Terjemah Kitab Minhajul Abidin; TAHAPAN KETUJUH: PUJIAN DAN SYUKUR

 

Terjemah Kitab Minhajul Abidin

 

TAHAPAN KETUJUH

PUJIAN DAN SYUKUR

 

Setelah berhasil melewati tahapan-tahapan ini dan mendapatkan apa yang menjadi tujuan, yakni ibadah yang bebas dari noda-noda, maka hendaknya Anda memuji dan bersyukur kepada Allah atas nikmat yang agung dan anugerah yang mulia ini.

Hal itu harus dilakukan karena dua hal: Kelangsungan nikmat dan memperoleh tambahan.

Mendapatkan kelangsungan nikmat karena syukur adalah tali kenikmatan. Dengan tali itu kenikmatan akan tetap ada untuk selamanya dan tidak pergi. Jika tali itu tidak ada maka kenikmatan akan hilang dan berpindah tempat.

Allah Swt. berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah sesuatu (kenikmatan) yang ada pada suatu kaum kecuali mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’d:11)

Dia juga berfirman:

Artinya: “Lalu penduduk negeri itu mengingkari nikmat-nikmat Allah, maka Allah mencicipkan pada mereka pakaian rasa lapar dan takut karena sesuatu yang mereka perbuat.” (Q.S. An-Nahl: 112)

Firman-Nya pula:

Artinya: “Allah tidak akan memberikan siksaan kepada kamu sekalian jika kalian bersyukur dan beriman.” (Q.S. An-Nisaa’: 147)

Nabi Saw. bersabda:

Artinya: “Sesungguhnya kenikmatan itu memiliki sifat liar seperti liarnya binatang buas. Karena itu ikatlah ia dengan tali syukur.”

Anda juga akan memperoleh tambahan, karena bila syukur merupakan tali nikmat, maka syukur itu akan membuahkan tambahan.

Allah berfirman:

Artinya: “Sungguh jika kalian bersyukur, pasti Aku akan membahkannya untuk kalian.” (Q.S. Ibrahim:7)

Dan firman:

Artinya: “Dan orang-orang yang mengambil petunjuk, pasti Allah menambahkan petunjuk pada mereka.” (Q.S. Muhammad: 17)

Dan firman-Nya pula:

Artinya: “Dan orang-orang yang berjuang di jalan Kami, pasti kami benar-benar akan menunjukkan pada mereka jalan-jalan Kami.” (Q.S. Al-Ankabuut: 69)

Seorang majikan yang bijaksana apabila melihat hambanya benar-benar memenuhi hak suatu kenikmatan, tentu ia akan memberikan kenikmatan lain kepada hamba tersebut dan menganggapnya sebagai orang yang pantas mendapatkan kenikmatan semacam itu.

Jika hamba itu tidak memenuhi hak-hak kenikmatan, maka Ia pun akan menghentikan kenikmatan tersebut darinya.

Selanjutnya nikmat itu dibagi menjadi dua: Kenikmatan duniawi dan kenikmatan dalam agama.

Kenimatan duniawi dibagi menjadi dua: Nikmat kemanfaatan dan nikmat tertolak (tertahan).

 

Nikmat kemanfaatan yaitu pemberian berbagai kebaikan dan kemanfaatan.

Nikmat kemanfaatan ini dibagi menjadi dua, yaitu bentuk tubuh yang utuh dan sehat dengan sempurna, dan merasakan kelezatan sesuatu yang disenangi seperti makanan, minuman, Pakaian, pernikahan, dan berbagai manfaatnya.

Kenikmatan tertolak yaitu penolakan berbagai kerusakan dan bahaya dari Anda.

Nikmat tertolak ini juga dibagai menjadi dua.

Yang pertama yaitu penolakan yang terjadi pada jiwa seperti menyelamatkannya dari penyakit merana, dan segala macam penyakit yang bisa menimpanya.

Yang kedua yaitu penolakan terhadap hal yang membahayakan diri Anda seperti berbagai rintangan, dan segala yang berniat buruk kepada Anda seperti manusia, jin, binatang buas, binatang melata, dan sebagainya.

Kenikmatan di bidang agama juga terbagi menjadi dua: Nikmat pertolongan dan nikmat pemeliharaan (penjagaan).

Nikmat pertolongan adalah pertolongan yang diberikan oleh Allah. Mula-mula Anda memeluk agama Islam. Kemudian mengerjakan sunnah dan berbuat taat.

Sedangkan nikmat pemeliharaan yaitu pemeliharaan dari Allah. Mula-mula Dia menjaga Anda dari kekufuran, lalu dari kemusyrikan, dari hal-hal baru yang sesat dan maksiat-maksiat lain.

Rincian semua keterangan ini tidak ada yang bisa menghitungnya selain Tuhan yang Maha Mengetahui, yaitu Dzat yang memberi Anda kenikmatan, sesuai firman Allah:

Artinya: “Jika kamu sekalian ingin menghitung kenikmatan Allah, niscaya kalian tidak dapat menentukan jumlahnya.” (Q.S. An-Nahi: 18)

Kelangsungan semua kenikmatan ini, setelah sebelumnya Allah menganugerahkannya serta memberikan tambahan dari segala jalan masuknya, merupakan suatu kenikmatan yang tak terhingga dan tidak terjangkau angan-angan Anda. Semuanya bergantung pada satu hal, yani “Syukur dan puji bagi Allah.”

Jika ada perbuatan yang sangat berharga dan mendatangkan berbagai faedah semacam ini, maka sudah seharusnya jika perbuatan itu ditekuni tanpa pernah melupakannya sedikitpun, karena hal itu adalah permata yang amat mahal dan hasil kimia yang amat langka.

Hanya Allah yang menguasai taufik dengan anugerah dan rahmat-Nya.

 

 

A. Makna pujian dan syukur

Jika ada pertanyaan: “Apakah hakekat puji dan syukur, apa artinya, dan bagaimana hukumnya?”

Ketahuilah bahwa para ulama membedakan cara menghasilkan puji dan syukur.

Mereka mengatakan bahwa puji berasal dari bentuk penyucian (tasbih) dan tahlil. Karenanya hal itu termasuk usaha zhahur.

Adapun syukur berasal dari kesabaran dan penyerahan diri. Karenanya hal itu termasuk usaha batin, sebab syukur merupakan perbandingan dari kufur, dan puji perbandingan dari celaan.

Puji mempunyai arti yang lebih umum dan banyak, sedangkan syukur memiliki arti yang lebih sedikit dan tertentu (khusus).

Allah berfirman:

Artinya: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Q.S. Saba’: 13)

Jadi keduanya memiliki dua arti berbeda.

Pujian adalah sanjungan yang diberikan kepada seseorang karena adanya perbuatan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Sury kami rahimahullah.

Sedangkan tentang syukur, para ulama membahas artinya Secara panjang lebar.

Diceritakan dari Abdullah bin Abbas r.a. Beliau berkata: “Syukur adalah ketaatan dengan menggunakan anggota badan kepada Penguasa seluruh makhluk secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.”

Seorang guru kami juga berpendapat sama. Beliau berkata: “Syukur adalah menunaikan ketaatan secara lahir dan batin.”

Kemudian beliau mengulang kembali dengan mengatakan bahwa syukur adalah menjauhi maksiat secara lahir dan batin.

Ulama yang lain berkata: “Syukur adalah memelihara jangan sampai memilih kemaksiatan.” Anda harus memelihara hati, lisan dan anggota badan Anda, jangan sampai sedikitpun bermaksiat kepada Allah dengan menggunakan salah satu dari ketiganya.

Perbedaan antara pendapat ulama ini dengan pendapat sebelumnya adalah: Beliau menjadikan pemeliharaan sebagai arti yang menguatkan, sebagai penguat dari perkataan “ menjauhi maksiat.”

Menjauhi maksiat tidak akan terjadi kecuali bila seseorang tidak melakukannya saat ada hal yang menarik (mengajak)nya. Menjauhi maksiat bukanlah sebuah arti yang diperoleh, yang membuat seorang hamba menjadi sibuk karenanya dan memelihara diri dari kekufuran.

Guru kami berkata: “Sesungguhnya syukur adalah mengagungkan pemberi nikmat sebgai imbangan kenikmatan yang diberikannya sehingga ia dianggap tidak mengingkari si pemberi nikmat.

Jika Anda mengatakan bahwa mengagungkan seseorang yang berbuat baik sebagai imbangan kebaikannya, agar kesyukuran Allah kepada hamba-Nya dianggap benar, maka ungkapan tersebut baik dan di dalam hal ini ada beberapa rincian yang telah kami terangkan di dalam kitab “Ihya Ulumiddiin”. Tapi yang jelas kesyukuran seorang hamba adalah pengagungan yang mencegahnya dari anggapan “Mengingkari Dzat yang memberi kebaikan kepadanya.” Hal ini karena kebaikannya yang berulangulang, kebaikan orang yang bersyukur karena kesyukurannya, dan keburukan orang yang mengingkari nikmat karena pengingkarannya.

Menurutku, seorang pemberi nikmat paling tidak mengharuskan kenikmatan yang diberikan tidak digunakan sebagai sarana melakukan kemaksiatan. Alangkah jeleknya seseorang yang menjadikan kenikmatan sebagai senjata untuk mendurhakai pemberinya.

Kalau begitu, sehubungan dengan kewajiban syukur yang sebenarnya, seorang hamba harus melakukan pengagungan kepada Allah, yakni sesuatu yang menghalangi antara hamba tersebut dengan kemaksiatannya, sesuai dengan ingatannya kepada nikmat-nikmat Allah.

Jika ia melakukan hal semacam ini berarti ia telah melakukan sesuatu yang penting dalam bersyukur. Kemudian mengimbanginya dengan rajin melakukan ketaatan dan sungguhsungguh dalam pelayanannya. Karena hal itu termasuk hak suatu kenikmatan.

Jadi, memelihara diri dari kemaksiatan adalah suatu keharusan.

Jika Anda bertanya: “Apa saja sasaran syukur itu?”

Ketahuilah bahwa sasaran syukur adalah nikmat-nikmat di bidang agama dan nikmat duniawi sesuai dengan ukuran masingnasing.

Sedangkan berbagai kesulitan dan musibah di dunia yang menimpa diri, keluarga ataupun harta, masih diperdebatkan, apakah seorang hamba wajib mensyukurinya atau tidak.

Seorang ulama berkata: “Seorang hamba tidak wajib bersyukur karenanya, tapi ia wajib bersabar menghadapinya.”

Syukur dilakukan karena adanya nikmat, bukan karena hal lain.

Para ulama berkata: “Setiap kesulitan pasti didampingi oleh nikmat-nikmat Allah. Karena adanya nikmat yang mengiringi Itulah seorang hamba harus bersyukur, bukan karena kesulitan Itu Sendiri.

Kenikmatan tersebut adalah seperti yang dikatakan oleh Ibnu Umar: “Aku tidak pernah diuji dengan suatu bencana kecuali di dalamnya Allah memberikan empat macam kenikmatan:

Bencana itu tidak menimpa agamaku.

Bencana itu bukan yang lebih besar.

Aku tidak terhalang untuk merelakan bencana tersebut.

4 Aku bisa mengharapkan pahala (dengan bersabar) menerimanya.

Dikatakan pula bahwa nikmat yang ada dalam bencana di antaranya adalah:

– Bencana itu akan hilang karena tidak selamanya menimpa seseorang.

– Bencana tersebut berasal dari Allah, bukan yang lain. Danjika bencana itu diberikan lewat seorang makhluk, maka bencana tersebut bermanfaat bagimu dan berbahaya baginya, bukan membahayakan dirimu dan bermanfaat baginya.

Dengan begitu seorang hamba harus bersyukur atas kenikmatan yang datang bersama dengan suatu bencana.

Ulama yang lain berpendapat bahwa kesulitan dunia termasuk hal yang harus disyukuri oleh seorang hamba, karena pada hakekatna kesulitan itu adalah kenikmatan. Buktinya hal itu dihadapkan pada seorang hamba agar ia mendapatkan berbagai manfaat yang besar, pahala yang banyak, dan imbalan yang mulia di kemudian hari, sesuatu yang tidak sebanding dengan kepayahan orang yang mengalami kesulitan ini. Manakah. kenikmatan yang lebih besar dari semua ini?

Pendapat inilah yang lebih utama menurut guru kami, Abu Bakr Al-Warraaq.

Contoh dari keterangan diatas adalah: Ada seseorang meminumkan jamu yang menyebalkan serta pahit untuk mengobati penyakit keras, atau mencandhuk (membekam) Anda karena suatu penyakit gawat yang sangat mengkhawatirkan. Semua itu membuat badan sehat dan kehidupan Anda juga bersih.

Jadi, kepedihan yang ia berikan kepada Anda dengan kepahitan obatatau goresan candhuk pada hakekatnya adalah kenikmatan yang sempurna, anugerah yang terlihat jelas meskipun bentuknya menyebalkan, ditakuti oleh watak manusia, dan dibenci oleh fiafsu. Karena itu Anda memuji orang yang melakukannya, atau bahkan memberinya berbagai macam kebaikan sesuai dengan kemampuan yang Anda miliki.

Seperti itulah arti bermacam bencana.

Tidakkah Anda melihat bagaimana Nabi Saw. memuji kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya atas berbagai kesulitan sama dengan pujian beliau atas berbagai kesenangan dengan berkata: “Segala puji bagi Allah atas hal yang buruk dan hal yang menyenangkan.”

Tidakkah Anda melihat bahwa Allah berfirman:

Artinya: “Siapa tahu kalian membenci sesuatu sementara Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisaa’: 19)

Apa yang disebut oleh Allah dengan “Kebaikan” tentu lebih banyak dari apa yang dijangkau oleh angan-anganmu.

Di antara hal yang menguatkan pendapat ini adalah: Kenikmatan bukanlah suatu kebaikan yang berasal dari kelezatan dan hal yang disenangi nafsu karena cocok dengan wataknya, Tapi nikmat adalah sesuatu yang menambah ketinggian derajat. ena itu ia dinamakan nikmat dalam arti “tambahan”.

Jika suatu kesulitan termasuk penyebab bertambahnya kemuliaan seorang hamba dan ketinggian derajatnya, maka pada hakekatnya kesulitan tersebut adalah nikmat meskipun di sisi luar boleh dikatakan sebagai kesulitan dan ujian.

Jika Anda berkata: “Siapa yang lebih utama, orang yang “Syukur ataukah orang yang bersabar?”

Ketahuilah! Ada yang mengatakan bahwa orang yang bersyukur itu lebih utama, dengan mengambil dasar firman Allah:

Artinya: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Q.S. Saba’: 13)

Allah menjadikan mereka sebagai orang-orang yang paling istimewa.

Dalam memuji Nabi Nuh a.s. Allah berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba ynag banyak bersyukur.” (Q.S. Al-Israa’: 3)

Mengenai Nabi Ibrahim Dia berfirman:

Artinya: “(Ibrahim adalah) orang yang bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya.” (Q.S. An-Nahl: 121)

Karena sesungguhnya syukur itu menempati kedudukan berbagai kenikmatan dan kesejahteraan, maka ada ulama yang berkata: “Sungguhjika aku diberi kenikmatan lalu bersyukur maka halitu lebih kusenangi ketimbang aku diuji dan bersabar karenanya.”

Ada yang mengatakan bahwa orang yang bersabar adalah lebih utama, sebab sabar itu lebih besar tingkat kesulitannya, jadi lebih besar pahalanya dan lebih tinggi kedudukannya.”

Allah berfirman:

Artinya: “Kami menemukan Ayyub sebagai seorang penyabar. Dan sebaik-baik hamba adalah Ayyub.” (Q.S. Shaad: 44)

Allah juga berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang bersabar dipenuhi pahala mereka tanpa hisab (perhitungan).” (Q.S. Az-Zumar: 10)

Firman Allah:

Artinya: “Dan Allah mencintai orang-orang yang bersabar.” (Q.S. Ali-Imran: 146)

Bagiku, pada hakekatnya orang yang bersyukur tak lain adalah orang yang bersabar. Dan orang yang bersabar pada hakekatnya adalah orang yang bersyukur. Sebab orang yang bersyukur di tempat penuh ujian ini tentu tidak pernah lepas dari ujian yang mau tidak mau harus dijalani dengan sabar dan tidak merasa jemu.

Karena sesungguhnya syukur adalah mengagungkan sang pemberi tikmat dalam batas tidak mendurhakainya. Sedangkan rasa bosan termasuk suatu kemaksiatan.

Orang yang bersabar tidak lepas dari kenikmatan. Seperti pernah kami terangkan di depan bahwa pada hakekatnya kesulitan adalah nikmat. Dengan begitu jika ia bersabar, maka pada hakekatnya dia bersyukur, karena dia menahan dirinya dari tasa bosan demi mengagungkan Allah. Hal ini dianggap syukur karena menahan diri dari rasa bosan adalah pengagungan yang mencegah perbuatan maksiat. Di samping itu, orang yang bersyukur tentu mencegah dirinya dari pengingkaran (kekufuran). Lalu dia menahan diri dari maksiat dan mengajak nafsunya agar mau bersyukur dan bersabar menjalankan ketaatan. Jadi, pada hakekatnya ia orang yang bersabar.

Orang yang bersabar akan mengagungkan Allah sampai | pengagungan tersebut mencegahnya dari rasa bosan menghadapi apa yang menimpa dirinya , mampu membawa dirinya kepada rasa sabar, dan dia benar-benar bersyukur kepada Allah. Jadi, pada hakekatnya ia orang yang bersyukur. Sebab ia menahan diri dari pengingkaran (nikmat), semantara nafsu sangat menginginkannya. Dan halitu hanya bisa ditahan oleh orang yang bersyukur.

Tertolongnya orang yang bersabar dan terpeliharanya dari kekufuran adalah suatu kenikmatan yang disyukuri oleh seorang penyabar. Karena itu, salah satu dari keduanya tidak bisa lepas dari yang lain, sebab mata hati yang mendorongnya hanya satu, yakni kewaspadan istiqamah-Ini menurut pendapat salah seorang ulama kita.

Dari sisi inilah aku bisa mengatakan kalau keduanya tidak bisa lepas satu sama lain. Perhatikanlah keterangan ini.

 

Komentar atau pertanyaan, silakan tulis di sini

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama