Terjemah Kitab Minhajul Abidin; Takwa, Senjata Melawan Godaan Setan dan Nafsu

 

Terjemah Kitab Minhajul Abidin

 

B. Takwa, Senjata Melawan Godaan Setan dan Nafsu

Jika Anda berkata: “Kalau begitu sekarang terangkan arti ketakwaan agar kami bisa mengetahuinya.”

Mula-mula sebaiknya Anda mengetahui bahwa takwa adalah tempat menyimpan harta-harta yang sangat indah. Dan bila Anda mendapatkanya maka pasti akan menemukan berbagai permata yang amat mulia dan barang-barang yang sangat elok, banyak kebaikan, rezeki yang mulia, keuntungan yang sangat besar, keberuntungan yang mulia, dan istana yang megah. Seolah-olah semua kebaikan dunia dan akhirat dijadikan satu dan kesemuanya itu digantungkan kepada satu hal, yakni takwa.

Renungkan juga firman Allah di dalam Al-Qur’an yang membicarakan tentang takwa. Berapa banyak kebaikan yang Ia gantungkan padanya. Berapa banyak janji pahala dan ancaman siksa yang digantungkan padanya. Berapa banyak keberuntungan yang Dia sandarkan padanya.

Di sini kami akan menyebutkan dua belas hal tentang itu.

Pertama, pujian dan sanjungan.

Allah berfirman:

Artinya: “Apabila kamu sekalian bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya hal itu termasuk bagian dari urusan yang diutamakan.” (Q.S. Ali Imran: 186)

 

Kedua, terpelihara dari musuh.

Firman Allah:

Artinya: “Dan jika kamu sekalian sabar serta bertakwa maka tipudaya mereka sedikitpun tidak membahayakan mereka.” (Q.S. Ali Imran: 120)

 

Ketiga, kekuatan dan pertolongan.

Firman Allah:

Artinya: “Sesungguhnya Allah nenyertai orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. An-Nahl: 128)

Dan firman Allah:

Artinya: “Dan Allah Dzat yang mengasihi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Jaatsiyah: 19)

 

Keempat, selamat dari bahaya dan mendapat rezeki halal.

 

Allah berfirman:

Artinya: “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka Allah akan menjadikan untuknya jalan keluar (dari kesulitan) dan memberinya rezeki secara tidak disangka-sangka.” (Q.S. Ath-Thalaaq: 2-3)

 

Kelima, kebaikan dalam amal.

 

Allah berfirman:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amal kalian.” (Q.S. Al-Ahzaab: 70-71)

 

Keenam, ampunan dari dosa-dosa.

Allah berfirman:

Artinya: “Dan dia akan mengampuni dosa-dosa kalian. (Q.S. Al-Ahzab:71)

 

Ketujuh, kecintaan Allah.

Allah berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa. “(Q.S. At-Taubah: 4)

 

Kedelapan Diterima amalnya.

Allah berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari: orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Maidah: 27)

 

Kesembilan, kemuliaan.

Allah berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang paling mulia di antara kamu sekalian adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian. (Q.S. Al-Hujuraat: 13)

 

Kesepuluh, kabar gembira menjelang kematian.

 

Firman Allah:

Artinya: “Orang-orang yang beriman dan bertakwa, Mereka mendapat kabar gembira di dunia dan ahirat.”(Q.S. Yunus: 63-64)

 

Kesebelas, bebas dari api (neraka).

Firman Allah:

Artinya: “Kemudian kami selamatkan orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Maryam: 72)

Dan firman Allah:

Artinya: “Dan ia (neraka) dijauhkan dari orang-orang yang bertakwa.” (Q.S.Al-Lail: 17)

 

Kedua belas, abadi di dalam surga.

Artinya: “Surga itu disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S.Ali Imran: 133)

 

Inilah keterangan kebaikan dan keberuntungan di dunia dan ahkirat yang digantungkan pada ketakwaan.

Karena itu, jangan lupa bagian Anda, hai orang-orang yang jantan.

Dari semua ini yang khusus diberikan kepada orang-orang yang bertakwa dalam kaitannya dengan ibadah ada tiga macam.

Taufik dan pertolongan yang pertama kali khusus diberikan orang-orang yang bertakwa. Firman Allah:

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. At-Taubah: 76)Perbaikan amal dan penyempurnaan kekurangan. Allah berfirman:

Artinya: “Niscaya Allah akan memperbaiki amal-amal kalian.” (Q.S. Al-Ahzaab: 71)Diterima amalnya. Firman Allah:

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Maidah: 27)

Jadi, poros perputaran ibadah itu ada tiga. Pertama taufik yang membuat Anda bisa mengerjakan amal. Kedua memperbaiki kekurangan sampai betul-betul sempurna. Dan ketiga diterima oleh Allah setelah amal itu menjadi sempurna.

Inilah tiga hal yang digunakan sebagai sarana untuk merendahkan diri kepada Allah oleh para hamba. Mereka meminta sebagai berikut: “Ya Tuhan kami! Berilah petunjuk agar kami taat kepada-Mu. Sempurnakanlah kekurangan kami dan terimalah ketaatan ini dari kami.”

Tetapi sebenarnya Allah menjanjikan semua itu bagi orang yang bertakwa, ia meminta ataupun tidak, pasti diberi. Karena itu hendaknya Anda selalu bertakwa bila ingin bisa beribadah kepada Allah Swt. Atau bahkan untuk meraih keuntungan dunia dan akhirat sekalipun.

 

Benar sekali ungkapan seorang penyair:

Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka akan didatangkkan baginya sesuatu yang menguntungkan, Seorang ulama menggubah syair sebagai berikut:

 

Tidak ada satupun yang mengikuti seseorang ke dalam kuburnya selain ketakwaan dan amal saleh.” Ulama yang lain bersyair:

Barangsiapa mengenal Allah dan tidak merasa cukup dengan Mengenal-Nya,

berarti itulah orang uang celaka.

Seseorang tidak menjadi mulia karena harta,

karena segala kemuliaan hanya dimiliki oleh orang yang bertakwa. Kesulitan yang dirasakan seseorang saat menjalani ketaatannya tidak akan mencelakakannya. Begitu juga apa yang ditemuinya.” Seorang ulama menulis sebuah syair di atas kubur (nisan):

Tiada bekal selain ketakwaan, karena itu ambillah ia sebagai bekal atau tinggalkanlah. hai nafsu!

 

Kemudian renungkanlah satu hal pokok, yaitu seandainya Anda telah mengalami kepayahan sepanjang hidup untuk beribadah, berjuang memerangi hawa nafsu dan bersusah payah hinpga berhasil mendapatkan apa yang Anda idam-idamkan. Bukankah yang terpenting dalam hal ini adalah “penerimaan?” Sementara Anda juga tahu bahwa Allah telah berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Maaidah: 27)

 

 

Dengan begitu segala sesuatunya kembali pada ketakwaan.

Karena hal itu pula Aisyah r.a. berkata: “Rasulullah Saw. tidak pernah merasa kagum dengan sesuatu atau seorangpun di dunia ini selain pada orang yang bertakwa.”

Diceritakan Qatadah. Beliau berkata: “Di dalam kitab Taurat tertulis:

Artinya: “Wahai anak cucu Adam! Bertakwalah kepada Allah dan tidurlah sesukamu.”

 

Aku pernah mendengar tentang “Amir bin abdi Qais. Saat menjelang kematiannya, beliau menangis. Padahal sehari semalam beliau melakukan salat seribu rakaat. Kemudian beliau mendatangi tempat tidur seraya berkata: “Hai tempat kembali segala keburukan! Demi Allah aku sama sekali tidak merasa rela kepadamu karena Allah, walaupun hanya sekejap.”

Suatu hari beliau menangis. Lalu ditanya: “Apa yang membuat Anda menangis?”

Beliau berkata: “(Yang membuatku menangis adalah) Firman Allah Swt.:

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari – orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Maaidah: 27)

 

Setelah mengetahui semua itu, renungkan pula satu hal penting lain yang menjdi inti dari beberapa pokok masalah, yaitu apa yang pernah disebutkan bahwa salah seorang ulama berkata kepada gurunya: “Berilah aku wasiat!” Gurunya menjawab: “Aku berpesan kepadamu dengan sesuatu yang dipesankan oleh Allah kepada orang-orang terdahulu dan orang-orang yang hidup kemudian. Allah berfirman:

Artinya: “Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orangorang yang telah diberi Al-Kitab sebelum kamu dan juga kepadamu: ‘Bertakwalah kepada Allah”! (Q.S. An-Nisa’: 131)

Menurutku, bukankah Allah mengetahui kebaikan seorang hamba lebih dari siapapun? Bukankah Dia juga Dzat yang memberi nasehat, lebih pengasih dan lebih lembut kepadanya dibanding siapapun? Jika di dunia ini ada suatu perbuatan yang lebih baik bagi seorang hamba, lebih banyak mengumpulkan kebaikan, lebih besar pahalanya, lebih besar penghambaannya, lebih mulia kedudukannya, lebih baik keadaannya dan lebih bermanfaat di akhirat daripada ketakwaan ini, tentu Allah akan memerintahkan hamba-Nya dan berwasiat kepada orang-orang pilihan-Nya dengan hal itu karena kesempurnaan kebijaksanaanNya dan juga karena keluasan rahmat-Nya.

Ketika Allah berwasiat dengan satu pekerjaan ini dan juga menyatukan orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian dalam mengerjakannya dan Dia mencukupkan wasiat tersebut, maka Anda pun menjadi tahu bahwa ketakwaan itulah puncak yang tidak boleh dilewatkan dan juga tidak ada tujuan lain selain itu.

Sesungguhnya Allah benar-benar telah mengumpulkan segala nasehat, tanda-tanda, petunjuk, peringatan, pendidikan, pengajaran dan pembersihan dalam satu wasiat sesuai dengan kebijaksanaan dan keluasan rahmat-Nya.

Anda juga tahu bahwa ketakwaan inilah yang menyatukan dua kebaikan dunia dan akhirat, yang bisa memenuhi berbagai hal penting dan mengantarkan seseorang ke puncak derajat kehambaan.

 

Alangkah indah syair berikut ini:

Ingatlah bahwa ketakwaan berarti keagungan dan kemuliaan.

Dan kecintaanmu terhadap dunia itulah kehinaan serta kemiskinan.

Tiada kekurangan pada seorang hamba yang bertakwa

saat ia bersungguh-sungguh dengan ketakwaannya walaupun ia menjadi tukang tenun atau tukang candhuk.”

 

Inilah pokok yang tidak perlu ditambah lagi. Di dalamnya tercakup keterangan yang mencukupi bagi orang yang melihat cahaya dan mendapat petunjuk. Juga orang yang mau mengamalkan dan menganggapnya sudah cukup.

Hanya Allah yang menguasai taufik dengan karunia-Nya. Jika Anda berkata: “Sungguh besar kedudukan takwa dan begitu besar kebutuhan untuk mengetahui semua itu teramat mendesak. Oleh karena itu, mau tidak mau sekarang ketakwaan itu harus diterangkan secara rinci.”

Ketahuilah bahwa hal itu memang pantas dianggap besar kedudukannya, harus diusahakan dan perlu diketahui. Tapi Anda juga harus tahu bahwa setiap hal yang penting dan besar, untuk menariknya harus menggunakan banyak cara. Kesulitan yang harus dihadapi juga besar. Harus bertekad kuat dan bersungguh-sungguh. Dengan begitu, seperti halnya ketinggian derajat takwa dan juga kebesarannya, maka perjuangan untuk mencarinya, untuk bisa memenuhi haknya, dan pertolongan untuk bisa mendapatkannya merupakan hal besar. Sebab berbagai macam kemuliaan itu diukur dengan tingkat kesulitan. Dan semua kelezatan diukur dengan ongkos yang dikeluarkan.

 

Allah berfirman:

Artinya: “Dan orang-orang yang berjuang untuk mencari (keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka Jalan-jalan Kami.” (Q.S. Al-Ankabut: 69)

Dia-lah Dzat yang lemah lembut. Oleh karenanya, dengar, ingat, dan patuhi keterangan tentang takwa ini dengan baik sampai Anda mengetahuinya dan bersiap-siap untuk menjalaninya. Mohonlah pertolongan kepada Allah Swt. sampai Anda bisa beramal dengan apa yang telah Anda ketahui, karena segala sesuatunya berhubungan dengan pertolongan tersebut.

Hanya Allah yang menguasai taufik dan hidayah dengan anugerah-Nya.

Mula-mula ketahuilah bahwa ketakwaan itu menurut guru kami adalah membersihkan hati dari dosa yang belum pernah Anda lakukan sebelumnya sampai Anda benar-benar berkeinginan kuat meninggalkannya untuk menjaga antara Anda dengan kemaksiatan. Begitulah yang dikatakan guru kami.

Pendapat ini keluar karena sesungguhnya kata “taqwa” bila dilihat dari segi bahasa berasal dari kata dasar “waqwa” dengan huruf depan berupa wawu, dan keluar dari kata “wiqaayah”. Perubahan tasrifnya sebagai berikut: “waqa – yaqi – wiqaayatan – waqwan”. Kemudian huruf wawu diganti menjadi ta’ seperti penggantian yang terjadi dalam kata “wuklaan” menjadi “tuklaan” dan sebagainya, maka jadilah kata “taqwan”.

Jika seorang hamba telah berhasil menjaga dirinya dari maksiat dengan adanya keinginan kuat dan ketetapan hati untuk penar-benar meninggalkannya, maka hamba tersebut berhak disebut sebagai “muttaqiy.”

Dengan begitu kata “taqwa” juga bisa berarti membersihkan hati, keinginan kuat dan ketetapan di dalam hati.

Sedangkan di dalam Al-Qur’an kata “taqwa” digunakan dengan tiga macam arti:

Pertama, digunakan dengan arti takut. Allah berfirman:

Artinya: “Dan hanya kepada-Ku (Allah) hendaknya kamu bertakwa (merasa takut).” (Q.S. al-Baqarah: 41)

Firman Allah:

Artinya: “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada saat itu kamu sekalian dikembalikan kepada Allah.” (Q.S. al-Baqarah: 281)

 

Kedua, digunakan dengan arti patuh dan tunduk.

Allah berfirman:

 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan ketakwaan yang sebenar-benarnya.” (Q.S. Ali Imran: 102)

Ibnu Abbas berkata: “Taatlah kepada allah dengan taat yang sebenar-benarnya.”

Mujahid berkata: “Ayat-ayat ini menyimpan arti bahwa sesungguhnya Allah harus selalu ditaati dan tidak didurhakai: diingat dan tidak dilupakan, serta disyukuri dan tidak dikufuri.”

Ketiga, digunakan dengan arti membersihkan hati dari dosa. Dan inilah arti takwa yang sebenarnya, bukan yang pertama dan kedua. Tidakkah Anda melihat bahwa Allah berfirman:

Artinya: “Barangsiapa tant kepada Allah dan Rasul-Nya, dan takut kepada Allah serta bertakwa kepada-Nya, maka mereka itulah orangorang yang beruntung.” (Q.S. An-Nuur: 52)

 

Allah menyebutkan kata “taat”, “takut”, dan baru menyebutkan kata “takwa”. Dengan begitu Anda menjadi tahu bahwa pada hakekatnya arti “takwa” bukanlah ““taat” dan “takut’ melainkan “membersihkan hati dari maksiat”.

 

Kemudian para ulama berkata bahwa tingkatan takwa terbagi menjadi tiga:

1.Membersihkan diri dari syirik.

2.Membersihkan diri dari bid’ah.

3.Membersihkan diri dari cabang-cabang maksiat.

 

Allah telah menyebutkan ketiganya di dalam satu ayat, yakni firman:

Artinya: “Tiada dosa bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh karena memakan makanan yang dahulu mereka makan apabila mereka bertakwa, beriman dan mengerjakan amal saleh. Kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman. Lalu mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan.” (Q.S. Al-Maaidah: 93)

 

1. Membersihkan diri dari syirik. Yang menjadi bandingannya adalah keimanan (pengesaan) kepada Allah.

Membersihkan diri dari bid’ah. Keimanan yang disebut bersamanya adalah mengikuti langkah sunat dan langkah para ulama.

Membersihkan diri dari cabang-cabang maksiat. Dalam tingkatan yang ketiga ini tidak ada pengakuan yang menjadi bandingannya. Karena itu, ketakwaan ini harus diimbangi dengan ihsan, yaitu taat dan istiqamah. Dengan begitu takwa yang ketiga ini menjadi tingkatan orang-orang yang istiqamah dalam ketaatan mereka.

Ayat di atas mengumpulkan tiga tingkatan takwa, yaitu tingkatan iman, sunat, dan istiqamah dalam ketaatan.

Inilah yang dikatakan oleh para ulama mengenai arti kata takwa.

Aku juga menemukan takwa yang berarti menjauhi kelebihan perkara halal.

Arti semacam ini terdapat dalam sebuah hadis masyhur dari Nabi Saw. bahwasanya beliau bersabda:

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu dikatakan sebagai ‘muttaqiin’ karena mereka meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk menjaga diri dari hal-hal yang membahayakan.”

Kemudian aku lebih cenderung menggabungkan antara pendapat-pendapat para ulama tadi dengan hadis di atas. Maka terciptalah sebuah batasan yang lebih menyeluruh dan artian yang sempurna, yaitu: “Ketakwaan adalah menjauhi segala yang dikhawatirkan bisa membahayakan agama Anda.”

Bukankah orang yang sedang sakit dan menghindari suatu pantangan disebut sebagai orang yang “berpantangan’” jika sudah menjauhi semua yang membahayakan tubuhnya baik berupa makanan, minuman, buah-buahan dan sebagainya?

Kemudian hal yang dikhawatirkan bisa membahayakan agama ada dua macam:

Kemaksiatan dan sesuatu yang benar-benar haram.

Kelebihan perkara halal.

Sibuk dengan kelebihan perkara halal dan membiasakan diri dengannya bisa menarik pelakunya kepada sesuatu yang haram dan kemaksiatan yang murni. Hal itu terjadi karena keburukan (kenakalan) nafsu dan keinginannya yang sangat keterlaluan.

Barangsiapa ingin selamat dari bahaya yang menimpa agamanya, hendaknya ia menjauhi hal yang mengkhawatirkan dan kelebihan sesuatu yang halal untuk menjaga dirinya agar tidak terseret pada sesuatu yang benar-benar haram, sesuai dengan apa segala yang tidak berguna agar tidak terjerumus ke dalam sesuatu yang membahayakan.” Artinya, karena mereka meninggalkan kelebihan sesuatu yang halal sebab takut terjerumus ke dalam keharaman.

 

Jadi, arti ketakwaan yang sempurna adalah menjauhi semua yang bisa membahayakan agama berupa kemaksiatan dan kelebihan sesuatu yang halal.

 

Inilah rincian takwa yang sebenarnya.

Kemudian jika kita ingin membuat batasan takwa menurut ilmu sirri, batasannya adalah membersihkan hati dari keburukan yang belum pernah Anda lakukan sebelumnya dengan keinginan kuat untuk meninggalkannya sehingga keinginan tersebut bisa menjadi penghalang antara Anda dan segala keburukan.

 

Kemudian keburukan itu terbagi menjadi dua:

Keburukan asli. Yaitu sesuatu yang dilarang oleh Allah secara haram seperti halnya maksiat-maksiat yang murni,

Keburukan yang tidak asli, Yaitu sesuatu yang dilarang oleh Allah sebagai upaya mendidik berupa kelebihan sesuatu yang halal, seperti hal-hal mubah yang dilakukan karena keinginan nafsu.

Menjauhi keburukan yang pertama termasuk fardu. Danjika ditinggalkan mengakibatkan siksa di neraka.

Adapun menjauhi keburukan yang kedua termasuk kebaikan. Dan jika ditinggalkan mengakibatkan penahanan, pemeriksaan, pencelaan dan pencemoohan.

Barangsiapa menjalani ketakwaan yang pertama berarti ia menduduki kedudukan terendah dari takwa, yaitu kedudukan orang-orang yang istiqamah menjalani kataatan. Sedangkan orang yang menjalani ketakwaan kedua berarti ia menduduki kedudukan tertinggi dari takwa, yaitu kedudukan orang yang istiqamah meninggalkan hal-hal mubah.

Bila sesorang telah mengumpulkan keduanya, yakni menjauhi kemaksiatan dan kelebihan sesuatu yang halal berarti ia telah menyempurnakan arti takwa, menjalaninya dengan benar (sesuai haknya) dan mengumpulkan segala kebaikan di dalamnya. Takwa semacam ini dinamakan wara’ (kehati-hatian) yang sempurna, yang menjadi hal terpenting dari urusan agama. Hal ini juga dinamakan adab (tatakrama) di hadapan Allah Swt.

Inilah arti takwa dan keterangan globalnya. Pahamilah! Insya Allah Anda mendapat taufik.

Bila Anda berkata: “Kalau begitu sekarang tolong terangkan untuk kami arti takwa dan cara penggunaannya sehubungan dengan nafsu, karena kebutuhan untuk itu sudah muncul. Agar kami bisa mengetahui bagaimana caranya mengendalikan nafsu dengan ketakwaan seperti yang telah Anda terangkan rinciannya, yakni ketakwaan yang sebenarnya.

Menurutku (Al-Ghazali) memang harus begitu. Adapun rincian takwa tersebut sehubungan dengan ibadah adalah sebagai berikut:

(Langkah pertama) Anda harus menjaganya dengan keinginan yang kuat agar bisa mencegahnya dari segala perbuatan maksiat dan memeliharanya dari kelebihan sesuatu yang halal.

Kalau sudah begitu, berarti Anda telah bertakwa kepada Allah dalam urusan mata, telinga, mulut, hati, perut, kemaluan dan seluruh anggota badan serta mengendalikannya dengan kendali “takwa”.

Persoalan ini membutuhkan banyak sekali penjelasan dan kami telah menerangkannya di dalam kitab “Ihya Ulumiddin”. Sedangkan keterangan yang harus dijelaskan di dalam kitab ini adalah:

Barangsiapa ingin bertakwa kepada Allah, hendaknya ia melihat kembali pada lima inderanya. Sebab lima anggota badan inilah yang menjadi pokok permasalahan, yaitu mata, telinga, mulut, hati dan perut.

Ia harus menjaganya dari segala sesuatu yang membahayakan urusan agamanya seperti kemaksiatan, sesuatu yang haram, berlebihan dan boros dengan sesuatu yang halal.

Jika seseorang telah berhasil menjaga lima anggota badan ini berarti ia memiliki harapan anggota badan tersebut, maka yang lain bisa selamat.

Ia juga telah berhasil menjalani ketakwaan secara menyeluruh dengan semua anggota tubuhnya.

Sehubungan dengan hal ini tentunya diperlukan lima pasal tentang rincian lima anggota badan tersebut serta membuat beberapa pasal tentang apa yang diharamkan untuk masingmasing anggota badan sekedar yang sesuai dengan kapasitas kitab (yang dibuat ringkas) ini.

 

Pasal Pertama: Mata

Hendaknya Anda senantiasa memelihara mata, karena mata ini sering menjadi penyebab segala fitnah dan kerusakan. Dalam hal ini aku akan menerangkan tiga pokok yang sekira bisa mencukupi.

 

Firman Allah

Artinya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman! Hendaklah mereka menahan pandangan dan menjaga kemaluan mereka. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (Q.S. An-Nuur: 30)

Meskipun ayat ini pendek, setelah direnungkan ternyata menyimpan tiga arti yang mulia yaitu: Mendidik kesopanan (tata krama), peringatan dan menakut-nakuti. Arti yang mendidik kesopanan yaitu:

Artinya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman! Hendaklah mereka menahan pandangan mereka.” (Q.S. An-Nuur: 30)

 

Seorang hamba harus mengikuti perintah majikan dan bersikap sopan seperti diajarkan majikannya. Jika tidak, maka ia akan dianggap buruk budi pekertinya dan terhalang dari anugerah majikannya. Ia juga tidak diperbolehkan menghadiri pertemuan dan bersenang-senang di hadapan majikanya. Pahamilah keterangan ini dan renungkan apa yang tersirat darinya, karena di dalamnya terdapat manfaat yang besar sekali. Yang berisi peringatan adalah firman Allah:

Artinya: “Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.” (Q.S. . An-Nuur: 30)

Firman ini dipergunakan untuk dua arti.

Pertama, “yang demikian itu lebih membersihkan hati mereka.”

Kata-kata “Az-zakat” berarti “bersih”. Sedangkan “At-tazkiyat” berarti membersihkan.

Kedua, “yang demikian itu lebih meningkatkan kebaikan mereka.”

Kata-kata Az-zakat pada dasarnya memiliki arti “meningkat”.

 

Dengan begitu, di dalam ayat ini Allah mengingatkan bahwa dalam menundukkan pandangan terdapat penyucian hati dan memperbanyak (meningkatkan) ketaatan serta kebaikan. Hal itu terjadi karena apabila Anda tidak menundukkan pandangan dan melepaskannya begitu saja, tentu mata Anda akan memandang hal-hal yang tidak berguna. Kalau itu yang terjadi bukan hal yang tidak mungkin pandangan Anda akan jatuh pada hal-hal haram. Bila Anda dengan sengaja memandangnya maka hal itu merupakan dosa besar, dan kadang hal yang terlihat itu melekat di hati Anda. Dengan begitu, Anda akan binasa bila tidak diberi rahmat oleh Allah.

 

Telah diceritakan bahwa seorang hamba memandang sesuatu hanya sekilas, akan tetapi hatinya menjadi rusak karena sekilas pandangan tersebut seperti kulit yang dimasukkan ke dalam penyamakan, dan tidak bisa di manfaatkan untuk selamanya.

 

Jika yang Anda lihat itu sesuatu yang mubah, maka hati Anda akan menjadi sibuk. Lalu datanglah perasaan was-was dan khawatir karenanya. Bisa jadi Anda tidak bisa menggapai apa yang Anda lihat sehingga hati Anda tetap saja sibuk dan terputus dari kebaikan.

Seandainya Anda tidak melihat semua itu, tentu Anda akan merasa nyaman dari semuanya.

Sehubungan dengan arti semacam ini, dikisahkan bahwa Nabi Isa a.s. pernah berkata: “Hati-hatilah dengan pandanganmu, karena pandangan tersebut menanamkan keinginan (syahwat) di hatimu. Dan cukuplah hal itu sebagai fitnah bagimu.”

Dzun-Nuun Al-Mishri berkata: “Penghalang terbaik untuk syahwat adalah memejamkan mata.”

Sungguh indah gubahan seorang penyair berikut ini:

Bila suatu hari kau lepas pandanganmu sebagai utusan hati, maka apa yang terlihat akan membuatmu payah.

Kau melihat sesuatu yang tidak semuanya bisa kau raih. Dan engkaupun tidak sabar mendapatkan sebagian darinya.

Kalau begitu, sebaiknya Anda menahan pandangan dan memelihara mata. Jangan melihat hal-hal yang tidak bermanfaat dan sesuatu yang tidak penting, niscaya hati Anda akan bersih, lega dan nyaman dari rasa was-was. Diri Anda juga selamat dari berbagai kerusakan. Dan kebaikan Anda pun akan bertambah. Oleh karena itu, ingatlah keterangan yang menyeluruh ini.

Hanya Allah yang memberikan taufik dengan anugerah dan kemuliaan-Nya.

Sedangkan yang memiliki arti menakut-nakuti adalah firman Allah:

Artinya: “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (Q.S. An-Nuur: 30)

Dia juga berfirman:

Artinya: “Dia Maha mengetahui (pandangan) mata yang berkhianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (Q.S. Al-Mu’min: 19)

 

Ayat ini cukup sebagai teguran bagi orang yang takut dengan kekuasaan Tuhannya. Dan ini merupakan dasar utama yang berasal dari kitab Allah Swt.

Hadis Nabi Saw.:

Artinya: “Sesungguhnya memandang keindahan seorang wanita bagaikan panah beracun dari Iblis. Barangsiapa meninggalkannya akan dicicipkan rasa ibadah yang menyenangkannya.”

Temuan rasa manis beribadah dan lezatnya bermunajat bagi para hamba merupakan suatu posisi tersendiri.

Hal ini telah diujicoba dan dibuktikan oleh orang yang mengamalkannya. Sebab jika seseorang menahan pandangan dari hal-hal yang tidak berguna, maka ia akan menemukan kelezatan beribadah dan manisnya ketaatan. Hatinya juga merasakan kebeningan yang belum dia rasakan sebelumnya.

Hendaknya Anda melihat setiap anggota tubuh. Apa saja yang pantas dikerjakan, dan sebaiknya digunakan untuk apa. Dengan begitu, Anda bisa menjaga dan memeliharanya.

Kaki digunakan untuk berjalan di taman surga dan istanaistananya. Tangan digunakan untuk memegang gelas minuman dan memetik buah-buahan (surga), dan seterusnya. Sedangkan mata hanya dipergunakan untuk memandang Penguasa alam semesta. Maha Suci Allah. Tidak ada kemuliaan di dunia dan akhirat yang lebih besar ketimbang memandang Penguasa alam semesta.

Jadi, sudah semestinya bila sesuatu yang ditunggu-tunggu dan diharapkan seperti kemuliaan ini dijaga, dipelihara, diagungkan dan dimuliakan.

Inilah tiga dalil pokok yang jika benar-benar direnungkan dengan baik cukup sebagai bekal mengamalkan pasal ini. Hanya Allah yang menguasai taufik. Dia-lah yang mencukupiku. Dan Dia-lah sebaik-baik tempat berserah diri.

 

Pasal Kedua: Telinga

Hendaklah Anda memelihara pendengaran dari omongan buruk dan tidak berguna. Hal itu harus dilakukan, karena adanya dua hal:

Pertama, karena telah diceritakan bahwa orang yang mendengarkan sama hukumnya dengan orang yang berbicara.

 

Dalam hal ini seorang penyair berkata:

Pilih jalan tengah di antara jalan yang ada.

Hindari persimpangan yang meragukan.

Jagalah telingamu dari mendengarkan hal buruk.

 

Seperti halnya menjaga mulut dari mengucapkannya.

 

Sebab ingatlah! Jika kamu mendengarkan hal buruk, maka kamu menjadi pasangan orang yang mengucapkannya.

Kedua, mendengarkan hal buruk bisa membangkitkan berbagai gerak hati dan rasa was-was di dalamnya. Kemudian akan tampak kesibukan pada diri Anda dan tak satupun anggota badan dibiarkan beribadah.

Kemudian ketahuilah bahwa ucapan yang masuk ke dalam hati melalui pendengaran sama halnya dengan makanan yang masuk ke dalam perut. Kadang berbahaya dan kadang juga bermanfaat. Ada yang menjadi sumber energi dan ada yang menjadi racun. Bahkan ucapan yang telah menetap di dalam hati pengaruhnya lebih kuat dibanding makanan. Sebab pengaruh makanan itu bisa hilang dari perut dengan tidur dan sebagainya. Kadang pengaruhnya terasa beberapa saat lalu menghilang. Ada juga penawar untuk menghilangkan pengaruhnya dari tubuh seseorang. Akan tetapi kalau ucapan sudah masuk ke dalam hati, terkadang bersemayam sepanjang hidupnya dan tidak dapat dilupakan. Jika ucapan itu buruk maka tiada hentinya ia membuat payah dan tercela. Hal itu juga bisa mendatangkan berbagai kekhawatiran dan rasa was-was di dalam hati sehingga ia harus berpaling dan berusaha untuk tidak mengingatnya. Ia juga harus memohon perlindungan kepada Allah dari keburukannya. Ia tidak akan terbebas dari dorongan bebuat buruk sehingga yang terjadi adalah kerusakan besar-besaran karenanya.

Jika Anda memelihara pendengaran dari hal-hal yang tidak berguna, maka Anda akan merasa nyaman dari semua itu. Dan hendaknya orang yang berakal merenungkan keterangan di atas.

Hanya Allah tempat memohon taufik.

 

 

Pasal Ketiga: Mulut

Hendaknya Anda memelihara mulut dan mengendalikannya, karena ia adalah anggota tubuh yang paling sulit diatur, durhaka, serta banyak menimbulkan kerusakan dan permusuhan.

Diceritakan dari Sufyan bin Abdullah. Beliau berkata: “Aku bertanya (kepada Rasulullah), Wahai Rasulullah! Apa yang paling banyak Anda khawatirkan padaku? Rasulullah memegang lisannya sendiri dan berkata, “Ini.”

 

Diceitakan dari Yunus bin Abdullah. Beliau berkata: “Sesungguhnya aku menemukan diriku sendiri mampu menahan derita puasa saat panas yang teramat sangat di negeri Bashra dan tidak mampu menahan satu ucapan yang tidak berguna.”

Karena itu, hendaklah Anda bersungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kemampuan (untuk menjaganya).

Di sini kami akan menerangkan lima pokok bahasan: 1. Apa yang diceritakan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa jika seorang keturunan Adam memasuki waktu pagi, maka seluruh anggota tubuhnya bersegera mendatangi mulut dan berkata kepadanya: “Kami memohon agar kamu bersumpah demi Allah akan berbuat lurus. Sebab jika kamu lurus, maka kami pun akan berbuat lurus. Tapi jika kamu bengkok (berbuat salah), maka kami pun akan bengkok.

Menurutku (Al-Ghazali) yang diinginkan dari perkataan tersebut adalah (wallahu a’lamu): Ucapan mulut memberikan pengaruh kepada seluruh anggota badan seseorang berupa taufik dan kehinaan.

Keterangan ini diperkuat dengan apa yang diceritakan dari Malik bin Dinar bahwasanya beliau berkata: “Jika kamu melihat kekerasan dalam hatimu, badanmu melemah dan rezekimu terhalang, maka ketahuilah bahwa kamu telah mengucapkan sesuatu yang tiada berguna.”

Menjaga waktu. Kebanyakan hal yang dibicarakan oleh seseorang bukanlah dzikir kepada Allah. Jadi, paling tidak hal itu tidak berguna dan hanya membuang-buang waktu. loteng yang sedang dibangun dan berkata: “Sejak kapan loteng ini mulai dibangun?” Beliau pun segera menegur dirinya sendiri seraya berkata: “Hai nafsuku yang suka menipu! Kenapa kamu menanyakan sesuatu yang tidak berguna untukmu?” Kemudian beliau menghukum dirinya dengan puasa selama satu tahun. Beruntung sekali orang-orang yang memperhatikan diri mereka. Alangkah celakanya orang-orang yang lalai, melepas kendali nafsu dan mengumbarnya begitu saja.

Hanya Allah tempat memohon pertolongan.

 

Benar sekali ucapan seorang penyair di bawah ini:

Abillah keuntungan dua rakaat di kegelapan malam saat kamu santai dan beristirahat.

Bila kamu ingin berbicara yang tidak berguna dalam hal-hal bathil, maka gunakanlah waktu itu untuk membaca tasbih.

 

Tetap diam lebih baik daripada berbicara meskipun kamu orang yang pandai berbicara.

 

Menjaga amal saleh. Bila seseorang tidak memelihara lisannya dan banyak berbicara, maka bukan tidak mungkin ia terjerumus ke dalam pergunjingan mengenai orang lain, seperti ucapan seorang ulama: “Barangsiapa banyak bicara, maka sering pula pembicaraannya tergelincir.”

Menggunjing ibarat halilintar yang merusak ketaatan, sebagaimana dikatakan: “Perumpamaan orang yang menggunjing orang lain adalah memasang alat pelempar (sebangsa meriam). Ia melemparkan kebaikan ke arah timur dan barat, ke kanan dan ke kiri.”

Aku telah mendengar bahwa Hasan Al-Bashri pernah diberi tahu oleh seseorang: “Wahai Abu Said! Sungguh si fulan telah menggunjing Anda.” Maka Hasan mengirimkan nampan berisi roti untuk orang (yeng menggunjing) tersebut dan berkata: “Kudengar Anda menghadiahkan kebaikan-kebaikan padaku. Karena itu, aku merasa senang bila bisa membalas kebaikan Anda.”

Suatu saat ada gunjingan yang dikeluarkan di hadapan Ibnul Mubarak. Maka beliau berkata: “Seandainya aku menggunjing seseorang, tentu aku akan menggunjing ibuku, karena dialah yang lebih berhak atas kebaikan-kebaikanku.”

Diceritakan bahwa suatu malam Hatim Al-Asham tidak melakukan salat malam dan ditegur oleh isteri beliau. Beliau menjawab: “Kemarin malam orang-orang melakukan salat malam. Paginya mereka menggunjingku. Maka kelak di hari kiamat (pahala) salat-salat mereka akan berpindah ke timbangan amalku.

Selamat dari bahaya dunia. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Sufyan Ats-Tsauri: “Jangan membicarakan sesuatu yang bisa memecahkan gigimu.”

Ulama lain berkata: “Jangan mengumbar mulut agar ibadahmu tidak hancur.”

 

Para ulama menggubah sebuah syair:

Pelihara mulutmu! Jangan sampai mengucapkan sesuatu yang menimbulkan petaka bagimu,

karena sesungguhnya petaka itu berpangkal dari ucapan.

 

Ibnul Mubarak menggubah sebuah syair:

Ingat! Jaga mulutmu.

Karena sesungguhnya mulut itu bisa mempercepat kematian.

Sesungguhnya mulut merupakan cerminan hati yang bisa menunjukkan ukuran rasio seseorang.

 

Ibnul Muthi juga bersyair:

Mulut seseorang bagaikan singa di dalam kandang.

Jika dilepas pasti ia menerkam.

Jagalah mulut Anda dari bicara buruk dengan pengendali “diam”.

Niscaya pengendali itu jadi penghalang dari segala petaka.

 

Ada peribahasa yang mengatakan: “Banyak ucapan yang berkata kepada pemiliknya “Tinggalkan daku.”

Kami memohon taufik kepada Allah dengan rahmat-Nya.

Mengingat bahaya akhirat dan akibat yang ditimbulkannya.

 

Dalam hal ini aku akan mengemukakan satu pokok yang penting, yaitu bahwa pembicaraan Anda tidak akan pernah lepas dari dua kemungkinan: Pembicaraan yang diharamkan dan yang diperbolehkan berupa membicarakan sesuatu yang tidak bermanfaat secara berlebihan.

Bila pembicaraan tersebut diharamkan, maka Anda berhak mendapat siksa dari Allah yang tidak mampu ditanggung.

Telah kami ceritakan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda:

Artinya: “Pada malam ketika aku diisra’kan, aku melihat sekelompok orang di dalam neraka yang sedang memakan bengkai. Kemudian aku bertanya, “Wahai Jibril! Siapakah mereka itu?” Jibril menjawab,

‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia.’

Beliau juga pernah bersabda kepada Mu’adz:

Artinya: “Hentikan menggunjing para ahli Al-Qur’an, dan para penuntut ilmu. Jangan mencabik-cabik orang lain dengan mulutmu agar dirimu tidak dicabik-cabik anjing neraka.” Diceritakan dari Abu Qilabah. Beliau berkata: “Sesungguhnya gunjingan itu menyimpan kerusakan hati dari petunjuk Allah.”

 

Kami memohon pemeliharaan kepada Allah dengan anugerah-Nya.

Inilah akibat pembicaraan yang terlarang. Sedangkan dalam pembicaraan yang mubah Anda harus memperhatikan empat hal:

Kesibukan malaikat pencatat amal karena harus mencatat halhal yang tidak ada kebaikan dan manfaaatnya, sudah semestinya seseorang merasa malu kepada keduanya dan tidak menyakiti mereka.

Allah Swt. berfirman:

Artinya: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan di dekatnya ada Ragib dan “Atid (malaikat yang mengawasi dan menunggu). (Q.S. Oaf: 19)

Dengan melakukan itu berarti kita mengirimkan buku catatan kepada Allah dalam keadaan kosong. Dan hendaknya seorang hamba menjaga dirinya dari hal itu serta merasa takut kepada Allah Swt.

Telah diceritakan bahwa ada ulama yang melihat seorang lakilaki sedang mengeluarkan kata-kata keji. Kemudian ulama tersebut berkata: “Wahai saudara! Sungguh celaka. Kamu sedang mengirim tulisan kepada Tuhanmu. Karena itu, perhatikan apa yang kau tulis untuk-Nya.”

Pembacaan buku catatan amal tersebut pada hari kiamat di hadapan para raja yang Maha Perkasa, di depan para saksi, di tengah suasana sulit dan bebagai goncangan dalam keadaan dahaga, telanjang, lapar, jauh dari surga dan terhalang dari kenikmatan.

Cercaan dan cemoohan karena ucapan yang Anda keluarkan, kehilangan hujjah dan rasa malu kepada Allah.

Ada ulama yang mengatakan:

Artinya: “Janganlah kamu berlebihan dalam bicara karena perhitungannya akan panjang.”

Kiranya keterangan ini sudah cukup sebagai nasehat bagi orang yang mau menerima nasehat.

Kami telah menerangkan hal ini secara panjang lebar dan memuaskan di dalam kitab “Asraari Muaamalat Ad-Diin.” Pelajarilah! Semoga Anda mendapatkan pengobatnya.

 

 

Pasal Keempat: Hati

 

Sebaiknya Anda senantiasa menjaga hati, memperbagus dan mengawasinya dengan baik dan sekuat tenaga. Sebab hati adalah anggota badan yang paling mengkhawatirkan, paling berpengaruh, paling rumit, paling sulit diperbaiki dan susah perawatannya.

Dalam hal ini aku akan menerangkan lima pokok bahasan yang sangat urgen.

 

Firman Allah Swt.:

 

Artinya: “Dia Maha mengetahui (pandangan) mata yang berkhianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (Q.S. Al-Mu’min: 19)

 

Juga firman Allah:

 

Artinya: “Dan Allah mengetahui apa yang tersimpan dalam hatimu.” (Q.S. Al-Ahzab: 51)

 

Firman Allah:

 

Artinya: “Sungguh Allah Maha mengetahui segala isi hati.” (Q.S. Al-Anfal: 43)

 

Berapa kali Allah menyebut dan mengulang masalah ini di dalam Al-Qur an. Cukuplah kiranya pengawasan Dzat yang Maha Mengetahui sebagai peringatan bagi hamba-hamba pilihan. Sebab muamalah (bergaul) dengan Dzat yang Maha Mengetahui segala urusan gaib adalah hal penting yang berbahaya. Karena itu, perhatikanlah apa yang diketahui-Nya dari hati Anda.

 

Hadis Nabi Saw.:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak memandang rupa dan kulitmu, melainkan Dia hanya memandang hatimu.”

 

Hadis ini menunjukkan bahwa hati adalah pusat pandangan Tuhan semesta alam. Alangkah mengherankan bila seseorang hanya mementingkan wajah yang hanya menjadi pusat pandangan makhluk. Orang tersebut membasuhnya, membersihkannya dari kotoran dan menghiasinya semampu mungkin agar orang lain tidak melihat kekurangan pada dirinya. Dia tidak mementingkan hati yang menjadi tempat pandangan Tuhan semesta alam. Tidak mau membersihkan, menghias dan mengharumkannya agar Allah tidak melihatnya dalam keadaan kotor, jelek, rusak, dan cacat. Bahkan sebaliknya, ia justru memenuhinya dengan hal memalukan, kotor dan keji, yang seandainya orang lain melihat salah satunya saja tentu mereka akan menyingkir dan membiarkannya begitu saja, atau bahkan mengusirnya.

 

Hanya Allah tempat memohon pertolongan.

 

Sesungguhnya hati bagaikan seorang raja yang ditaati, Bagaikan pemimpin yang diikuti (anak buahnya). Adapun seluruh anggota badan bagaikan pengikutnya. Bukankah jika pemimpinnya baik anak buahnya juga baik? Jika rajanya berbuat lurus rakyatnya juga lurus?

 

Keterangan ini diambil dari hadis yang diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwasanya beliau bersabda:

 

Artinya: “Sesungguhnya di dalam jasad (manusia) terdapat segumpal darah yang apabila baik, maka baik pula seluruh jasad. Dan apabila rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ingatlah! Itulah hati.”

 

Jika kebaikan segala sesuatu tergantung padanya (hati), maka sudah seharusnya kita mencurahkan seluruh perhatian padanya.

 

Sesungguhnya hati adalah tempat penyimpanan segala macam permata indah bagi seorang hamba dan juga menyimpan berbagai hal penting.

 

Yang pertama akal dan puncaknya adalah makrifat kepada Allah yang menjadi salah satu penyebab kebahagiaan dunia akhirat.

 

Kemudian disusul oleh bermacam pengetahuan dan hikmah yang menjadi kemuliaan seorang hamba, serta seluruh akhlak mulia dan perbuatan-perbuatan terpuji yang digunakan untuk mendapatkan jenjang kedudukan orang-orang mulia, seperti yang telah kami jelaskan secara panjang lebar di dalam kitab ” Asraari Mu’aamalat Ad Diin.”

 

Sudah sepantasnya simpanan seperti ini dipelihara dari bermacam kotoran dan kerusakan. Dijaga dari para pencuri atau perampok. Dan juga dimuliakan dengan bermacam kemuliaan agar permata tesebut tidak kotor dan diambil musuh.

 

Setelah kurenungkan keadaannya ternyata aku menemukan lima hal yang tidak dialami oleh anggota tubuh lain:

 

Pertama, musuh yang selalu mengintai dan berusaha mempengaruhinya. Sebab setan selalu bertengger di atas hati manusia, tempat tinggal ilham dan was-wasah yang membisikkan dua ajakan berbeda untuk selamanya, yakni bisikan malaikat Mulhim dan setan.

 

Kedua, kesibukan yang harus dijalani karena akal dan nafsu tinggal bersama di dalamnya. Hati adalah medan tempur antara dua pasukan, yakni pasukan hawa nafsu dan pasukan akal. Selamanya hati tetap berada di tengah pertempuran dan luncuran panah mereka. Karena itu, sudah seharusnya kalau tempat itu dijaga, dibentengi dan tidak dilupakan.

 

Ketiga, di dalam hati terdapat banyak rintangan. Bermacam gerak hati seperti panah yang tiada hentinya menghunjam. Bagaikan hujan yang tiada pernah reda, malam dan siang tiada henti. Sementara itu Anda tidak mampu mencegahnya.

 

Hati tidaklah sama dengan mata yang berada di tengah kedua kelopaknya. Bisa dipejamkan dan merasa nyaman. Atau diletakkan di tempat sepi dan gelap sehingga pandangannya bisa terhambat.

 

Hati juga tidak sama dengan lidah yang ada di belakang dua sekat, gigi dan bibir. Anda masih mampu menahannya dan membuatnya diam.

 

Akan tetapi hati adalah obyek bermacam gerak hati yang bagaimanapun juga Anda sendiri tidak mampu menahan dan menjaga diri darinya. Gerak hati tersebut sedetikpun tak bisa lepas dari Anda. Sementara itu hawa nafsu cepat sekali ingin mengikutinya.

 

Untuk mencegah hati dari semua itu dengan sekuat tenaga merupakan hal berat dan ujian yang paling besar.

 

Keempat, pengobatannya yang sulit karena tidak bisa Anda lihat, Hampir saja Anda tidak tahu sampai perlahan-lahan merasakan adanya kerusakan di dalamnya dan juga terjadi halhal baru. Untuk itu, Anda harus membicarakannya dengan sempurna, kekuatan penuh, perenungan mendalam dan banyak riyadhah.

 

Kelima, kerusakan yang lebih cepat menjalar ke dalamnya, karena pergolakan yang terjadi di dalamnya juga amat cepat. Bahkan ada yang mengatakan bahwa pergolakan hati lebih cepat dibanding air mendidih dalam kendil.

 

Karena itu dalam syair disebutkan:

 

Tidak dinamakan hati selain karena pergolakannya.

 

Adapun pikiran bisa menciptakan berbagai keadaan pada manusia.

 

Kemudian bila hati telah tergelincir — semoga Allah melindungi kita semua — maka pasti gelincirannya lebih keras dan jatuhnya juga lebih buruk, karena paling tidak hati menjadi keras dan cenderung kepada selain Allah. Sedangkan puncaknya adalah diakhiri (mati) dengan membawa kekufuran.

 

Tidakkah Anda pernah mendengar firman Allah:

 

Artinya: “Dia (Iblis) membangkang dan menyombongkan diri. Dia termasuk golongan orang-orang kafir.” (Q.S. al-Baqarah: 34)

 

Kesombongan yang bersemayam di hatinya mendorong untuk berani membangkang dan secara lahir berbuat kufur.

 

Adakah Anda tidak mendengar firman Allah:

Artinya: “Akan tetapi (Bal’am) lebih senang abadi di muka bumi dan mengikuti hawa nafsunya.” (Q.S. Al-A’raaf: 176)

 

Kecenderungan mengikuti hawa nafsu bersemayam di hati Bal’am. Dan hal itu mendorongnya melakukan dosa buruk yang tercela.

Adakah Anda tidak mendengar firman Allah:

Artinya: “Kami membolak-balikkan hati dan mata mereka sebagaiamana pertama kali mereka tidak beriman kepada Al-Jur’an. Dan Kami membiarkan mereka berada dalam kedurhakaan dalam keadaan bingung.” (Q.S. Al-An’aam: 110)

Karena arti semacam inilah para hamba Allah yang terpilih senantiasa mengkhawatirkan hati mereka, menangisinya dan mencurahkan seluruh kekuatan untuk menjaganya.

Allah berfirman tentang gambaran mereka:

Artinya: “Mereka takut pada suatu hari (yang ketika itu) hati dan penglihatan menjadi bergoncang.” (Q.S. An-Nuur: 37)

Semoga Allah berkenan menjadikan kita semua bagian dari orang-orang yang bisa mengambil pelajaran dari contoh-contoh yang ada dan mendapat petunjuk di tempat-tempat berbahaya dan mendapatkan taufik untuk memperbagus hati mereka dengan pemikiran yang baik. Sungguh Dia Maha Pengasih di antara para pengasih.

Jika ada yang berkata: “Urusan hati seperti ini memang penting sekali. Karena itu, tolong jelaskan usaha apa saja yang bisa memperbagaus dan kerusakan macam apa yang menghadang dan merusaknya. Siapa tahu aku mendapat taufik untuk bersungguh-sungguh menjalaninya.

Ketahuilah bahwa rincian keterangan ini sungguh teramat panjang dan tidak akan muat di dalam kitab ini. Akan tetapi para ulama akhirat berupaya dengan sungguh-sungguh untuk bisa menerangkan hal itu dan menyusun kitab yang tak lain hanya menerangkan urusan hati ini.

Dalam hal ini mereka menerangkan sekitar 90 hal terpuji dan 90 hal tercela sebagai bandingannya. Kemudian mereka menerangkan sekitar 90 langkah yang wajib dan 90 langkah terlarang, lengkap dengan perinciannya.

Sumpah demi hidupku. Sesungguhnya orang yang memperhatikan urusan agama, bangkit dari tidur orang-orang lupa dan melihat dirinya sendiri, jika mendapat taufik dari Allah, tentu tidak akan keberatan mencari dan mengamalkan semua ini.

Kami telah menerangkan sedikit tentang itu di dalam kitab “Keajaiban Hati” yang ada di dalam kitab Ihya Ulumiddin dan menerangkan semuanya disertai berbagai rincian dan cara merawatnya di dalam kitab Asraari Mu’aamalat Ad-Diini, yaitu sebuah kitab berbentuk kecil tapi manfaatnya besar. Manfaat kitab tersebut tidak bisa diambil selain oleh ulama-ulama besar yang berpengetahuan sangat dalam.

 

Sedangkan tujuan kitab ini adalah agar bisa digunakan, baik oleh para pemula ataupun orang yang telah mencapai puncak, orang yang kuat maupun yang lemah. Oleh karena itu, kami berpikir tentang hal-hal pokok yang harus diterangkan dalam upaya merawat hati dan yang sangat dibutuhkan dalam ibadah.

Kemudian di dalamnya kami menemukan empat hal yang sering menyebabkan para ahli ibadah tergelincir dan menjadi penyakit para mujtahid. Semua itu merupakan fitnah bagi hati dan bencana untuk nafsu, yang akan menghalangi, memperburuk, merusak dan menghancurkan.

Kami juga menemukan empat hal sebagai imbangannya, yaitu hal yang bisa menyebabkan para hamba mengatur peribadatan dan memperbagus hati.

 

Keempat penyakit tersebut adalah:Khayalan (ngelantur, panjang angan-angan)

Tergesa-gesa

Dengki

Takabbur

 

Sedangkan keempat kebaikan (sifat baik) tersebut adalah:Pendek angan-angan

Tenang dalam mengerjakan berbagai hal

Memberi nasehat kepada (sesama) makhluk

Tawadhuk dan khusyuk (merendahkan diri)

 

Inilah pokok-pokok kebaikan hati dan kerusakannya serta faedah yang samar dan menjadi sentral pembahasan. Oleh karenanya, hedaklah kita mengerahkan kekuatan penuh untuk memelihara diri dari penyakit-penyakit dan berhasil mendapatkan kemuliaan seperti ini, agar Anda tidak perlu mengeluarkan biaya banyak dan memperoleh apa yang Anda inginkan. Insya Allah.

 

Kami akan menerangkan penyakit-penyakit tesebut dalam bahasa yang ringkas tapi penuh makna.

 

Khayalan (Panjang Angan-angan) | Khayalan merupakan perintang seorang hamba dari segala macam kebaikan dan ketaatan. Ia juga menjadi penarik untuk melakukan segala macam keburukan dan fitnah. Ia adalah penyakit parah yang akan menjerumuskan seseorang ke dalam berbagai macam bencana.

Ketahuilah bahwa jika angan-angan Anda sudah melantur, maka dari diri Anda akan muncul empat hal.

Meninggalkan ketaatan dan perasaan malas.

Dalam hal ini Anda akan mengatakan: “Nanti saja kukerjakan. hari masih panjang dan hal itu pasti takkan lepas dariku (sempat kukerjakan).”

Benar sekali Dawud Ath-Thaai yang berkata: “Barangsiapa takut ancaman, maka menurutnya sesuatu yang jauh menjadi dekat. Dan barangsiapa panjang angan-angan (suka berkhayal) maka amalnya menjadi buruk.

Yahya bin Muadz Ar-Raazi berkata: “Angan-angan (khayalan) akan memutuskan segala kebaikan. Dan ketamakan akan menghalangi perkara hag. Kesabaran membawa keberuntungan, dan nafsu mengajak melakukan segala macam kejahatan.

Meninggalkan tobat dan menundanya. Anda akan mengatakan: “Nanti saja aku bertobat. Hari-hari masih panjang, sementara umurku masih muda. Umurku sedikit, sedangkan tobat berada di depan mata. Aku bisa melakukannya kapanpun aku mau.”

Kadang orang semacam ini diterkam kematian. Maka kematian pun menyambarnya sebelum ia sempat memperbaiki amal.

Rakus untuk mengumpulkan harta dan sibuk dengan urusan dunia serta melupakan akhirat. Anda akan mengatakan: ” Aku khawatir miskin di usia senja. Kadang aku tak mampu bekerja dan mau tidak mau harus memiliki simpanan yang kupersiapkan bila sakit, sudah renta atau miskin.

Perasaan ini dan yang sejenisnya termasuk hal yang menggerakkan Anda untuk mencitai dunia dan rakus terhadapnya. Anda juga akan mementingkan rezeki. Anda akan mengatakan: “Apa yang akan kumakan? Apa yang akan kuminum? Apa yang akan kupakai? Sekarang musim dingin. Sekarang musim panas. Sementara aku tidak memiliki apa-apa. Siapa tahu umurku panjang dan membutuhkan semua itu? Padahal memenuhi kebutuhan di waktu tua amatlah sulit. Sementara itu, aku harus makan dan tidak meminta-minta pada orang lain.”

Perasaan seperti ini dan yang sejenisnya akan menggerakkan Anda untuk mencari dunia, mencintai, menumpuk dan menimbunnya. Hal ini paling tidak akan membuat hati Anda sibuk, menyia-nyiakan umur, menambah keprihatinan dan kesedihan Anda yang tiada berguna. Seperti apa yang diceritakan dari Abu Dzarr r.a. Beliau berkata: “Aku telah . terbunuh oleh keprihatinan terhadap suatu hari yang tak pernah kutemui.”

Ada yang bertanya: “Bagaimana bisa demikian wahai Abu Dzarr! Beliau menjawab: “Karena angan-anganku melebihi batas umurku.”

Hati menjadi keras dan melupakan akhirat. Sebab jika berkhayal akan berumur panjang, pasti Anda tak lagi mengingat kematian dan alam kubur seperti yang dikatakan oleh Ali bin Abu Thalib r.a.: “Sesungguhnya sesuatu yang paling kukhawatirkan menimpa kalian semua adalah dua hal, yaitu panjang anganangan (berkhayal) dan mengikuti hawa nafsu. Ingatlah bahwa sesungguhnya khayalan itu akan melupakan ahkirat dan mengikuti hawa nafsu akan mencegah seseorang dari sesuatu yang haq.”

Kalau sudah begitu, tentu pikiran atau yang Anda pentingkan adalah membicarakan dunia, hal yang menyebabkan bisa hidup, bergaul dengan masyarakat dan sebagainya. Kemudian hati Anda akan menjadi keras karenanya. Sedangkan yang membuat hati menjadi lunak danjernih adalah mengingat kematian, alam kubur, pahala, siksaan dan hal ihwal urusan akhirat. Jika dari ini semua tak satupun yang terdapat di hati Anda, maka bagaimana mungkin hati menjadi lunak dan jernih?

Allah berfirman:

Artinya: ” Kemudian berlalulah masa panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras.” (Q.S. Al-Hadid: 16)

Dengan begitu jika Anda melanturkan angan-angan (berkhayal), maka sedikit sekali kataatan yang Anda kerjakan, tobat Anda tertunda, maksiat menjadi banyak, kerakusan makin menjadi-jadi, hati menjadi keras, dan Anda menjadi orang yang terlalu melupakan akibat yang akan didapatkanya di ahkirat. Akhirnya hilanglah ahkirat Anda. Lalu apa kejadian yang lebih buruk dari ini? Kerusakan apakah yang lebih besar dari ini? Semua ini disebabkan oleh khayalan (angan-angan yang melantur).

Adapun jika Anda memendekkan angan-angan, mendekatkan diri pada kematian (selalu mengingatnya), mengingat kawankawan dan saudara-saudara Anda yang dikejutkan oleh kematian pada saat yang tidak mereka perhitungkan, Anda akan sadar bahwasiapa tahu Anda sendiri mengalami hal yang sama dengan mereka. Maka waspadalah hai nafsu! Ingatlah apa yang dikatakan oleh Auf bin Abdullah: “Dan berapa banyak orang yang hidup di suatu hari dan tak sempat menyempurnakannya. Berapa banyak orang yang menunggu pagi dan tidak sempat menjumpainya.”

Jika Anda melihat batas umur dan perjalanannya niscaya Anda akan membenci khayalan dan tipuan yang dibuatnya.

Tidakkah Anda mendengar perkataan Isa bin Maryam a.s. bahwa dunia ini terbagi menjadi tiga:Hari kemarin yang telah berlalu, dan Anda tidak mendapat apa-apa darinya.

Hari esok yang Anda sendiri tidak tahu bisa menjumpainya atau tidak.

Hari yang sedang Anda jalani (hari ini). Karena itu ambillah keuntungan darinya.

Kemudian ingatlah perkataan Abu Dzar Al-Ghifari berikut ini: ” Dunia ini terbagi menjadi tiga kesempatan.Kesempatan yang telah berlalu.

Kesempatan yang sedang Anda jalani saat ini.

Kesempatan yang Anda sendiri tidak tahu bisa menjumpainya atau tidak (kesempatan setelah ini).”

Jadi, pada hakekatnya Anda hanya memiliki satu kesempatan. Kematian terus menunggu dari waktu ke waktu.

Selanjutnya ingat pula perkataan guru kami Abu Bakar rahimahullah: “ Dunia ini bagaikan tiga tarikan nafas:Nafas yang telah berlalu. Yaitu nafas yang Anda pergunakan untuk mengerjakan apa saja.

Nafas yang sedang Anda jalani.

Nafas yang Anda sendiri tidak tahu bisa menjumpainya atau tidak. Sebab betapa banyak orang yang menarik nafas satu kali, lalu ia dikejutkan oleh kematian sebelum sempat menarik nafas kedua kalinya.

Pada hakekatnya Anda hanya memiliki satu tarikan nafas, bukan sehari ataupun satu jam. Karena itu, dengan satu tarikan nafas ini bersegeralah menjalankan ketaatan sebelum kesempatan itu hilang. Segeralah bertobat. Siapa tahu pada tarikan nafas yang kedua Anda sudah mati. Jangan terlalu mementingkan rezeki, karena bisa saja Anda tak lagi hidup dan membutuhkannya. Kalau itu yang diutamakan, waktu Anda menjadi sia-sia dan keprihatinan Anda juga tiada gunanya.

Untuk apa seseorang mementingkan rezeki yang hanya dibutuhkan untuk sehari, satu jam, atau satu tarikan nafas? Tidakkah ia mengingat sabda Nabi Saw. tentang Usamah? Beliau bersabda:

Artinya: “Tidakkah kalian merasa heran kepada Usamah yang membeli dengan tempo sebulan? Sesungguhnya Usamah telah berkhayal. Demi Allah aku tidak meletakkan satu telapak kaki dan berpikir bisa mengangkatnya kembali. Aku tidak pernah menyuap satu suapan dan berpikir bisa menelannya sampai kematian menyusulku. Demi Dzat yang nyawaku berada dalam “genggaman” – Nya. Sesungguhnya apa yang telah dijanjikan pada kalian pasti akan datang. Dan kalian takkan dapat melemahkan Allah.”

Jika Anda mengingat peringatan-peringatan ini dan tekun menjalaninya dengan cara mengulang-ulang, maka angan-angan Anda pasti menjadi pendek dengan izin Allah. Saat itu diri Anda akan terlihat bersegera menjalankan ketaatan dan bertobat. Dengan begitu Anda gugur dari kemaksiatan, berzuhud dari dunia dan usaha untuk mencarinya. Lalu perhitungan (hisab) dan tanggung jawab Anda menjadi ringan. Hati Anda memasuki suasana mengingat akhirat dan hal-hal menakutkan yang ada di dalamnya. Semua itu hanya karena dari satu nafas ke nafas berikutnya, ia berjalan menuju ke sana dan melihatnya satu persatu. Kemudian kekerasan hati akan hilang dan nampaklah kelembutan serta kejernihan. Saat itulah Anda akan merasa takut kepada Allah, istiqamah dalam beribadah, memiliki harapan kuat untuk mempersiapkan diri Anda dari kematian dan meraih apa yang Anda inginkan di akhirat. Semua itu didapat karena satu hal, yaitu angan-angan yang pendek setelah mendapatkan anugerah dari Allah.

Diceritakan bahwa setelah Zararah bin Aufa wafat, beliau ditanya seseorang di dalam mimpinya: ” Amal apa yang lebih tepat menurut Anda?”

Beliau menjawab: “Rida dan pendek angan-angan (tidak berkhayal).”

Wahai saudaraku! Lihatlah dirimu. Kerahkan seluruh kemampuan untuk pokok agama yang penting ini. Sebab hal itu memang sesuatu yang paling penting untuk mencapai kebaikan hati dan diri seseorang.

Hanya Allah yang menguasai taufik dengan anugerah dan rahmat-Nya.

 

Kedengkian

Dengki merupakan hal yang bisa merusak ketaatan dan mendorong seseorang untuk melakukan berbagai kesalahan. Dengki juga suatu penyakit menular yang banyak diujikan kepada para ahli Al-Qur’an dan ulama, lebih-lebih orang awam dan orangorang bodoh. Sehingga kedengkian tersebut akan merusak dan menjerumuskan mereka ke dalam neraka.

Tidakkah Anda mendengar sabda Nabi Saw. berikut ini:

Artinya: “Enam golongan masuk ke dalam neraka karena melakukan enam hal: 1) Bangsa Arab karena fanatik terhadap sukunya. 2) Para penguasa karena kezalimannya. 3) Para pemimpin karena bersikap sombong. 4) Para pedagang karena pengkhianatannya. 5) Penduduk kampung (pedalaman) karena kebodohannya. 6) Para ulama karena kedengkiannya.”

Suatu kerusakan yang keburukannya saja bisa menyeret para ulama ke dalam neraka. Maka sudah semestinya kita waspada terhadapnya.

Ketahuilah bahwa kedengkian itu bisa menimbulkan lima hal: 1. Rusaknya ketaatan. Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya: “Kedengkian akan memakan kebaikan bagaikan api yang memakan kayu bakar.”

 

Perbuatan maksiat dan hal-hal buruk.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Wahb bin Munabbih bahwa orang yang merasa dengki memiliki tiga ciri-ciri:Saat berhadapan menampakkan rasa senang (menjilat)

Saat jauh akan menggunjing

Merasa gembira dengan musibah yang menimpa orang lain (yang didengki)

Kiranya Anda sudah cukup tahu kalu Allah memerintahkan agar kita berlindung dari orang yang dengki. Dia berfirman:

Artinya: “Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.” (Q.S. al-Falaq: 5)

Dia memerintahkan agar kita berlindung dari orang yang dengki seperti Dia juga memerintahkan agar kita berlindung dari kejahatan setan dan tukang sihir. Betapa banyak keburukan yang ditimbulkan rasa dengki hingga pelakunya disejajarkan dengan setan dan tukang sihir. Bahkan tidak ada penolong dan tempat berlindung darinya kecuali hanya Allah, Penguasa alam semesta.

Kepayahan dan keprihatinan yang tak berguna.

Bahkan keduanya merupakan dosa dan kemaksiatan seperti yang dikatakan oleh Ibnu As-Samak rahimahullah: “ Aku tidak pernah melihat orang zalim yang pelakunya lebih menyerupai orang yang dizalimi selain orang yang dengki. Ia terus bernafas, pikirannya kosong dan susah berkepanjangan.”

Kebutaan dalam hati. Sehingga orang yang dengki nyaris tidak mengetahui satu hukum di antara hukum-hukum Allah.

Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata: “Sebaiknya engkau selalu diam. Dengan begitu kau akan memiliki sikap wara’. Jangan rakus pada dunia, maka dirimu akan terpelihara. Jangan suka mencela, maka kau akan terhindar dari dibicarakan orang banyak. Danjangan merasa dengki, maka kau akan memahami sesuatu dengan cepat.”

 

Halangan dan hinaan.

Orang yang dengki nyaris tidak dapat meraih apa yang diinginkan dan bantuan untuk mengalahkan musuhnya. Seperti yang dikatakan oleh Hatim Al-Asham: “Orang yang iri bukanlah orang yang beragama. Orang yang mencela bukanlah ahli ibadah. Orang yang mengadudomba bukanlah orang terpercaya. Dan orang yang dengki tidak akan mendapat pertolongan.”

Menurutku, bagaimana mungkin orang yang dengki meraih keinginannya, sementara yang diinginkan adalah hilangnya kenikmatan dari Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Bagaimana mungkin ia mendapat pertolongan untuk mengalahkan musuhnya jika yang menjadi musuhnya adalah hamba-hamba Allah yang beriman.”

Alangkah indah apa yang dikatakan oleh Abu Ya gub berikut ini: “Ya Allah! Berilah kesabaran atas kesempurnaan nikmat yang ada pada hamba-Mu dan juga bersabar atas kebaikan mereka.”

Dengki adalah penyakit yang akan merusak ketaatan Anda dan memperbanyak keburukan serta maksiat Anda. Ia juga akan mencegah Anda dari rasa nyaman di dalam jiwa, kepahaman hati, pertolongan untuk mengalahkan musuh dan mencapai keinginannya.

Sekarang penyakit apa lagi yang lebih berbahaya dari ini? Untuk itu hendaklah Anda memelihara jiwa dari penyakit tersebut.

Hanya Allah yang menguasai taufik dengan anugerah dan kemuliaan-Nya.

 

Tergesa-gesa dalam beribadah

Sikap ini malah bisa menghilangkan apa yang menjadi tujuannya dan menjerumuskannya dalam berbagai kemaksiatan, Sebab dari sikap tersebut akan muncul empat macam afat.

Orang yang beribadah menginginkan sebuah kedudukan dan terkadang ia tergesa-gesa untuk mendapatkannya, padahal hari itu belum tiba saat yang telah ditentukan baginya. Lalu ia pun tidak bersemangat dan berputus asa. Maka ia tak lagi bersungguh-sungguh dan terhalang dari kedudukan tersebut. Kalau tidak begitu ia bertindak melampaui batas dan menyusahkan dirinya. Maka ia pun tak dapat mencapai kedudukan tersebut. Dengan begitu ia berada di antara keteledoran dan keterlaluan, yang keduanya merupakan buah dari sikap tergesa-gesa.

Diceritakan dari Nabi Saw. beliau bersabda:

Artinya: “Sesungguhnya agama kami adalah agama yang kokoh. Jalanilah dengan pelan-pelan, sebab orang yang berpatah semangat itu tidak bisa melintasi bumi dan tidak pula terus berada di atas punggung hewan tunggangan.”

Dalam sebuah peribahasa ada ungkapan lain yaitu: “Jika kamu tidak tergesa-gesa pasti kamu akan sampai (ke tempat tujuan).”

 

Dalam sebuah syair diungkapkan:

Orang-orang melakukan sesuatu dengan pelan dapat mencapai sebagian kebutuhannya.

Dan orang yang tergesa-gesa kadang malah meleset (tidak mendapatkannya).”

 

Seorang hamba memiliki suatu kebutuhan dan memohon kepada Allah untuk mendapatkannya. Kemudian ia memperbanyak doa dan bersungguh-sungguh. Kadang ia tergesa-gesa untuk segera dikabulkan sebelum tiba waktunya. Lalu ia berputus asa dan tidak lagi berdoa. Akhirnya ia pun tidak terpenuhi kebutuhannya dan tujuannya juga tidak tercapai.

Hamba tersebut dizalimi oleh seseorang. Lalu ia segera berdoa agar orang yang menzaliminya ditimpa kerusakan. Maka ada seorang muslim yang tertimpa kecelakaan karena (doa) hamba tersebut. Atau hamba tadi bertindak melebihi batas sehingga ja terperosok ke dalam kemaksiatan dan kerusakan.

Allah Swt. berfirman:

Artinya: “Dan seseorang berdoa dengan suatu keburukan seperti za berdoa meminta kebaikan. Dan manusia itu memang suka tergesagesa.” (Q.S. Al-Israa’: 11)

Inti ibadah adalah wara’. Sedangkan wara’ berasal dari pandangan yang teliti dan penyelidikan secara matang terhadap segala sesuatu yang dikerjakan seperti makan, minum, berbicara, dan melakukan sesuatu.

Jika seseorang tergesa-gesa dalam berbagai urusan, tidak melakukannya dengan pelan dan berhati-hati untuk mencari titik terang dalam urusan tersebut, tentu ia tidak bisa berhenti pada satu pokok permasalahan dan melihat segala sesuatu dengan benar sebagaimana mestinya.

Dengan segera ia berbicara dan terpeleset ke dalam kesalahan. la bersegera untuk makan lalu terjatuh ke dalam hal-hal haram dan syubhat. Begitu pula dengan urusan-urusan yang lain. Ia pun kehilangan sikap wara’. Lalu bagaimana mungkin kebaikan dalam Ibadah bisa tercapai tanpa adanya sikap wara?

Jika hamba tersebut sudah terputus dari kedudukan. kedudukan baik, terhalang dari kebutuhan-kebutuhan, merusak kaum muslimin dan dirinya sendiri, dikhawatirkan akan kehilangan sikap wara’nya yang menjadi modal utama. Untuk itu, sudah semestinya bila seluruh manusia memperhatikan hal itu dan berusaha menghilangkannya. Dan setelah itu ia memperbaiki dirinya.

Hanya Allah yang menguasai taufik dengan karunia dan anugerah-Nya.

 

 

Takabur

Kesombongan adalah sebuah sikap yang bisa merusak segalanya. Tidakkah Anda mendengar firman Allah:

Artinya: “Iblis membangkang serta menyombongkan diri. Dan dia termasuk golongan orang-orang kafir.” (Q.S. al-Baqarah: 34)

Sikap seperti ini tidak seperti sikap-sikap lain yang hanya merusak amal dan membahayakan cabang-cabang agama. Akan tetapi sikap ini juga membahayakan inti agama (keimanan) dan merusak agama juga keyakinan.

Jika sikap seperti ini tertanam kuat dan menguasai hati, maka tiada lagi yang bisa diharapkan. Na’udzubillah. Paling tidak dari sikap tersebut akan muncul empat kerusakan:Terhalang dari kebenaran, kebutaan hati dari pengetahuan tentang ayat-ayat Allah dan memahami hukum-hukum-Nya

Allah berfirman:

Artinya: “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.” (Q.S. Al-A’raaf: 146)

Firman Allah:

Artinya: “Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (Q.S. A-Mu min: 35)

 

 

Kemurkaan dan kebencian Allah.

Firman Allah:

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.” (Q.S. An-Nahl: 23)

Diceritakan bahwa Nabi Musa a.s. bertanya: “Wahai Tuhanku! Siapakah makhluk yang paling membuat-Mu benci?” Allah berfirman: “Orang yang hatinya sombong, mulutnya kasar, matanya sipit (tak pernah menangis), tangannya pelit dan pekertinya buruk.

Siksaan serta hinaan di dunia dan akhirat.

Hatim Al-Asham berkata: “Jangan sampai kamu mati saat melakukan salah satu dari tiga hal, yaitu sombong, rakus dan pamer kedudukan. Sebab orang yang sombong tidak akan dikeluarkan oleh Allah dari dunia ini sebelum kehinaannya ditampakkan kepada keluarga dan para pelayannya yang paling hina. Orang yang rakus tidak akan dikeluarkan oleh Allah dari dunia ini sebelum ia dibuat sangat membutuhkan sekerat roti atau seteguk air dan tidak bisa memperolehnya. Sedangkan orang yang pamer kedudukan tidak akan dikeluarkan oleh Allah dari dunia ini sebelum disungkurkan ke dalam air seni dan kotorannya.

Ada seorang ulama mengatakan: “Barangsiapa bersikap sombong tidak pada tempatnya, maka Allah akan mewariskan kehinaan yang nyata.”

Neraka dan siksaan di akhirat seperti diceritakan bahwa Allah berfirman (dalam hadis qudsi):

Artinya: “ Kesombongan adalah selendang (sifat)-Ku. Keagungan adalah kain (sifat)-Ku. Barangsiapa mencopot salah satunya dariKu, maka Aku akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam.”

Artinya keagungan dan kesombongan termasuk dari sifat-sifat yang khusus bagi-Ku. Karena itu tidak pantas kalau sifat itu ditempatkan pada selain Aku, seperti selendang dan kain yang khusus dipakai oleh seseorang tentu tidak pantas jika keduanya dipakai orang lain.

Jika ada sebuah sikap yang membuat Anda luput dari pengetahuan tentang kebenaran dan memahami arti ayat-ayat Allah dan hukum-hukumnya, segala hal yang menjadi inti agama dan membuahkan murka dari Allah Swt., membuahkan hinaan di dunia dan siksa neraka di akhirat seperti ini, maka tidak seharusnya orang yang memiliki akal lupa diri dan tidak memperbaikinya dengan cara menghilangkan sikap tersebut, menjaga diri dan memohon pertolongan kepada Allah dari hal itu. Dia Maha Agung yang menguasai pemeliharaan dan taufik dengan anugerah-Nya.

Demikianlah sedikit keterangan tentang apa yang bisa kami kemukakan tentang empat macam kerusakan (panjang angan-angan, Tergesa-gesa, dengki, dan Takabbur).

Orang yang berakal cukup melihat salah satunya, apa lagi jika melihat keempatnya, tentu ia akan lebih berhati-hati mementingkan urusan hatinya dan menjauhkan hal tersebut dari urusan agamanya.

Jika Anda bertanya: “Kalau demikian keadaannya maka hal itu harus diketahui hakekat dan batasannya. Oleh karena itu tolong terangkan agar kami mengetahui cara menjaga diri darinya.”

Ketahuilah bahwa masing-masing membutuhkan banyak keterangan. Hal itu sudah kami terangkan secara panjang lebar di dalam kitab “Ihya Ulumiddin” dan kitab “Asraari Mu’aamalat Ad-Diin”. Di dalam kitab ini kami hanya menerangkan secara garis besar dan apa yang memang harus diketahui. Karena itu, kami akan menerangkannya satu persatu.

 

Angan-angan

Para ulama mengatakan bahwa yang dinamakan angan-angan adalah keinginan untuk hidup dalam waktu yang cukup lama dengan penuh keyakinan (memastikan hal itu akan terjadi pada dirinya —Pen.). Adapun pendek angan-angan adalah tidak memastikan apa yang menjadi keinginannya seperti dengan cara menyandarkan keinginan tersebut pada pengecualian, kehendak Allah dan pengetahuan-Nya di dalam mengutarakan keinginan tersebut, atau dalam menginginkannya disertai syarat adanya kebaikan.

Dengan begitu, jika Anda mengatakan bahwa aku pasti hidup sampai tarikan nafas kedua, dua jam lagi, atau dua hari lagi, itu berarti Anda termasuk orang yang mengkhayal (panjang anganangan).

Hal itu bagi Anda termasuk sebuah kemaksiatan karena, memastikan sesuatu yang gaib.

Jika Anda menyandarkan ucapan tersebut pada kehendak dan pengetahuan Allah serta mengatakan: “Jika Allah menghendaki aku masih akan hidup” atau “Jika Allah mengetahui bahwa aku masih akan hidup”, maka Anda pun telah keluar dari hukum berangan-angan dan berpredikat meninggalkan angan-angan.

Begitu juga jika Anda secara pasti menginginkan hidup untuk kedua kalinya, maka Anda termasuk oang yang berangan-angan, Tapi jika Anda menyandarkan keinginan tersebut pada syarat adanya kebaikan, maka Anda telah keluar dari hukum beranganangan dan berpredikat pendek angan-angan, sebab tidak memasukkan kata pasti di dalamnya.

Oleh karena itu, sebaiknya Anda tidak usah memastikan sebuah kekekalan dan menginginkannya.

Yang dimaksud dengan “mengatakan” di sini adalah kata hati, yaitu memantapkan dan meneguhkan hati pada hal itu.

Pahamilah keterangan ini! Semoga Anda mendapat petunjuk. Insya Allah.

Kemudian angan-angan ini ada dua macam, yaitu anganangan yang bersifat umum dan angan-angan yang bersifat khusus.

Angan-angan yang bersifat umum yaitu bila Anda menginginkan kehidupan yang abadi untuk mengumpulkan kekayaan dunia dan bersenang-senang di dalamnya. Hal ini termasuk kemaksiatan murni dan yang menjadi kebalikannya adalah pendek angan-angan.

Allah berfirman:

Artinya: “Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenangsenang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (Q.S. Al-Hijr: 3)

Sedangkan angan-angan yang bersifat khusus yaitu jika Anda menginginkan kehidupan yang kekal untuk mengumpulkan amal baik yang masih menyimpan kekhawatiran. Hal itu berupa amal yang belum diyakini kebaikannya, sebab terkadang amal itu baik dilakukan dengan sempurna atau tidak, tidak mendatangkan kebaikan bagi seorang hamba. Bisa saja saat melakukan amal tadi hamba tersebut terperosok ke dalam sifat ujub dan kerusakan yang tidak seimbang dengannya.

Kalau begitu berarti seorang hamba yang memulai ibadahnya tidak boleh memastikan bisa menyempurnakannya, karena penyempurnaan tersebut termasuk hal gaib. Ia tidak boleh menginginkan ibadah tersebut secara pasti, karena terkadang hal itu tidak membawa kebaikan. Akan tetapi hamba tersebut hendaknya menyandarkan amal itu pada pengecualian atau syarat adanya kebaikan agar ia selamat dari angan-angan yang tercela.

Allah berfirman:

Artinya: “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi. Kecuali (dengan menyebut) Insya Allah.” (Q.S. Al-Kahfi: 23-24)

Menurut para ulama kebalikan dari angan-angan semacam ini adalah niat terpuji. Mereka mengemukakan pendapat seperti ini karena semacam kelonggaran, yaitu orang yang memiliki niat terpuji biasanya tidak senang berangan-angan.

Inilah hukum angan-angan dan niat terpuji, karena hal itu memang sudah dibutuhkan dan perlu diketahui. Sebab masalah ini memang sangat penting

Para ulama menyebutkan yang lebih luas lagi tentang hal ini. Mereka mengatakan bahwa niat yang benar dan terpuji adalah memastikan keinginan untuk melakukan suatu amal dan menyempurnakannya sebelum memulai amal yang baru disertai penyerahan diri dan pengecualian (Insya Allah) dalam menyempurnaannya.

Jika ada yang bertanya: “Kenapa pada saat memulai diperbolehkan memastikannya tapi untuk menyempurnakan harus disertai penyerahan diri dan pengecualian?”

Alasannya, karena saat memulai tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan dan hal itu belum terlambat. Juga karena adanya kekhawatiran saat menyempurnakan amal tersebut. Sebah saat menyempurnakan suatu amal ia sudah terlanjur melakukannya. Kemudian dari situ muncul dua kekhawatiran: Pertama khawatir tidak bisa wushul (sampai ke tempat tujuan). Ia tidak tahu entah bisa wushul atau tidak. Yang kedua adalah khawatir amal tersebut menjadi rusak. Ia tidak tahu apakah amal tersebut baik atau tidak.

Jadi, ia harus mengecualikan (dengan lafal Insya Allah) karena mengkhawatirkan sampai dan tidaknya amal tersebut. Ia juga harus berserah diri karena mengkhawatirkan kerusakannya.

Bila keinginan Anda sudah memenuhi syarat-syarat di atas berarti keinginan tersebut sudah masuk dalam kategori niat terpuji yang bisa mengeluarkan seseorang dari batas panjang anganangan dan kerusakannya.

Oleh karenanya, renungkanlah keterangan ini dengan sungguh-sungguh.

Ketahuilah bahwa benteng pendek angan-angan adalah mengingat kematian. Dan benteng yang menjadi penjaganya adalah mengingat maut yang selalu datang tiba-tiba, tanpa disangka-sangka dan datang di saat lengah.

Peliharalah semua keterangan ini. Semoga Allah memberikan taufik. Sebab kebutuhan untuk itu sudah mendesak. Jangan siasiakan waktu Anda untuk beromong kosong dan berselisih pendapat dengan orang lain.

Hanya Allah yang memberikan taufik dengan anugerah-Nya.

 

 

Kedengkian

Dengki adalah keinginan hilangnya nikmat-nikmat yang yang diberikan kepada Allah dari saudara-saudara yang beragama Islam berupa nikmat kebaikan.

Jika Anda tidak menginginkan hilangnya kenikmatan tersebut tapi hanya ingin agar diri Anda mendapatkan yang seperti itu, maka keinginan tersebut dinamakan ghibthah (bercita-cita ingin mendapat seperti orang lain tanpa merasa iri).

Cita-cita seperti inilah yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya berikut ini:

Artinya: “Tidak diperbolehkan mendambakan nikmat milik orang lain kecuali dalam dua hal…

Beliau mengungkapkan “ghibthah” dengan kata “hasad” hanya untuk memberi kelonggaran, karena keduanya memiliki arti yang hampir sama.

Bila nikmat yang diberikan oleh Allah tidak mengandung kebaikan baginya, lalu Anda menginginkan hilangnya kenikmatan tersebut, maka hal itu dinamakan “ghirah” (kecemburuan).

Kebalikan dari sikap dengki adalah “nashihah”, yaitu keinginan agar nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada saudara Anda mengandung kebaikan tetap melekat padanya.

Jika ada pertanyaan: “Bagaimana caranya mengetahui bahwa nikmat itu mengandung kebaikan atau tidak, agar kami bisa merasa nashih atau merasa dengki?”

Ketahuilah bahwa kita pasti memiliki sebuah dugaan yang lebih kuat. Bagi kita dugaan kuat seperti itu bisa disejajarkan dengan pengetahuan.

Kemudian jika hal itu terlihat sama, artinya dugaan bahwa hal itu mengandung kebaikan dan tidak, sama-sama kuat, maka jangan sekali-kali menginginkan hilangnya suatu kenikmatan atau tetap melekatnya nikmat tersebut dari sesama muslim kecuali dengan menyandarkannya pada Allah dan dengan syarat hal itu mengandung kebaikan, agar Anda terbebas dari hukum kedengkian dan mendapatkan manfaat “nashihah”.

Benteng yang dapat melindungi pertahanan di atas adalah mengingat keagungan yang diberikan oleh Allah, seperti hak seorang mukmin dan kedudukan tinggi. Selain itu masih ada kemuliaan-kemuliaan yang akan diberikan Allah kelak di akhirat dan manfaat-manfaat lain yang diberikan-Nya di dunia seperti saling menolong, saling membantu, berjamaah, dan salat Jum’at. Kemudian syafaat (pertolongan) yang Anda harapkan di akhirat kelak.

Semua ini termasuk bagian dari hal-hal yang membangkitkan “nashih” kepada setiap muslim dan menjauhkan Anda dari perasaan dengki terhadap nikmat Allah yang diberikan kepada mereka.

 

 

Tergesa-gesa

Tergesa-gesa adalah sesuatu yang tersusun rapi dalam hati seseorang dan mendorongnya untuk melakukan segala macam keinginan dengan segera tanpa menyelidikinya terlebih dahulu.

Kebalikan dari sikap ini adalah al-anat, yaitu sesuatu yang tersusun rapi di dalam hati dan membangkitkan kehati-hatian dalam segala hal, berpikir tentang hal itu dan tidak tergesa untuk mengukuti dan mengamalkannya.

Tawaquf (kebimbangan) adalah kebalikan dari Ta’assuf (melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang, teledor — Pen).

Guru kami berkata: “Perbedaan antara kebimbangan (tawaquf) dan perlahan-lahan (ta’anniy) adalah: Sesungguhnya kebimbangan itu dilakukan sebelum memulai suatu pekerjaan sampai ia merasa yakin bahwa apa yang akan dikerjakan itu memang benar. Sedangkan perlahan-lahan dilakukan setelah memulainya sehingga ia bisa melakukan bagian-bagiannya dengan sempurna.

Permulaan “anat” (perlahan-lahan) adalah mengingat kekhawatiran-kekhawatiran yang muncul dalam segala hal yang dihadapkan kepadanya. Mengingat kerusakan yang ditakutinya, mengingat keselamatan yang diperoleh dengan kehati-hatian dan mengingat apa yang diperoleh dengan tawagguf dan isti’jal (tergesa-gesa) seperti penyesalan dan cemoohan.

Semua ini dan yang sejenisnya merupakan hal-hal yang membangkitkan seseorang untuk perlahan-lahan dan bimbang dalam melakukan sesuatu serta mencegahnya dari ketergesagesaan dan keteledoran.

Hanya Allah yang menguasai pemeliharaan dengan rahmatNya.

 

 

Kesombongan

Ketahuilah bahwa kesombongan adalah gerak hati untuk menganggap agung diri sendiri, dan akibatnya bersikap sombong.

Adapun dhi’ah atau rendah diri adalah merendahkan diri, dan akibatnya muncul sikap tawadhu’. Masing-masing bersifat umum dan khusus.

Tawadhu’ yang bersifat umum adalah mencukupkan diri pakaian, tempat tinggal dan kendaraan yang tidak mewah.

Kesombongan yang menjadi bandingannya adalah bermewah-mewah dalam hal tersebut.

Tawadhu’ yang bersifat khusus adalah melatih diri untuk menerima kebenaran dari siapapun datangnya, baik orang yang hina ataupun mulia.

Kesombongan yang menjadi bandingannya adalah hanya menerima kebenaran yang datang dari orang-orang yang mulia.

Kesombongan semacam ini merupakan dosa besar dan kesalahan yang fatal.

Kemudian benteng tawadhu’ yang bersifat umum adalah mengingat asal-muasal, kesudahan dan apa yang terjadi saat ini, – Seperti kerusakan dan hal-hal yang kotor.

Sebagian ulama berkata: “Permulaanmu adalah setetes air mani yang menjijikkan. Kesudahanmu adalah bangkai yang berbau, dan kamu hidup di antara keduanya sambil membawa kotoran.

Benteng tawadhu’ yang bersifat khusus adalah mengingat Siksaan bagi orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dan terus menerus berada dalam kebathilan.

Inilah keterangan yang bisa dianggap cukup oleh orang yang waspada.

Hanya Allah yang memberikan taufik dengan anugerah-Nya,

 

 

Pasal Kelima: Perut dan Pemeliharaannya

Wahai orang yang berkehendak untuk beribadah! Hendaklah Anda senantiasa memelihara perut dan meperbaikinya. Sebab perut merupakan anggota tubuh yang paling sulit diperbaiki oleh orang yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya. Perut juga banyak memerlukan biaya, banyak menyita waktu, sangat berbahaya dan juga sangat berpengaruh. Semua itu disebabkan karena perut merupakan sumber segala macam penyakit. Dari situ akan muncul beberapa hal yang berhubungan dengan anggota badan lain seperti kekuatan, ketidakmampuan, pemeliharaan diri (iffah) tak mau beribadah, dan lain-lain.

Jadi pada awalnya Anda harus senantiasa memeliharanya dari barang haram dan syubhat. Setelah itu baru memeliharanya dari kelebihan barang halal kalau Anda memang memiliki keinginan kuat untuk menjalankan ibadah.

Anda harus menjauhkannya dari barang haram dan syubhat karena tiga hal:

Memelihara diri dari api neraka Jahannam. Allah Swt. berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim itu sebenarnya mereka memasukkan api ke dalam perut mereka. Dan mereka akan masuk ke dalam neraka sa’iir.” (QS. An-Nisaa’: 10)

Nabi Saw. juga bersabda:

Artinya: “Setiap daging yang tumbuh dari barang haram, maka api neraka lebih berluk membakarnya.”

Orang yang memakan barang haram dan syubhat ditolak menghadap Allah dan tidak akan mendapat taufik untuk menjalankan ibadah, karena tidak ada yang pantas melayani Allah selain orang-orang yang suci dan bersih. Menurut pendapatku, bukankah Allah telah melarang orang yang sedang junub masuk ke dalam rumah-Nya (masjid)? Ia juga melarang orang yang berhadas memegang kitab suci-Nya.

Allah berfirman:

Artinya: “Dan (jangan mendekat ke masjid) ketika sedang junub kecuali hanya melewati jalan sampai kalian semua mandi.”

Allah juga berfirman:

Artinya: “Tidak diperbolehkan menyentuhnya selain orang-orang yang suci.” (Q.S. al-Waqiah: 79)

Padahal junub dan hadas adalah sesuatu yang timbul dari Sesuatu yang diperbolehkan. Lalu bagaimana jika yang melakukannya adalah orang yang berlepotan lumpur haram dan barang syubhat yang najis? Kapan hal itu akan mengajaknya untuk melayani Allah yang Maha Luhur dan mengingat yang Maha Mulia?

Tak mungkin. Hal itu selamanya tak mungkin akan terjadi.

Mu adz Ar-Raazi berkata: “Ketaatan itu tersimpan di dalam gudang Alah. Kunci untuk membukanya adalah doa. Dan gigi anak kuncinya adalah barang halal. Bila kunci itu tidak bergigi, maka pintunya tidak akan terbuka. Dan bila pintu gudang tida terbuka, maka bagaimana mungkin bisa sampai dan mengambil ketaatan yang ada di dalamnya?

Orang yang memakan makanan haram dan syubhat akan terhalang dari malakukan kebaikan. Apabila secara kebetulan ja melakukannya, maka kebaikan itu pun ditolak. Jadi, ia tidak menghasilkan apapun selain kepayahan, kesukaran dan buangbuang waktu.

Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya: “Banyak sekali orang yang beribadah di malam hari dan yang didapatkannya hanyalah begadang. Banyak orang yang berpuasa dan yang didapatkan dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga.”

Diceritakan dari Ibnu Abbasr.a.: “Allah tidak akan menerima salat dari orang yang di dalam perutnya terdapat barang haram.”

Camkan hal ini baik-baik!

Adapun kelebihan barang halal, maka ketahuilah bahwa itu adalah kerusakan bagi para ahli ibadah dan bencana bagi orang yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya.

Kemudian aku merenung dan menemukan sepuluh kerusakan yang sangat pokok dalam hal ini:

Banyak makan membuat seseorang berhati keras.

Diceritakan dari Nabi Saw. beliau bersabda:

Artinya: “Jangan membunuh hati kalian dengan banyak makan dan minum, karena hati akan mati bagai tanaman yang terendam air”

Orang-orang saleh menggambarkan bahwa perut itu bagaikan periuk yang berada di bawah hati dan dididihkan. Uapnya naik ke atasnya (hati). Uap yang banyak akan membuat hati menjadi keruh dan hitam.

Banyak makan menimbulkan fitnah bagi seseorang, membangkitkannya untuk mencari kelebihan barang halal dan membuat kerusakan. Sebab seseorang yang perutnya kenyang tentu akan melecehkan nikmat. Matanya selalu ingin memandang hal-hal haram yang tidak ada gunanya atau kelebihan barang halal. Telinganya ingin mendengarkan hal itu. Mulutnya ingin membicarakan hal haram dan tak berguna. Kemaluannya ingin mendapatkan apa yang disukainya. Dan kaki hendak melangkah ke arah itu.

Jika seseorang merasa lapar, maka seluruh anggota badannya akan tenang, dia, tidak menginginkan sesuatu dan tidak ada gairah untuk itu.

Al-Ustadz Abu Ja’far mengatakan bahwa perut adalah satu anggota tubuh. Jika ia lapar, maka seluruh badan menjadi kenyang (diam). Bila ia kenyang, maka seluruh badan menjadi lapar.

Intinya, semua perbuatan dan ucapan seseorang disesuaikan dengan makanan dan minumannya. Jika ada barang haram yang masuk ke dalamnya, maka yang keluar (muncul) adalah perbuatan dan ucapan haram. Jika yang masuk adalah kelebihan barang halal, maka yang keluar juga kelebihan barang halal (sesuatu yang tak berguna). Makanan bagaikan biji perbuatan dan ucapan yang akan tumbuh dan muncul darinya (perut).

Banyak makan membuat seseorang berdaya pikir rendah dan kurang pengetahuan. Sebab perut yang penuh akan menghilangkan kecerdasan.

Benar sekali yang dikatakan oleh Ad-Daarani berikut ini: “Jika kamu memiliki suatu kebutuhan dari bermacam kebutuhan dunia dan akhirat, maka janganlah kamu makan sebelum mendapatkannya, sebab makan itu dapat merubah pikiran.”

Ini semua adalah sesuatu yang jelas dan diketahui oleh orang yang pernah mencobanya.

Banyak makan bisa mengurangi ibadah seseorang. Sebab apabila seseorang terlalu banyak makan tentu badannya menjadi berat, matanya mengantuk, anggota badan mengendor dan tidak bisa melakukan ibadah sedikitpun. Ia tidak akan bersungguh-sungguh kecuali untuk tidur bagai bangkai yang ditelentangkan.

Ada orang yang mengatakan: “Jika kamu kenyang, maka anggaplah dirimu orang yang lumpuh.”

Telah diceritakan dari Nabi Yahya a.s. bahwa Iblis menampakkan diri pada beliau dengan membawa beberapa jerat. Lalu Nabi Yahya bertanya kepadanya: “Hai Iblis! Apa yang kau bawa itu?” Iblis menjawab: “Ini adalah syahwat yang kupakai untuk memburu keturunan Adam.” Yahya bertanya lagi: “Apakah kamu menemukan sesuatu pada diriku untuk kau jerat?” Iblis menjawab: “Tidak. Hanya saja pada suatu malam engkau merasa kenyang dan aku membuatmu merasa berat melakukan salat.” Yahya berkata: “Sungguh aku tidak akan makan kenyang setelah kejadian itu untuk selamalamanya.” Iblis berkata: ” Akujuga pasti tidak akan memberikan nasehat sebaik ini kepada siapapun untuk selamanya.”

Beginilah keadaan orang yang seumur hidup hanya satu malam merasa kekenyangan. Lalu bagaimana dengan orang yang seumur hidupnya tidak merasa lapar kecuali hanya semalam dan ia berharap bisa beribadah?

Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Ibadah bagaikan perusahaan. Kedainya adalah menyepi dan alat yang digunakan adalah lapar.”

Banyak makan menghilangkan rasa manis dalam beribadah. Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. berkata: ” Aku tidak penah merasa kenyang semenjak masuk Islam agar bisa merasakan manisnya beribadah kepada Tuhanku. Aku tidak pernah merasakan puasnya minum semenjak masuk Islam karena teramat rindu untuk segera bertemu dengan Tuhanku.”

Inilah ciri-ciri orang yang telah terbuka hijabnya. Karena itu, Abu Bakar telah menjadi orang yang mukasyafah, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah Saw. dengan sabdanya:

Artinya: “ Kelebihan Abu Bakar atas kalian bukanlah karena puasa dan salatnya tapi apa yang tertanam kuat di dalam dirinya.” Ad-Daarani berkata: “Ibadah yang kurasakan paling manis adalah saat perutku lengket dengan lambungku.”

Banyak makan menimbulkan kekhawatiran terjerumus ke dalam barang syubhat dan haram. Sebab barang halal yang datang kepada Anda tak lain hanya sebagai penguat.

Telah diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda:

Artinya: “Sesungguhnya tidak ada barang halal yang datang kepadamu selain hanya sebagai penguat, sedangkan barang yang haram datang kepadamu secara berbondong-bondong.”

Banyak makan menimbulkan kesibukan pada hati dan badan, Mula-mula seseorang sibuk untuk mendaptkannya. Yang kedua ia akan sibuk menyiapkannya dan yang ketiga sibuk memakannya. Lalu yang keempat ia akan sibuk mengeluarkannya. Setelah itu ia akan sibuk menyelamatkan diri dari bahaya yang ditimbulkan seandainya makanan tersebut menimbulkan bahaya pada tubuhnya atau bahkan makanan tersebut bisa merusak agamanya.

Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Artinya: “Inti segala macam penyakit adalah kekenyangan. Dan inti segala macam obat adalah mengurangi makan.” Artinya, lapar dan menghindari pantangan.

Diceritakan dari Malik bin Dinar bahwa beliau berkata: “Wahai sudara-sudaraku! Aku berulangkali masuk ke dalam jamban karena banyak makan, sampai aku merasa malu kepada Tuhanku. Alangkah senangnya bila rezekiku berada di dalam kerikil yang dapat kukulum sampai mati.”

Sehubungan dengan keterangan di atas, sehingga menjadikan orang yang ingin beribadah mau tidak mau harus mencari dunia, mengharap pemberian orang lain dan menyia-nyiakan waktu karena banyak makan selama ia tidak merasa takut.

Kepayahan yang didapatkan di akhirat sulitnya sakaratul maut.

Diceritakan dalam beberapa hadis bahwa kesulitan sakaratul maut sesuai dengan kelezatan dunia. Barangsiapa yang memperbanyak hal itu (merasa lezat) maka sakaratpun terasa lebih sulit.

Berkurangnya pahala di akhirat.

Artinya: ” Kalian telah menghilangkan keenakan-keenakan dalam kehidupan dunia dan bersenang-senang dengannya. Maka pada hari ini kalian akan dibalas dengan azab yang hina karena kesombongan yang tidak sepantasnya di muka bumi dan juga karena kalian berbuat fasik.” (Q.S. Al-Ahqaaf: 20)

Sesunggunya ukuran kelezatan yang Anda rasakan di dunia akan mengurangi kelezatan yang ada di akhirat. Karena itulah, saat Allah menampakkan dunia ini kepada Nabi Muhammad Saw. Dia berfirman: “Dan aku tidak akan sedikitpun mengurangi kelezatanmu diakhirat.” Prioritas seperti ini menunjukkan bahwa selain beliau akan mengalami pengurangan kecuali bila ia diberi anugerah oleh Allah.

Diceritakan bahwa Khalid bin Walid menjamu sahabat Umar bin Al-Khaththab. Beliau menyiapkan makanan tersebut. Maka sahabat Umar bertanya: “Makanan ini untukku. Lalu bagaimana dengan kaum fakir, para muhajirin, orang-orang yang mati kelaparan dan belum pernah merasakan kenyangnya makan roti gandum?” Khalid menjawab: “Wahai amirul mukminin! Mereka telah mendapatkan surga.” Umar berkata: “Jika mereka mendapatkan surga dan makanan ini bagian kita, maka mereka jelas sangat berbeda dengan kita.”

Diceritakan bahwa pada suatu hari sahabat Umar r.a. merasa haus dan beliau meminta air. Seseorang memberikan sebuah cawan berisi air rendaman kurma kepada beliau. Saat mendekatkan cawan tersebut ke mulut, beliau merasakan air yang amat dingin dan manis. Lalu beliau tidak jadi meminumnya dan mendesah. Maka orang yang mengambilkan cawan tersebut berkata: ” Wahai Amirul mukminin! Demi Allah, aku telah membuat minuman itu semanis mungkin.” Maka sahabat Umar menjawab: “Itulah yang membuatku tidak jadi minum. Seandainya tidak ada kehidupan akhirat tentu aku akan menyamai kehidupan kalian.”

Banyak makan menimbulkan penahanan, hisab, celaan dan cemoohan, karena mengambil kelebihan barang halal secara tidak sopan dan mencari kesenangan syahwat. Padahal harta dunia yang halal menimbulkan hisab, yang haram menimbulkan siksaan, dan perhiasannya membawa kerusakan.

 

Inilah sepuluh kerusakan yang berkaitan dengan kelebihan barang halal dan masing-masing kiranya sudah mencukupi bagi orang yang mau melihat kepada dirinya sendiri.

Oleh karena itu, hai orang yang bersungguh-sungguh, hendaklah Anda sangat berhati-hati dalam mencari makanan agar tidak terjerumus ke dalam barang haram atau syubhat yang membuat Anda berhak disiksa. Selain itu, hendaknya Anda mencukupkan diri dengan barang yang halal sekedar untuk persiapan melakukan ibadah kepada Allah sehingga tidak terjerumus ke dalam hal buruk yang membuat Anda tertahan.

Hanya Allah yang menguasai taufik.

Jika Anda mengatakan: “Sekarang tolong jelaskan terlebih dahulu kepada kami, bagaimana hukumnya barang yang haram dan syubhat beserta batasannya!”

Jawabanku begini: “Demi Allah aku telah menerangkannya secara panjang lebar di dalam kitab “Asraari Mu’aamalat Ad-Diin”. Aku juga menyebutkannya dalam bab tersendiri di dalam kitab “Ihya Ulumiddin”. Akan tetapi kami akan menerangkan beberapa kalimat tersendiri sekira bisa dicapai oleh orang yang daya pemahamannya rendah dan baru memulai ibadahnya, karena memang yang menjadi tujuan utama kitab ini adalah agar bisa dimanfaatkan oleh para pemula dan bisa menolong orang yang sedang belajar.

Sebagian ulama mengatakan bahwa segala sesuatu yang Anda yakini bahwa itu milik orang lain dan dilarang oleh agama, maka hal itu adalah murni haram. Sedangkan sesuatu yang belum diyakini milik orang lain tapi menurut dugaan yang kuat hal itu milik orang lain, maka hal itu adalah syubhat.

Ulama yang lain mengatakan bahwa barang yang murni haram adalah sesuatu yang Anda yakini atau diduga kuat sebagai sesuatu yang dilarang Allah. Sebab dugaan yang kuat bagi kami sama dengan yakin dalam banyak hukum. Sedangkan jika tandatandanya seimbang dan tidak ada lagi keraguan serta tidak ada yang lebih unggul, hal itu termasuk syubhat. Ia bisa saja halal dan juga bisa haram. Jadi, bagi Anda hal itu belum jelas.

Kemudian mencegah diri dari sesuatu yang murni haram adalah suatu kewajiban. Dan mencegah diri dari sesuatu yang syubhat adalah suatu ketakwaan atau sikap wara’. Inilah pendapat yang lebih terpilih di antara dua pendapat.

Jika ada yang bertanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang menerima bonus yang diberikan oleh para sultan (penguasa) di zaman sekarang ini?”

Ketahuilah bahwa dalam hal ini para ulama berselisih pendapat. Sebagian ulama mengatakan bahwa segala sesuatu yang belum diyakini keharamannya itu boleh diterima.

Ulama yang lain berkata: “Seseorang tidak diperbolehkan menerima (mengambil) sesuatu yang belum diyakini kehalalannya. Sebab diduga kuat harta-harta yang dimiliki oleh para penguasa di zaman sekarang ini adalah haram dan tidak ada sedikitpun atau jarang sekali barang halal di tangan mereka.”

Ulama lain berkata: “Pemberian para penguasa itu halal bagi orang kaya dan miskin, karena harta tersebut belum nyata keharamannya, sedangkan tanggung jawabnya (bila harta itu haram —Pen.) dibebankan kepada si pemberi (penguasa tersebut).” Mereka berani berkata begitu karena Nabi Saw. pernah menerima hadiah dari Mugaugis yang menjadi raja Iskandariyah dan beliau juga pernah berutang kepada orang Yahudi. Sementara Allah telah berfirman:

Artinya: “Mereka (orang-orang Yahudi) banyak memakan barang haram: (Q.S. Al-Maaidah: 42)

Mereka juga mengatakan bahwa ada sekelompok ulama yang mengalami masa pemerintahan orang-orang zalim dan menerima pemberian mereka. Di antara ulama tersebut terdapat Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan ulama-ulama lain, semoga — Allah meridai mereka semua.

Ulama lain berkata: “Tidak ada sedikitpun dari harta mereka yang halal bagi orang kaya maupun miskin, karena mereka biasa disebut sebagai orang yang zalim dan harta mereka kebanyakan haram. Oleh karena itu, hukum yang dipakai adalah yang lebih banyak. Dengan begitu, maka diwajibkan untuk menjauhi (harta)nya.

Ulama lain mengatakan bahwa segala sesuatu (dari para penguasa) yang belum diyakini keharamannya adalah halal bagi orang miskin dan haram bagi orang kaya, kecuali jika si miskin tahu bahwa harta itu hasil dari ghashab, maka ia tidak boleh mengambilnya kecuali untuk mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya. Orang miskin tidak berdosa jika mengambil (menerima) pemberian dari penguasa, karena bila harta tersebut memang milik si penguasa dan diberikan kepada orang miskin, maka ia boleh saja mengambilnya tanpa ragu. Dan bila harta itu berasal dari hasil rampasan perang, pajak, atau potongan sepersepuluh, maka orang fakir berhak memilikinya, begitu juga dengan orang yang ahli ilmu.

Ali bin Abu Thalib r.a. berkata: “Barangsiapa masuk Islam dengan membawa ketaatan dan secara lahir membaca Al-Qur’an, maka setiap tahun ia berhak mendapat bagian dua ratus dirham, atau dua ratus dinar dari baitul-maal milik kaum muslimin. Jika ja tidak mengambilnya saat hidup di dunia, maka ia akan mengambilnya di akhirat.”

Kalau begitu, maka orang fakir dan ahli ilmu berhak mengambil haknya.

Para ulama mengatakan: “Jika harta tersebut telah bercampur baur dengan harta hasil ghashab dan tidak mungkin memisahkannya, atau harta tersebut memang harta ghashab yang tidak mungkin dikembalikan kepada pemilik dan keluarganya, maka penguasa tersebut tidak memiliki jalan lain kecuali menyedekahkannya. Allah tidak memerintahkan kepada penguasa untuk bersedekah kepada orang-orang fakir dan melarang si fakir menerimanya. Allah tidak mungkin menyuruh orang fakir menerima sesuatu dan mengharamkan barang tersebut untuknya. Jadi, orang yang fakir boleh menerima pemberian kecuali yang benar-benar hasil ghashab atau haram.

Masalah ini tidak mungkin dijelaskan tanpa pembahasan yang panjang, berat dan mengartikan setiap pendapat serta keluar dari tujuan utama kitab ini. Jika Anda ingin mengetahuinya, maka lihatlah kitab “Halal dan haram” bagian dari kitab “Ihya Ulumiddin” yang telah kami susun, tentu di dalamnya akan Anda temukan penjelasannya secara jelas. Insya Allah.

Jika ditanyakan: “Bagaimana pendapat Anda tentang pemberian para pedagang pasar dan sebagainya? Haruskah pemberian tersebut ditolak dan dibahas terlebih dahulu? Sementara Anda telah mengetahui jual-beli mereka yang hanya dikira-kira (tanpa ditimbang) dan minimnya perenungan mereka dalam pekerjaan mereka. Begitu pula dengan pemberian saudarasaudara yang lain.”

Jawabannya adalah: “Jika secara lahir manusia tersebut bersikap baik dan tersembunyi (keburukannya), maka tak ada salahnya bila Anda menerima pemberian dan sedekah mereka. Tak ada lagi yang perlu dipertanyakan seperti yang Anda katakan bahwa zaman telah menjadi rusak, karena itu hanya buruk sangka terhadap seorang muslim. Bahkan berbaik sangka terhadap kaum muslimin adalah sesuatu yang diperintahkan.

Kemudian ketahuilah bahwa yang terpenting dalam menerima pemberian ini adalah dua hal:Hukum agama dan lahirnya.

 

Hukum wara’ dan keharusannya.

Menurut hukum agama, Anda boleh menerima sesuatu dari seseorang yang secara lahir bersifat baik kecuali Anda merasa yakin bahwa barang tersebut benar-benar hasil ghashab atau haram. Adapun menurut hukum wara’, Anda boleh menerima sesuatu dari seseorang setelah mempertanyakannya secara detail dan membahasnya dengan benar sampai merasa yakin bahwa barang tersebut tidak mengandung syubhat. Jika tidak, maka Anda harus menolaknya.

Telah diceritakan dari sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. bahwa salah seorang pelayan beliau datang membawakan susu dan beliau langsung meminumnya. Pelayan tersebut berkata: “Setiap kali aku datang membawakan susu, Anda pasti menanyakan kepadaku tentang susu tersebut. Tapi kali iri Anda tidak menanyaiku tentang susu ini.”

Abu Bakar bertanya: “Bagaimana ceritanya?”

Pelayan tersebut menjawab: “Pada masa jahiliyah aku pernah membuat penangkal untuk suatu kaum, lalu mereka memberikan susu ini kepadaku.”

Maka Abu Bakar segera memuntahkan susu tersebut dan berdoa: “Ya Allah. Hanya inilah kemampuanku. Dan apa yang tersisa dalam ototku, maka Engkaulah yang menghisabnya.”

Hal ini menunjukkan keharusan Anda untuk mempertanyakan apa yang disodorkan jika Anda memang memiliki pikiran untuk bersikap wara’ dan memenuhi apa yang harus dilakukan di dalamnya.

Jika Anda berkata: “Kalau begitu seakan-akan sikap wara’ berbeda dengan agama dan hukumnya.”

Ketahuilah bahwa syarak (agama) itu dibuat atas dasar mempermudah dan mempermurah. Karena itu pula Nabi Saw. bersabda:

Artinya: “Aku diutus dengan agama yang dicenderungi dan dipermurah.”

Sikap wara’ dibuat atas dasar memberatkan dan kehati-hatian seperti yang dikatakan oleh seorang ulama bahwa urusan agama bagi orang yang bertakwa itu lebih rumit daripada menghitung sembilan puluh sembilan dengan hitungan jari.”

Selain itu sikap wara’ juga berasal dari agama. Pada mulanya dua hal tersebut adalah satu. Akan tetapi agama mempunyai dua hukum, yaitu hukum “boleh” dan “lebih utama untuk lebih berhati-hati”. Hukum “boleh” dinamakan hukum syarak. Sedangkan yang lebih utama untuk berhati-hati” dinamakan wara’. Meski berbeda keduanya tetapi hanya dalam satu prinsip.

Pahamilah keterangan ini. Semoga Anda mendapat petunjuk.

Jika Anda berkata: “ Apabila diperbolehkan mempertanyakan sesuatu serta menyelidikinya, maka semua yang Anda terima di zaman sekarang ini tentu rusak dan sulit sekali mencari orang yang benar-benar bersikap wara’, karena ia harus memiliki bekal untuk bisa sampai pada tingkat ketaatan.”

Ketahuilah bahwa jalan wara’ ini sangat sulit ditempuh dan orang yang ingin menitinya disyaratkan harus memantapkan diri dan hatinya untuk menanggung segala kesulitan. Jika tidak, maka ia tidak akan dapat menitinya dengan sempurna. Karena alasan ini ini pula banyak orang yang ahli dalam hal wara’ dan orangorang terdahulu berjalan menuju gunung Lebanon dan tempattempat lain. Mereka merasa cukup dengan memakan rumput dan buah-buahan yang tak berharga dan tidak mengandung syubhat sama sekali.

Maka barangsiapa bercita-cita tinggi untuk mencapai kedudukan tersebut, hendaknya siap menanggung berbagai kesulitan, menjalaninya dengan sabar dan mengikuti langkah mereka supaya bisa mencapai kedudukan tersebut.

Sedangkan jika ia tetap tinggal di tengah masyarakat dan memakan barang yang silih berganti di antara mereka, maka hendaklah ia menganggapnya bagaikan bangkai. Ia tidak mengambil kecuali dalam keadaan terpaksa. Kemudian ia juga tidak mencarinya selain hanya sekedar cukup sebagai bekal untuk mencapai ketaatan. Dengan begitu, ia memiliki alasan untuk memakannya dan hal itu tidak akan membahayakan dirinya meski pada dasarnya barang tersebut berupa syubhat, sebab Allah lebih lebih baik dalam menerima alasan.

Oleh karena itu, Hasan Al-Bashri berkata: “Pasar telah menjadi rusak. Karena itu, hendaklah kamu sekalian mengambil makanan sekedar untuk penguat. Aku benar-benar telah mendengar kabar bahwa Wahb bin Al-Warid memperlapar dirinya selama satu, dua, atau tiga hari. Kemudian ia mengambil roti dan berkata, Ya Allah! Sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak kuat beribadah. Aku juga khawatir menjadi lemah. Jika tidak karena itu aku tidak akan memakannya. Ya Allah! Jika di dalamnya ada sesuatu yang kotor (syubhat) atau haram, maka janganlah Engkau menyiksaku karenanya.” Lalu beliau membasahi roti tersebut dengan air dan memakannya.

Menurut sepengetahuan kami, inilah dua jalan menuju tingkatan tertinggi dari orang-orang yang bersikap wara.

Sedangkan orang yang berada setingkat di bawah tingkatan ini, mereka memiliki sikap berhati-hati sesuai dengan derajat yang mereka miliki. Mereka juga memiliki bagian dari derajat wara’ sesuai dengan tingkatannya. Dan sesuai dengan jerih payah yang Anda kerjakan, maka Anda pun akan mendapatkan apa yang Anda harapkan.

Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala seseorang yang memperbagus amalnya. Dan Dia Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.

Jika ada pernyataan: “Keterangan ini baru pada sisi yang haram. Oleh karena itu, sekarang tolong terangkan sisi yang halal, apa batasan kelebihan barang halal yang yang tidak mengharuskan seseorang ditahan dan dihisab, seberapa ukuran harta yang jika diambil oleh seorang hamba menjadi suatu kesopanan tidak menjadi fudhul serta tidak menyebabkan penahanan dan hisab baginya!”

Ketahuilah bahwa keadaan sesuatu yang mubah itu secara global terbagi menjadi tiga macam:

Sesuatu yang diambil oleh seorang hamba dengan tujuan membanggakan diri, memperbanyak harta dan pamer. Mengambil harta semacam ini termasuk perbuatan yang secara lahir mengharuskan pelakunya ditahan, dihisab, dicela dan dicemooh. Sedangkan secara batin pengambilan tersebut termasuk perbuatan mungkar dan buruk, yaitu memperbanyak harta, menyombongkan diri dan siksaan di dalam neraka.

 

Tujuan semacam ini termasuk kemaksiatan dan suatu dosa berdasarkan firman Allah:

Artinya: “Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah main-main, permainan dan hiasan.” sampai pada firman: “Kelak di akhirat akan menghadapi siksa yang pedih.” (Q.S. Al-Hadiid: 20)

Nabi Saw. bersabda:

Artinya: “Barangsiapa mencari harta dunia yang halal untuk bermegah-megahan, memperbanyak dan karena pamer, maka ia akan bertemu Allah, sedangkan Dia dalam keadaan murka.”

Jadi, ancaman tersebut dihubungkan pada tujuan yang ada di dalam hatinya.

Seseorang mengambil harta tersebut secara halal karena mengikuti keinginan nafsu semata. Perbuatan semacam itu termasuk perbuatan buruk dan mengharuskan pelakunya ditahan dan di hisab berdasarkan firman Allah:

Artinya: “Kemudian kamu semua pasti akan dimintai pertanggungjawaban pada hari itu mengenai nikmat yang diberikan.” (Q.S. At-Takaatsur: 8)

Nabi Saw. bersabda:

Artinya: “(Harta dunia itu) halalnya akan dihisab.”

Seseorang mengambil harta halal pada saat uzur (beralasan) sekedar untuk menolong dirinya agar bisa beribadah kepada Allah dan merasa cukup hanya dengan itu.

Mengambil harta tersebut termasuk baik, bersopan-santun, tidak ada perhitungan (hisab) untuknya dan juga tidak ada siksa karenanya. Bahkan harta semacam itu mengharuskan adanya pahala dan pujian berdasarkan firman Allah:

Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan bagian dari apa yang mereka usahakan.” (Q.S. al-Baqarah: 202)

Nabi Saw. bersabda:

Artinya: “Barungsiapa mencari harta dunia yang halal untuk menjaga din dari menunta minta, berbelas kasih pada tetangganya dan berusaha untuk mencukupi keluarganya, maka pada hari kiamat ma akan datang dengan muka cemerlang bagaikan bulan saat purnama.”

Hal itu disebabkan tujuan yang ingin dicapainya adalah karena Allah.

Pahamilah keterangan penting ini.

Jika ditanyakan: “Apa yang disyaratkan dalam mengambil perkara mubah sehingga hal itu bisa menjadi suatu kebaikan seperti yang Anda katakan tadi?”

Ketahuilah bahwa pada dasarnya hal itu memiliki dua syarat. Yang pertama, keadaan dan yang kedua, adalah tujuan.

Keadaan yang dimaksud di sini adalah mengambilnya dalam keadaan uzur. Artinya jika tidak mengambil barang tersebut maka ja dituntut oleh dirinya sendiri. Untuk lebih jelasnya, jika ia tidak mengambil perkara mubah tersebut, maka ia tidak bisa melakukan kewajibanatau kesunatan. Dengan begitu, berarti mengambil perkara mubah tersebut baginya lebih baik ketimbang meninggalkannya, sebab tidak mengambil perkara dunia yang mubah termasuk keutamaan. Jika itu yang terjadi, maka itulah yang dinamakan keadaan uzur.

Adapun tujuan yang dimaksud di sini adalah mengambilnya dengan niat untuk persiapan dan pertolongan dalam beribadah kepada Allah. Hal itu dilakukan dengan berkata dalam hati “Seandainya hal itu tidak mengantarkan pada ibadah kepada Allah, tentu aku tidak akan mengambilnya.” Inilah yang dinamakan mengingat alasan kuat (hujjah).

Jika ia bisa mengingat hujjah dalam keadaan uzur, maka pengambilannya terhadap harta dunia yang halal bisa menjadi kebaikan dan kesopan-santunan.

Sedangkan bila keadaannya adalah keadaan uzur tapi ia tidak memiliki tujuan seperti ini, atau ia memiliki tujuan seperti ini tapi tidak dalam keadaan uzur, maka pangambilan tersebut tidak termasuk dalam kategori kebaikan.

Kemudian untuk menjaga kelangsungan bersopan-santun seperti ini Anda membutuhkan kewaspadaan dan tujuan yang bulat, yaitu tidak akan mengambilnya sama sekali kecuali sekedar persiapan untuk beribadah kepada Allah sehingga jika ia lupa tidak mengingat hujjah, maka ia cukup menggunakan tujuan bulat tanpa harus memperbaharui mengingat hujjah.

Guru kami Abu Bakr Al-Warraq berkata: “Tiga hal ini menjadi Syarat utama untuk mengambil perkara mubah dari sisi masingmasing.” Artinya, mengingat hujjah dan keadaan (uzur) itu menjadi syarat utama untuk menjadikan pengambilan tersebut sebagai sesuatu yang pada dasarnya sudah baik.

Adapun tujuan bulat yang berasal dari kewaspadaan dan menduduki derajat kesopanan itu dibutuhkan untuk kelangsungannya (keistiqamahannya).

Pahamilah keterangan tersebut. Semoga Anda mendapat petunjuk.

Jika ditanyakan: “Apakah mengambil harta dunia yang halal dengan syahwat itu temasuk perbuatan maksiat? Apakah ia berhak disiksa? Dan apakah mengambil dengan suatu alasan (uzur) itu suatu kewajiban?”

Ketahuilah bahwa hal itu adalah sebuah keutamaan dan kami menamakannya sebagai kebaikan. Sementara perintah yang ada di situ adalah mendidik kesopanan.

 

Adapun mengambil dengan syahwat itu merupakan suatu keburukan. Larangan yang ada di situ adalah suatu kesopanan dan bukan termasuk maksiat. Oleh karena itu, ia tidak berhak mendapat siksaan, tapi hanya penahanan, hisab, celaan dan : cemoohan.

Jika Anda bertanya: “Apa yang dimaksud dengan hisab dan penahanan yang harus diterima oleh seorang hamba?”

Ketahuilah bahwa hisab tersebut adalah, Anda akan ditanya mengenai apa yang Anda usahakan, dibelanjakan untuk apa dan apa tujuan yang ingin Anda capai dengan hal itu. Sedangkan penahanan di sini adalah tertahan dari masuk surga saat terjadi hisab (perhitungan) dan hal itu dilakukan di pelataran Makhsyar di antara peristiwa-peristiwa mengerikan dan hal-hal yang menakutkan di dalamnya dalam keadaan telanjang dan sangat haus.

Cukuplah kiranya hal itu sebagai bencana.

Jika dikatakan: “Kalau begitu Allah telah menghalalkan barang yang halal ini bagi kita. Lalu untuk apa masih ada makian dan cacian dalam pengambilannya?”

Ketahuilah bahwa makian dan cacian itu karena ia tidak sopan. Seperti halnya orang yang diundang dalam jamuan makan di rumah seorang penguasa. Lalu ia tidak bersikap sopan. Ia akan dimaki dan dicaci karena ketidak-sopanannya, meski makanan tersebut boleh ia makan.

Yang penting dalam bab ini adalah bahwa Allah menciptakan semua hamba untuk beribadah (menghamba). Dia tetap hamba Allah walau dilihat dari segi manapun. Oleh karena itu, seorang hamba harus beribadah kepada Allah dari segala arah yang mampu dilakukannya. Dia juga harus menjadikan semua yang dikerjakannya sebagai ibadah dari segala segi yang ia kuasai. Jika ia tidak melakukan hal itu dan memilih menuruti keinginan nafsunya serta sibuk dengan keinginan tersebut hingga lalai dari beribadah kepada Tuhannya, sementara itu ia mampu malakukannya tanpa mengalami kesulitan, sedangkan posisinya saat ini adalah posisi melayani dan menghamba, bukan bersenangsenang dan menuruti syahwat, maka dia berhak mendapat makian dan cacian dari tuannya.

Oleh karena itu, renungkanlah hal penting ini. Semoga Anda mendapat petunjuk. Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung.

Inilah keterangan secara menyeluruh yang kami maksudkan dalam memperbaiki diri dan cara mengendalikannya dengan kendali takwa. Karena itu, peliharalah keterangan ini sebaik mungkin dengan benar dan jagalah dengan sungguh-sungguh, maka Anda akan memperoleh banyak kebaikan di dunia dan akhirat. Insya Allah.

Hanya Allah yang menguasai pemeliharaan dan taufik dengan anugerah-Nya.

 

Komentar atau pertanyaan, silakan tulis di sini

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama