Terjemah Kitab Minhajul Abidin
Hakekat Tawakal
Jika Anda berkata: “Terangkanlah pada
kami apa hakekat tawakal, bagaimana hukumnya, dan apa yang harus dilakukan
seorang hamba dalam hal (tawakal) itu yang berhubungan dengan rezeki.
Ketahuilah bahwa pengertian tawakal itu
dibagi menjadi empat yaitu arti lafal tawakal, kedudukan, batasan dan benteng
tawakal.
Pasal Pertama: Arti Kata Tawakal
Kata tersebut berasal dari mashdar
“wakalah” yang memiliki arti perwakilan. Jadi orang yang bertawakal kepada
seseorang berarti ia menganggapnya sebagai seorang wakil yang melaksanakan
(mengurusi) pekerjaannya, yang bertanggung jawab atas kebaikannya dan ia tidak
perlu ikut mengerjakan, membebani diri sendiri, ataupun ikut prihatin.
Inilah pengertian kata tawakal secara
global.
Pasal Kedua: Kedudukan Tawakal
Kata tawakal ini digunakan pada tiga
kedudukan, yaitu kedudukan dalam hal pembagian rezeki, pertolongan dan rezeki
Itu sendiri serta berbagai kebutuhan.
Dalam hal pembagian rezeki, tawakal
berarti percaya penuh bahwa Allah tidak mungkin keliru dalam membagikan rezeki.
Nya kepada orang tersebut, karena hukum (ketetapan) Allah tidak dapat diubah.
Dan tawakal dalam hal ini hukumnya wajib, berdasarkan Al-Qur’an dan hadis
Dalam hal pertolongan, tawakal berarti
percaya penuh dengan pertolongan yang dijanjikan-Nya selama ia benar-benar
menolong dan berjuang karena-Nya. Allah berfirman:
Artinya: “Kemudian jika kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.” (Q.S. Ali Imran: 159)
Allah juga berfirman:
Artinya: “Jika kalian menolong Allah,
niscaya Allah akan menolong kalian.” (Q.S. Muhammad: 7) Allah berfirman:
Artinya: “Dan sudah semestinya Aku
(Allah) menolong orangorang yang beriman.” (Q.S. Ar-Ruum: 47)
Dalam hal rezeki dan kebutuhan,
sesungguhnya Allah menjamin segala kebutuhan yang Anda perlukan untuk beribadah
sehingga Anda mampu melaksanakannya. Hal itu berdasarkan firman Allah:
Artinya: “Dan barangsiapa bertawakal
kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Q.S. Ath-Thalaq:
3)
Nabi Saw. bersabda:
Artinya: “Apabila kamu sekalian
bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah memberikan
rezeki padamu seprti Dia memberikan rezeki kepada burung. Pada waktu pagi ia
lapar, dan di sore hari kembali (ke sarangnya) dengan perut penuh.”
Tawakal dalam bab ini merupakan kewajiban
setiap hamba berdasarkan dalil agli dan syar’i.
Keterangan ini adalah pendapat terkuat,
yaitu tawakal dalam masalah rezeki. Dan inilah yang kami inginkan dalam pasal
ini.
Jadi, kedudukan tawakal di sini adalah
rezeki yang sudah dijamin oleh Allah, seperti yang dikatakan oleh para ulama.
Akan tetapi hal itu akan bisa menjadi jelas setelah Anda mengetahui macam-macam
rezeki. Oleh karena itu, ketahuilah bahwa rezeki dibagi menjadi empat:
Rezeki madhmun
Rezeki maqsuum
Rezeki mamluk
Rezeki mau’ud
Rezeki madhmun
Yaitu rezeki yang dijadikan sebagai
penguat dan hal-hal lain yang membuat tubuh menjadi tegak tanpa adanya penyebab
lain. Rezeki semacam ini adalah tanggungan Allah. Oleh karena itu, dalam hal
ini kita wajib bertawakal kepada-Nya, karena sudah ada dalil aqli dan syar’i
yang menunjukkannya. Sebab Allah membebani kita dengan tugas melayani dan
mentaati perintahNya dengan menggunakan badan kita. Oleh karenanya, Allah tentu
menjamin kita dari apa apa yang bisa menyebabkan kerusakan tubuh sehinpya kita
dapat menjalankan apa yang dibebankan Nya kepada kita semua.
Seorang ulama dari pengikut mazhab
Kiramiyah berpendapat bahwa pada dasarnya tanpyungan rezeki untuk para hamba
itu menjadi wajib bila melihat kebijaksanaan Allah, Hal ini disebabkan karena
adanya tiga unsur:
Pertama, Allah Swt. adalah majikan dan kita semua
hamba sahaya. Seorang majikan tentu harus mencukupi hambanya sebagaimana para
hamba berkewajiban melayani majikannya.
Kedua, Allah membuat mereka butuh terhadap rezeki
dan tidak memberi mereka jalan untuk mencarinya, karena mereka sendiri tidak
mengetahui apa, di mana, dan kapan rezekei itu bisa didapat agar dapat mencari,
mengambil sendiri dari tempatnya dan tepat pada waktunya, sehingga mereka bisa
mencapai tempat rezeki itu berada. Oleh karena itu, dalam hal ini Allah wajib
mencukupi dan mendatangkan mereka ke tempat rezeki itu.
Ketiga, Allah membebani mereka dengan perintah
pengabdian. Sedangkan pekerjaan mencari rezeki adalah kesibukan yang dapat
melalaikan mereka darinya. Oleh karena itu, Dia wajib mencukupi biaya hidup
mereka agar dapat mengabdi (beribadah) dengan tenang.
Pendapat seperi ini adalah ucapan orang
yang tidak mengetahui rahasia ketuhanan. Orang yang mengatakan bahwa rezeki itu
menjadi kewajiban Allah adalah orang bingung. Kami telah menjelaskan kesalahan
ucapan atau keyakinan seperti ini dalam ilmu kalam. Lebih baik sekarang kita
kembali kepada pokok persoalan yang menjadi tujuan utama kita (masalah rezeki —
Pen).
Rezeki maqsuum
Yaitu rezeki yang dibagikan oleh Allah dan
ditulis-Nya di Lauh Mahfuzh berupa sesuatu yang dimakan, diminum, dan dipakai
oleh setiap orang dengan ukuran dan waktu yang sudah ditentukan, tidak
bertambah ataupun berkurang, tidak maju maupun mundur dari ketentuan yang telah
ditetapkan dan sesuai dengan kenyataan yang ada. Seperti diterangkan dalam
hadis Rasulullah Saw. berikut ini:
Artinya: “Semua rezeki telah dibagi dan
juga diselesaikan. Ketakwaan seorang muttagi tidak bisa menambahi rezekinya,
dan kedurhakaan orang yang durhaka tidak pula dapat menguranginya.
Rezeki mamluk
Yaitu rezeki yang dimiliki oleh setiap
orang berupa kekayaan dunia dengan ukuran yang telah ditentukan oleh Allah dan
dibagikan supaya bisa dimilikinya. Rezeki mamluk ini termasuk rezeki dari Allah
Swt. Allah berfirman:
Artinya: Nafkahkanlah sebagian dari
rezeki yang telah Kami berikan kepada kamu sekalian.(Q.S. al-Baqarah: 254)
Artinya rezeki yang Kami berikan sebagai
milik kalian semua.
Rezeki mau’ud
Yaitu rezeki yang dijanjikan oleh Allah
bagi para hambanya yang bertakwa dengan satu syarat, yaitu ketakwaaan. Rezeki
tersebut berupa sesuatu yang halal dan diperoleh tanpa harus bersusah payah.
Allah Swt. berfirman:
Artinya: Barangsiapa bertakwa kepada
Allah, maka Allah pasti menjadikan untuknya jalan keluar (dari kesukaran), dan
Dia akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.(Q.S.
Ath-Thalaaq: 2-3)
Inilah pembagian tentang rezeki.
Sedangkan tawakal hanya wajib dilakukan sehubungan dengan rezeki madhmun.
Ketahuilah kewajiban ini.
Adapun batasan tawakal, seperti yang
telah dirasakan oleh para guru kami adalah: Rasa percaya diri dalam hati kepada
Allah dengan hanya berharap kepada-Nya tanpa mengharapkan sesuatu dari
selain-Nya.
Seorang ulama berpendapat bahwa tawakal
adalah: Memeliharakan hati kepada Allah dalam hal kebaikan dengan cara
meninggalkan ketergantungan hati terhadap sesuatu selain Allah.
Syekh Imam Abu Amar berkata: Tawakal
adalah meninggalkan ketergantungan hati. Sedangkan ketergantungan hati adalah
mengingat-ingat bahwa tubuh Anda bisa tegak karena sesuatu selain Allah.
Guru kami Abu Bakr Al-Warraag berkata:
Tawakal dan ta’alluq adalah dua ingatan. Tawakal adalah ingatan bahwa tubuh
Anda bisa tegak karena Allah. Sedangkan ta’alluq adalah ingatan bahwa yang
menegakkan tubuh Anda adalah sesuatu yang selain Allah.
Menurutku (Al-Ghazali) semua pendapat
dalam masalah ini kembali kepada satu prinsip, yaitu menempatkan hati pada
suatu keyakinan bahwa sesungguhnya penegak tubuh Anda, penghambat kefakiran,
dan kecukupan yang Anda peroleh adalah berasal dari Allah Swt., bukan karena
seorangpun selain Allah, bukan karena harta dunia, juga bukan karena
sebab-sebab yang lain.
Kemudian, jika Allah menghendaki maka Dia
akan memberinya dengan suatu sebab (lantaran) berupa makhluk atau kekayaan
dunia. Dan jika Allah menghendaki Dia akan mencukupinya dengan kekuasaan-Nya,
tanpa melalui suatu sebab Atau perantara.
Jika Anda mau merenungkan hal itu dalam
hati dengan rasa mantap, lalu menghilangkan ketergantungan terhadap semua
makhluk dan sebab-sebab lain, serta hanya menuju (mengharap) kepada Allah, maka
terpenuhi sudah hak-hak tawakal.
Inilah batasan-batasan (dalam)
bertawakal.
Benteng yang mendorong (membangkitkan)
keinginan untuk bertawakal adalah mengingatjaminan dari Allah Swt. Sedangkan
yang melindungi benteng tersebut adalah mengingat keagungan Allah, kesempurnaan
Ilmu, kekuasaan dan kebersihan-Nya dari mengkhianati janji, lupa, tidak mampu
dan sifat kekurangan-Nya. Jika seorang hamba mengingat hal ini secara rutin,
maka ingatan tersebut akan mendorongnya bertawakal kepada Allah dalam masalah
rezeki.
Jika ada pertanyaan: Apakah seorang hamba
diharuskan mencari rezeki dalam keadaan tertentu?
Ketahuilah bahwa rezeki madhmun yang
merupakan sumber kekuatan yang membuat tubuh menjadi tegak tidak mungkin bisa
kita upayakan, karena hal itu termasuk pekerjaan (perlakuan) Allah kepada
seorang hamba, seperti halnya kehidupan dan kematian. Seorang hamba tidak mampu
mencari (mengusahakan) ataupun menolaknya.
Adapun rezeki maqsuum yang memiliki
penyebab, seorang hamba tidak wajib mencarinya, karena sebenarnya ia tidak
membutuhkannya. Yang diperlukannya adalah rezeki madhmun dan itu berasal dari
Allah Swt. serta menjadi tanggungan-Nya. Sedangkan yang dimaksud dalam firman
Allah:
Artinya: Dan carilah karunia Allah.(Q.S.
Al-Jumuah: 10)
adalah ilmu dan pahala.
Ada juga yang mengatakan bahwa karunia
tersebut adalah keringanan (dispensasi) dari Allah, karena kalimat tersebut
berupa perintah yang jatuh setelah kalimat yang berisi larangan, maka hal itu
menunjukkan arti boleh, tidak bermakna wajib(keharusan).
Jika ditanyakan: Tapi rezeki madhmun juga
mempunyai sebab. Apakah kita tidak berkewajiban mencari penyebabnya?
Jawabannya adalah: Anda tidak wajib
mencari penyebab tersebut. Karena seorang hamba tidak memerlukannya. Sebab
Allah melakukannya dengan atau tanpa sebab. Lalu dari mana datangnya kewajiban
kita mencari sebab?
Kemudian Allah menjamin Anda secara
mutlak tanpa syarat berusaha (mencari) maupun bekerja. Allah Swt. berfirman:
Artinya: Dan tidak ada seekor binatang
melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.(Q.S. Huud: 6)
Lalu benarkah Allah memerintahkan seorang
hamba untuk mencari sesuatu yang tidak ia ketahui di mana tempatnya sehingga ia
bisa mencarinya? Tak lain karena ia tidak tahu mana penyebab yang mendatangkan
rezekinya dan apa yang menjadi penyebab dirinya kuat serta meningkat.
Jadi, masing-masing dari kita tidak
mengetahui penyebab tersebut secara benar dari mana ia memperolehnya, karena
itu pembebanan terhadap hamba tersebut tidak benar. Renungkanlah! Niscaya kau
dapatkan petunjuk, karena hal itu sudah jelas adanya.
Cukuplah menjadi pelajaran bagi Anda
bahwa para nabi a.s. dan para kekasih Allah yang bertawakal pada umumnya tidak
mencari rezeki dan malah memfokuskan diri mereka untuk beribadah. Dan secara keseluruhan
mereka tidak meninggalkan perintah Allah dan tidak mendurhakai-Nya dalam hal
itu.
Dengan demikian, jelaslah bagi Anda bahwa
mencari rezeki dan segala penyebabnya bukanlah suatu hal yang wajib dilakukan
oleh seorang hamba.
Jika Anda bertanya: Adakah rezeki itu
bisa bertambah dengan usaha (pencarian) dan berkurang karena ditinggalkan
(tanpa melakukan usaha)?
Ketahuilah bahwa urusan rezeki itu telah
dicatat di Lauh Mahfuzh, telah ditentukan jumlah (ukuran) dan waktunya. Padahal
tidak ada yang bisa mengganti hukum Allah. Tidak ada yang bisa mengubah
pembagian dan catatan-Nya.
Ini adalah pendapat yang sahih menurut
para ulama kita. Berbeda dengan pendapat yang dipegang oleh para murid Hatim
dan Syaqiiq. Mereka berkata: Sesungguhnya rezeki itu tidak bisa bertambah dan
bisa berkurang karena perbuatan seorang hamba. Tapi kalau harta bisa bertambah
dan berkurang karenanya.
Pendapat seperti ini adalah salah, karena
dalil yang menunjukkan dua hal (rezeki dan harta) ini hanya satu, yakni
ketetapan (catatan Allah) dan pembagian. Dan juga ini yang diberi isyarat oleh
Allah dengan firman-Nya:
Artinya: (Kami jelaskan yang demikian
itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan
supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang yang diberikannya
kepadamu.(Q.S. Al-Hadid: 23)
Seandainya rezeki itu bisa bertambah
dengan pencarian dan berkurang dengan meninggalkan (tidak mencari)nya tentu ada
tempat susah dan senang, karena jika ia seorang hamba tidak serius dan
menunda-nunda ia akan kehilangan (rezeki). Dan jika ia bersungguh-sungguh ia
bersemangat ia akan memperolehnya.
Rasulullah bersabda kepada seorang
pengemis:
Artinya: Ambillah (kurma) ini. Seandainya
kau tidak mendatanginya pasti kurma ini datang kepadamu.
Jika ada pertanyaan: Pahala dan siksaan
juga telah tertulig di Lauh Mahfuzh, sementara kita juga wajib mencari pahala
dan meninggalkan hal yamg mengharuskan adanya siksa. Lalu apakah pahala itu
bisa bertambah dengan mencari dan berkurang dengan meninggalkannya?
Ketahuilah bahwa sesungguhnya mencari
pahala itu wajib, Hal itu karena Allah telah memerintahkannya dengan suatu
perintah pasti! Dan mengancam jika hal itu ditinggalkan. Allah juga tidak
menjamin pahala tanpa adanya perbuatan (yang mendatangkan pahala) dari kita.
Sementara bertambahnya pahala tergantung pada perbuatan seorang hamba.
Adapun perbedaan antara keduanya terdapat
pada satu titik, yaitu apa yang dikatakan oleh seorang ulama kita bahwa
sesungguhnya apa yang tertulis di Lauh Mahfuzh itu ada dua macam:
Pertama, perkara yang tertulis secara mutlak, artinya
tanpa embel-embel syarat dan ketergantungan terhadap perbuatan seorang hamba,
yaitu berbagai macam rezeki dan ajal. Tidakkah Anda melihat bagaimana Allah
menyebutkan keduanya secara mutlak dengan tanpa syarat? Allah berfirman:
Artinya: Dan tidak ada seekor binatang
melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.(Q.S. Huud: 6)
Dan Allah berfirman:
Artinya: Maka apabila telah datang
waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat pula
memajukannya.(Q.S. Al-A’raaf: 34)
Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “Ada empat hal yang telah
ditetapkan yaitu: Makhluk, budi pekerti, rezeki dan ajal (kematian).
Kedua, perkara yang tertulis tapi disertai suatu
syarat dan digantungkan pada sesuatu, yakni dengan syarat adanya perbuatan
seorang hamba. Hal itu adalah pahala dan siksa.
Adakah Anda tidak melihat bagaimana Allah
menyebutkan kedua hal itu di dalam kitab-Nya dengan menggantungkan keduanya
kepada perbuatan seorang hamba?
Allah befirman:
Artinya: Dan sekiranya ahli kitab beriman
dan bertakwa, tentu Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan Kami
masukkan mereka ke dalam surga yang penuh kenikmatan.(Q.S. Al-Maaidah: 65)
Kiranya hal ini sudah jelas, pahamilah!
Jika ada pertanyaan: Kami telah menemukan
banyak orang yang berusaha mencari rezeki dan mereka menemukan rezeki serta
harta. Dan kamijuga melihat orang yang tidak mencari rezeki tidak mendapatkan
apa-apa serta menjadi fakir.
Jawaban untuknya adalah: Sepertinya Anda
tidak pernah melihat orang yang berusaha lalu tidak berhasil dan menjadi fakir.
Anda juga tidak melihat orang yang tidak
mencarinya serta menganggur diberi rezeki dan menjadi kaya.
Memang benar bahwa kebanyakan itulah yang
terjadi agar Anda tahu bahwa hal itu (rezeki) adalah ketentuan (takdir) dari
Tuhan yang Maha Agung dan Maha Mengetahui. Dan juga merupakan pengaturan dari
Maharaja yang bijaksana.
Abu Bakar Muhammad bin Saabig Al-Waa’izh
Ash-Shiqli di negara Syam melantunkan syair:
Banyak sekali orang kuat dan jernih pendapatnya
rajin mondarmandir bekerja,
tapi rezeki itu berpaling darinya.
Banyak orang lemah yang tidak rajin
mondar-mandir bekerja
tapi ia seakan-akan tinggal menangguk
rezeki itu dari tepi laut.
Ini adalah bukti bahwa Tuhan mempunyai
suatu rahasia
yang tersimpan rapat hingga tidak bisa
disingkap oleh makhluk-Nya.
Jika Anda bertanya: Mungkinkah seseorang
memasuki daerah pedalaman tanpa membawa perbekalan?
Ketahuilah! Jika Anda telah memiliki hati
yang kuat terhadap Allah dan kepercayaan yang sempurna terhadap janji Allah,
maka masuklah tanpa membawa bekal. Jika Anda belum memilikinya, maka lakukanlah
seperti apa yang diperbuat orang pada umumnya dengan membawa segala
kebutuhannya (membawa bekal).
Aku (Al-Ghazali) pernah mendengar bahwa
Abu Al-Ma’aali rahimahullah berkata: Sesungguhnya barangsiapa berjalan (hidup)
bersama Allah seperti kebiasaan manusia pada umumnya, maka Allah akan
memperlakukannya seperti perlakuan-Nya kepada manusia dalam hal mencukupi
kebutuhan.
Ini adalah ucapan yang sangat bagus. Di
dalamnya terdapat banyak sekali faedah bagi orang yang mau merenungkan.
Jika Anda bertanya: Bukankah Allah telah
berfirman:
Artinya: “Dan hendaklah kamu sekalian
membawa bekal, karena sesungguhnya bekal yang terbaik adalah takwa.(Q.S.
Al-Baqarah: 197)
Ketahuilah bahwa mengenai ayat ini ada
dua pendapat:
Yang dimaksud bekal di sini adalah bekal
menuju akhirat. Oleh karena itu, Dia berfirman: Sebaik-baik bekal adalah takwa.
Dan tidak mengatakan: Harta dunia dan berbagai penyebabnya.
Ayat ini berkaitan dengan orang-orang
yang pergi beribadah haji tanpa membawa perbekalan karena merigandalkan
pemberian orang lain. Mereka meminta-minta, mengeluh, nyinyir, dan merugikan
orang lain. Kemudian mereka diperintahkan membawa bekal sebagai peringatan
bahwa mengambil bekal dari hartanya sendiri itu lebih baik daripada
mengambilnya dari orang lain dan mengandalkan mereka.
Demikian menurut pendapatku.
Jika Anda bertanya: Apakah orang yang
bertawakal itu perlu membawa bekal saat bepergian?
Ketahuilah bahwa kadang-kadang ia membawa
bekal tapi hatinya tidak terpancang pada bekal tersebut. Ia tidak berkeyakinan
bahwa bekal tersebut memang menjadi rezekinya dan dari bekal itulah ia
mendapatkan kekuatan tubuhnya. Akan tetapi ia menggantungkan hatinya kepada
Allah dan bertawakal kepada-Nya seperti dengan mengatakan bahwa rezeki itu
telah dibagi dan sudah selesai pembagiannya. Dan jika Allah menghendaki, maka
Dia akan menegakkan tubuhku dengan bekal iri atau dengan yang lain.
Dan kadang ia membawa bekal dengan maksud
lain, seperti untuk menolong seorang muslim dan sebagainya.
Yang dipermasalahkan di sini bukan
membawa atau tidak membawa bekal, tapi yang dibicarakan adalah hatinya.
Jangan menggantungkan hati Anda kecuali
pada janji Allah dan kebaikan jaminan-Nya. Berapa banyak orang yang membawa
bekal tapi hatinya tetap bergantung kepada Allah. Dan betapa banyak orang yang
tidak membawa bekal tapi hatinya tidak bergantung pada Allah. Dengan begitu
yang terpenting di sini adalah hati.
Pahamilah keterangan-keterangan ini.
Insya Allah Anda tidak akan kekurangan biaya hidup.
Jika ada yang mengatakan: Nabi Saw. juga
membawa bekal. Begitu pua dengan para sahabat dan para pendahulu yang saleh.
Maka jawabnya adalah: Tak usah diragukan
lagi bahwa urusan membawa bekal itu memang diperbolehkan, tidak dilarang. Tapi
yang dilarang adalah menggantungkan hati pada bekal dan meninggalkan tawakal
kepada Allah Swt. Camkan baik-baik!
Kemudian apa pendapatmu tentang
Rasulullah Saw. saat Allah berfirman kepada beliau:
Artinya: “Dan bertawakallah kepada Dzat yang
Maha Hidup, yang tidak akan mati.(Q.S. Al-Furqaan: 58)
Apakah dalam hal ini beliau durhaka
kepada-Nya dan menggantungkan hati pada makanan, minuman, dinar, dan
dirham?Tidak. Hal itu tak mungkin terjadi. Hatinya tetap bergantung kepada
Allah dan tetap bertawakal kepada-Nya seperti yang diperintahkan kepada beliau.
Karena sesungguhnya beliau adalah orang yang tidak menoleh pada dunia seisinya
dan tidak menjulurkan tangan untuk membuka kunci-kunci penyimpanan bumi. Karena
sesungguhnya pengambilan bekal yang dilakukan oleh beliau dan para pendahulu
yang saleh didasari oleh bermacam niat baik, bukan karena kecenderungan hati
mereka untuk meninggalkan Allah dan menggantungkan diri pada bekal.
Yang diperhitungkan adalah tujuan seperti
yang telah kami terangkan pada Anda. Pahamilah! Bangunlah dari tidur Anda!
Sadarlah dari kelalaian Anda, pasti Anda menjadi paham. Semoga Allah memberimu
petunjuk.
Jika Anda bertanya: Manakah yang terbaik
antara keduanya? Mengambil bekal ataukah meningalkannya?
Ketahuilah bahwa jawabannya berbeda
menurut perbedaan keadaan. Jika orang tersebut menjadi panutan dan ingin
memberi penerangan bahwa membawa bekal itu diperbolehkan, untuk menolong
seorang muslim, atau menolong orang kesusahan dan sebagainya, maka baginya
lebih baik membawa bekal.
Jika orang itu sendirian, hatinya
berpegang kuat pada Allah Swt., dan masalah bekal malah membuat sibuk dan
membuatnya lupa beribadah, maka baginya yang terbaik adalah meninggalkannya
(tidak membawa bekal).
Pahamilah keterangan ini dan jagalah diri
Anda dengannya. Semoga Anda mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kita memohon
taufik.