Terjemah Kitab Minhajul Abidin
B. Nilai sebuah pemberian
Hendaknya Anda mengerahkan seluruh
kemampuan untuk melewati tahapan yang biayanya murah tapi banyak memberikan
faedah, berunsur tinggi dan berkedudukan agung ini.
Perhatikan dua hal pokok berikut ini:
Pertama, kenikmatan hanya diberikan
kepada orang yang mengetahui kedudukannya (nilainya). Sedangkan orang yang
mengetahui kedudukan nikmat adalah orang yang bersyukur.
Pijakan keterangan yang kusampaikan ini
adalah firman Allah yang menceritakan orang-orang kafir dan menolak pendapat
mereka, yaitu:
Artinya: “Apakah orang-orang miskin itu
diberi kenikmatan oleh Allah dari kami. Tidakkah Allah lebih mengetahui
orang-orang yang bersyukur?.” (Q.S. Al-An’aam: 53)
Orang-orang bodoh itu mengira bahwa
kenikmatan yang besar dan anugerah yang mulia itu diberikan kepada orang-orang
yang hartanya paling banyak, paling berkedudukan serta berketurunan paling
mulia. Lalu mereka berkata: “Menurut kalian, apa perlunya orang-orang miskin
bersama pemimpin para hamba dan orang merdeka itu diberi kenikmatan besar
seperti ini?
Mereka berkata dengan nada sombong dan
menghina: “Apakah orang-orang miskin itu diberi kenikmatan oleh Allah dari
kami?”
Kemudian Allah menjawabnya dengan halus
dan bercahaya:
Artinya: “Tidakkah Allah lebih mengetahui
orang-orang yang bersyukur?” (Q.S. Al-An’aam: 53)
Penjelasan pembicaraan di atas adalah:
Seorang majikan yang mulia hanya akan memberikan kenikmatannya kepada orang
yang mengerti kedudukan nikmat tersebut. Sedangkan orang yang mengerti
kedudukan nikmat adalah orang yang menerima kenikmatan tersebut dengan diri dan
hatinya. Ia memilih kenikmatan tersebut dan meninggalkan yang lainnya. Ia tidak
mempedulikan beban yang harus ditanggungnya seperti ongkos yang harus
dikeluarkan untuk mendapatkannya. Ia tidak bergeser dari pintu untuk memenuhi
kesyukuran nikmat tersebut.
Menurut Ilmu-Ku yang terdahulu (gadiim),
orang-orang lemah itu lebih mengetahui kedudukan nikmat ini. Tiada hentinya
mereka mensyukuri. Dan mereka lebih pantas menerima kenikmatan ini daripada
kalian. Kekayaan, jabatan, kemarahan dan keturunan (keningratan) kalian tidak
diperhitungkan. Kalian menganggap bahwa kenikmatan hanyalah di dunia dan
hal-hal yang tak berguna di dalamnya. Juga ketinggian dan kemuliaan keturunan,
bukan agama, ilmu, kebenaran, dan pengetahuan tentang kebenaran. Kalian
menganggap semua itu sebagai keagungan dan merasa bangga dengannya.
Tidak-tahukah kamu bahwa hampir saja kamu
tidak bisa menerima agama, pengetahuan dan kebenaran ini tanpa adanya anugerah
yang melekat pada diri orang yang datang membawakannya untukmu. Semua itu
karena penghinaan kalian dan mernimnya kepedulian kalian kepadanya. Dan
sesungguhnya orang-orang lemah itu rela membunuh diri mereka sendiri untuk
mendapatkan semua itu. Mereka menyerahkanjiwa raga dan tidak mempedulikan apa
yang hilang dari mereka, dan dengan siapa berhadapan. Agar kamu tahu saja bahwa
mereka adalah orangorang yang mengerti kedudukan nikmat semacam ini. Dalam hati
mereka tertanam kuat pengagungan nikmat tersebut, menganggap ringan kehilangan
segala sesuatu demi mendapatkannya. Dengan senang mereka menahan beban
kepayahan di dalamnya dan menghabiskan seluruh umur untuk mensyukurinya.
Karena itu semua, menurut pengetahuan
Kami yang terdahulu, mereka berhak mendapatkan anugerah yang mulia serta
kenikmatan yang agung ini. Dan Kami mengistimewakan mereka, bukan kalian.
Camkan baik-baik keterangan ini.
Bagiku (Al-Ghazali), begitulah sekelompok
orang yang diisttmewakan Allah dengan satu kenikmatan di antara nikmatnikmat
agama berupa ilmu atau amal. Dan sesungguhnya Anda akan menemukan bahwa mereka
sebenarnya adalah manusia yang paling mengerti kedudukan nikmat tersebut, lebih
besar pengagungan terhadapnya, lebih bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya,
lebih besar penghormatannya, dan lebih rutin mensyukurinya.
Adapun orang-orang yang dihalangi oleh
Allah untuk mendapatkan hal itu adalah karena minimnya perhatian mereka dan
pengagungan hak atas nikmat tersebut di samping karena takdir Allah yang telah
terdahulu.
Seandainya pengagungan ilmu dan ibadah
yang ada di hati orang-orang awam dan para pedagang pasar sama dengan yang ada
di hati para ulama dan ahli-ahli ibadah, tentu mereka tidak memilih pasar
mereka dan mengalahkan pengagungan nikmat serta merasa ringan meninggalkan
pasar.
Tidakkah Anda tahu kalau seorang ulama
fikih menemukan mecahan suatu masalah yang dulunya belum jelas. Betapa girang
hatinya, betapa besar kebahagiaannya, betapa besar pengaruhnya di dalam hati.
Sehingga jika seandainya dia menemukan uang seribu dinar pasti hal itu tidak
bisa mengimbangi kebahagiaan tersebut. Kadang-kadang ia merasa prihatin
memikirkan suatu masalah di bidang agama. Kemudian ja memikirkannya selama satu
tahun, sepuluh tahun, dua puluh tahun, atau bahkan lebih. Mereka tidak
menganggap itu sebagai waktu yang lama serta tidak merasa jemu sampai akhirnya
Allah memberinya pemahaman tentang masalah itu. Ia menganggap pemahaman
tersebut sebagai anugerah terbesar dan kenikmatan yang paling agung. Dengan hal
itu ia merasa dirinya paling kaya dan paling mulia. Bahkan kadang-kadang hal ini
juga tampak pada seorang pedagang pasar atau seorang murid yang malas, yang
menyangka dirinya telah menyamai ulama fikih dalam kecintaannya terhadap ilmu.
Ia tidak mau mendengar hak-hak seorang ulama fikih.
Kadang-kadang jika pembicaraan masalah
itu terlalu panjang ia merasa bosan atau tertidur. Jika masalah itu telah
menjadi jelas, ia tidak menganggapnya sebagai hal besar.
Demikian juga orang yang kembali kepada
Allah. Berapa lama ia bersungguh-sungguh dan rajin melatih dirinya, memelihara
nafsunya dari keinginan-keinginan serta kelezatan, mengekang anggota tubuhnya
dalam gerak dan diam, berharap suatu saat nanti Allah menyempurnakan dua rakaat
yang memiliki adab dan kesucian untuknya.
Berulangkali ia merendahkan diri kepada
Allah, berharap agar Dia memberinya waktu sesaat untuk bermunajat dengan hati
yang bersih dan merasakan manis. Sungguh jika ia mendapatkan hal itu sekali
dalam sebulan, sekali dalam setahun, atau bahkan sekali dalam seumur hidup,
maka ia menganggapnya sebagai karunia yang terbesar dan kenikmatan yang paling
agung. Betapa ia merasa bahagia, betapa bersyukurnya kepada Allah. Ia tidak
mempedulikan kepayahan yang dialaminya di malam hari serta berbagai kelezatan
dalam menghasilkannya.
Kami juga pernah melihat orang yang
menganggap dirinya menyukai ibadah dan ingin memperoleh bagian darinya. Jika
salah satu di antara mereka membutuhkan pengurangan sesuap makanan sore atau
meninggalkan ucapan yang tak berguna, atau mencegah mata mereka dari tidur
dalam waktu sesaat, tentu nafsu mereka tidak akan merasa lega dengan semua itu.
Hati mereka tidak akan nyaman. Dan jika kebetulan mereka berhasil mendapatkan
ibadah yang bersih, meski hal ini jarang terjadi, mereka tidak menganggapnya
sebagai sesuatu yang besar. Dan ia tidak mau mempersembahkan banyak syukur.
Orang-orang seperti ini akan besar
kebahagiaannya dan secara lahir banyak memuji jika mereka berhasil mendapatkan
yang satu dirham, mengumpulkan sesuatu yang bercerai-berai, memiliki lauk yang
enak, atau tidur panjang dengan nyaman. Saat itulah mereka akan mengucapkan
“Segala puji bagi Allah”. Semua ini berasal dari karunia Allah.
Bagaimana mungkin orang-orang yang lupa
dan tidak mampu itu menyamai orang-orang yang beruntung, yang tekun dan
bersungguh-sungguh. Karena itulah orang-orang miskin itu terhalang dari
kebaikan dan orang-orang yang tertolong berhasil mendapatkan kebaikan ini serta
beruntung karenanya. Dan seperti itu pula pembagian perkara yang dilakukan oleh
Dzat yang Maha Bijaksanan. Dan Dia-lah Dzat yang lebih mengetahui alam seisinya.
Inilah rincian firman Allah
Artinya: “Bukankah Allah lebih mengetahui
orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. Al-An’aam: 53)
Ketahuilah bahwa Anda sama sekali tidak
akan terhalang dari kebaikan yang Anda idamkan kecuali halangan tersebut
berasal dari diri Anda sendiri. Kerahkan semua kemampuan agar Anda mengetahui
kedudukan nikmat Allah dan mengagungkannya dengan benar, niscaya Anda akan
menjadi orang yang pantas mendapatkannya. Lalu Allah menganugerahkan nikmat
yang kekal sebagaimana Dia memulai nikmat tersebut bagi Anda sesuai dengan apa
yang pernah kami terangkan pada pokok kedua.
Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang.
Kedua, nikmat itu hanya akan dicabut dari
orang yang tidak mengetahui kedudukannya. Adapun orang yang tidak mengetahui
kedudukannya adalah orang-orang yang banyak mengingkari, yaitu orang yang
mengingkari nikmat tersebut dan tidak mensyukurinya.
Dalil keterangan ini adalah firman Allah:
Artinya: “Dan bacakanlah kepada mereka
(orang-orang Yahudi), kisah orang yang Aku beri ayat-ayat-Ku, lalu keluar dari
nikmat itu dan diikuti oleh setan yang akhirnyu menjadi orang-orang yang sesat.
Seandainya Aku menghendaki pasti Aku bisa meluhurkan derajatnya dengan ayat
tersebut.” (Q.S. Al-A’raaf: 175-176)
Uraian ayat di atas adalah sebagai
berikut:
Akulah yang memberi kenikmatan kepada
hamba ini dengan nikmat-nikmat besar dan pertolongan yang agung dalam bidang
agama dengan memberi mereka kesempatan memperoleh derajat yang luhur dan
kedudukan yang tnggi di sisi-Ku, agar di hadapan-Ku ia berkedudukan tinggi dan
berpangkat mulia. Tapi ia tidak mengetahui kedudukan nikmat-Ku dan cenderung
pada dunia yang hina dan remeh, memilih kesenangan nafsunya yang rendah, Yan
tidak mengetahui bahwa seluruh dunia ini di hadapan Allah tidak sebanding
dengan kenikmatan terendah di bidang agama. Kenikmatan tersebut bagi-Nya tidak
sebanding dengan sayap seekor nyamuk.
Dalam hal ini orang itu bagaikan anjing
yang tak bisa membedakan antara kemuliaan serta rasa nyaman dengan terhina dan
kepayahan. antara ketinggian derajat dengan kehinaan. Ia akan menjulurkan lidah
untuk keduanya.
Baginya kenikmatan yang sempurna terletak
pada secuil makanan yang disantapnya, sekerat daging yang dilempar ke arahnya.
Baginya sama saja. Kau dudukkan di atas singgasana bersamamu, atau kau suruh
berdiri di atas tanah kotor di hadapanmu. Keinginan, kemuliaan, dan
kenikmatannya hanya terletak pada apa yang kusebut di atas.
Begitulah perumpamaan hama yang buruk.
Dengan begitu ia tidak mengetahui kedudukan nikmat-Ku, tidak mengetahui hak
kemuliaan yang Kuberikan. Mata hatinya tak dapat melihat dan tidak sopan di
hadapan-Ku dengan cara menoleh kepada selain Aku, melupakan nikmat-Ku karena
sibuk dengan dunia yang hina dan kelezatan yang hina. Kemudian Aku memandangnya
dengan penuh siasat, menghadirkannya di hamparan keadilan-Ku dan Kuperintahkan
agar ia diberi hukuman Dzat yang Maha Kuasa.
Lalu Kami cabut semua pakaian kebesaran
dan kemuliaan Kami. Kami hapus kemakrifatan dari hatinya. Ia pun telanjang dari
semua anugerah yang kuberikan padanya. Jadilah ia seekor anjing yang terusir
atau setan yang dirajam karena durhaka.
Semoga Allah melindungi kita dari
kemurkaan dan kepedihan siksa-Nya. Sesungguhnya Dia amat pengasih dan penyayang
kepada kita.
Kemudian puaslah Anda dengan melihat
contoh seorang raja yang memuliakan hambanya, memakaikan sendiri pakaian khusus
untuknya, mendekatkan hamba tersebut ke sisinya, menjadikannya lebih tinggi di
atas para pelayan dan penjaga pintunya, serta menyuruh hamba tersebut agar
tetap berada di hadapannya. Raja tersebut telah memerintahkan agar hamba tadi
dibuatkan istana di tempat lain. Singgasananya dibuat tinggi, disediakan
berbagai hidangan, diberi pelayan-pelayan wanita cantik dan pelayan-pelayan
muda.
Bila hamba tersebut kembali dari melayani
sang raja, maka ia ditempatkan di sebuah kerajaan, dilayani dan dimuliakan.
Jarak antara pengabdian (pelayanannya)
dengan istana tersebut hanya satu jam atau malah kurang.
Jika hamba tersebut, di depan pintu rumah
sang raja melihat seorang perawat kuda sedang makan roti, atau melihat seekor
anjing yang menggigit tulang, kemudian hamba tersebut sibuk melihatnya sehingga
lupa dengan pelayanan untuk raja. Ia juga tidak melihat pakaian kebesaran dan
kemuliaan yang disandangnya. Hamba itu berlari dan meminta sepotong roti –
kepada perawat kuda, atau berebut tulang dengan anjing serta menganggap roti
atau tulang tersebut sebagai hal besar. Bukankah jika sang raja melihat semua
yang dilakukan hamba tersebutakan berkata: “Bodoh benar orang ini, betapa
rendah keinginannya, tidak mengetahui betapa tingginya kemuliaanku, tidak
melihat betapa besar kemuliaan yang kuberikan kepadanya berupa pakaian-pakaian
kebesaran, memuliakannya di sisiku, serta apa yang kulakukan terhadapnya
seperti pertolongan dan berbagai simpanan serta anugerah yang kuperintahkan
untuknya. Orang Seperti ini tak lain adalah orang yang bercita-cita rendah,
teramat bodoh dan tidak bisa membedakan. Lucuti pakaiannya dan lemparkan ia
dari hadapanku!”
Seperti inilah keadaan orang alim jika ia
cenderung melihat dunia, dan keadaan seorang ahli ibadah yang mengikuti hawa
hafsunya setelah ia dimuliakan oleh Allah dengan beribadah kepada-Nya,
mengetahui pertolongan yang diberikan-Nya, dan mengetahui syariat beserta
hukum-hukum-Nya.
Kemudian ia tidak mengetahui kedudukan
semua itu, maka ladialah ia orang yang paling hina di hadapan Allah. Ia
mencintai dunia, rakus untuk mendapatkannya. Dunia itu menjadi sesuatu yang
agung dalam hatinya, lebih ia cintai ketimbang nikmat-nikmat mulia yang
diberikan kepadanya seperti ilmu, ibadah, hikmah, dan bermacam kebenaran.
Demikian juga keadaan orang yang diberi
keistimewaan oleh Allah dengan berbagai macam petunjuk, pemeliharaan, dan
dihiasi-Nya dengan cahaya-cahaya pelayanan dan ibadah kepadaNya, selalu
diperhatikan oleh-Nya dengan pandangan rahmat, dalam banyak kesempatan,
dibanggakan di kalangan para malaikat-Nya, diberikan kepemimpinan di
hadapan-Nya, ditempatkan pada tempat syafaat dan didudukkan oleh-Nya pada
kedudukan tinggi. Sampai-sampai jika orang itu memanggil pasti Dia akan
menjawab dan mengiyakannya. Jika meminta kepadaNya pasti diberi. Jika
mensyafaati orang lain tentu ia diberi syafaat untuk mereka dan Dia meridainya.
Jika bersumpah atas namaNya tentu dikabulkan (dipenuhi). Jika di hatinya
terbersit sebuah keinginan, Dia akan memberikannya sebelum ia meminta dengan
mulutnya.
Barangsiapa keadaannya seperti ini,
kemudian tidak mengerti kedudukan derajat tinggi lalu berpindah menuruti
keinginan nafsu yang rendah dan tidak punya rasa malu, atau menjilati dunia
yang hina dan tiada kekal, tidak melihat kemuliaan-kemuliaan, pakaian
kebesaran, hadiah-hadiah, anugerah-anugerah, pemberian, pahala besar yang
dipersiapkan untuknya di akhirat, dan kenikmatan yang sempurna untuk selamanya.
Betapa hinanya keadaan diri yang seperti ini, betapa buruknya hamba tersebut,
alangkah mengkhawatirkan andai dia tahu dan alangkah keji yang dilakukannya
jika ia memahami.
Kami memohon kepada Allah, Dzat yang Maha
Berbuat baik dan Maha Pengasih. Semoga Dia berkenan memperbagus kami dengan
anugerah-Nya yang merata dan rahmat-Nya yang luas. Sesungguhnya Dia lebih
pengasih di antara para pengasih.
Jadi, sebaiknya Anda mengerahkan seluruh
kemampuan sehingga bisa mengetahui kedudukan nikmat-nikmat Allah yang diberikan
kepada Anda.
Jika Dia memberikan kenikmatan agama,
maka berhatihatilah. Jangan menoleh pada dunia dan hal-hal tak berguna di
dalamnya. Sebab perbuatan semacam itu hanya menjadi sebuah penghinaan atas
anugerah yang dikuasakan oleh Allah kepada Anda berupa kenikmatan-kenikmatan
dalam agama. Tidakkah Anda mendengar firman Allah yang ditujukan kepada
pemimpin para rasul sebagai berikut:
Artinya: “Dan benar-benar telah Aku
turunkan kepadamu tujuh ayat yang diulang-ulang (Al-Faatihah) dan Al-Qur’an
Al-‘Azhim. Janganlah memanjangkan pandangan matamu pada berbagai kesenangan
yang kuberikan kepada orang-orang kafir.” (Q.S. Al-Hjjr: 87-88)
Uraian ayat ini sebagai berikut:
Setiap orang yang diberi Al-Qur’an Al
Azhim tidak boleh memandang dunia yang hina ini dengan menganggapnya manis,
bagus, apalagi mencintainya. Hendaklah ia meneruskan kesyukurannya kepada Allah
atas nikmat (diberi Al-Qur’an) tersebut. Nikmat itulah kemuliaan yang sangat
diinginkan oleh kekasih-Nya, Ibrahim a.s. agar dianugerahkan kepada ayah beliau
tapi tidak dikerjakan (oleh Allah).
Hal itu juga diinginkan oleh kekasih-Nya
Muhammad Saw. agar dianugerahkan kepada paman beliau (Abu Thalib) tapi hal itu
tidak dikerjakan (oleh Allah).
Adapun harta dunia yang berguna adalah
sesuatu yang Ditimpakan kepada orang-orang kafir, Fir’aun, orang yang
menyeleweng, kafir zindig, orang bodoh dan orang fasik. Mereka Adalah makhluk
Allah yang paling hina di hadapan-Nya, sehingga la tenggelam di dalamnya. Dunia
itu menjauhkannya dari Nabi, orang terpilih Shaadiq, para alim dan abid, yaitu
makhluk yang paling mulia di hadapan Alah. Sampai sampai mereka nyaris tidak
pernah mendapatkan sepotong roti atau secarik kain. Allah memberi mereka
anugerah dengan tidak mengotori mereka.
Bahkan Allah berfirman kepada Musa dan
Harun a.s.: “Seandainya aku ingin menghias kalian berdua dengan perhiasan, yang
jika Firaun melihatnya dia akan tahu bahwa kekuasaannya tidak mampu
mendatangkan perhiasan semacam itu, tentu Aku dapat melakukannya. Tapi Aku
melarangnya untuk kalian berdua dan membuat kalian membencinya. Begitulah Aku
memperlakukan orang-orang yang Ku-kasihi.
Sungguh Aku mencegah mereka dari nikmat
dunia, seperti penggembala yang penuh kasih mencegah ontanya dari tempattempat
kudis berkembang biak. Aku menjauhkan mereka dari ketenangan dan kehidupan
(gerak hidup) dunia, bukan karena kehinaan mereka di sisi-Ku, tapi agar mereka
dapat menyempurnakan kemuliaan-Ku yang menjadi bagian mereka.”
Allah berfirman:
Artinya: “Dan seandainya seluruh manusia
bukanlah umat yang satu, niscaya Kami akan membuatkan rumah yang beratap perak
untuk orang-orang yang kufur kepada Dzat yang Maha Pengasih.” (Q.S. Az-Zukhruf:
33)
Lihatlah perbedaan dua hal tersebut jika
Anda memang orang yang waspada. Dan katakanlah: “Segala puji bagi Allah yang
telah memberi anugerah pada kami seperti anugerah yang diberikan kepada para
kekasih dan orang-orang pilihan-Nya, memalingkan fitnah musuh-musuh-Nya dari
kami, agar kami memperoleh bagian.” Dan hendaklah kamu mengkhususkan diri
dengan syukur yang sempurna, pujian terbesar atas anugerah yang besar dan
kenikmatan yang agung, yakni agama Islam, karena nikmat islam itulah yang lebih
utama dan lebih pantas, dengan cara tidak henti-hentinya mensyukuri nikmat
tersebut siang dan malam. Jika Anda tidak mampu mengetahui kedudukannya, maka
ketahuilah dengan kenyataan yang ada, yaitu seandainya Anda diciptakan sejak
permulaan dunia, lalu Anda mensyukuri nikmat Islam dari awal hidup sampai akhir
hayat, tentu Anda belum bisa memenuhi syukur tersebut dan Anda belum bisa
memenuhi sebagian hak Allah karena di sana terdapat keutamaan dan keagungan.
Ketahuilah bahwa kitab ini tidak bisa
menampung penjelasan dari apa yang telah kuketahui tentang kenikmatan. Dan
seandainya aku menulis sejuta halaman tentang hal itu tentu pengetahuanku masih
lebih tinggi di atasnya. Sementara aku juga tahu bahwa apa yang telah kuketahui
bila dibandingakan dengan hal-hal yang tidak kuketahui bagaikan sekali ludahan
yang dibandingkan dengan lautan dunia dengan berbagai rahasia yang ada di
dalamnya.
Adakah Anda tidak mendengar firman Allah
kepada pemimpin para utusan, Muhammad Saw. berikut ini:
Artinya: “Hai Muhammad! Engkau tidak tahu
apa itu kitab dan apa itu iman.” (Q.S. Asy-Syuuraa: 52)
Sampai dengan firman Allah:
Artinya: “Dan Allah mengajarkan kepadamu
apa yang belum kamu ketahui. Dan anugerah Allah kepadamu sangat besar.” (O.S.
An-Nisaa’: 113)
Allah berfirman pada suatu kaum:
Artinya: “Sebaliknya Allah memberikan
anugeruh kepada kalun setelah Allah memberi petunjuk untuk beriman.” (Q S.
Al-Hujuraat: 17)
Apakah Anda tidak mendengar sabda Rasulullah
Saw. setelah beliau mendengar seorang lelaki mengucapkan “Segala puji bagi
Allah atas nikmat Islam.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya engkau telah memuji
Allah atas nikmat yang besar.”
Ketika datang pemberi kabar gembira
kepada Nabi Ya gub a.s. beliau berkata: “Apakah agama yang dipeluk (Yusuf) saat
kamu meninggalkannya?” Pembawa kabar itu menjawab: “Dia memeluk agama Islam.”
Nabi Ya’gub berkata: “Sekarang sempurnalah nikmat Allah (untukku).”
Ada yang mengatakan: “Tidak ada satu
kalimat yang lebih dicintai oleh Allah dan lebih sempurna di hadapan-Nya dalam
masalah syukur selain ucapan seorang hamba “Segala puji bagi Allah yang telah
memberi kenikmatan kepada kami, dan menunjukkan kami kepada agama Islam.”
Berhati-hatilah! Jangan lupa mensyukuri
nikmat Islam dan tertipu dengan apa yang sedang Anda peluk saat ini seperti
Islam, makrifat, taufik dan pemeliharaan. Karena dengan semua itu tidak ada
tempat untuk merasa aman dan lengah, karena setiap sesuatu memiliki akibat.
Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Tak seorangpun
merasa aman di atas agamanya selain agama itu akan dicabut darinya.”
Guruku mengatakan: “Jika Anda mendengar
keadaan orang-orang kafir dan keabadian mereka di dalam neraka maka Anda tidak
akan merasa tenteram memikirkan diri Anda, karena segala sesuatunya sangat
mengkhawatirkan, dan Anda tidak tahu akibat apa yang akan diperoleh dan apa
yang telah ditetapkan oleh Allah di alam gaib. Janganlah Anda tertipu dengan
kebersihan waktu, karena dibawahnya terdapat penyakit-penyakit yang tidak
terlihat.”
Seorang ulama berkata: “Wahai orang-orang
yang tertipu dengan pemeliharaan Allah! Ingatlah bahwa di bawah meliharaan
tersebut terdapat berbagai siksa. Allah menghiasi iblis dengan berbagai macam
pemeliharaan, sedang di hadapanNyaia benar-benar dilaknati. Allah menghiasi Bal
am bin Ba’uraa dengan cahaya-cahaya kewalian, tapi sebenarnya dia adalah musuh
Allah.”
Diceritakan dari sahabat Ali. Beliau
berkata: “Berapa banyak orang yang terpedaya dengan diberi kebaikan. Banyak
orang yang terfitnah dengan ucapannya yang baik. Dan banyak orang yang tertipu
dengan menutupi keburukannya.”
Ditanyakan kepada Dzun-Nuun Al-Mislri:
“Cobaan apa yang digunakan untuk memperdaya seorang hamba?” Beliau menjawab: “
Dengan belas kasih dan kemuliaan.”
Itulah sebabnya Allah berfirman:
Artinya: “Aku akan memperdayakan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Ku dari arah yang tidak mereka ketahui.”
(Q.S. Al-A’raaf: 182)
Seorang ‘Arif berkata: “Kami melimpahkan
nikmat atas mereka dan kami membuat mereka lalai dari bersyukur.”
Seorang penyair berkata:
Engkau berprasangka baik pada hari-harimu
karena ia berbuat baik,
tapi kamu tidak mengkhawatirkan keburukan
takdir yang akan datang kepadanya.
Kamu diselamatkan oleh malam-malam dan
kamu tertipu dengannya.
Dan saat malam-malammu jernih akan muncul
kekeruhan.
Ketahuilah bahwa saat engkau lebih dekat
dengan Allah, maka urusanmu lebih mengkhawatirkan dan lebih sulit. Berhubungan
dengan-Nya lebih berat dan lembut. Kekhawatiranmu bertambah besar karena setiap
perkara yang lebih tinggi bila terbalik maka lebih sulit kejadiannya.
Burung tidak akan terbang dan meninggi
kecuali sama seperti ia terbang dan terjatuh.” Jadi, tidak ada jalan untuk
merasa aman, melupakan syukur, dan meninggalkan sikap rendah diri dalam hal
memelihara, apapun keadaannya.
Ibrahim bin Adham mengatakan: “Mungkinkah
Anda merasa aman, sementara Nabi Ibrahim Al-khalil mengatakan (dalam firman
Allah):
Artinya: “Dan jauhkanlah diri dan anakku
dari menyembah berhala.” (Q.S. Ibrahim: 35)
Yusuf Ash-Shaadiq mengatakan: “Ya Allah!
Semoga Engkau mengambil nyawaku dalam keadaan Islam.”
Sufyan Ats-Tsauri tiada hentinya berdoa
sebagai berikut: “Ya Allah! Selamatkanlah aku. Selamatkanlah aku.” Seolah
beliau berada di atas perahu dan takut tenggelam.
Sampai pula kepada kami cerita tentang
Muhammad bin Yusuf rahimahullah. Beliau berkata: “Suatu malam aku merenungkan
Sufyan Ats-Tsauri. Beliau menangis sepanjang malam. Aku pun bertanya kepada
beliau: ‘ Apakah tangis Anda ini karena dosa? Muhammad mengatakan bahwa beliau
kemudian mengambil batu bata dan berkata: ‘Bagi Allah, dosadosa itu lebih
ringan dari (batu bata) ini. Tapi yang kutakutkan adalah kalau sampai Allah
mencabut Islam dariku.”
Aku juga pernah mendengar seorang seorang
“Arif mengatakan: “Salah seorang Nabi bertanya tentang Bal am bin Ba uraa dan
pengusirannya setelah ia memperoleh berbgagai tanda dan kemuliaan (keramat).
Maka Allah berfirman: “Suatu hari ia tidak mau bersyukur kepada-Ku atas nikmat
yang Kuberikan kepadanya. Seandainya ia mensyukuri nikmat tersebut sekali saja
tentu Aku tidak mencabut nikmat tersebut.”
Oleh karenanya, sadarlah! Peliharalah
tang-tiang syukur dengan sungguh-sungguh. Memujilah kepada Allah atas
nikmatrikmat-Nya di bidang agama. Nikmat yang paling tinggi adalah Islam dan
makrifat, dan yang terendah adalah kenikmatan yang serupa dengan taufik
(pertolongan), tasbih, atau terpelihara dari ucapan yang tak berguna. Siapa
tahu Allah menyempurnakan nikmat-nikmat-Nya kepada Anda dan tidak menguji Anda
dengan pahitnya kehilangan nikmat. Sebab sesuatu yang paling pahit dan berat
adalah terhina sesudah dimuliakan, terusir setelah didekatkan dan berpisah
setelah bertemu.
Hanya Allah yang Maha Agung, penuh belas
kasih dan Maha Penyayang.
Kesimpulannya, jika Anda mau merenungkan
dengan baik Anugerah-anugerah besar yang diberikan oleh Allah kepada Anda,
pertolongan yang mulia dan tidak bisa dihitung oleh hati, tidak terjangkau
angan-angan, sampai akhirnya berhasil melewati tahapan-tahapan berat, berhasil
menemukan pengetahuan dan terbukanya mata hati. Anda juga terbebas dari dosa-dosa
kecil Yan dosa-dosa besar, bisa mengatasi rintangan dan godaan yang datang
kemudian, menemukan pendorong-pendorang untuk melakukan ibadah dan selamat dari
hal-hal yang menjadikan cacat.
Berapa banyak pekerti mulia yang berhasil
Anda perbuat. Berapa banyak derajat tinggi dan megah yang berhasil Anda
peroleh. Pertama kali yang Anda dapatkan adalah kewaspadaan dan makrifat kepada
Allah. Sedangkan puncaknya adalah kedekatan dan kemuliaan di sisi-Nya.
Kemudian Anda merenungkannya sesuai
kapasitas akal dan taufik yang Anda miliki. Anda juga bersyukur kepada Allah
semampunya dengan cara menyibukkan lisan Anda untuk memuji dan menyanjung-Nya.
Anda juga memenuhi hati dengan keagungan dan kemegahan-Nya yang mengantarkan
Anda sampai ke tempat yang menjadi penghalang antara Anda dan kedurhakaan
kepada-Nya. Hal itu juga mendorong Anda untuk melayani-Nya semampu Anda atau
dengan seluruh kemampuan yang Anda miliki seraya mengakui keterbatasan Anda
dalam memenuhi hak kenikmatan dan kebaikan (yang diberikan)-Nya.
Jika suatu saat Anda lupa mensyukurinya,
merasa kendor (saat beribadah) ataupun melakukan kesalahan, sebaiknya Anda
segera kembali mengulang, bersungguh-sungguh dan merendahkan diri kepada-Nya.
Sebaiknya Anda juga bertawassul dan berdoa:
Artinya: “Ya Allah, ya Tuhanku. Seperti
halnya Engkau mengawali kebaikan kepadaku dengan anugerah-Mu tanpa menuntut
hak, maka sempurnakanlah kebaikan itu dengan anugerah-Mu juga tanpa menuntut
hak.”
Kemudian Anda memanggil-Nya seperti
panggilan yang diucapkan oleh para kekasih-Nya, yakni orang-orang yang telah
menemukan mahkota hidayah dan merasakan manisnya makrifat sehingga mereka
merasa takut bila harus terusir dan terhina. Merasakan duka cita berjauhan
(dengan kekasihnya), tersesat, merasakan pahitnya putus hubungan dan kehilangan.
Kemudian mereka merendahkan diri di hadapan-Nya, memohon pertolongan,
menjulurkan tangan seraya merendah dan memanggilmanggil dalam kesepian untuk
meminta pertolongan:
Artinya: “Ya Tuhan kami! Janganlah Engkau
condongkan hati kami (dari kebenaran) setelah Engkau memberi petunjuk kepada
kami. Dan berikanlah rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Dzat yang Maha
Memberi.” (Q.S. Ali Imran: 8)
Uraian dari ayat ini adalah: Sesungguhnya
kami telah menemukan kenikmatan dari-Mu dan mengharap nikmat lain (yang akan
Engkau berikan) karena hanya Engkau yang Maha Pemurah lagi Maha Memberi. Maka
seperti pada awalnya Engkau memberikan kelebihan nikmat kepadaku, berikanlah
rahmat kesempurnaan pada akhirnya.
Tidakkah Anda mendengar bahwa doa yang
pertama kali diajarkan oleh Penguasa alam semesta kepada -hamba-Nya yang
muslim, yakni orang-orang yang dipilih di antara makhlukNya adalah doa (firman
Allah) sebagai berikut:
Artinya: “Tunjukkanlah kami jalan yang
lurus.” (Q.S. Al Faatihah: 6)
Atau yang dimaksudkan adalah: Tetapkanlah
kami pada jalan itu dan kekalkanlah jalan itu untuk kami.
Demikiankah hendaknya seorang hamba
merendahkan diri di hadapan Allah, karena kekhawatiran yang ada sangatlah
besar.
Ada yang mengatakan bahwa para hukama
merenungkan musibah yang menimpa orang alim serta ujian untuknya, dan mereka
mengembalikan semua itu pada lima hal: (Tertimpa) suatu penyakit di perantauan,
miskin di usia tua, kematian di usia muda, kebutaan sesudah dapat melihat, dan
ketidakjelasan setelah mengetahui (dengan pasti).
Lebih bagus lagi gubahan seorang penyair
di bawah ini:
Segala sesuatu jika kau tinggalkan akan
datang penggantinya.
Tapi jika yang kau tinggalkan adalah
Allah, maka tidak ada yang bisa menggantikan-Nya.
Penyair lain mengatakan:
Jika dunia masih menetapkan seseorang
pada agamanya,
maka apapun yang hilang dari dunia itu
tidak akan membuatnya melarat.
Begitu juga dengan setiap kenikmatan yang
diberikan-Nya kepada Anda dan bantuan yang diberikan untuk bisa melewati
tahapan-tahapan ini. Memohonlah agar Dia menetapkan apa yang telah diberikan.
Dan memohonlah agar Dia memberi tambahan lebih dari apa yang Anda inginkan
serta Anda harapkan.
Bila telah melakukan semua itu berarti
Anda telah meninggalkan (melewati) tahapan yang sangat mengkhawatirkan ini.
Anda mendapatkan dua harta simpanan yang mulia, yakni istiqamah dan istizadah
(tambahan). Nikmat yang telah ada dan diberikan kepada Anda menjadi kekal. Anda
tidak akan takut kehilangan nikmat tersebut dan Dia akan memberikan tambahan
berupa kenikmatan yang dahulu hilang, yakni kenikmatan yang tidak diberikan
karena Anda tidak memintanya dengan baik. Jadi Anda tidak takut kehilangan
tambahan tersebut.
Pada saat itulah Anda telah menjadi
bagian dari golongan orang-orang yang makrifat (‘arif), orang-orang yang amat
berpengetahuan di bidang agama. Menjadi golongan orang-orang yang bertobat,
suci, zuhud di dunia, tekun melayani Allah, bisa mengalahkan setan, bertakwa
dengan semestinya menggunakan hati dan anggota badan, pendek angan-angan (lawan
kata thuulul amal), memberi nasehat, khusyuk, tawadhuk, bertawakal, berserah
diri, rela, sabar, takut (dari siksaan), berharap (mendapatkan rahmat),
mukhlish, mengingat anugerah dari Allah, dan mensyukuri nikmat yang diberikan
Tuhan mereka, yakni Penguasa alam semesta.
Setelah mendapatkan semua itu berarti
Anda akan menjadi orang yang istiqamah, mulia, dan benar-benar beriman.
Renungkanlah apa yang kubicarakan ini.
Semoga Anda mendapat petunjuk.
Jika Anda berkata: “Bila seperti itu
keadaannya, berarti sedikit sekali orang yang menyembah Allah dan bisa wushul
(sampai) kepada tujuan. Dan siapa yang kuat menanggung biaya (ibadah) ni dan
memenuhi syarat-syarat serta kesunatannya?”
Ketahuilah bahwa Allah juga menyatakar
seperti itu. Dia berfirman:
Artinya: “Dan sedikit sekali dari
hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Q.S. Saba’: 13)
Dia juga berfirman:
Artinya: “Akan tetapi sebagian banyak
manusia tidak bersyukur.”
Di lain tempat Dia berfirman:
Mereka tidak mau berpikir.
Dan di lain tempat lagi Dia berfirman:
Mereka tidak mengetahui.
Dan sesungguhnya hal itu menjadi mudah
bagi orang yang diberi kemudahan oleh Allah untuk melakukannya.
Kewajiban seorang hamba hanyalah berusaha
dengan sun -sungguh, dan Allah-lah yang memberikan petunjuk (hidayah). Allah
berfirman:
Artinya: “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh
mencari (keridaan)-Ku, niscaya akan Kutunjukkan pada mereka jalan-jalan menuju
keridaan)-Kami.” (Q.S. Al-Ankabuut: 69)
Jika seorang hamba yang lemah telah
memenuhi kewajiban nya, maka menurutmu apa yang akan dilakukan oleh Allah yang
Maha Kuasa, Maha Kaya, Maha Mulia, dan Maha Pengasih?
Jika Anda berkata: “Umur yang ada teramat
pendek, sementara tahapan ini panjang dan sulit. Lalu bagaimana caranya agar
umur (yang pendek) itu cukup untuk menyempurnakan syarat-syarat dan melewati
beberapa tahapan (yang panjang) seperti ini?”
Sumpah demi umurku. Sesungguhnya tahapan
ini memang anjang dan syarat-syarat memang berat. Tapi jika Allah memang ingin
mengambil hamba-Nya, tentu Dia akan memendekkan (tahapan) yang panjang untuknya
serta meringankan syarat-syarat ang berat untuknya. Sehingga setelah berhasil
melewatinya hamba tersebut akan mengatakan: “Heran. Betapa dekatnyajalan ini,
dan betapa pendeknya. Betapa ringan urusan ini dan betapa mudahnya.”
Begitu juga denganku. Setelah sampai pada
puncak semacam ini aku berkata:
Tanda-tanda jalan menuju kebaikan telah
nampak jelas bagi orang yang menginginkannya dan kulihat hati manusia telah
menjadi buta dari jalan ini.
Aku sungguh heran pada orang yang binasa,
sementara keselamatan telah nampak dan sungguh aku merasa kagum dengan orang
yang selamat.
Sampai-sampai di antara mereka ada yang
berhasil melewati tahapan-tahapan ini setelah menempuhnya selama 70 tahun. Ada
yang berhasil setelah menempuhnya 20 tahun. Ada yang 10 tahun. Ada yang
setahun. Ada yang sebulan. Bahkan ada yang berhasil dalam waktu satu minggu,
satu hari atau bahkan sekejap mata dengan petunjuk khusus dan pertolongan yang
telah ditetapkan Oleh Allah.
Tidakkah Anda ingat kisah Ashhaabul-Kahfi
yang mendapatnnya dalam sekejap mata saat melihat perubahan pada wajah Diqyanus
raja mereka? Lalu mereka berkata:
Artinya: “Tuhan kami adalah penguasa
langit dan bumi. Kami tidak akan pernah mengakui Tuhan selain Dia.” (Q.S.
Al-Kahfi: 14)
Mereka berhasil mendapatkan kemakrifatan
dan melihat kebenaran-kebenaran yang ada di jalan ini dan melintasinya kemudian
jadilah mereka orang-orang yang berserah diri, bertawakal dan istiqamah ketika
mereka berkata:
Artinya: “Pergilah mengungsi ke dalam
goa, niscaya Tuhan kalian akan menebarkan rahmat-Nya kepada kamu semua.” (O.S.
AlKahfi: 16)
Kesemuanya itu berhasil mereka dapatkan
dalam waktu satu jam atau malah sekejap.
Ingatkah Anda pada para penyihir Firaun.
Waktu mereka untuk mendapatkan hal itu tak lain hanyalah sekejap, yaitu saat
mereka melihat mukjizat Nabi Musa a.s. Mereka berkata:
Artinya: “ Kami beriman kepada Tuhan alam
semesta, Tuhan Musa dan Harun.” (Q.S. Asy-Syu’araa: 47-48)
Mereka melihat jalan (menuju Allah) dan
menempuhnya sesaat demi sesaat. Jadilah mereka orang-orang yang rela dengan
keputusan Allah, bersabar menghadapi cobaan-Nya, bersyukur atas karunia-Nya,
dan sangat rindu untuk bertemu dengan-Nya. Mereka berteriak:
Artinya: “Tidak apa-apa. Sesungguhnya
kami semua akan kembali kepada Tuhan kami.” (Q.S. Asy-Syu’araa: 50)
Telah kami ceritakan bahwa Ibrahim bin
Adham adalah orang yang memiliki harta melimpah. Kemudian ia berpindah menuju
jalan ini. Belum lama berjalan dari Ablakh menuju Marwirudz, beliau melihat
seseorang yang terjatuh dari jembatan ke dalam air yang deras. Beliau berteriak
“Berhenti!”. Seketika orang tersebut berhenti di tengah udara, dan selamatlah
ia.
Rabi ah Al-Bashriyyah adalah seorang
budak perempuan yang sudah tua. Ia ditawarkan keliling pasar negeri Bashra. Tak
seorangpun suka karena umurnya yang sudah tua. Seorang pedangang merasa kasihan
dan membelinya seharga sekitar seratus dirham dan memerdekakannya. Dia kemudian
memilih jalan ini dan menghadapkan diri untuk beribadah. Belum genap satu
tahun, orang-orang zuhud negeri Bashra telah datang. Begitu juga para gurraa’
dan ulama negeri itu. Mereka datang karena ketinggian derajatnya.
Adapun orang-orang yang ditakdirkan tidak
mendapat pertolongan dan tidak diberi perhatian dengan anugerah dan petunjuk,
maka hal itu dibebankan pada dirinya sendiri. Kadang la masih berada di sebuah
jalan sulit dari salah satu tahapan selama 70 tahun dan tidak bisa melewatinya.
Berulang kali ia berteriak dan menjerit: “Betapa gelapnya jalan ini. Betapa
berat dan sulitnya Urusan ini. Dan betapa berbahayanya.”
Hal ini disebabkan karena segala urusan
kembali pada satu pokok, yakni takdir yang Maha Menang, Maha Mengetahui, Maha
Adil dan Maha Bijaksana.
Jika Anda bertanya: “Kenapa orang ini
diberi keistimewaan dengan taufik dan yang ini dihalang-halangi. Sementara
keduanya Sama-sama berpegang pada tali-tali ibadah?”
Untuk menjawab pertanyaan semacam ini ada
seruan dari tuang kemegahan yang Maha Agung: “Sebaiknya kamu tetap Sopan.
Pahamilah rahasia ketuhanan dan hakekat penghambaan. Sesungguhnya Dia (Allah)
tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, sedangkan mereka akan ditanya
(oleh allah).
Jalan (menuju ibadah) yang ada di dunia
ini seperti jalan lurus (shiraathalMustagiim) di akhirat, baik tahapan, jarak,
ataupun perintangnya. Keadaan orang-orang yang melintasinya juga berbeda. Ada
yang berjalan di atasnya seperti kilat yang menyambar. Ada yang berjalan
seperti angin bertiup. Ada yang seperti kuda sembrani. yang lain seperti
burung. Ada lagi yang berjalan kaki. Ada yang merangkak sampai hitam seperti
arang. Ada yang mendengar teriakan Jahannam. Dan ada yang diambil dengan sebuah
pengait lalu dimasukkan ke dalam Jahannam.
Begitulah keadaan jalan (ibadah) ini
beserta para penempuhnya. Jadi, keduanya adalah dua macam jalan, dunia dan
akhirat.
Jalan akhirat diperuntukkan bagi jiwa
orang-orang yang waspada dan bisa melihat hal-hal menakutkan di dalamnya. Jalan
dunia diperuntukkan bagi hati. Dan yang bisa melihat ketakutannya hanya
orang-orang yang memiliki mata hati serta kecerdasan berpikir. Perbedaan
keadaan orang yang berjalan di jalan akhirat itu karena perbedaan mereka saat
(berjalan) di dunia.
Renungkanlah semua itu dengan benar.