.)
dibebankan kepada si pemberi (penguasa tersebut).” Mereka berani berkata begitu
karena Nabi Saw. pernah menerima hadiah dari Mugaugis yang menjadi raja
Iskandariyah dan beliau juga pernah berutang kepada orang Yahudi. Sementara
Allah telah berfirman:
Artinya: “Mereka (orang-orang Yahudi)
banyak memakan barang haram: (Q.S. Al-Maaidah: 42)
Mereka juga mengatakan bahwa ada
sekelompok ulama yang mengalami masa pemerintahan orang-orang zalim dan
menerima pemberian mereka. Di antara ulama tersebut terdapat Abu Hurairah, Ibnu
Abbas, Ibnu Umar dan ulama-ulama lain, semoga — Allah meridai mereka semua.
Ulama lain berkata: “Tidak ada sedikitpun
dari harta mereka yang halal bagi orang kaya maupun miskin, karena mereka biasa
disebut sebagai orang yang zalim dan harta mereka kebanyakan haram. Oleh karena
itu, hukum yang dipakai adalah yang lebih banyak. Dengan begitu, maka
diwajibkan untuk menjauhi (harta)nya.
Ulama lain mengatakan bahwa segala
sesuatu (dari para penguasa) yang belum diyakini keharamannya adalah halal bagi
orang miskin dan haram bagi orang kaya, kecuali jika si miskin tahu bahwa harta
itu hasil dari ghashab, maka ia tidak boleh mengambilnya kecuali untuk
mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya. Orang miskin tidak berdosa jika
mengambil (menerima) pemberian dari penguasa, karena bila harta tersebut memang
milik si penguasa dan diberikan kepada orang miskin, maka ia boleh saja
mengambilnya tanpa ragu. Dan bila harta itu berasal dari hasil rampasan perang,
pajak, atau potongan sepersepuluh, maka orang fakir berhak memilikinya, begitu
juga dengan orang yang ahli ilmu.
Ali bin Abu Thalib r.a. berkata:
“Barangsiapa masuk Islam dengan membawa ketaatan dan secara lahir membaca
Al-Qur’an, maka setiap tahun ia berhak mendapat bagian dua ratus dirham, atau
dua ratus dinar dari baitul-maal milik kaum muslimin. Jika ja tidak
mengambilnya saat hidup di dunia, maka ia akan mengambilnya di akhirat.”
Kalau begitu, maka orang fakir dan ahli
ilmu berhak mengambil haknya.
Para ulama mengatakan: “Jika harta
tersebut telah bercampur baur dengan harta hasil ghashab dan tidak mungkin
memisahkannya, atau harta tersebut memang harta ghashab yang tidak mungkin
dikembalikan kepada pemilik dan keluarganya, maka penguasa tersebut tidak
memiliki jalan lain kecuali menyedekahkannya. Allah tidak memerintahkan kepada
penguasa untuk bersedekah kepada orang-orang fakir dan melarang si fakir
menerimanya. Allah tidak mungkin menyuruh orang fakir menerima sesuatu dan
mengharamkan barang tersebut untuknya. Jadi, orang yang fakir boleh menerima
pemberian kecuali yang benar-benar hasil ghashab atau haram.
Masalah ini tidak mungkin dijelaskan
tanpa pembahasan yang panjang, berat dan mengartikan setiap pendapat serta
keluar dari tujuan utama kitab ini. Jika Anda ingin mengetahuinya, maka
lihatlah kitab “Halal dan haram” bagian dari kitab “Ihya Ulumiddin” yang telah
kami susun, tentu di dalamnya akan Anda temukan penjelasannya secara jelas.
Insya Allah.
Jika ditanyakan: “Bagaimana pendapat Anda
tentang pemberian para pedagang pasar dan sebagainya? Haruskah pemberian
tersebut ditolak dan dibahas terlebih dahulu? Sementara Anda telah mengetahui
jual-beli mereka yang hanya dikira-kira (tanpa ditimbang) dan minimnya
perenungan mereka dalam pekerjaan mereka. Begitu pula dengan pemberian
saudarasaudara yang lain.”
Jawabannya adalah: “Jika secara lahir
manusia tersebut bersikap baik dan tersembunyi (keburukannya), maka tak ada
salahnya bila Anda menerima pemberian dan sedekah mereka. Tak ada lagi yang
perlu dipertanyakan seperti yang Anda katakan bahwa zaman telah menjadi rusak,
karena itu hanya buruk sangka terhadap seorang muslim. Bahkan berbaik sangka
terhadap kaum muslimin adalah sesuatu yang diperintahkan.
Kemudian ketahuilah bahwa yang terpenting
dalam menerima pemberian ini adalah dua hal:Hukum agama dan lahirnya.
Hukum wara’ dan keharusannya.
Menurut hukum agama, Anda boleh menerima
sesuatu dari seseorang yang secara lahir bersifat baik kecuali Anda merasa
yakin bahwa barang tersebut benar-benar hasil ghashab atau haram. Adapun
menurut hukum wara’, Anda boleh menerima sesuatu dari seseorang setelah
mempertanyakannya secara detail dan membahasnya dengan benar sampai merasa
yakin bahwa barang tersebut tidak mengandung syubhat. Jika tidak, maka Anda
harus menolaknya.
Telah diceritakan dari sahabat Abu Bakar
Ash-Shiddiq r.a. bahwa salah seorang pelayan beliau datang membawakan susu dan
beliau langsung meminumnya. Pelayan tersebut berkata: “Setiap kali aku datang
membawakan susu, Anda pasti menanyakan kepadaku tentang susu tersebut. Tapi
kali iri Anda tidak menanyaiku tentang susu ini.”
Abu Bakar bertanya: “Bagaimana
ceritanya?”
Pelayan tersebut menjawab: “Pada masa
jahiliyah aku pernah membuat penangkal untuk suatu kaum, lalu mereka memberikan
susu ini kepadaku.”
Maka Abu Bakar segera memuntahkan susu
tersebut dan berdoa: “Ya Allah. Hanya inilah kemampuanku. Dan apa yang tersisa
dalam ototku, maka Engkaulah yang menghisabnya.”
Hal ini menunjukkan keharusan Anda untuk
mempertanyakan apa yang disodorkan jika Anda memang memiliki pikiran untuk
bersikap wara’ dan memenuhi apa yang harus dilakukan di dalamnya.
Jika Anda berkata: “Kalau begitu seakan-akan
sikap wara’ berbeda dengan agama dan hukumnya.”
Ketahuilah bahwa syarak (agama) itu
dibuat atas dasar mempermudah dan mempermurah. Karena itu pula Nabi Saw.
bersabda:
Artinya: “Aku diutus dengan agama yang
dicenderungi dan dipermurah.”
Sikap wara’ dibuat atas dasar memberatkan
dan kehati-hatian seperti yang dikatakan oleh seorang ulama bahwa urusan agama
bagi orang yang bertakwa itu lebih rumit daripada menghitung sembilan puluh
sembilan dengan hitungan jari.”
Selain itu sikap wara’ juga berasal dari
agama. Pada mulanya dua hal tersebut adalah satu. Akan tetapi agama mempunyai
dua hukum, yaitu hukum “boleh” dan “lebih utama untuk lebih berhati-hati”.
Hukum “boleh” dinamakan hukum syarak. Sedangkan yang lebih utama untuk
berhati-hati” dinamakan wara’. Meski berbeda keduanya tetapi hanya dalam satu
prinsip.
Pahamilah keterangan ini. Semoga Anda
mendapat petunjuk.
Jika Anda berkata: “ Apabila
diperbolehkan mempertanyakan sesuatu serta menyelidikinya, maka semua yang Anda
terima di zaman sekarang ini tentu rusak dan sulit sekali mencari orang yang
benar-benar bersikap wara’, karena ia harus memiliki bekal untuk bisa sampai
pada tingkat ketaatan.”
Ketahuilah bahwa jalan wara’ ini sangat
sulit ditempuh dan orang yang ingin menitinya disyaratkan harus memantapkan
diri dan hatinya untuk menanggung segala kesulitan. Jika tidak, maka ia tidak
akan dapat menitinya dengan sempurna. Karena alasan ini ini pula banyak orang
yang ahli dalam hal wara’ dan orangorang terdahulu berjalan menuju gunung
Lebanon dan tempattempat lain. Mereka merasa cukup dengan memakan rumput dan
buah-buahan yang tak berharga dan tidak mengandung syubhat sama sekali.
Maka barangsiapa bercita-cita tinggi
untuk mencapai kedudukan tersebut, hendaknya siap menanggung berbagai
kesulitan, menjalaninya dengan sabar dan mengikuti langkah mereka supaya bisa
mencapai kedudukan tersebut.
Sedangkan jika ia tetap tinggal di tengah
masyarakat dan memakan barang yang silih berganti di antara mereka, maka
hendaklah ia menganggapnya bagaikan bangkai. Ia tidak mengambil kecuali dalam
keadaan terpaksa. Kemudian ia juga tidak mencarinya selain hanya sekedar cukup
sebagai bekal untuk mencapai ketaatan. Dengan begitu, ia memiliki alasan untuk
memakannya dan hal itu tidak akan membahayakan dirinya meski pada dasarnya barang
tersebut berupa syubhat, sebab Allah lebih lebih baik dalam menerima alasan.
Oleh karena itu, Hasan Al-Bashri berkata:
“Pasar telah menjadi rusak. Karena itu, hendaklah kamu sekalian mengambil
makanan sekedar untuk penguat. Aku benar-benar telah mendengar kabar bahwa Wahb
bin Al-Warid memperlapar dirinya selama satu, dua, atau tiga hari. Kemudian ia
mengambil roti dan berkata, Ya Allah! Sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku
tidak kuat beribadah. Aku juga khawatir menjadi lemah. Jika tidak karena itu aku
tidak akan memakannya. Ya Allah! Jika di dalamnya ada sesuatu yang kotor
(syubhat) atau haram, maka janganlah Engkau menyiksaku karenanya.” Lalu beliau
membasahi roti tersebut dengan air dan memakannya.
Menurut sepengetahuan kami, inilah dua
jalan menuju tingkatan tertinggi dari orang-orang yang bersikap wara.
Sedangkan orang yang berada setingkat di
bawah tingkatan ini, mereka memiliki sikap berhati-hati sesuai dengan derajat
yang mereka miliki. Mereka juga memiliki bagian dari derajat wara’ sesuai dengan
tingkatannya. Dan sesuai dengan jerih payah yang Anda kerjakan, maka Anda pun
akan mendapatkan apa yang Anda harapkan.
Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala
seseorang yang memperbagus amalnya. Dan Dia Maha Mengetahui apa yang mereka
kerjakan.
Jika ada pernyataan: “Keterangan ini baru
pada sisi yang haram. Oleh karena itu, sekarang tolong terangkan sisi yang
halal, apa batasan kelebihan barang halal yang yang tidak mengharuskan
seseorang ditahan dan dihisab, seberapa ukuran harta yang jika diambil oleh seorang
hamba menjadi suatu kesopanan tidak menjadi fudhul serta tidak menyebabkan
penahanan dan hisab baginya!”
Ketahuilah bahwa keadaan sesuatu yang
mubah itu secara global terbagi menjadi tiga macam:
Sesuatu yang diambil oleh seorang hamba
dengan tujuan membanggakan diri, memperbanyak harta dan pamer. Mengambil harta
semacam ini termasuk perbuatan yang secara lahir mengharuskan pelakunya
ditahan, dihisab, dicela dan dicemooh. Sedangkan secara batin pengambilan
tersebut termasuk perbuatan mungkar dan buruk, yaitu memperbanyak harta,
menyombongkan diri dan siksaan di dalam neraka.
Tujuan semacam ini termasuk kemaksiatan
dan suatu dosa berdasarkan firman Allah:
Artinya: “Sesungguhnya kehidupan dunia
ini hanyalah main-main, permainan dan hiasan.” sampai pada firman: “Kelak di
akhirat akan menghadapi siksa yang pedih.” (Q.S. Al-Hadiid: 20)
Nabi Saw. bersabda:
Artinya: “Barangsiapa mencari harta dunia
yang halal untuk bermegah-megahan, memperbanyak dan karena pamer, maka ia akan
bertemu Allah, sedangkan Dia dalam keadaan murka.”
Jadi, ancaman tersebut dihubungkan pada
tujuan yang ada di dalam hatinya.
Seseorang mengambil harta tersebut secara
halal karena mengikuti keinginan nafsu semata. Perbuatan semacam itu termasuk
perbuatan buruk dan mengharuskan pelakunya ditahan dan di hisab berdasarkan
firman Allah:
Artinya: “Kemudian kamu semua pasti akan
dimintai pertanggungjawaban pada hari itu mengenai nikmat yang diberikan.”
(Q.S. At-Takaatsur: 8)
Nabi Saw. bersabda:
Artinya: “(Harta dunia itu) halalnya akan
dihisab.”
Seseorang mengambil harta halal pada saat
uzur (beralasan) sekedar untuk menolong dirinya agar bisa beribadah kepada
Allah dan merasa cukup hanya dengan itu.
Mengambil harta tersebut termasuk baik,
bersopan-santun, tidak ada perhitungan (hisab) untuknya dan juga tidak ada
siksa karenanya. Bahkan harta semacam itu mengharuskan adanya pahala dan pujian
berdasarkan firman Allah:
Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang
akan mendapatkan bagian dari apa yang mereka usahakan.” (Q.S. al-Baqarah: 202)
Nabi Saw. bersabda:
Artinya: “Barungsiapa mencari harta dunia
yang halal untuk menjaga din dari menunta minta, berbelas kasih pada
tetangganya dan berusaha untuk mencukupi keluarganya, maka pada hari kiamat ma
akan datang dengan muka cemerlang bagaikan bulan saat purnama.”
Hal itu disebabkan tujuan yang ingin
dicapainya adalah karena Allah.
Pahamilah keterangan penting ini.
Jika ditanyakan: “Apa yang disyaratkan
dalam mengambil perkara mubah sehingga hal itu bisa menjadi suatu kebaikan
seperti yang Anda katakan tadi?”
Ketahuilah bahwa pada dasarnya hal itu
memiliki dua syarat. Yang pertama, keadaan dan yang kedua, adalah tujuan.
Keadaan yang dimaksud di sini adalah
mengambilnya dalam keadaan uzur. Artinya jika tidak mengambil barang tersebut
maka ja dituntut oleh dirinya sendiri. Untuk lebih jelasnya, jika ia tidak
mengambil perkara mubah tersebut, maka ia tidak bisa melakukan kewajibanatau
kesunatan. Dengan begitu, berarti mengambil perkara mubah tersebut baginya
lebih baik ketimbang meninggalkannya, sebab tidak mengambil perkara dunia yang
mubah termasuk keutamaan. Jika itu yang terjadi, maka itulah yang dinamakan
keadaan uzur.
Adapun tujuan yang dimaksud di sini
adalah mengambilnya dengan niat untuk persiapan dan pertolongan dalam beribadah
kepada Allah. Hal itu dilakukan dengan berkata dalam hati “Seandainya hal itu
tidak mengantarkan pada ibadah kepada Allah, tentu aku tidak akan
mengambilnya.” Inilah yang dinamakan mengingat alasan kuat (hujjah).
Jika ia bisa mengingat hujjah dalam
keadaan uzur, maka pengambilannya terhadap harta dunia yang halal bisa menjadi
kebaikan dan kesopan-santunan.
Sedangkan bila keadaannya adalah keadaan
uzur tapi ia tidak memiliki tujuan seperti ini, atau ia memiliki tujuan seperti
ini tapi tidak dalam keadaan uzur, maka pangambilan tersebut tidak termasuk
dalam kategori kebaikan.
Kemudian untuk menjaga kelangsungan
bersopan-santun seperti ini Anda membutuhkan kewaspadaan dan tujuan yang bulat,
yaitu tidak akan mengambilnya sama sekali kecuali sekedar persiapan untuk
beribadah kepada Allah sehingga jika ia lupa tidak mengingat hujjah, maka ia
cukup menggunakan tujuan bulat tanpa harus memperbaharui mengingat hujjah.
Guru kami Abu Bakr Al-Warraq berkata:
“Tiga hal ini menjadi Syarat utama untuk mengambil perkara mubah dari sisi
masingmasing.” Artinya, mengingat hujjah dan keadaan (uzur) itu menjadi syarat
utama untuk menjadikan pengambilan tersebut sebagai sesuatu yang pada dasarnya
sudah baik.
Adapun tujuan bulat yang berasal dari
kewaspadaan dan menduduki derajat kesopanan itu dibutuhkan untuk
kelangsungannya (keistiqamahannya).
Pahamilah keterangan tersebut. Semoga
Anda mendapat petunjuk.
Jika ditanyakan: “Apakah mengambil harta
dunia yang halal dengan syahwat itu temasuk perbuatan maksiat? Apakah ia berhak
disiksa? Dan apakah mengambil dengan suatu alasan (uzur) itu suatu kewajiban?”
Ketahuilah bahwa hal itu adalah sebuah
keutamaan dan kami menamakannya sebagai kebaikan. Sementara perintah yang ada
di situ adalah mendidik kesopanan.
Adapun mengambil dengan syahwat itu
merupakan suatu keburukan. Larangan yang ada di situ adalah suatu kesopanan dan
bukan termasuk maksiat. Oleh karena itu, ia tidak berhak mendapat siksaan, tapi
hanya penahanan, hisab, celaan dan : cemoohan.
Jika Anda bertanya: “Apa yang dimaksud
dengan hisab dan penahanan yang harus diterima oleh seorang hamba?”
Ketahuilah bahwa hisab tersebut adalah,
Anda akan ditanya mengenai apa yang Anda usahakan, dibelanjakan untuk apa dan
apa tujuan yang ingin Anda capai dengan hal itu. Sedangkan penahanan di sini
adalah tertahan dari masuk surga saat terjadi hisab (perhitungan) dan hal itu
dilakukan di pelataran Makhsyar di antara peristiwa-peristiwa mengerikan dan
hal-hal yang menakutkan di dalamnya dalam keadaan telanjang dan sangat haus.
Cukuplah kiranya hal itu sebagai bencana.
Jika dikatakan: “Kalau begitu Allah telah
menghalalkan barang yang halal ini bagi kita. Lalu untuk apa masih ada makian
dan cacian dalam pengambilannya?”
Ketahuilah bahwa makian dan cacian itu
karena ia tidak sopan. Seperti halnya orang yang diundang dalam jamuan makan di
rumah seorang penguasa. Lalu ia tidak bersikap sopan. Ia akan dimaki dan dicaci
karena ketidak-sopanannya, meski makanan tersebut boleh ia makan.
Yang penting dalam bab ini adalah bahwa
Allah menciptakan semua hamba untuk beribadah (menghamba). Dia tetap hamba
Allah walau dilihat dari segi manapun. Oleh karena itu, seorang hamba harus
beribadah kepada Allah dari segala arah yang mampu dilakukannya. Dia juga harus
menjadikan semua yang dikerjakannya sebagai ibadah dari segala segi yang ia
kuasai. Jika ia tidak melakukan hal itu dan memilih menuruti keinginan nafsunya
serta sibuk dengan keinginan tersebut hingga lalai dari beribadah kepada
Tuhannya, sementara itu ia mampu malakukannya tanpa mengalami kesulitan,
sedangkan posisinya saat ini adalah posisi melayani dan menghamba, bukan
bersenangsenang dan menuruti syahwat, maka dia berhak mendapat makian dan
cacian dari tuannya.
Oleh karena itu, renungkanlah hal penting
ini. Semoga Anda mendapat petunjuk. Tiada daya dan upaya melainkan dengan
pertolongan Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung.
Inilah keterangan secara menyeluruh yang
kami maksudkan dalam memperbaiki diri dan cara mengendalikannya dengan kendali
takwa. Karena itu, peliharalah keterangan ini sebaik mungkin dengan benar dan
jagalah dengan sungguh-sungguh, maka Anda akan memperoleh banyak kebaikan di
dunia dan akhirat. Insya Allah.
Hanya Allah yang menguasai pemeliharaan
dan taufik dengan anugerah-Nya.