Terjemah Kitab Minhajul Abidin
TAHAPAN KEEMPAT
'AWARIDH (RINTANGAN)
Hai orang-orang yang hendak beribadah!
Hendaklah Anda senantiasa mencegah rintangan yang membuat Anda sibuk hingga
lalai dari beribadah kepada Allah Ta’ala dan menutup jalan ke arah itu sehingga
rintangan tersebut tidak membuat sibuk dan menjauhkan Anda dari tujuan semula.
Empat Kendala di Jalan Ibadah
Kami telah menyebutkan bahwa rintangan
tersebut ada empat:
1. Rezeki dan Tuntutan Nafsu untuk
Mencarinya
Rintangan ini bisa diatasi dengan tawakal
kepada Allah Swt. Oleh karena itu, hendaklah Anda menyerahkan urusan rezeki dan
segala kebutuhan ini kepada Allah, apapun yang terjadi.
Ini harus dilakukan karena adanya dua
hal:
Untuk memperoleh ketenteraman dalam
beribadah dan melakukan kebaikan sebgaimana mestinya. Sebab orang yang tidak
bertawakal tentu menyibukkan diri dan meninggalkan ibadah karena mengejar
kebutuhan, rezeki, dan kebaikan, baik secara lahir maupun secara batin.
Kadang ia berusaha dengan cara bekerja
seperti lazimnya orang yang mencintai dunia. Dan kadang ia berusaha dengan
zikir, keinginan, dan rasa was-was seperti para mujtahidin yany hatinya masih
terpancang pada dunia.
Sementara itu, ibadah membutuhkan
ketenangan hati dan badan agar benar-benar dapat memenuhi haknya. Ketenangan
tersebut tidak dimiliki selain oleh orang yang bertawakal. Bahkan menurut
pendapatku, orang yang hatinya lemah tidak mungkin memiliki ketenangan jiwa
kecuali dengan sesuatu (rezeki) yang sudah diketahui. Ia hampir tidak bisa
menyempurnakan urusan dunia dan akhirat yang mengkhawatirkan.
Sering kudengar dari guruku Abu Muhammad.
Beliau berkata: “Segala urusan di dunia ini akan berjalan dengan baik pada dua
macam orang, yakni orang yang bertawakal dan orang yang ngawur (melakukan
sesuatu tanpa berpikir panjang).
Menurutku inilah pandangan yang artinya
lebih menyeluruh. Sebab orang yang ngawur menginginkan segala sesuatu hanya
berdasar pada kekuatan yang sudah berlaku dan keberanian hati. Jatidak menoleh
pada sesuatu yang akan memalingkannya atau kekhawatiran yang dapat
melemahkannya. Maka terjadilah segala sesuatunya.
Sedangkan oang yang bertawakal
menginginkan segala sesuatu dengan dasar kekuatan, kewaspadaan dan keyakinan
yang sempurna kepada janji Allah dan kepercayaan penuh dengan jaminan-Nya. Maka
ia tidak menoleh sedikitpun kepada seseorang yang menakut-nakutinya dan juga
setan yang menggodanya. Dengan begitu, ia bisa mencapai tujuan dan mendapatkan
apa-apa yang dicarinya.
Adapun makhluk Allah yang lemah,
selamanya tetap berada di antara tawakal, kebimbangan, lunglai dan bingung,
seperti keledai dalam kandangnya atau ayam dalam kurungan. Ia selalu melihat
apa yang dibiasakan oleh pemiliknya dan hampir tidak pernah lepas dari itu.
Nafsunya tak lagi menginginkan
kedudukan-kedudukan tinggi. Cita-citanya telah pupus dan nyaris tidak bertujuan
mendapatkan sesuatu yang mulia. Jika menginginkannya maka keinginan tersebut
nyaris tak dapat didapatkannya, Ia juga tidak bisa menyempurnakan hal itu.
Apakah Anda tidak melihat bagaimana
orang-orang yang bercita-cita tinggi dari golongan pecinta dunia yang tidak
mendapatkan derajat yang agung dan kedudukan tinggi kecuali dengan memutuskan
hati mereka dari diri, harta, dan keluarga mereka?
Sedangkan seorang raja akan merasa
gembira dengan peperangan dan menghadapi musuh. Ia bisa saja kalah dan bisa
pula mendapat kerajaan sampai ia memperoleh kedudukan raja dan memegang
tali-tali kekuasaan.
Diceritakan bahwa saat Mu’awiyah bin Abu
Sufyan melihat dua pasukan dalam perang Shiffin, maka ia berkata: “Barangsiapa
menginginkan kedudukan tingi, maka ia harus berani menghadapi kemalangannya
yang besar.”
Para pedagang menempuh jalan yang bisa
menimbulkan kerusakan, menceburkan diri dan harta mereka ke tengah para
perampok yang datang dari kanan dan kiri, menempatkan diri mereka pada salah
satu dari dua pilihan, yaitu kehilangan nyawa dan mendapat keuntungan sehingga
dengan itu mereka bisa mendapatkan keuntungan besar, harta melimpah dan
barang-barang mahal yang indah.
Para pedagang pasar yang berhati lemah
dan keinginannya rendah, maka hatinya tak lepas dari ikatan, yaitu diri dan
hartanya. Sepanjang hidup ia hanya berjalan mondar-mandir dari rumahnya menuju
kios. Ia tidak bisa mencapai kedudukan yang mulia seperti para raja. Ia juga
tidak bisa mendapat banyak keuntungan seperti para pedagang yang pemberani.
Jika ia mendapat keuntungan satu dirham dari dagangannya, maka aginya hal itu
sudah cukup besar. Hal ini terjadi karena tergantungannya pada sesuatu yang
biasa didapatnya.
Keterangan ini adalah sesuatu yang
hubungannya dengan dunia dan para pecintanya.
Adapun orang yang mencintai akhirat, maka
modal utama mereka adalah ketakwaan seperti yang telah kuterangkan serta
memutuskan hati dari berbagai ketergantungan.
Setelah mereka benar-benar mapan dan
mendapatkan semua itu, maka mereka berkesempatan beribadah kepada Allah,
menempatkan dirinya untuk menyendiri dari semua makhluk, berkelana di muka
bumi, tinggal di gunung-gunung dan lembah-lembah. Lalu jadilah mereka
hamba-hamba terkuat, tokoh agama di sekelilingnya, manusia merdeka dan pada
hakekatnya menjadi raja di muka bumi. Mereka berjalan sekehendak hati dan
berhenti sesukanya. Mereka juga menginginkan bermacam hal besar sesuai
keinginan, karena tidak ada rintangan dan halangan yang menghalanginya. Bagi
mereka semua tempat adalah satu. Semua waktu baginya adalah satu. Dan hal ini
diisyaratkan oleh Nabi Saw. dengan sabda beliau:
Artinya: “Barangsiapa lebih suka menjadi
orang yang terkuat, maka hendaklah ia bertawakal kepada Allah. Barangsiapa
lebih suka menjadi orang yang paling mulia, maka hendaklah ia bertakwa kepada
Allah. Dan barangsiapa lebih suka menjadi orang terkaya, maka hendaklah ia
lebih percaya kepada apa yang ada dalam genggaman Allah ketimbang apa yang
dalam genggamannya.”
Diceritakan dari Sulaiman Al-Khawash
bahwa seandainya ada seorang lelaki yang benar-benar bertawakal kepada Allah
Swt dengan niat yang juga benar, maka ia pasti dibutuhkan oleh para pemimpin
pemerintahan dan seluruh bawahannya. Bagaimana tidak dibutuhkan jika tuannya
adalah Dzat yang Maha Kaya dan juga Maha Terpuji?
Diceritakan dari Ibrahim Al-Khawash bahwa
beliau berkata: “Aku pernah bertemu seseorang di tanah Tiih yang putih bagai
perak lantakan. Lalu aku bertanya kepada orang itu, ‘Wahai saudara! Anda mau ke
mana? Orang itu menjawab, ‘Ke Mekkah. Aku bertanya, “Tanpa bekal dan kendaraan?
Orang itu menjawab, Hai orang yang lemah keyakinannya! Dzat yang mampu
memelihara langit dan bumi mampu menyampaikanku ke negeri Mekkah tanpa bekal
dan kendaraan. Saat aku memasuki Mekkah orang tersebut sedang berthawaf sambil
bersyair:
Wahai nafsuku! Teruslah berkelana
dan jangan mencintai seorangpun
selain Allah yang Maha Agung, Tuhan
tempat meminta.
Hai nafsuku! Matilah kamu bersama
dukacita.
Saat melihatku ia berkata: “Wahai orang
tua! Apakah setelah (menyaksikan) itu (hatimu) masih lemah?”
Abu Muthi’ berkata kepada Hatim Al-Asham:
“Aku mendengar bahwa Anda menjelajahi gurun dengan tawakal dan tanpa bekal.”
Hatim menjawab: “Bekalku ada empat macam.” Abu Muthi bertanya: ” Apakah empat
macam itu?” Hatini menjawab: “1) Aku melihat dunia dan akhirat sebagai kerajaan
Allah. 2) Aku melihat semua makhluk adalah hamba Allah dari keluarga-Nya. 3)
Aku melihat bermacam rezeki dan penyebabnya berada di tangan Allah. 4) Aku
melihat bahwa keputusan Allah pasti terjadi di semua penjuru bumi.” Alangkah
indah kata seorang penyair:
Aku melihat orang-orang yang berzuhud
selalu tenang dan tenteram.
Hati mereka jauh dari gurauan dunia.
Jika kau lihat mereka, seolah kau lihat
seorang raja di bumi yang berwatak
pemurah.
Kekhawatiran dan bahaya besar yang timbul
bila kita meninggalkannya (tawakal).
Bukankah Allah menyertakan rezeki kepada
setiap makhluk? Dia berfirman:
Artinya: “Allah menciptakan kalian,
kemudian memberi kalian rezeki…” (Q.S. Ar-Ruum: 40)
Ayat ini menunjukkan bahwa semua rezeki
berasal dari Allah, bukan dari yang lain, seperti juga makhluk yang berasal
dariNya. Kemudian Allah tidak cukup hanya menunjukkan, tapi juga memberikan
janji. Allah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya Allah, Dia-lah
Maha Pemberi rezeki.” (Q.S. Adz-Dzaariyaat: 58)
Allah tidak hanya memberi janji tapi juga
memberikan jaminan. Allah berfirman:
Artinya: “Dan tidak ada seekor binatang
melata pun di muka bumi melainkan Allah yang memberinya rezeki.” (Q.S. Huud: 6)
Allah juga tidak hanya menjamin, tapi
juga bersumpah (akan memberikan rezeki). Allah berfirman:
Artinya: “Demi (Allah) Penguasa langit
dan bumi, sesungguhnya (rezeki) yang dijanjikan Allah itu adalah benar-benar
(akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.” (Q.S. Adz-Dzaariyaat: 23)
Di samping itu semua, Allah juga
memerintahkan dengan keras agar kita bertawakal dan juga menakut-nakuti. Dia
berfirman:
Artinya: “Dan bertawakallah kepada Allah
yang hidup kekal, yang tidak mati.” (Q.S. Al-Furqaan: 58)
Dia juga berfirman: .
Artinya: “Dan hendaklah hanya kepada
Allah kamu sekalian bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”
(Q.S. AlMaaidah: 23)
Barangsiapa tidak mau merenungkan firman
Allah, tidak puas denganjanji-Nya, tidak merasa tenang dengan jaminan-Nya,
tidak menerima sumpah-Nya dan tidak mempedulikan perintah, janji Serta
ancaman-Nya, maka tunggulah apa yang akan terjadi serta cobaan apa yang akan
menimpanya. Ini adalah musibah yang teramat besar tapi kita selalu
melupakannya.
Nabi Saw. bersabda kepada sahabat Ibnu
Umar:
Artinya: “Bagaimana jika kamu hidup di
tengah-tengah kaum yang menyimpan makanan untuk setahun, karena mereka lemah
keyakinannya?”
Diceritakn dari Hasan Al-Bashri. Beliau
berkata: Allah melaknat suatu kaum yang telah diberi-Nya sumpah dan mereka
tidak mempercayainya.”
Ketika ayat ini turun para malaikat
berkata: “Demi Tuhan langit dan bumi, celakalah keturunan Adam. Mereka membuat
Tuhan marah hingga ia bersumpah mengenai rezeki mereka.”
Diceritakan dari Uwais Al-Qarani. Beliau
berkata: “Seandainya kamu beribadah seperti yang dilakukan oleh penghuni langit
dan bumi, maka Allah tidak akan menerimanya hingga kamu membenarkan-Nya.”
Kemudian ditanyakan: ” Bagaimana cara membenarkannya?” Uwais berkata: “Kamu
merasa aman dan tenteram denganjaminan yang diberikan Allah dalam hal rezekimu,
sehingga kamu berkesempatan melakukan ibadah kepada-Nya.”
Suatu ketika Haram bin Hayyan bertanya
kepada beliau (Uwais): “Di mana Anda menyuruh aku bertempat tinggal?” Uwais
memberi isyarat dengan tangannya ke arah negeri Syam. Haram bertanya:
“Bagaimana dengan mata pencaharianku di sana?” Uwais berkata: “Sungguh celaka
orang yang berhati lemah sepertimu. Ia telah bercampur dengan keraguan sehingga
tiada gunanya diberi nasehat.”
Aku (Al-Ghazali) pernah mendengar ada
seorang pencuri kain di kuburan yang bertobat di hadapan Abu Yazid Al-Busthami.
Kemudian Abu Yazid bertanya tentang apa yang terjadi pada pencuri tersebut.
Pencuri menjawab: “ Aku telah menggali seribu kuburan. Semua orang yang kugali
tidak ada yang menghadap ke arah kiblat kecuali dua orang.” Abu Yazid berkata:
“Kasihan mereka. Keraguan tentang rezeki telah memalingkan wajah mereka dari
kiblat.”
Seorang kawan berkata kepadaku bahwa ia
melihat seorang lelaki yang ahli berbuat baik. Lalu ia bertanya tentang keadaan
lelaki tersebut: “Apakah Anda selamat karena keimanan Anda?” Ja menjawab: “Iman
yang selamat hanya dimiliki oleh orang-orang yang bertawakal.”
Kami memohon kepada Allah semoga Dia
berkenan memperbaiki kami dengan anugerah-Nya. Dan semoga Dia tidak menyiksa
kami karena perbuatan (jelek) yang kami lakukan. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Pengasih dari para pengasih terhadap hamba-Nya. Ini adalah hal yang penting.