Terjemah Kitab Minhajul Abidin
المقدمة
قال الشيخ الفقيه الصالح الزاهد عبد الملك
بن عبد الله غفر الله له
Berkata seorang yang pintar yang sholih yang meninggalkan dunia
yaitu abdul malik ibn abdullah semoga Allah mengampuninya
أملَى على شيخي الأجل الإمام الزاهد السعيد الموفق حجة الاسلام زين
الدين شرف الامة أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزلي الطوسي قدس الله روحه ورفع
الله في الجنة درجاته هذا الكتاب المختصر
Membacakan kepadaku guruku yang agung yang menjadi pemimpin yang
meninggalkan dunia yan beruntung yang diberi petunjuk yaitu bukti agama islam
juga perhiasan agaman dan kemuliaan ummat, yaitu abu hamid muhammad ibnu
muhammad ibnu muhmmad al ghozali at tusi, semoga Allah menyucikan ruhya dan
semoga allah mengankatnya derajatnya di sorga, kitab yang ringkas ini
وهو أخر كتاب صنفه ولم يستعمله منه الا خواص أصحابه وهو
Itu adalah kitab terakhir yang beliau
karang dan tidak menggungakanya keculai Sahabat sahabatnya yang khusus, kitab
itu adalah
الحمد لله الملك الحكيم الجواد الكريم العزيز الرحيم
Segala puji bagi allah yang menjadi raja
yang bijaksana yang murah yang mulia yang maha pengasih
الذي خلق الانسان في أحسن تقويم وفطر السموات والأرض بقدرته ودبر
الأمر في الدارين بحكمته وما خلق الجن والانس إلا لعبادته
Yang menciptakan manusian dalam bentuk
yang paling bagus, dan menciptakan langit dan bumi dengan kekuasaanya, dan
mengatur urusan di dunia dan akhiran dengan kebijaksannanya , dan tidak
menciptakan jin dan manusian kecuali untuk menyembahnya
فالطريق إليه واضح للقاصدين والدليل عليه لا ئح للناظين ولكن الله يضل
من يشاء ويهدي من يشاء وهو أعلم بالهتدين
Lalu jalan menuju Allah itu jelas bagi
yang menuju, dan petunjjuk itu terlihat bagi yang melihat, tetapi allah
menyesatkan orang yang ia kehendaki dan menununjukkan oran yang ia kehendaki ,
dan ia mengetahi orang-orang yang mendapat petunjuk
والصلاة والسلام عليى سيد المرسلين على آله الأبرار الطيبين الطاهرين
وسلم عظم إلى يوم الدين
Dan selawat serta salam untuk tuan
seluruh utusan , dan untuk keluarganya yang baik-baik yang suci-suci, serta
salam dan mengangungkan sampai hari kiamat
Wahai saudara-saudaraku! (semoga Allah
melimpahkan keridaan-Nya untuk keberuntungan kita) Ketahuilah bahwa
sesungguhnya ibadah merupakan buah dari ilmu, keuntungan dalam umur (hidup),
hasil yang diperoleh hamba-hamba Allah yang kuat, aset para wali (kekasih)
Allah, jalan yang ditempuh oleh para muttagin, bagian orang-orang yang mulia,
target bagi orang berkeinginan tinggi, tanda keagungan, pekerjaan orang yang
jantan dan menjadi pilihan bagi orang yang bermata hati.
Ibadah merupakan jalan menuju keberuntungan
dan juga jalan yang terang menuju surga.
Allah ta’ala berfirman:
Artinya: “Aku adalah Tuhan-Mu, karena itu
beribadahlah kalian Kepada-Ku. (Q.S. Al-Anbiya’: 92)
Dan firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Sesungguhnya (surga dan
kenikmatannya) ini diperuntukkan bagi kalian sebagai balasan. Amal usaha kalian
di dunia, Aku ridai dan Ku-terima. (Q.S. Al-Insan: 22)
Kemudian Aku (Al-Ghazali) merenung serta
menelusuri jalan menujunya (ibadah) dari permulaan sampai ke apa yang menjadi
tujuan para penempuhnya. Dan ternyata ibadah merupakanjalan yang teramat sukar,
sulit (dilalui) dan banyak resikonya. Amat melelahkan, panjang berliku, sangat
berbahaya, penuh rintangan, diliputi kebinasaan dan penghalang, banyak musuh
yang menghadang dan hanya sedikit orang yang menemani dan mengikuti
(penempuhmya). Memang begitulah keadaan yang semestinya, karena ibadah
merupakan jalan menuju surga. Dengan demikian maka hal tersebut sesuai dengan
sabda Rasulullah Saw:
Artinya: “Ingatlah sesungguhnya surga itu
dikepung oleh hal-hal yang dibenci. Dan sesungguhnya neraka itu dikelilingi
oleh berbagai kesenangan nafsu.”
Nabi Saw. juga bersabda:
Artinya: “Ingatlah sesungguhnya surga itu
bagai tempat yang rumpil di sebuah bukit yang tinggi. Ingatlah sesungguhnya
neraka itu bagai tanah lapang di tempat yang datar.”
Di samping hal yang tersebut di atas,
manusia sangatlah lemah, sedangkan waktu terus berjalan, peribadatan semakin
merosot, waktu luang untuk beribadah sangatlah sempit, sedangkan kesibukan
teramat banyak dan umur pun terasa pendek serta amal kebaikan sering tertunda.
Dzat yang Maha Meneliti sangatlah waspada, batas kehidupan terasa dekat,
sementara jarak yang harus ditempuh masih terlalu jauh dan hanya taat kepada
Allah-lah sebagai bekal yang pantas untuk dibawa. Waktu terus melaju dan takkan
kembali.
Oleh karena itu, orang yang berbuat taat
semasa hidupnya berarti dia akan memperoleh kebahagiaan untuk selama-lamanya.
Sebaliknya, orang yang tidak taat akan merugi bersama orang-orang yang merugi
dan celaka bersama orang-orang yang celaka.
Dengan demikian, ibadah merupakan hal
yang sangat sulit dilaksanakan tapi juga teramat penting. Oleh sebab itu
sedikit sekali orang yang berkeinginan melaksanakannya. Meskipun ada sedikit
sekali yang benar-benar melaksanakannya serta jarang yang sampai ke tempat
tujuan dan menemukan apa yang dicarinya, namun orang yang sampai ke tempat
tujuan itulah orang yang benar-benar mulia, yang dipilih Allah untuk mengetahui
(makrifat) dan mencintai-Nya. Allah memberikan petunjuk ke jalan yang benar
dengan taufik dan pemeliharaanNya. Kemudian dengan anugerah-Nya Allah
menyampaikan mereka ke keridaan dan surga-Nya.
Oleh karena itu, kami memohon kepada-Nya,
semoga Dia berkenan memasukkan kami dan Anda sekalian ke dalam golongan orang
yang beruntung tersebut dengan kasih sayangNya.
Demikianlah. Setelah kami mengetahui
jalan tersebut begitu rumit, maka kami pun merenung dan berpikir bagaimana cara
melaluinya, bekal apa yang mesti dipersiapkan, sarana apa yang dibutuhkan dan
bagaimana tehnik melaluinya seperti ilmu dan cara mengamalkannya. Semoga Allah
berkenan memberikan taufik-Nya dan melindungi para penempuhnya dari kebinasaan
hingga mereka tidak berhenti di tengah jalan yang sangat berbahaya tersebut.
Dan hanya Allah tempat berlindung.
Kemudian kami menyusun beberapa kitab
yang menerangkan cara melintasi jalan tersebut (tatacara beribadah) seperti
“Ihya Ulumiddin”, “Qurbah Ilallah”, dan lain sebagainya yang memuat beberapa
ilmu dengan halus dan sulit dipahami oleh orang awam, sehingga banyak orang
yang mencela kitab-kitab tersebut serta beramai-ramai menjelek-jelekkannya.
Padahal sebenarnya mereka tidak mampu membuat kitab yang sebagus itu. Hal itu
tidak terlalu aneh. Adakah kalam yang keindahannya melebihi firman Allah
Ta’ala, Penguasa alam semesta? Jawabnya pasti tidak. Walaupun begitu, mereka
(orang-orang kafir) menganggap bahwa firman Allah hanyalah dongengan
orang-orang kuno. Tidakkah Anda mendengar ucapan Zainal Abidin, Ali bin
Al-Husain bin Ali bin Abu Thalib r.a. yang berbunyi:
Sungguh aku menyimpan mutiara mutiara ilmuku
agar orang yang bodoh tidak melihat yang sehingga timbul fitnah baginya.
Hal semacam ini juga terjadi pada ayah
Hasan (Ali bin Abu thalib) sampai kepada Husain. Sebelum Al-Husain, sayyidina
Hasan juga telah berpesan:
“Wahai saudara-saudaraku! Banyak sekali
ilmu yang mirtp permata. Jika aku memperlihatkannya, niscaya orang-orang
menganggapku sebagai penyembah berhala, kaum muslimin akan menghalalkan darahku
dan mereka berpendapat bahwa membunuhku merupakan tindakan yang baik.”
Orang-orang yang mulia di sisi Allah,
yakni orang yang ahli mengamalkan agama Allah berpendapat bahwa keadaan
tersebut membutuhkan pandangan penuh kasih sayang terhadap para makhluk Allah
serta meninggalkan pertentangan terhadap mereka.
Dengan penuh kerendahan hati aku memohon
kepada Allah, yang ditangan-Nya tergenggam segala urusan dan makhluk, agar Dia
berkenan memberi kemudahan dalam menyusun kitab yang telah disetujui oleh para
ulama serta dapat diambil manfaatnya oleh para pembaca. Kemudian Allah
mengabulkan permohonanku ini, yaitu doa seorang hamba yang betul-betul memohon
kepada-Nya. Dan dengan anugerah-Nya pula aku dapat mengetahui rahasia yang
tekandung dalam kitab tersebut. Dia juga memberikan ilham dalam cara penyusunan
yang sangat menakjubkan dan belum pernah kubeberkan dalam kitab sebelumnya
mengenai beberapa rahasia mengamalkan ajaran agama Allah sebagaimana yang
kusampaikan saat ini. Hanya Allah tempat memohon petunjuk.
Sesungguhnya yang pertama kali
mengingatkan seorang hamba untuk beribadah dan menelusuri jalannya adalah
pikiran yang datang dari langit berasal dari Allah dan pertolongan khusus
dari-Nya. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah Swt.
Artinya “Apakah kamu mengira orang yang
dilapangkan hatinya oleh Allah (yang senang dan rida dalam menjalankan agama Allah)
sama dengan orang tidak dikaruniai kelapangan hati? Tentu saja tidak. Orang
yang dikaruniai kelapangan hati pasti berperilaku (hidup) menggunakan dasar nur
dari Tuhannya.” (Q.S. Az-Zumar: 22)
Rasulullah Saw. memberikan isyarat dalam
hal ini dengan hadisnya:
Artinya “Sungguh, apabila nur telah masuk
dalam hati niscaya hati akan menjadi lapang.”
Para sahabat.bertanya: “Ya Rasulullah!
Apakah hal tersebut mempunyai tanda-tanda? Rasulullah Saw. menjawab:
Artinya “Iya. Yaitu orang yang hatinya
kemasukan nur akan menjauhkan diri dari dunia, kembali ke alam keabadian dan
mempersiapkan kematian sebelum maut datang kepadanya.”
Mula-mula hati seorang hamba akan
bergerak dan berkata begini: “Diriku selalu diberi karunia oleh Allah seperti
hidup, kemampuan, pikiran, berkata serta berbagai kemuliaan dan kelezatan, di
samping terbebas dari penyakit dan segala sesuatu yang merugikanku.
Sesungguhnya di balik semua kenikmatan ini, Dzat yang memberikan karunia-Nya
menuntutku untuk mensyukuri dan melayani-Nya. Seandainya aku lalai dari
melayani dan bersyukur kepada-Nya, tentu Dia akan memalingkan nikmatnikmat
tersebut dariku dan menggantinya dengan siksaan. Padahal Dia telah mengirimkan
seorang utusan kepadaku yang diperkuatNya dengan berbagai mukjizat luar biasa
dan tidak dimiliki oleh seorangpun Selain utusan tersebut. Utusan itu sudah
mengabarkan kepadaku bahwa diriku memiliki Tuhan yang Maha Agung, Maha Kuasa,
Maha Mengetahui, Maha Hidup, berkehendak, berfirman, memberi perintah dan
larangan. Yakni Tuhan yang Maha Kuasa menyiksaku jika tidak mentaati-Nya dan
kuasa memberi pahala jika aku mengikuti perintah-Nya, Tuhan yang Maha
Mengetahui semua gejolak pikiranku. Dia telah mengancam dan memerintahkan agar
aku menjalankan norma-norma syariat.”
Bila hati seorang hamba telah bergerak
dan berkata seperti ini tentu akan muncul perasaan bahwa tuntutan untuk
bersyukur dan melayaninya adalah sesuatu yang bisa dilakukan. Sesudah itu hamba
tersebut pasti akan merasa takut dan khawatir bagaimana seandainya nanti
mendapat tuntutan Allah (di akhirat).
Keadaan semacam ini dinamakan khaatir
faza’ (خاطرالفزع) yaitu gerak hati
yang mengingatkan dan menggerakkan seorang hamba dengan berbagai dalil serta
menolak semua alasan. Hal ini juga mendorong seorang hamba agar berpikir dan
mericari dalil.
Jika keadaannya sudah seperti itu, maka
hamba tersebut tentu akan bergerak. Hatinya selalu gundah mencari jalan agar
bisa selamat, aman, dan tenteram dari apa yang bergejolak dalam hati atau apa
yang didengar dengan telinganya. Akhirnya jalan yang dia temukan hanya
merenungi dalil dan menjadikan makhluk Allah sebagai dalil adanya Sang Pencipta
agar ia dapat memperoleh “Ilmul Yaqin, yaitu mengetahui apa yang tidak dapat
dilihat oleh mata telanjang dan mengetahui bahwa ia memiliki Tuhan yang
memberinya kewajiban, memerintahkan dan melarangnya.
Ini adalah permulaaan dari jalan rumit
yang dilalui seorang hamba dalam menyusuri ibadah dan disebut ‘aqbqtul ilmi wal
ma’rifat (. ) yaitu jalan ibadah berupa ilmu dan makrifat.
Jalan ini harus dilalui agar dalam beribadah
ia selalu waspada.
Selanjutnya ia mulai melangkah untuk
menempuh ‘aqabatul ilmi dengan perenungan dalil-dalil secara baik, sempurna
dalam berpikir, belajar dan bertanya kepada ulama akhirat yang menjadi
petunjuk, penuntun dan pelita umat. Ia juga meminta doa dan mengambil faedah
dari mereka agar mendapat kemudahan dan pertolongan Allah dalam menempuh jalan
ini.
Jika jalan ini sudah dilaluinya, maka dia
akan memperoleh ilmul yagin terhadap keadaan yang masih samar dan mengetahui
bahwa ia mempunyai Tuhan yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dia-lah Dzat yang
menciptakannya, memberinya kenikmatan dengan segalanya. Dia juga membebani
hamba-Nya untuk mensyukuri dan memerintahkan hamba tersebut untuk melayani dan
mengikuti-Nya secara lahir batin. tuhan memberi peringatan agar dia tidak kufur
dan berbuat maksiat. Tuhan menjanjikan pahala yang abadi jika ia mau berbuat
taat dan mengancam dengan siksaan jika ia berbuat maksiat dan berpaling
dari-Nya.
selanjutnya pengetahuan dan keyakinan
terhadap sesuatu yang samar tersebut akan mendorongnya untuk melayani dan
melaksanakan ibadah kepada Sang Majikan Agung pemberi kenikmatan yang dicarinya
selama ini.
Pada akhiRnya hamba tersebut dapat
menemukan dan mengenal Tuhan setelah sebelumnya bodoh dan tidak mengerti. Akan
tetapi ia tidak mengetahui bagaimana caranya beribadah kepada-Nya dan apa yang
harus dilakukannya dalam melayaniNya secara lahir-batin.
Setelah ia memperoleh pengetahuan tentang
Allah dengan susah-payah, maka ia harus belajar dengan giat untuk mengetahui
kewajiban syariat yang harus dilakukannya secara lahir-batin.
Setelah dia berhasil menyempurnakan ilmu
dan pengetahuan tentang kewajihan-kewajiban, maka ia pun bergerak hendak
melaksanakan dan sibuk beribadah. Kemudian ia berpikir dan menemukan dirinya
bergelimang dosa. Ini dialami oleh kebanyakan manusia. Dia akan berkata pada
dirinya sendiri: “Bagaimana aku akan melakukan ibadah, sememntara diriku selalu
berbuat maksiat? Aku harus bertobat terlebih dahulu agar Allah mengampuni
dosaku, melepaskan diriku dari belenggu dosa dan membersihkan diriku dari
kotoran debu-debu maksiat sehingga diriku pantas melayani Allah dan duduk di
atas hamparan pendekatan kepada-Nya.”
Di sini ia menghadapi jalan sulit, yakni
“Aqabatut taubat.
Mau tidak mau ia harus melewati jalan tersebut
agar bisa sampai ke tempat tujuan yang sebenarnya. Kemudian perlahanlahan ia
melaluinya dengan menjalankan tobat sesuai hak dan syarat-syaratnya sampai ia
dapat melalui jalan tobat yang rumit tersebut.
Setelah benar-benar berhasil dalam
tobatnya, maka ia pun bersemangat untuk segera melakukan ibadah. Di tengah
jalan ia berpikir dan memandang sekitarnya. Ternyata ia menemukan berbagai
rintangan yang mengelilingi dan merintangi agar dia tidak jadi melaksankan
niatnya untuk beribadah.
Setelah melihat dengan seksama, ternyata
yang menghalangi ibadahnya ada empat macam, yaitu kepentingan duniawi,
lingkungan, setan dan nafsu. Mau tidak mau ia harus mencari cara untuk
menyingkirkan keempatnya. Jika tidak, tentu sangat sulit baginya sampai ke
tempat tujuan yang diinginkannya, yakni beribadah.
Di sini ia dihadapkan pada
‘aqabatul-‘awaaiq atau jalan penuh rintangan.
Untuk menghindari empat rintangan
tersebut ia juga memerlukan empat cara. Empat cara tersebut yang pertama adalah
membebaskan diri dari kepentingan duniawi. Yang kedua menghindari pengaruh
lingkungan. Ketiga menghadapi setan. Dan keempat menghancurkan nafsu
(mengalahkannya).
Di antara keempatnya yang terberat adalah
nafsu. Sebab tidak mungkin orang terlepas darinya, mengalahkan serta
menghancurkannya sampai luluh, karena nafsu merupakan kendaraan dan sarana
manusia untuk mendapatkan kebahagiaan.
Hamba yang hendak beribadah juga tidak
bisa banyak berharap nafsu mau menyetujui dan mengikuti kehendaknya. Karena
sudah menjadi watak nafsu selalu melawan kebaikan dan mengikuti kejahatan. Oleh
karena itu, dibutuhkan rasa takwa untuk mengendalikannya agar ia selalu memberi
keuntungan dan tunduk kepadanya dalam beribadah sehingga hamba tersebut tidak
durhaka. Ia dapat menggunakan nafsu dalam berbagai kebaikan dan mencegahnya
dari berbuat kerusakan.
Bila demikian keadaannya, dalam melangkah
menghadapi nafsu hamba tersebut harus selalu memohon pertolongan Allah.
Setelah melewati jalan tersebut, tentu ia
kembali meneruskan ibadahnya. Pada saat itulah tiba-tiba ia menghadapi berbagai
rintangan baru yang membuatnya sibuk dan menghalangi ibadahnya.
Setelah berpikir jernih ia menemukan
bahwa yang menghalangi ibadahnya ada empat:
Pertama: Rezeki.
Dalam hal ini nafsu selalu membujuk dan
berbisik: “Aku harus mendapatkan rezeki dan penguat. Saat ini aku sudah
membersihkan diri dari dunia (kebutuhan hidup) dan mengucilkan diri dari
masyarakat. Lalu dengan apa aku bisa menjadi kuat (tegak), dan dari mana pula
aku mendapatkan rezeki?”
Kedua: Kekhawatiran (aneka gerak hati).
Yaitu perasaan takut, harapan ataupun apa
yang dibencinya. Sementara itu, dia tidak tahu apakah yang dibayangkannya itu
baik ataukah buruk bagi dirinya, sebab akibat dari segala sesuatu masih
terlihat samar. Hatinya kemudian sibuk berpikir karena bisa saja ia terjerumus
dalam kerusakan di kemudian hari.
Ketiga: Beragam bencana dan malapetaka.
Hal itu selalu dia dapati di
sekelilingnya. Apalagi dia telah menempatkan diri sebagai orang yang menyimpang
dari orang banyak, memerangi setan dan menolak ajakan nafsu. Banyak sekali
halangan yang dirasakannya. Betapa banyak kesulitan yang dihadapinya. Betapa
banyak kesedihan dan keresahan yang menghadang serta malapetaka yang menimpa.
Keempat: Berbagai keputusan Allah.
Satu persatu keputusan (takdir) yang
dirasa manis dan pahit ja rasakan silih berganti. Sementara nafsu dengan cepat
menampakkan kebencian dan membuat fitnah.
Di sini hamba tersebut menghadapi jalan
yang dinamakan ‘aqabatul ‘awaridh atau jalan rumit berupa rintangan yang datang
secara mendadak.
Untuk meniti jalan ini ia membutuhkan
empat perkara.
Pertama, tawakal (berserah diri) kepada Allah dalam
masalah rezeki.
Kedua, menyerahkan sepenuhnya kepada Allah mengenai
segala yang menjadi kekahwatirannya.
Ketiga, sabar menghadapi bencana. , Keempat, rida
dengan segala ketentuan Allah.
Kemudian hamba tersebut beranjak melewati
jalan ini dengan izin dan pertolongan yang baik dari Allah.
Setelah hamba tersebut berhasil
melewatinya dan hendak kembali beribadah, ia memandang sekeliling dan mendapati
nafsunya melemah, tidak bersemangat dan bergairah menjalankan ibadah seperti
lazimnya. Ia cenderung lupa, berleha-leha dan menganggur bahkan mengajak
berbuat buruk, omong kosong, merusak dan bertindak bodoh.
Dalam keadaan semacam ini hamba tersebut
membutuhkan penyemangat yang mendorongnya berbuat kebaikan, taat kepada Allah,
bergairah dalam kebaikan dan membutuhkan benteng yang akan menahannya dari
berbuat maksiat serta mengendorkan dorongan nafsu untuk berbuat jelek.
Penyemangat dan penahan atau benteng
tersebut adalah rajaa’ (mengharap pertolongan Allah) dan khauf (takut kepada
tindakan Allah).
Harapan akan besarnya pahala yang
diberikan yaitu janji Allah berupa kemuliaan akan mendorong dan menggiring
nafsu berbuat kebaikan dan taat kepada Allah. Sedangkan perasaan takut terhadap
siksa yang pedih bisa mencegah nafsu dari perbuatan maksiat dan mengendorkan
keinginan untuk melakukannya.
Inilah yang dinamakan ‘aqabatul bawaa’its
ataujalan-jalan rumit yang memberi dorongan. Untuk melintasi dan menghadapinya
ia membutuhkan raja’ dan khauf. Dan dengan izin Allah ia dapat melintasinya
dengan selamat.
Setelah berhasil melintasi jalan berliku
ini hamba tersebut kembali beribadah. Ia merasa tak ada lagi halangan ataupun
rintangan yang menghadang. Bahkan ia merasa sangat antusias, karena banyak
pendorong yang memberinya semangat. Dengan giat ia pun beribadah penuh gairah
hingga tak pernah berhenti. Akan tetapi ia merasakan adanya gejala buruk di
dalam ibadahnya. Ia merasa bahwa dua penyakit berbahaya telah menjangkitinya,
yakni ujub dan riya.
Suatu saat ia berpura-pura melakukan
ibadah sekedar agar dilihat orang sehingga dapat merusak ibadahnya. Di saat
lain ia mencela dirinya sendiri, menahannya dari parasaan riya namun yang
muncul dalam dirinya justru malah sikap ujub (merasa dirinya baik) yang dapat
merusak dan menghancurkan ibadahnya. Ia dihadapkan pada ‘aqabatul gawaadih
(jalan rumpil yang membuat cacat suatu ibadah).
Untuk menjaga kemurnian ibadah dari cacat
tersebut ia membutuhkan keikhlasan dan mengingat karunia Tuhan. Ikhlas berarti
beramal karena Allah semata. Sedangkan mengingat karunia Tuhan berarti apa yang
dikerjakannya selama ini karena anugerah Allah semata, bukan dari dirinya
sendiri. Dengan begitu ja bisa melintasi jalan tersebut dengan perlindungan
dari Sang Pemelihara Allah Swt. serta tekad dan kehati-hatiannya. Dan ia pun
kembali beribadah.
Namun kemudian timbul masalah baru, yakni
tenggelam dalam kenikmatan yang diberikan Allah Swt. Kenikmatan, pertolongan,
pemeliharaan dan kemuliaan yang diberikan Allah membuat hamba tersebut lupa
mensyukurinya. Bahkan ia terjerumus dalam kekufuran yang dapat menjerumuskan
derajat tingginya, yakni derajat hamba yang ikhlas dalam beramal dan
memalingkan kenikmatan tersebut darinya.
Kini ia pun dihadapkan pada jalan
terakhir yaitu ‘agabatul hamdi wasy-syukri atau tahapan memuji dan mensyukuri
nikmat. Hamba tersebut harus melewatinya sekuat tenaga dengan banyak memuji dan
bersyukur atas karunia Allah Swt.
Bila berhasil melewati tahapan ini,
berarti tinggal selangkah lagi ia sampai di tempat tujuan, yakni haribaan Allah
Swt. Berada di atas hamparan anugerah-Nnya, di puncak keridaan dan pekarangan
Cinta-Nya. Ia pun bergelimang kenikmatan di taman keridaan-Nya, di atas
permadani ketenangan, kedekatan dan tempat memohon di haribaan-Nya serta mendapatkan
kemuliaan dan berbagai karunia.
Begitu nikmatnya sehingga seakan-akan
jiwanya telah melayang ke akhirat meski tubuhnya masih berada di dunia fana.
Hari demi hari ia menunggu panggilan dari Tuhannya, sampaisampai tumbuh rasa
benci dan bosan terhadap kehidupan dunia, makhluk, dan yang ada di
sekelilingnya. Ia merindukan kematian untuk menyempurnakan kerinduannya kepada
Al-Malaul A’la (golongan tertinggi), yakni para malaikat. Pada saat itulah
tibatiba datang utusan dari Penguasa alam semesta. Mereka datang membawakan
rasa tenang, wewangian, kabar gembira, keridaan yang murni dari sisi Tuhan
tanpa disertai kemurkaan-Nya..Mereka membawanya dalam keadaan senang, gembira,
dan keinginan yang kuat untuk meninggalkan dunia yang penuh kepalsuan dan
godaan, menuju hadirat Tuhan dan bermukim di taman surga. Dia mendapati dirinya
yang dulu lemah telah mendapatkan kenikmatan abadi dan tempat tinggal yang
besar. Di sana ia menikmati karunia Tuhan yang Maha Pemurah. Kenikmatan
tersebut berupa kelemah-lembutan, cinta kasih, dan kedekatan dengan-Nya serta
kenikmatan dan kemuliaan yang tak terbayangkan. Tiada dapat diceritakan dan
kian hari kian bertambah. Ia merasa sangat berbahagia. Betapa agung kerajaan
yang ditempatinya. Dan sungguh, itulah tempat kembali terbaik bagi orang yang
terpuji.
Kita memohon kepada Allah Swt. agar Dia
berkenan melimpahkan kenikmatan dan karunia-Nya kepada kita semua. Sungguh yang
demikian itu tidak sulit bagi Allah. Semoga Allah tidak menjadikan kita semua
orang yang hanya mapu melihat, mendengar, mengetahui dan berangan-angan tanpa
mampu mengerjakannya. Semoga Dia tidak menjadikan ilmu kita sebagai alasan yang
paling tepat untuk mengalahkan kita kelak di hari kiamat. Semoga dengan ilmu
tersebut Allah menunjukkan jalan kita semua untuk beramal dan melaksanakan
ibadah sebagaimana mestinya. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah dan Maha
Penyayang.
Selawat dan salam semoga terlimpah kepada
penghulu kita Nabi Muhammad dan keluarga beliau. Begitu juga dengan kemuliaan
serta keagungan, semoga terlimpah atas mereka.
Inilah urutan jalan beribadah yang kami
terima dari Tuhan melalui jalan ilham dengan kesimpulan sebagai berikut:
Jalan menuju surga itu memiliki tujuh
tahapan:
Ilmu dan makrifat.
Menuju taubat
Menempuh rintangan berupa godaan
Menepis kendala di jalan ibadah
Dorongan: rasa takut dan harapan
Menghidnari perusak ibadah
Puji dan syukur.
Dengan berakhirnya pembahasan ketujuh
tahapan tersebut berarti selesai pula kitab “”Minhajul Abidin” ini.
Selanjutnya tahapan-tahapan tersebut akan
kami ketengahkan secara singkat, padat dan bermakna. Insya Allah setiap tahapan
kami hadirkan dalam bab tersendiri.
Semoga Allah berkenan melimpahkan taufik
dan bimbinganNya kepada kita. Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan
Allah yang Maha Luhur dan Maha Agung.
Penyusun
Al-Ghazali