Terjemah Kitab Minhajul Abidin
Ragu dan Khawatir
Kekhawatiran dan Apa yang Menjadi
Tujuannya
Rintangan ini bisa diatasi dengan
berserah diri. Oleh karena itu, berserah dirilah kepada Allah dalam segala hal.
Ini harus dilakukan karena adanya dua hal:
Ketenangan hati yang diperoleh seketika.
Sebab segala sesuatu yang besar dan belum diketahui secara pasti kebaikan serta
kerusakannya akan membuat hati Anda menjadi bingung.
Nafsu Anda akan bertanya-tanya apakah hal
itu membuat baik atau malah merusak? Jika Anda menyerahkan segalanya kepada
Allah, maka Anda menjadi tahu bahwa tidak mungkin Allah menempatkan pada selain
kebaikan. Anda pun merasa aman dari kekhawatiran dan kerusakan serta dengan
seketika hati menjadi tenang.
Ketenangan, rasa aman dan kenyamanan
dalam hati seperti ini merupakan keuntungan yang sangat besar.
Guru kami sering mengatakan dalam majlis
beliau: “Serahkan segala urusan kepada Dzat yang menciptakanmu, niscaya kau
akan merasa enak.
Dalam hal ini beliau menggubah sebuah
syair:
Sesungguhnya orang yang tidak mengetahui
apakah orang yang dicintainya bisa
memberi manfaat atau tidak,
maka sudah selayaknya ia menyerahkan apa
yang tidak mampu diselesaikannya
kepada Dzat yang akan mencukupinya.
Yakni Tuhan yang Maha Baik,
yang kasih sayang-Nya melebihi ibu
bapaknya.
Kebaikan yang didapat di masa mendatang.
Sebab segala sesuatu pasti memiliki kesudahan yang masih belum jelas. Berapa
banyak keburukan yang berwajah kebaikan. Berapa banyak bahaya yang terdapat
dalam perhiasan dan kemanfaatan. Berapa banyak racun yang berbentuk madu.
Sementara itu Anda tidak mengetahui kesudahan dan bermacam rahasia.
Jika Anda menginginkan sesuatu secara
pasti dan melakukannya sesuai keinginan Anda, maka tak berapa lama Anda telah
terjerumus ke dalam kerusakan tanpa menyadarinya.
Telah diceritakan bahwa ada seorang ahli
ibadah yang memohon kepada Allah agar bisa melihat Iblis. Kemudian ada yang
mengingatkan hendaknya ia memohon keselamatan kepada Allah. Orang tersebut
menolak dan tetap meminta hal itu. Lalu Allah memperlihatkan Iblis kepadanya.
Setelah melihat Iblis orang tersebut ingin memukulnya. Maka Iblis berkata:
Seandainya bukan karena kamu akan hidup seratus tahun lagi, tentu aku akan
menghancurkan dan menyiksamu.Maka orang itu pun terbujuk dengan perkataan Iblis
dan “berkata dalam hati Sungguh umurku masih teramat panjang. Aku akan
melakukan apa saja yang kumau baru kemudian bertobat.Maka ia pun terjerumus ke
dalam kefasikan, meninggalkan ibadah dan akhirnya binasa.
Dari cerita ini ada sebuah pelajaran bagi
Anda agar tidak memastikan suatu keinginan dan bersikeras untuk mencapai apa
yang Anda cari. Cerita ini juga mengingatkan Anda dari khayalan (panjang
angan-angan), karena hal itu adalah penyakit yang paling besar.
Benar sekali apa yang dikatakan oleh
seorang penyair:
Berhati-hatilah dari berbagai ketamakan
dan khayalan.
Berapa banyak khayalan yang menyebabkan
kematian.
Jika Anda menyerahkan segala urusan
kepada Allah dan memohon kepada-Nya agar berkenan memilihkan hal yang
mengandung kebaikan untuk Anda, maka tentu Anda mendapat kebaikan dan tidak
akan menemukan sesuatu kecuali yang baik
Allah Swt. berfirman tentang seorang
hamba yang saleh:
Artinya: Dan kuserahkan urusanku kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat kepada semua hamba. Kemudian Allah
memelihara hamba tersebut dari kejahatan musuh-musuhnya dan menurunkan siksa
yang buruk kepada kaum Fir’aun.(Q.S. Al-Mu min: 44-45)
Tidakkah Anda melihat bagaimana Allah
menurunkan kesudahan dari penyerahan diri berupa pemeliharaan dari keburukan
dan memberikan pertolongan untuk mengalahkan musuh serta mendapatkan apa yang
diinginkan?
Renungkanlah. Semoga Anda mendapat
taufik. Insya Allah.
Jika Anda berkata: Tolong jelaskan apa
arti tafwiidh (penyerahan diri) dan bagaimana hukumnya!
Ketahuilah bahwa hal ini terdapat dua
pasal yang akan memperjelas semuanya, yaitu:
Kedudukan tafwidh dan hukumnya.
Arti, batasan dan kebalikannya.
Kedudukan Tafwidh
Ketahuilah bahwa murad (sesuatu yang
diinginkan) itu terbagi menjadi tiga:
Murad yang secara pasti telah diketahui
bahwa itu rusak dan buruk serta sama sekali tidak ada keraguan di dalamnya
seperti neraka dan siksa. Dalam perbuatan seperti halnya kufur, bid’ah dan
kemaksiatan. Maka tak adajalan untuk menginginkan hal tersebut.
Murad yang secara pasti telah diketahui
bahwa itu baik seperti surga, iman, sunnah dan sebagainya. Anda diperbolehkan
menginginkan murad seperti ini dengan pasti. Dalam hal ini Anda tidak boleh
tafwidh, karena tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan danjuga tak diragukan
lagi bahwa hal itu pasti baik.
Murad yang belum diketahui secara pasti
bahwa itu mendatangkan kebaikan bagi Anda atau malah mendatangkan kerusakan
seperti halnya perbuatan-perbuatan sunat dan mubah. Inilah tempat yang cocok
untuk tafwidh. Anda tidak boleh menginginkannya secara pasti, tapi harus
menyertainya dengan pengecualian, dan itu yang dinamakan tafwidh.
Jika Anda menginginkan hal itu tanpa
disertai pengecualian, maka perbuatan seperti itu dinamakan tamak yang dicela
dan dilarang.
Kalau begitu tempat yang cocok untuk
tafwidh adalah setiap murad yang mengandung kekhawatiran, yaitu sesuatu yang
belum Anda yakini kebaikannya bagi Anda.
Arti Tafwidh
Sebagian dari guru kami mengatakan bahwa
tafwidh adalah tidak memilih sendiri sesuatu yang mengandung kekhawatiran dan
menyerahkannya pada pilihan Dzat yang Mengatur segala Sesuatu, yang Maha
Mengetahui kebaikan seluruh makhluk, yang tiada Tuhan selain Dia.
Menurut Syekh Abu Muhammad As-Sijzi,
tafwidh adalah meninggalkan pilihan yang mengkhawatirkan Anda menuju Pilihan
Dzat yang Maha Memilih agar Dia berkenan memilihkan apa yang terbaik untuk
Anda.
Syekh Abu Amr rahimahullah mengatakan
bahwa tafwidh adalah meninggalkan ketamakan, sedangkan tamak adalah
penginginkan sesuatu yang mengandung kekhawatiran secara pasti,
Inilah berbagai pendapat para guru kami.
Sedangkan menurut pendapatku, tafwidh
adalah keinginan agar Allah memelihara kebaikan Anda dari hal-hal yang
mengandung kekhawatiran.
Kebalikan Tafwidh
Kebalikan dari tafwidh adalah tamak.
Secara global tamak berlaku dari dua
sisi:
Sisi yang sama dengan raja’ seperti halnya
bila Anda menginginkan sesuatu yang tidak mengkhawatirkan, atau menginginkan
sesuatu yang mengkhawatirkan tapi disertai dengan pengecualian. Tamak yang
seperti ini adalah terpuji dan tidak tercela seperti yang difirmankan Allah:
Artinya: Dan Dzat yang kuharapkan agar
Dia mengampuni kesalahanku di hari kiamat.(Q.S. Asy-Syuaraa: 82)
Dia juga berfirman: ..
Artinya: Sesungguhnya kami menginginkan
agar Tuhan kami berkenan mengampuni kesalahan-kesalahan kami.(Q.S. Asy:
Syu’araa: 51)
Hal semacam ini tidak termasuk sesuatu
yang ingin kami terangkan dalam masalah tafwidh.
Ada yang mengatakan bahwa kerusakan agama
terletak pada ketamakan dan yang bisa mengatasinya adalah sikap wara’.
Tamak yang tercela.
Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: Hindarilah kalian dari tamak,
karena ia adalah kefakiran yang nyata.Ada yang mengatakan bahwa kerusakan agama
dan celanya adalah karena tamak, sedang yang memiliharanya adalah wara’,
Guru kami berkata: Tamak yang tercela
terbagi menjadi dua: Yang pertama, yaitu ketenangan hati terhadap kemanfaatan
yang masih diragukan. Dan yang kedua, adalah menginginkan dengan pasti sesuatu
yang masih diragukan. Keinginan semacam inilah yang tak lain menjadi kebalikan
tafwidh. Pahamilah keterangan tersebut.
Benteng Tafwidh
Benteng yang menjaga tafwidh adalah
mengingat kekhawatiran segala sesuatu dan kemungkinan adanya kerusakan di
dalamnya. Benteng yang menjaga benteng tafwidh tersebut adalah mengingat
kelemahan Anda untuk memelihara diri dari bermacam kekhawatiran dan mencegah
agar tidak terjerumus ke dalamnya karena kebodohan, kelalaian dan kelemahan
Anda.
Dengan mengingat dua hal ini secara rutin
Anda akan terdorong untuk menyerahkan segala urusan kepada Allah, menjaga diri
agar tidak memastikan hal itu dan tidak menginginkannya kecuali dengan syarat
adanya kebaikan.
Hanya kepada Allah kita memohon taufik.
Jika Anda bertanya: Kekhawatiran macam
apa yang mengharuskan seseorang menyerah penuh kepada Allah dalam segala hal?
Ketahuilah! Secara umum kekhawatiran itu
terbagi menjadi dua: Pertama, kekhawatiran yang meragukan, karena hal itu bisa
saja terjadi dan bisa juga tidak. Anda bisa sampai ke sana atau tidak.
Kekhawatiran semacam ini membutuhkan pengecualian dan menimpa niat serta
angan-angan.
Kedua, kekhawatiran terhadap kerusakan
seperti halnya pka Anda tidak merasa yakin terdapat kebaikan dalam hal itu bayi
Anda, dan kekhawatiran semacam inilah yang memerlukan penyerahan diri
(tafwidh).
Para ulama mengeluarkan pendapat yang
berlainan tentang hal yang mengkhawatirkan ini.
Seorang ulama berpendapat bahwa hal yang
mengkhawatirkan dalam suatu pekerjaan adalah perbuatan yang jika ditinggalkan
akan mendapatkan keselamatan dan bisa saya bercampur dosa. Keimanan, istiqamah
dan sunat tidak termasuk perkara yang mengkhawatirkan, sebab tanpa keimanan tidak
mungkin diperoleh keselamatan sama sekali. Sedang keistiqamahan sedikitpun
tidak tercampur dosa. Dengan begitu boleh saja menghendaki iman dan istiqamah
secara pasti.
Abu Ishaq berpendapat: Khawatir di dalam
pekerjaan adalah perkara yang bisa datang secara mendadak, yang seandainya ia
sibuk melakukannya akan lebih baik daripada melanjutkan pekerjaan yang
terdahulu. Hal itu terjadi pada hal-hal mubah, sunat dan fardu.
Adakah Anda tidak melihat saat seorang
hamba kehabisan waktu untuk salat. Lalu ia dihadapkan pada kebakaran atauorang
yang hampir tenggelam dan ia berkesempatan menyelamatkannya. Maka lebih baik ia
menyelamatkannya daripada melakukan salat.
Jadi, tidak dibenarkan menginginkan
perkara mubah, sunat dan berbagai kewajiban secara pasti.
Jika ada yang bertanya: Benarkah Allah
memberi suatu kewawajiban kepada hambanya, juga mengancam jika hamba tersebut
meninggalkannya, lalu Dia tidak menciptakan kebaikan dalam menjalankannya?
Ketahuilah bahwa guru kami Abu Bakr
Al-Warraq berkata: Sesungguhnya Allah tidak memberi suatu kewajiban kepada
seorang hamba kecuali di dalamnya terdapat kebaikan dengan catatan tidak ada
aral yang melintang. Allah juga tidak mempersempit hambanya dengan suatu
kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan olehnya kecuali di dalamnya terdapat
kebaikan bagi hamba tersebut. Namun terkadang Allah memberinya sebab sebagai
suatu alasan baginya.
Dengan begitu lebih baik jika ia
berpindah kepada satu dari dua perintah ketimbang sibuk dangan perintah yang
satunya, seperti yang pernah kami sebutkan. Dengan demikian dalam hal itu hamba
tersebut memperoleh alasan atau bahkan mendapat pahala. Ia mendapat pahala
bukan karena meninggalkan kebajikan ini, tapi karena ia melakukan kewajiban
kedua yang lebih baik.
Pernah kudengar bahwa guruku Imam Haramain
dalam hal ini berkata: Sesungguhnya setiap sesuatu yang diwajibkan oleh Allah
bagi hamba-Nya seperti salat, puasa, haji dan sebagainya tidak diragukan lagi
pasti di dalamnya terdapat kebaikan bagi hamba tersebut. Dan dibenarkan
menginginkan hal itu dengan pasti.
Beliau meneruskan: Ternyata pendapatku
sangat sesuai dengan hal itu. Dengan begitu yang tersisa dalam masalah ini
tinggal bagaimana menghukumi hal yang mubah dan sunat.
Perhatikanlah hal itu, karena ia termasuk
bab yang mendalam.
Hanya kepada Allah kita memohon taufik.
Jika ada yang bertanya: Adakah orang yang
menyerahkan diri (mufawaidh) bisa terbebas (merasa aman) dari kehancuran dan
kerusakan, sementara dunia ini adalah tempat ujian?
Ketahuilah. Sesungguhnya seorang mufawidh
(orang yang berserah diri) akan diperlakukan dengan baik dan terkadang dia
diperlakukan tidak baik meski itu jarang terjadi. Karena itulah kadang-kadang
Allah menurunkan derajatnya sehingga ia terlempar dari derajat tafwidh. Dan
tiada kebaikan yang diperoleh seorang hamba jika ia sudah terhina danjatuh dari
derajat tafwidh. Demikian yang dikatakan oleh Syeh Abu Umar.
Ada yang berkata begini: Seorang
mufawwidh tidak akan diperlakukan kecuali dengan baik dalam hal yang ia
serahkan kepada Allah. Sedangkan kehinaan dan turunnya derajat dari tafwidh
tidak termasuk dalam kategori tafwidh, karena tidak diragukan lagi bahwa hal
tersebut termasuk kerusakan. Sedangkan tafwidh itu diperuntukkan bagi sesuatu
yang masih diragukan kerusakan dan kebaikannya.Ini adalah pendapat terbaik menurut
guru kami di antara dua pendapat. Karena bila tidak begitu tentu tidak ada
pendorong yang kuat untuk tafwidh.
Jika ada yang berkata: Apakah seorang
mufawwidh wajib diperlakukan dengan baik?
Ketahuilah. Bahwa mewajibkan sesuatu
kepada Allah adalah hal yang mustahil. Allah tidak mempunyai satupun kewajiban
kepada hamba-Nya. Kadang Dia memperlakukan seorang hamba dengan sesuatu yang
terbaik, tapi bukan yang lebih utama sebagai hikmat dari perbuatannya.
Apakah Anda tidak tahu bahwa Allah pernah
mentakdirkan rasul beserta para sahabat tertidur sepanjang malam sampai
matahari terbit dalam sebuah perjalanan sehingga mereka kehilangan waktu salat
malam dan salat fajar, sedangkan salat itu lebih utama daripada tidur.
Kadang Allah mentakdirkan bagi seorang
hamba kekayaan dan kenikmatan walau sebenarnya kemiskinan itu lebih utama.
Kadang Dia mentakdirkan baginya kesibukan mengurus isteriisteri dan anak-amak
walaupun memfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla itu lebih
utama. Karena Dia Maha melihat dan Maha mengetahui terhadap hamba-hambaNya.
Seperti halnya seorang dokter ahli akan memilihkan air syair bagi pasien
walaupun air gula lebih utama dan lebih enak baginya karena dokter itu tahu
bahwa sakitnya akan membaik dengan minum air Syair. Sedangkan tujuan yang ingin
dicapai seorang hamba adalah keselamatan dari kehancuran dan kerusakan, bukan
keutaman dan kemuliaan yang disertai kerusakan dan kehancuran.
Jika ditanyakan: Apakah seorang mufawwidh
berhak memilih?”
Ketahuilah. Pendapat yang sahih menurut
ulama kita adalah seorang mufawwidh berhak memilih dan hal itu tidak mengurangi
kebaikan tafwidhnya. Artinya, jika ia menemukan kebaikan dalam hal hal yang
diutamakan dan hal yang lebih diutamakan.
Kemudian ia menginginkan agar Allah
memberinya yang lebih utama. Seperti halnya pasien yang meminta kepeda dokter:
Berilah aku obat dari air gula, bukan air syair jika keduanya baik bagi
kesehatanku, agar aku bisa sekaligus dapat memperoleh keutamaan dan
kesehatan.Begitu juga seorang hamba yang meminta kepada Allah agar kebaikannya
diberikan pada hal yang lebih utama dan meminta penyebab kepadanya agar ia
dapat sekaligus menyatukan keutamaan dan kemuliaan, tapi dengan catatan jika
Allah memilihkan kebaikan yang terdapat dalam hal yang tidak lebih utama, maka dia
akan merelakan hal itu.
Jika ditanyakan: Kenapa seorang hamba
hanya diperbolehkan memilih yang lebih utama dan tidak diperbolehkan memilih
yang terbaik (lebih pantas)?
Ketahuilah! Perbedaan antara keduanya
adalah bahwa seorang hamba hanya mengetahui yang lebih utama dari hal yang
utama, tidak tahu yang lebih baik (pantas) dari hal yang rusak agar ia bisa
menginginkannya dengan pasti.
Kemudian yang dimaksud dengan pilihan
seorang hamba terdapat hal yang lebih utama adalah: Seorang hamba yang
menginginkan agar Allah menjadikan kebaikan pada perkara yang lebih utama, lalu
Allah memilihkan hal itu dan mentakdirkan untuknya, bukan berarti hamba
tersebut pasti mendapatkan apa yang dipilihnya.
Inilah sebagian kecil dari keterangan
tentang ilmu tasawuf dan rahasia-rahasianya. Seandainya tidak diperlukan, tentu
kami tidak akan mengemukakannya, karena hal tersebut termasuk pergolakan dari
samudera ilmu mukasyafah. Hanya saja di dalam kitab ini kami meringkasnya
menjadi kecil tapi bisa memuaskan dengan maksud memberi penjelasan agar dapat
dimanfaatkan oleh ulama-ulama besar dan para pemula. Insya Allah.
Hanya kepada Allah kami memohon taufik.