Terjemah Kitab Bidayatul Hidayah (Bidayah Al-Hidayah)
Nama kitab: Terjemah kitab Bidayatul Hidayah (Bidayah Al-Hidayah)
Judul kitab asal: بداية الهداية للإمام الغزالي
Penulis: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi (أبو Øامد Ù…Øمد بن Ù…Øمد الغزالي الطوسي)
Lahir: 1058 M / 450 H
Asal: Tous, Iran
Wafat: 19 Desember 1111 Masehi (usia 53) atau tahun 505 Hijriah
DAFTAR ISI
Bagian Pertama: Menasihati Diri
Bagian Kedua: Akidah Seorang Mukmin
Bagian Pertama: Amal-amal Ketaatan (Adab Tidur, Adab Shalat, Adab
Menjadi Imam, Adab Salat Jum’at)
Bagian Kedua: Menghindari Maksiat (Adab Mata, Adab Telinga, Adab Lisan,
Adab Perut, Adab Kemaluan, Adab Tangan, Adab Kaki)
Bagian Ketiga: Maksiat Hati (Dengki, Riya' Ujub, Takabur, Bangga)
Bagian Pertama: Adab (Etika) Seorang Alim (Guru)
Bagian Kedua: Adab (Etika) Seorang Murid
Bagian Ketiga: Adab (Etika) Anak pada Orang Tua
Bagian Keempat: Bergaul Dengan Teman Dekat
Bagian Kelima: Bergaul Dengan Teman Akrab (2)
BAB I
RISALAH NASEHAT
Mukadimah
Aku
mendengar dari orang yang kupercaya tentang sejarah perjalanan hidup Syaikh
al-Imam az-Zahid. Semoga Allah senantiasa memberikan taufik pada beliau dan
memeliharanya dalam menjalankan risalah agamaNya. Sejarah perjalanan hidup
beliau memperkuat keinginanku untuk menjadi saudaranya di jalan Allah Swt.
karena mengharapkan janji yang diberikan Allah kepada para hamba-Nya yang
saling mencinta.
Persaudaraan
tidak harus dengan bertemu muka dan berdekatan secara fisik, tapi yang
dibutuhkan adalah adanya kedekatan hati dan perkenalan jiwa. Jiwa-jiwa
merupakan para prajurit yang tunduk; jika telah saling mengenal, jiwa-jiwa itu
pun jinak dan menyatu. Oleh karenanya, aku ikatkan tali persaudaraan dengannya
di jalan Allah Swt.. Selain itu, aku harap beliau tidak mengabaikanku dalam
doa-doanya ketika sedang berkhalwat serta semoga beliau memintakan kepada Allah
agar diperlihatkan kepadaku bahwa yang benar itu benar dan aku diberi kemampuan
untuk mengikutinya, dan yang salah itu salah serta aku diberi kemampuan untuk
menghindarinya. Kemudian aku dengar beliau memintaku untuk memberikan
keterangan berisi petuah dan nasihat serta uraian singkat seputar
landasan-landasan akidah yang wajib diyakini oleh seorang mukalaf.
Menasihati Diri
Berbicara
tentang nasihat, aku melihat diriku tak pantas untuk memberikannya. Sebab,
nasihat seperti zakat. Nisab-nya adalah mengambil nasihat atau pelajaran untuk
diri sendiri. Siapa yang tak sampai pada nisab, bagaimana ia akan mengeluarkan
zakat? Orang yang tak memiliki cahaya tak mungkin dijadikan alat penerang oleh
yang lain. Bagaimana bayangan akan lurus bila kayunya bengkok? Allah Swt.
mewahyukan kepada Isa bin Maryam, “Nasihatilah dirimu! Jika engkau telah
mengambil nasihat, maka nasihatilah orang-orang. Jika tidak, malulah
kepada-Ku.” Nabi kita saw bersabda, “Aku tinggalkan untuk kalian dua pemberi
nasihat: yang berbicara dan yang diam.”
Pemberi
nasihat yang berbicara adalah Alquran, sedangkan yang diam adalah kematian.
Keduanya sudah cukup bagi mereka yang mau mengambil nasihat. Siapa yang tak mau
mengambil nasihat dan keduanya, bagaimana ia akan menasihati orang lain? Aku
telah menasihati diriku dengan keduanya. Lalu aku pun membenarkan dan
menerimanya dengan ucapan dan akal, tapi tidak dalam kenyataan dan perbuatan.
Aku berkata pada diri ini, “Apakah engkau percaya bahwa Alquran merupakan
pemberi nasihat yang berbicara dan juru nasihat yang benar, serta merupakan
kalam Allah yang diturunkan tanpa ada kebatilan, baik dari depan maupun dari
belakangnya?” Ia menjawab, “Benar.” Allah Swt. berfirman, “Siapa yang
menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepadanya
balasan amal perbuatan mereka di dunia dan mereka di dunia ini tak akan
dirugikan. Mereka itulah yang tidak akan memperoleh apa-apa di akhirat kecuali
neraka. Dan gugurlah semua amal perbuatan mereka serta batallah apa yang mereka
kerjakan” (Q.S. Hud: 15-16).
Allah
Swt. menjanjikan neraka bagimu karena engkau menginginkan dunia. Segala sesuatu
yang tak menyertaimu setelah mati, adalah termasuk dunia. Apakah engkau telah
membersihkan diri dan keinginan dan cinta pada dunia? Seandainya ada seorang
dokter Nasrani yang memastikan bahwa engkau akan mati atau sakit jika memenuhi
nafsu syahwat yang paling menggiurkan, niscaya engkau akan takut dan
menghindarinya. Apakah dokter Nasrani itu lebih engkau percayai ketimbang Allah
Swt.? Jika itu terjadi, betapa kufurnya engkau! Atau apakah menurutmu penyakit
itu lebih hebat dibandingkan neraka? Jika demikian, betapa bodohnya engkau ini!
Engkau membenarkan tapi tak mau mengambil pelajaran. Bahkan engkau terus saja
condong kepada dunia. Lalu aku datangi diriku dan kuberikan padanya juru
nasihat yang diam (kematian). Kukatakan, “Pemberi nasihat yang berbicara (Alquran)
telah memberitahukan tentang pemberi nasihat yang diam (kematian), yakni ketika
Allah berfirman, ‘Sesungguhnya kematian yang kalian hindari akan menjumpai
kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada alam gaib. Lalu Dia akan
memberitahukan kepada kalian tentang apa yang telah kalian kerjakan’ (Q.S.
al-Jumuah: 8).” Kukatakan padanya, “Engkau telah condong pada dunia. Tidakkah
engkau percaya bahwa kematian pasti akan mendatangimu? Kematian tersebut akan
memutuskan semua yang kau punyai dan akan merampas semua yang kau senangi.
Setiap sesuatu yang akan datang adalah sangat dekat, sedangkan yang jauh adalah
yang tidak pernah datang. Allah Swt. berfirman, ‘Bagaimana pendapatmu jika Kami
berikan kenikmatan pada mereka selama beberapa tahun? Kemudian datang pada
mereka siksa yang telah dijanjikan untuk mereka? Tidak berguna bagi mereka apa
yang telah mereka nikmati itu.’ (Q.S. asySyuara: 205-206).”
Jiwa yang
merdeka dan bijaksana akan keluar dari dunia sebelum ia dikeluarkan darinya.
Sementara jiwa yang lawwamah (sering mencela) akan terus memegang dunia sampai
ia keluar dari dunia dalam keadaan rugi, menyesal, dan sedih. Lantas ia
berkata, “Engkau benar.” Itu hanya ucapan belaka tapi tidak diwujudkan. Karena,
ia tak mau berusaha sama sekali dalam membekali diri untuk akhirat sebagaimana
ia merancang dunianya. Ia juga tak mau berusaha mencari rida Allah Swt.
sebagaimana ia mencari rida dunia. Bahkan, tidak sebagaimana ia mencari rida
manusia. Ia tak pernah malu kepada Allah sebagaimana ia malu kepada seorang
manusia. Ia tak mengumpulkan persiapan untuk negeri akhirat sebagaimana ia
menyiapkan segala sesuatu untuk menghadapi musim kemarau. Ia begitu gelisah
ketika berada di awal musim dingin manakala belum selesai mengumpulkan
perlengkapan yang ia butuhkan untuknya, padahal kematian barangkali akan
menjemputnya sebelum musim dingin itu tiba. Kukatakan padanya, “Bukankah engkau
bersiap-siap menghadapi musim kemarau sesuai dengan lama waktunya lalu engkau
membuat perlengkapan musim kemarau sesuai dengan kadar ketahanan-mu menghadapi
panas?” Ia menjawab: “Benar.” “Kalau begitu”, kataku, “Bermaksiatlah kepada
Allah sesuai dengan kadar ketahananmu menghadapi neraka dan bersiap-siaplah
untuk akhirat sesuai dengan kadar lamamu tinggal di sana.” Ia menjawab, “Ini
merupakan kewajiban yang tak mungkin diabaikan kecuali oleh seorang yang
dungu.” Ia terus dengan tabiatnya itu. Aku seperti yang disebutkan oleh para
ahli hikmat, “Ada segolongan manusia yang separuh dirinya telah mati dan
separuhnya lagi tak tercegah.”
Aku termasuk
di antara mereka. Ketika aku melihat diriku keras kepala dengan perbuatan yang
melampaui batas tanpa mau mengambil manfaat dari nasihat kematian dan Alquran,
maka yang paling utama harus dilakukan adalah mencari sebabnya disertai
pengakuan yang tulus. Hal itu merupakan sesuatu yang menakjubkan. Aku
terus-menerus mencari hingga aku menemukan sebabnya. Ternyata aku terlalu
tenang. Oleh karena itu berhati-hatilah darinya. Itulah penyakit kronis dan
sebab utama yang membuat manusia tertipu dan lupa.Yaitu, keyakinan bahwa maut
masih lama. Seandainya ada orang jujur yang memberikan kabar pada seseorang di
siang hari bahwa ia akan mati pada malam nanti atau ia akan mati seminggu atau
sebulan lagi, niscaya ia akan istikamah berada di jalan yang lurus dan pastilah
ia meninggalkan segala sesuatu yang ia anggap akan menipunya dan tidak mengarah
pada Allah SWT.
Jelaslah
bahwa siapa yang memasuki waktu pagi sedang ia berharap bisa mendapati waktu
sore, atau sebaliknya siapa yang berada di waktu sore lalu berharap bisa
mendapati waktu pagi, maka sebenarnya ia lemah dan menunda-nunda amalnya. Ia
hanya bisa berjalan dengan tidak berdaya. Karena itu, aku nasihati orang itu
dan diriku juga dengan nasihat yang diberikan Rasullah saw ketika beliau
bersabda,”Salatlah seperti salatnya orang yang akan berpisah (dengan dunia).”
Beliau telah diberi kemampuan berbicara dengan ucapan yang singkat, padat, dan
tegas. Itulah nasihat yang berguna.
Siapa
yang menyadari dalam setiap salatnya bahwa salat yang ia kerjakan merupakan
salat terakhir, maka hatinya akan khusyuk dan dengan mudah ia bisa
mempersiapkan diri sesudahnya. Tapi, siapa yang tak bisa melakukan hal itu, ia
senantiasa akan lalai, tertipu, dan selalu menunda-nunda hingga kematian tiba.
Hingga, pada akhirnya ia menyesal karena waktu telah tiada.
Aku harap
ia memohonkan kepada Allah agar aku diberi kedudukan tersebut karena aku ingin
meraihnyg tapi tak mampu. Aku juga mewasiatkan padanya agar hanya rida
dengannya dan berhati-hati terhadap berbagai tipuan yang ada. Tipuan jiwa hanya
bisa diketahui oleh mereka yang cendekia.
Akidah Seorang Mukmin
Kemudian,
seorang mukalaf minimal harus meyakini tafsiran dari kata-kata “tiada Tuhan
selain Allah dan Muhammad utusan Allah.” Jika ia membenarkan Rasul saw., maka
ia juga harus membenarkan beliau dalam hal sifat-sifat Allah Swt. Dia Zat Yang
Maha hidup, Berkuasa, Mengetahui, Berbicara, dan Berkehendak Tak ada sesuatu
pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Namun, ia tak
harus meneliti hakikat sifat-sifat Allah tersebut serta tak harus mengetahui
apakah kalam dan ilmu Allah bersifat qadim atau baru. Bahkan, tak jadi masalah
walaupun hal RI tak pernah terlintas dalam benaknya sampai ia matt da lam
keadaan mukmin. Ia tak wajib mempelajari dalil dalil yang dikemukakan oleh para
ahli kalam. Selama hatinya meyakini al-Haq, walaupun dengan iman yang tak
disertai dalil dan argumen, ia sudah merupakan mukmin. Rasulullah saw. tidak
membebani lebih dari itu.
Begitulah
keyakinan global yang dimiliki oleh bangsa Arab dan masyarakat awam, kecuali
mereka yan berada di negeri-negeri dimana masalah-masalah tentang qadim dan
barunya kalam Allah, serta istiwa dan nuzul Allah, ramai diperdebatkan. Jika
hatinya tak terlibat dengan hal itu dan hanya sibuk dengan ibadah dan amal salehnya,
maka tak ada beban apa pun baginya. Namun, jika ia juga memikirkan hal itu,
maka minimal ia harus mengakui keyakinan orang-orang salaf yang mengatakan
bahwa Alquran itu qadim, bahwa Alquran adalah kalam Allah, bukan makhluk, bahwa
istiwa Allah adalah benar, bahwa menanyakan tentangnya adalah bidah, dan bahwa
bagaimana cara istiwa itu tidak diketahui. Ia cukup beriman dengan apa yang
dikatakan syariat secara global tanpa mencari-cari hakikat dan caranya. Jika
hal itu masih tidak berguna juga, dimana hatinya masih bimbang dan ragu, jika
memungkinkan, hendaknya keraguan tersebut dihilangkan dengan penjelasan yang
mudah dipahami walaupun tidak kuat dan tidak memuaskan bagi para ahli kalam.
Itu sudah cukup dan tak perlu pembuktian dalil. Namun, lebih baik lagi kalau
kerisauannya itu bisa dihilangkan dengan dalil yang sebenarnya. Sebab, dalil
tidak sempurna kecuali dengan memahami pertanyaan dan jawabannya. Bila sesuatu
yang samar itu disebutkan, hatinya akan ingkar dan pemahamannya tak mampu
menangkap jawabannya. Sebab, sementara kesamaran tersebut tampak jelas,
jawabannya pelik dan membingungkan sehingga sukar dipahami akal. Oleh karena
itu, orang-orang salaf tak mau mengkaji dan membahas masalah ilmu kalam. Hal
itu mereka lakukan untuk kepentingan masyarakat awam yang lemah.
Adapun
orang-orang yang sibuk memahami berbagai hakikat, mereka memiliki telaga yang
sangat membingungkan. Tidak membicarakan masalah ilmu kalam kepada orang awam
adalah seperti melarang anak kecil mendekati pinggir sungai karena takut
tenggelam. Sedangkan orang-orang tertentu diperbolehkan karena mereka mahir
dalam berenang. Hanya saja, ini merupakan tempat yang bisa membuat orang lupa
diri dan membuat kaki tergelincir, dimana, orang yang akalnya lemah merasa
akalnya sempurna. Ia mengira dirinya bisa mengetahui segala sesuatu dan dirinya
termasuk orang hebat. Bisa jadi, mereka berenang dan tenggelam dalam lautan
tanpa ia sadari. Hanya segelintir orang saja dari mereka yang menempuh jalan
para salaf dalam mengimani para rasul serta dalam membenarkan apa yang
diturunkan Allah Swt. dan apa yang diberitakan Rasul-Nya dimana mereka tak
mencari-cari dalil dan argumen. Melainkan, mereka sibuk dengan ketakwaan.
Demikianlah,
ketika Nabi saw. melihat para sahabatnya sibuk berdebat, beliau marah hingga
memerah kedua pipi beliau dan berkata, “Apakah kalian diperintahkan untuk ini.
Kalian mengumpamakan sebagian isi Kitabullah dengan yang lain. Perhatikan! apa
yang Allah perintahkan pada kalian kerjakanlah, sedangkan yang dilarang kalian
tinggalkan.” Ini merupakan peringatan terhadap manhaj yang benar. Lengkapnya,
hal itu kami jelaskan dalam kitab Qawa’id al-Aqaa’id.