Terjemah Kitab Minhajul Abidin; Hakekat Tawakal

 

Terjemah Kitab Minhajul Abidin

Hakekat Tawakal

Jika Anda berkata: “Terangkanlah pada kami apa hakekat tawakal, bagaimana hukumnya, dan apa yang harus dilakukan seorang hamba dalam hal (tawakal) itu yang berhubungan dengan rezeki.

Ketahuilah bahwa pengertian tawakal itu dibagi menjadi empat yaitu arti lafal tawakal, kedudukan, batasan dan benteng tawakal.

 

Pasal Pertama: Arti Kata Tawakal

Kata tersebut berasal dari mashdar “wakalah” yang memiliki arti perwakilan. Jadi orang yang bertawakal kepada seseorang berarti ia menganggapnya sebagai seorang wakil yang melaksanakan (mengurusi) pekerjaannya, yang bertanggung jawab atas kebaikannya dan ia tidak perlu ikut mengerjakan, membebani diri sendiri, ataupun ikut prihatin.

Inilah pengertian kata tawakal secara global.

 

Pasal Kedua: Kedudukan Tawakal

Kata tawakal ini digunakan pada tiga kedudukan, yaitu kedudukan dalam hal pembagian rezeki, pertolongan dan rezeki Itu sendiri serta berbagai kebutuhan.

Dalam hal pembagian rezeki, tawakal berarti percaya penuh bahwa Allah tidak mungkin keliru dalam membagikan rezeki. Nya kepada orang tersebut, karena hukum (ketetapan) Allah tidak dapat diubah. Dan tawakal dalam hal ini hukumnya wajib, berdasarkan Al-Qur’an dan hadis

Dalam hal pertolongan, tawakal berarti percaya penuh dengan pertolongan yang dijanjikan-Nya selama ia benar-benar menolong dan berjuang karena-Nya. Allah berfirman:

Artinya: “Kemudian jika kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.” (Q.S. Ali Imran: 159)

Allah juga berfirman:

Artinya: “Jika kalian menolong Allah, niscaya Allah akan menolong kalian.” (Q.S. Muhammad: 7) Allah berfirman:

Artinya: “Dan sudah semestinya Aku (Allah) menolong orangorang yang beriman.” (Q.S. Ar-Ruum: 47)

Dalam hal rezeki dan kebutuhan, sesungguhnya Allah menjamin segala kebutuhan yang Anda perlukan untuk beribadah sehingga Anda mampu melaksanakannya. Hal itu berdasarkan firman Allah:

Artinya: “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Q.S. Ath-Thalaq: 3)

Nabi Saw. bersabda:

Artinya: “Apabila kamu sekalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah memberikan rezeki padamu seprti Dia memberikan rezeki kepada burung. Pada waktu pagi ia lapar, dan di sore hari kembali (ke sarangnya) dengan perut penuh.”

Tawakal dalam bab ini merupakan kewajiban setiap hamba berdasarkan dalil agli dan syar’i.

Keterangan ini adalah pendapat terkuat, yaitu tawakal dalam masalah rezeki. Dan inilah yang kami inginkan dalam pasal ini.

Jadi, kedudukan tawakal di sini adalah rezeki yang sudah dijamin oleh Allah, seperti yang dikatakan oleh para ulama. Akan tetapi hal itu akan bisa menjadi jelas setelah Anda mengetahui macam-macam rezeki. Oleh karena itu, ketahuilah bahwa rezeki dibagi menjadi empat:

Rezeki madhmun

Rezeki maqsuum

Rezeki mamluk

Rezeki mau’ud

 

 

Rezeki madhmun

Yaitu rezeki yang dijadikan sebagai penguat dan hal-hal lain yang membuat tubuh menjadi tegak tanpa adanya penyebab lain. Rezeki semacam ini adalah tanggungan Allah. Oleh karena itu, dalam hal ini kita wajib bertawakal kepada-Nya, karena sudah ada dalil aqli dan syar’i yang menunjukkannya. Sebab Allah membebani kita dengan tugas melayani dan mentaati perintahNya dengan menggunakan badan kita. Oleh karenanya, Allah tentu menjamin kita dari apa apa yang bisa menyebabkan kerusakan tubuh sehinpya kita dapat menjalankan apa yang dibebankan Nya kepada kita semua.

Seorang ulama dari pengikut mazhab Kiramiyah berpendapat bahwa pada dasarnya tanpyungan rezeki untuk para hamba itu menjadi wajib bila melihat kebijaksanaan Allah, Hal ini disebabkan karena adanya tiga unsur:

Pertama, Allah Swt. adalah majikan dan kita semua hamba sahaya. Seorang majikan tentu harus mencukupi hambanya sebagaimana para hamba berkewajiban melayani majikannya.

Kedua, Allah membuat mereka butuh terhadap rezeki dan tidak memberi mereka jalan untuk mencarinya, karena mereka sendiri tidak mengetahui apa, di mana, dan kapan rezekei itu bisa didapat agar dapat mencari, mengambil sendiri dari tempatnya dan tepat pada waktunya, sehingga mereka bisa mencapai tempat rezeki itu berada. Oleh karena itu, dalam hal ini Allah wajib mencukupi dan mendatangkan mereka ke tempat rezeki itu.

Ketiga, Allah membebani mereka dengan perintah pengabdian. Sedangkan pekerjaan mencari rezeki adalah kesibukan yang dapat melalaikan mereka darinya. Oleh karena itu, Dia wajib mencukupi biaya hidup mereka agar dapat mengabdi (beribadah) dengan tenang.

Pendapat seperi ini adalah ucapan orang yang tidak mengetahui rahasia ketuhanan. Orang yang mengatakan bahwa rezeki itu menjadi kewajiban Allah adalah orang bingung. Kami telah menjelaskan kesalahan ucapan atau keyakinan seperti ini dalam ilmu kalam. Lebih baik sekarang kita kembali kepada pokok persoalan yang menjadi tujuan utama kita (masalah rezeki — Pen).

 

 

Rezeki maqsuum

Yaitu rezeki yang dibagikan oleh Allah dan ditulis-Nya di Lauh Mahfuzh berupa sesuatu yang dimakan, diminum, dan dipakai oleh setiap orang dengan ukuran dan waktu yang sudah ditentukan, tidak bertambah ataupun berkurang, tidak maju maupun mundur dari ketentuan yang telah ditetapkan dan sesuai dengan kenyataan yang ada. Seperti diterangkan dalam hadis Rasulullah Saw. berikut ini:

Artinya: “Semua rezeki telah dibagi dan juga diselesaikan. Ketakwaan seorang muttagi tidak bisa menambahi rezekinya, dan kedurhakaan orang yang durhaka tidak pula dapat menguranginya.

 

 

Rezeki mamluk

Yaitu rezeki yang dimiliki oleh setiap orang berupa kekayaan dunia dengan ukuran yang telah ditentukan oleh Allah dan dibagikan supaya bisa dimilikinya. Rezeki mamluk ini termasuk rezeki dari Allah Swt. Allah berfirman:

Artinya: Nafkahkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada kamu sekalian.(Q.S. al-Baqarah: 254)

Artinya rezeki yang Kami berikan sebagai milik kalian semua.

 

Rezeki mau’ud

Yaitu rezeki yang dijanjikan oleh Allah bagi para hambanya yang bertakwa dengan satu syarat, yaitu ketakwaaan. Rezeki tersebut berupa sesuatu yang halal dan diperoleh tanpa harus bersusah payah. Allah Swt. berfirman:

Artinya: Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka Allah pasti menjadikan untuknya jalan keluar (dari kesukaran), dan Dia akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.(Q.S. Ath-Thalaaq: 2-3)

Inilah pembagian tentang rezeki. Sedangkan tawakal hanya wajib dilakukan sehubungan dengan rezeki madhmun. Ketahuilah kewajiban ini.

Adapun batasan tawakal, seperti yang telah dirasakan oleh para guru kami adalah: Rasa percaya diri dalam hati kepada Allah dengan hanya berharap kepada-Nya tanpa mengharapkan sesuatu dari selain-Nya.

Seorang ulama berpendapat bahwa tawakal adalah: Memeliharakan hati kepada Allah dalam hal kebaikan dengan cara meninggalkan ketergantungan hati terhadap sesuatu selain Allah.

Syekh Imam Abu Amar berkata: Tawakal adalah meninggalkan ketergantungan hati. Sedangkan ketergantungan hati adalah mengingat-ingat bahwa tubuh Anda bisa tegak karena sesuatu selain Allah.

Guru kami Abu Bakr Al-Warraag berkata: Tawakal dan ta’alluq adalah dua ingatan. Tawakal adalah ingatan bahwa tubuh Anda bisa tegak karena Allah. Sedangkan ta’alluq adalah ingatan bahwa yang menegakkan tubuh Anda adalah sesuatu yang selain Allah.

Menurutku (Al-Ghazali) semua pendapat dalam masalah ini kembali kepada satu prinsip, yaitu menempatkan hati pada suatu keyakinan bahwa sesungguhnya penegak tubuh Anda, penghambat kefakiran, dan kecukupan yang Anda peroleh adalah berasal dari Allah Swt., bukan karena seorangpun selain Allah, bukan karena harta dunia, juga bukan karena sebab-sebab yang lain.

Kemudian, jika Allah menghendaki maka Dia akan memberinya dengan suatu sebab (lantaran) berupa makhluk atau kekayaan dunia. Dan jika Allah menghendaki Dia akan mencukupinya dengan kekuasaan-Nya, tanpa melalui suatu sebab Atau perantara.

Jika Anda mau merenungkan hal itu dalam hati dengan rasa mantap, lalu menghilangkan ketergantungan terhadap semua makhluk dan sebab-sebab lain, serta hanya menuju (mengharap) kepada Allah, maka terpenuhi sudah hak-hak tawakal.

Inilah batasan-batasan (dalam) bertawakal.

Benteng yang mendorong (membangkitkan) keinginan untuk bertawakal adalah mengingatjaminan dari Allah Swt. Sedangkan yang melindungi benteng tersebut adalah mengingat keagungan Allah, kesempurnaan Ilmu, kekuasaan dan kebersihan-Nya dari mengkhianati janji, lupa, tidak mampu dan sifat kekurangan-Nya. Jika seorang hamba mengingat hal ini secara rutin, maka ingatan tersebut akan mendorongnya bertawakal kepada Allah dalam masalah rezeki.

Jika ada pertanyaan: Apakah seorang hamba diharuskan mencari rezeki dalam keadaan tertentu?

Ketahuilah bahwa rezeki madhmun yang merupakan sumber kekuatan yang membuat tubuh menjadi tegak tidak mungkin bisa kita upayakan, karena hal itu termasuk pekerjaan (perlakuan) Allah kepada seorang hamba, seperti halnya kehidupan dan kematian. Seorang hamba tidak mampu mencari (mengusahakan) ataupun menolaknya.

Adapun rezeki maqsuum yang memiliki penyebab, seorang hamba tidak wajib mencarinya, karena sebenarnya ia tidak membutuhkannya. Yang diperlukannya adalah rezeki madhmun dan itu berasal dari Allah Swt. serta menjadi tanggungan-Nya. Sedangkan yang dimaksud dalam firman Allah:

Artinya: Dan carilah karunia Allah.(Q.S. Al-Jumuah: 10)

adalah ilmu dan pahala.

Ada juga yang mengatakan bahwa karunia tersebut adalah keringanan (dispensasi) dari Allah, karena kalimat tersebut berupa perintah yang jatuh setelah kalimat yang berisi larangan, maka hal itu menunjukkan arti boleh, tidak bermakna wajib(keharusan).

Jika ditanyakan: Tapi rezeki madhmun juga mempunyai sebab. Apakah kita tidak berkewajiban mencari penyebabnya?

Jawabannya adalah: Anda tidak wajib mencari penyebab tersebut. Karena seorang hamba tidak memerlukannya. Sebab Allah melakukannya dengan atau tanpa sebab. Lalu dari mana datangnya kewajiban kita mencari sebab?

Kemudian Allah menjamin Anda secara mutlak tanpa syarat berusaha (mencari) maupun bekerja. Allah Swt. berfirman:

Artinya: Dan tidak ada seekor binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.(Q.S. Huud: 6)

Lalu benarkah Allah memerintahkan seorang hamba untuk mencari sesuatu yang tidak ia ketahui di mana tempatnya sehingga ia bisa mencarinya? Tak lain karena ia tidak tahu mana penyebab yang mendatangkan rezekinya dan apa yang menjadi penyebab dirinya kuat serta meningkat.

Jadi, masing-masing dari kita tidak mengetahui penyebab tersebut secara benar dari mana ia memperolehnya, karena itu pembebanan terhadap hamba tersebut tidak benar. Renungkanlah! Niscaya kau dapatkan petunjuk, karena hal itu sudah jelas adanya.

Cukuplah menjadi pelajaran bagi Anda bahwa para nabi a.s. dan para kekasih Allah yang bertawakal pada umumnya tidak mencari rezeki dan malah memfokuskan diri mereka untuk beribadah. Dan secara keseluruhan mereka tidak meninggalkan perintah Allah dan tidak mendurhakai-Nya dalam hal itu.

Dengan demikian, jelaslah bagi Anda bahwa mencari rezeki dan segala penyebabnya bukanlah suatu hal yang wajib dilakukan oleh seorang hamba.

Jika Anda bertanya: Adakah rezeki itu bisa bertambah dengan usaha (pencarian) dan berkurang karena ditinggalkan (tanpa melakukan usaha)?

Ketahuilah bahwa urusan rezeki itu telah dicatat di Lauh Mahfuzh, telah ditentukan jumlah (ukuran) dan waktunya. Padahal tidak ada yang bisa mengganti hukum Allah. Tidak ada yang bisa mengubah pembagian dan catatan-Nya.

Ini adalah pendapat yang sahih menurut para ulama kita. Berbeda dengan pendapat yang dipegang oleh para murid Hatim dan Syaqiiq. Mereka berkata: Sesungguhnya rezeki itu tidak bisa bertambah dan bisa berkurang karena perbuatan seorang hamba. Tapi kalau harta bisa bertambah dan berkurang karenanya.

Pendapat seperti ini adalah salah, karena dalil yang menunjukkan dua hal (rezeki dan harta) ini hanya satu, yakni ketetapan (catatan Allah) dan pembagian. Dan juga ini yang diberi isyarat oleh Allah dengan firman-Nya:

Artinya: (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang yang diberikannya kepadamu.(Q.S. Al-Hadid: 23)

Seandainya rezeki itu bisa bertambah dengan pencarian dan berkurang dengan meninggalkan (tidak mencari)nya tentu ada tempat susah dan senang, karena jika ia seorang hamba tidak serius dan menunda-nunda ia akan kehilangan (rezeki). Dan jika ia bersungguh-sungguh ia bersemangat ia akan memperolehnya.

Rasulullah bersabda kepada seorang pengemis:

Artinya: Ambillah (kurma) ini. Seandainya kau tidak mendatanginya pasti kurma ini datang kepadamu.

Jika ada pertanyaan: Pahala dan siksaan juga telah tertulig di Lauh Mahfuzh, sementara kita juga wajib mencari pahala dan meninggalkan hal yamg mengharuskan adanya siksa. Lalu apakah pahala itu bisa bertambah dengan mencari dan berkurang dengan meninggalkannya?

Ketahuilah bahwa sesungguhnya mencari pahala itu wajib, Hal itu karena Allah telah memerintahkannya dengan suatu perintah pasti! Dan mengancam jika hal itu ditinggalkan. Allah juga tidak menjamin pahala tanpa adanya perbuatan (yang mendatangkan pahala) dari kita. Sementara bertambahnya pahala tergantung pada perbuatan seorang hamba.

Adapun perbedaan antara keduanya terdapat pada satu titik, yaitu apa yang dikatakan oleh seorang ulama kita bahwa sesungguhnya apa yang tertulis di Lauh Mahfuzh itu ada dua macam:

Pertama, perkara yang tertulis secara mutlak, artinya tanpa embel-embel syarat dan ketergantungan terhadap perbuatan seorang hamba, yaitu berbagai macam rezeki dan ajal. Tidakkah Anda melihat bagaimana Allah menyebutkan keduanya secara mutlak dengan tanpa syarat? Allah berfirman:

Artinya: Dan tidak ada seekor binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.(Q.S. Huud: 6)

Dan Allah berfirman:

Artinya: Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya.(Q.S. Al-A’raaf: 34)

Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya: “Ada empat hal yang telah ditetapkan yaitu: Makhluk, budi pekerti, rezeki dan ajal (kematian).

Kedua, perkara yang tertulis tapi disertai suatu syarat dan digantungkan pada sesuatu, yakni dengan syarat adanya perbuatan seorang hamba. Hal itu adalah pahala dan siksa.

Adakah Anda tidak melihat bagaimana Allah menyebutkan kedua hal itu di dalam kitab-Nya dengan menggantungkan keduanya kepada perbuatan seorang hamba?

Allah befirman:

Artinya: Dan sekiranya ahli kitab beriman dan bertakwa, tentu Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang penuh kenikmatan.(Q.S. Al-Maaidah: 65)

Kiranya hal ini sudah jelas, pahamilah!

Jika ada pertanyaan: Kami telah menemukan banyak orang yang berusaha mencari rezeki dan mereka menemukan rezeki serta harta. Dan kamijuga melihat orang yang tidak mencari rezeki tidak mendapatkan apa-apa serta menjadi fakir.

Jawaban untuknya adalah: Sepertinya Anda tidak pernah melihat orang yang berusaha lalu tidak berhasil dan menjadi fakir.

Anda juga tidak melihat orang yang tidak mencarinya serta menganggur diberi rezeki dan menjadi kaya.

Memang benar bahwa kebanyakan itulah yang terjadi agar Anda tahu bahwa hal itu (rezeki) adalah ketentuan (takdir) dari Tuhan yang Maha Agung dan Maha Mengetahui. Dan juga merupakan pengaturan dari Maharaja yang bijaksana.

 

Abu Bakar Muhammad bin Saabig Al-Waa’izh Ash-Shiqli di negara Syam melantunkan syair:

Banyak sekali orang kuat dan jernih pendapatnya rajin mondarmandir bekerja,

tapi rezeki itu berpaling darinya.

Banyak orang lemah yang tidak rajin mondar-mandir bekerja

tapi ia seakan-akan tinggal menangguk rezeki itu dari tepi laut.

Ini adalah bukti bahwa Tuhan mempunyai suatu rahasia

yang tersimpan rapat hingga tidak bisa disingkap oleh makhluk-Nya.

 

 

Jika Anda bertanya: Mungkinkah seseorang memasuki daerah pedalaman tanpa membawa perbekalan?

Ketahuilah! Jika Anda telah memiliki hati yang kuat terhadap Allah dan kepercayaan yang sempurna terhadap janji Allah, maka masuklah tanpa membawa bekal. Jika Anda belum memilikinya, maka lakukanlah seperti apa yang diperbuat orang pada umumnya dengan membawa segala kebutuhannya (membawa bekal).

Aku (Al-Ghazali) pernah mendengar bahwa Abu Al-Ma’aali rahimahullah berkata: Sesungguhnya barangsiapa berjalan (hidup) bersama Allah seperti kebiasaan manusia pada umumnya, maka Allah akan memperlakukannya seperti perlakuan-Nya kepada manusia dalam hal mencukupi kebutuhan.

Ini adalah ucapan yang sangat bagus. Di dalamnya terdapat banyak sekali faedah bagi orang yang mau merenungkan.

Jika Anda bertanya: Bukankah Allah telah berfirman:

Artinya: “Dan hendaklah kamu sekalian membawa bekal, karena sesungguhnya bekal yang terbaik adalah takwa.(Q.S. Al-Baqarah: 197)

Ketahuilah bahwa mengenai ayat ini ada dua pendapat:

Yang dimaksud bekal di sini adalah bekal menuju akhirat. Oleh karena itu, Dia berfirman: Sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan tidak mengatakan: Harta dunia dan berbagai penyebabnya.

Ayat ini berkaitan dengan orang-orang yang pergi beribadah haji tanpa membawa perbekalan karena merigandalkan pemberian orang lain. Mereka meminta-minta, mengeluh, nyinyir, dan merugikan orang lain. Kemudian mereka diperintahkan membawa bekal sebagai peringatan bahwa mengambil bekal dari hartanya sendiri itu lebih baik daripada mengambilnya dari orang lain dan mengandalkan mereka.

Demikian menurut pendapatku.

Jika Anda bertanya: Apakah orang yang bertawakal itu perlu membawa bekal saat bepergian?

Ketahuilah bahwa kadang-kadang ia membawa bekal tapi hatinya tidak terpancang pada bekal tersebut. Ia tidak berkeyakinan bahwa bekal tersebut memang menjadi rezekinya dan dari bekal itulah ia mendapatkan kekuatan tubuhnya. Akan tetapi ia menggantungkan hatinya kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya seperti dengan mengatakan bahwa rezeki itu telah dibagi dan sudah selesai pembagiannya. Dan jika Allah menghendaki, maka Dia akan menegakkan tubuhku dengan bekal iri atau dengan yang lain.

Dan kadang ia membawa bekal dengan maksud lain, seperti untuk menolong seorang muslim dan sebagainya.

Yang dipermasalahkan di sini bukan membawa atau tidak membawa bekal, tapi yang dibicarakan adalah hatinya.

Jangan menggantungkan hati Anda kecuali pada janji Allah dan kebaikan jaminan-Nya. Berapa banyak orang yang membawa bekal tapi hatinya tetap bergantung kepada Allah. Dan betapa banyak orang yang tidak membawa bekal tapi hatinya tidak bergantung pada Allah. Dengan begitu yang terpenting di sini adalah hati.

Pahamilah keterangan-keterangan ini. Insya Allah Anda tidak akan kekurangan biaya hidup.

Jika ada yang mengatakan: Nabi Saw. juga membawa bekal. Begitu pua dengan para sahabat dan para pendahulu yang saleh.

Maka jawabnya adalah: Tak usah diragukan lagi bahwa urusan membawa bekal itu memang diperbolehkan, tidak dilarang. Tapi yang dilarang adalah menggantungkan hati pada bekal dan meninggalkan tawakal kepada Allah Swt. Camkan baik-baik!

Kemudian apa pendapatmu tentang Rasulullah Saw. saat Allah berfirman kepada beliau:

Artinya: “Dan bertawakallah kepada Dzat yang Maha Hidup, yang tidak akan mati.(Q.S. Al-Furqaan: 58)

Apakah dalam hal ini beliau durhaka kepada-Nya dan menggantungkan hati pada makanan, minuman, dinar, dan dirham?Tidak. Hal itu tak mungkin terjadi. Hatinya tetap bergantung kepada Allah dan tetap bertawakal kepada-Nya seperti yang diperintahkan kepada beliau. Karena sesungguhnya beliau adalah orang yang tidak menoleh pada dunia seisinya dan tidak menjulurkan tangan untuk membuka kunci-kunci penyimpanan bumi. Karena sesungguhnya pengambilan bekal yang dilakukan oleh beliau dan para pendahulu yang saleh didasari oleh bermacam niat baik, bukan karena kecenderungan hati mereka untuk meninggalkan Allah dan menggantungkan diri pada bekal.

Yang diperhitungkan adalah tujuan seperti yang telah kami terangkan pada Anda. Pahamilah! Bangunlah dari tidur Anda! Sadarlah dari kelalaian Anda, pasti Anda menjadi paham. Semoga Allah memberimu petunjuk.

Jika Anda bertanya: Manakah yang terbaik antara keduanya? Mengambil bekal ataukah meningalkannya?

Ketahuilah bahwa jawabannya berbeda menurut perbedaan keadaan. Jika orang tersebut menjadi panutan dan ingin memberi penerangan bahwa membawa bekal itu diperbolehkan, untuk menolong seorang muslim, atau menolong orang kesusahan dan sebagainya, maka baginya lebih baik membawa bekal.

Jika orang itu sendirian, hatinya berpegang kuat pada Allah Swt., dan masalah bekal malah membuat sibuk dan membuatnya lupa beribadah, maka baginya yang terbaik adalah meninggalkannya (tidak membawa bekal).

Pahamilah keterangan ini dan jagalah diri Anda dengannya. Semoga Anda mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kita memohon taufik.

 

Komentar atau pertanyaan, silakan tulis di sini

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama